Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PERCERAIAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat

Dosen Pengampu: Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc, M.Ag

OLEH KELOMPOK 10:


1. RUSMAN MANSYUR 2020203874234013
2. JUMRAH S. 2020203874234016

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

PAREPARE

2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, ungkapan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT atas segala berkat
dan nikmat-Nya makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan Salam juga kita
kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa jalan umat Islam dari jaman
yang tidak beradab menjadi beradab.

Semoga dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang mata kuliah Fiqh
Munakahat bagi para pembaca khususnya sub pembahasan tentang Perceraian atau talak.
Kami mohon maaf apabila dalam makalah ini ada kesalahan ketik dalam teks atau kata-kata
yang salah yang menyebabkan sulit bagi pembaca untuk memahami. Oleh karena itu kami
sangat membutuhkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan penyusunan makalah
selanjutnya, Selain itu kami ucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang pembaca
berikan.

Parepare, Senin 21 November 2022

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1

A. Latar Belakang................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................ 2
C. Tujuan Masalah................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................... 3
A. Pengertian Perceraian....................................................................................................... 3
B. Dasar Hukum Perceraian................................................................................................. 4
C. Rukun dan Syarat Perceraian .......................................................................................... 6
D. Macam-macam Perceraian............................................................................................... 8
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 13
A. Kesimpulan...................................................................................................................... 13
B. Saran................................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia pasti senantiasa mendambakan suasana lingkungan yang kondusif,
penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan di mana mereka
tinggal. Akan tetapi hal yang selalu dilupakan untuk menciptakan kondisi yang demikian
adalah bagaimana menjaga dan melestarikan lingkungan tersebut agar tetap harmonis,
walaupun sedang dihadapkan dengan berbagai cobaan kehidupan.
Begitu juga dengan kehidupan dalam berumah tangga, baik suami, istri, dan anak-
anak dituntut untuk menciptakan kondisi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Untuk menciptakan kondisi tersebut, tanggung jawab tidak hanya berada di pundak suami
sebagai kepala rumah tangga, juga bukan tanggung jawab sepihak dari istri sebagai sebagai
ibu rumah tangga, tetapi merupakan tanggung jawab secara bersama-sama yang
berkesinambungan untuk membangun dan mempertahankan keutuhan pernikahan. Karena
pernikahan dalam Islam tidak semata-mata sebagai kontrak keperdataan biasa, tetapi
memiliki nilai ibadah.
Namun demikian, kehidupan pernikahan tidak selamanya berjalan harmonis. Cobaan-
cobaan kecil sebagai tanda adanya konflik setiap saat bisa muncul. Pada kondisi tertentu bisa
membuat suami dan istri bertengkar, hingga akhirnya sampai pada suatu titik di mana
keduanya tidak menemukan satu kata sepakat untuk mempertahankan keluarganya. Ketika
masing-masing pihak tetap bersikeras pada pendiriannya untuk berpisah, dan upaya apa pun
gagal ditempuh, maka perceraian tidak dapat dihindari sebagai jalan terakhir.
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa
adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara
hidup seorang pria dengan wanita yang diatur dalam hukum agama serta peraturan
perundang-undangan dalam suatu negara, sedangkan perceraian merupakan akhir dari
kehidupan bersama suami istri tersebut. Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang
dilaksanakannya itu tetap utuh sepanjang masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit perkawinan
yang dibina dengan susah payah itu harus berakhir dengan suatu perceraian.
Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri dengan keputusan
pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami istri tidak akan dapat hidup rukun
lagi sebagai suami istri.1 Putusnya perkawinan oleh suami atau istri atau atas kesepakatan

1
Pasal 114 KHI

3
kedua-duanya apabila hubungan mereka tidak lagi memungkin-kan tercapainya tujuan
perkawinan.
Perceraian atau talak dalam hukum Islam pada prinsipnya boleh tapi dibenci oleh
Allah, namun perceraian merupakan solusi terakhir yang boleh ditempuh manakala
kehidupan rumah tangga tidak bisa dipertahankan lagi. Islam menunjukkan agar sebelum
terjadi perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, karena ikatan
perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh.2 Sejalan juga dengan prinsip
perkawinan bahwa perceraian harus di persulit, ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW
yang menyatakan bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan yang halal yang paling
dibenci oleh Allah.3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep dalam Perceraian ?
2. Apa Sumber Hukum dalam Perceraian ?
3. Bagaimana Rukun dan Syarat dalam Perceraian ?
4. Apa saja macam-macam Perceraian ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Konsep dalam Perceraian !
2. Untuk Mengetahui Apa Sumber Hukum dalam Perceraian !
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Rukun dan Syarat dalam Perceraian !
4. Untuk Mengetahui Apa saja macam-macam Perceraian !

2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet.I, 1995, hlm. 268
3
Kamil Muhamad ‘uwaidan, al-jam’ifi fiqhan-nisai, Libanon Dar Kutub Al-ilmiyah, 1996, hlm. 461

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perceraian
Pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar
“cerai”. Menurut istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan
pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah
yang kemudian digunakan oleh syara’.4
Perceraian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah talak, talak secara etimologi
adalah melepaskan tali.5 Talak diambil dari kata ithlaq artinya melepaskan atau irsal artinya
memutuskan atau tarkun artinya meninggalkan, firaakun artinya perpisahan. Talak dalam
istilah agama adalah melepaskan hubungan perkawinan atau bubarnya perkawinan.6
Adapun pengertian perceraian atau talak menurut para ahli mempunyai makna dan
istilah yang pada dasarnya sama namun penjabarannya yang berbeda.
1. Pandangan Sayyid Sabiq adalah melepaskan ikatan atau bubarnya hubungan
perkawinan.7
2. Abdur Rahman al-Jaziri mendefinisikan talak secara istilah adalah melepaskan status
pernikahan.8 Talak dalam pengertian ini adalah hilangnya ikatan atau membatasi
geraknya dengan kata-kata khusus, sedangkan makna talak adalah hilangnya ikatan
perkawinan sehingga tidak halal lagi suami istri bercampur.karena suatu sebab
tertentu.
3. Bercerai menurut Al-Hamdani adalah lepasnya ikatan dan berakhirnya hubungan
perkawinan.9

4
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina Imam
1993, juz.11, hlm. 175.
5
Zainudin ibn Abdu al-Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah Al-Aini (Surabaya: Bengkulu
Indah, tt), h. 112.
6
Mahmudin Bunyamin, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia,2017), h. 175.
7
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnnah, Jilid II, (Mesir: Dǎr al-Fikr, 1983), h. 2006.
8
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqh ala Madzahahibil Arba’ah, Jilid IV, (Mesir: Dar al-Fikr, 1989), h.
278.
9
Al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h.1.

5
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa perceraian adalah
putusnya ikatan perkawinan antara suami-istri dalam rangka membina rumah tangga yang
utuh, kekal dan abadi, sehingga antara keduanya tidak halal lagi bergaul sebagaimana
layaknya suami-istri.10

Pada umumnya di Indonesia penyebab terjadinya perceraian karena alasan-alasan


ketidakcocokan, faktor ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan bahkan
disebabkan poligami dibawah tangan. Dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa
perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal ini sesuai ketentuan
Pasal 113 KHI, yang mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dikarenakan 3 (tiga) alasan
yaitu Kematian, Perceraian, dan Putusan Pengadilan. Di dalam Peraturan Pemerintah (PP)
No. 9 Tahun 1975 pasal 19 jo Kompilasi Hukum Islam diatur tentang alasan-alasan
perceraian yang dibenarkan oleh hukum di Indonesia. Adapun alasan-alasan perceraian
tersebut adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman yang
lebih berat selama perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri.
6. Antara suami-istri terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar ta’lik talak.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam
rumah tangga.11

B. Dasar Hukum Perceraian

10
Rusdaya Basri, Fikih Munakahat 2, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), h. 2.
11
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Kompilasi Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 2001), h. 57.

6
Dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat-ayat yang menyuruh atau melarang perceraian,
Meskipun banyak ayat Al-Qur’an yang mengatur talak tetapi isinya hanya sekedar mengatur
bila talak itu terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau larangan. Kalau mau mentalak
seharusnya sewaktu istri itu berbeda dalam keadaan yang siap untuk memasuki masa iddah,
sepertidalam firman Allah dalam surat At-Thalaq [65] ayat 1:
ۤ
َ ِّ‫ٰيا َ يُّ َها النَّبِ ُّي اِ َذا طَلَّ ْقتُ ُم الن‬
َّ‫سٓا َء فَطَلِّقُ ْوهُنَّ لِ ِع َّدتِ ِهن‬

“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu


ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar)”...
Dasar hukum perceraian terdapat dalam QS. Al- Baqarah [2] ayat 231 disebutkan
bahwa:
 ‫ف‬ َ ‫ف اَ ْو‬
ٍ ‫س ِّر ُح ْوهُنَّ بِ َم ْع ُر ْو‬ ٍ ‫س ُك ْوهُنَّ بِ َم ْع ُر ْو‬ َ ِّ‫َواِ َذا طَلَّ ْقتُ ُم الن‬
ِ ‫سٓا َء فَبَلَ ْغنَ اَ َجلَ ُهنَّ فَا َ ْم‬

“Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya,
maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang baik (pula).”...

Meskipun tidak ada ayat al-Qur’an yang menyuruh atau melarang melakukan talak
yang mengandung arti hukumnya mubah, namun talak itu termasuk perbuatan yang tidak
disenangi Nabi. Hal ini mengandung arti perceraian itu hukumnya makruh. Adapun
ketidaksenangan Nabi kepada perceraian itu terlihat dalam hadisnya dari Ibnu Umar. Menurut
riwayat Abu Daud, dan Ibnu Majah. Hadis Rasulullah Saw. Bahwa talak atau perceraian
adalah perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah Swt.

ُ ‫َأ ْب َغ‬
ُ َ‫ض ا ْل َحالَ ِل ِع ْن َد هللاِ الطَّال‬
‫ق‬

“Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Perbuatan halal yang sangat
dibenci oleh Allah Azza wa Jallaadalah talak”.

Walaupun talak merupakan perbuatan yang halal yang dibenci Allah, namun jika
dilihat dari berbagai keadaan yang melatarbelakangi retaknya mahliga rumah tangga, maka
perceraian bisa dianggap sebagai jalan terbaik yang harus ditempuh. Hukum talak ditinjau
dari segi kemaslahatan dan kemadharatannya, terdapat lima pembagian hukumnya, yaitu:12
1. Talak dihukumkan wajib manakala terjadi perselisihan yang terus menerus antara
suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan

12
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh al-Usrah al-Muslimah, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar dengan
judul Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 208-211.

7
dua hakam yang mengurus perkara keduanya. Jika kedua hakim tersebut memandang
bahwa perceraian lebih mashlahat bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi
wajib.13
2. Talak dihukumkan makruh apabila talak yang dilakukan tanpa adanya alasan yang
kuat atau ketika hubungan suami istri baik-baik saja.14
3. Talak dihukumkan mubah yaitu bila suami istri melihat diri mereka sudah tidak bisa
saling memahami dan mencintai, dan masing-masing takut melalaikan hak
pasangannya, sedangkan keduanya tidak punya kesiapan untuk berusaha mencari
solusi, atau sudah berusaha tetapi usahanya tidak bermanfaat.15
4. Talak dihukumkan sunnah yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan
hak-hak Allah Ta’ala yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan
kewajiban lainnya, serta tidak ada kemungkinan untuk memaksa isterinya itu
melakukan kewajiban-kewajiban tersebut. Talak juga sunnah dilakukan ketika
isterinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.
5. Talak dihukumkan terlarang yaitu talak yang dilakukan ketika istri sedang haid.

Dasar hukum perceraian selain ayat dan hadis di atas, hukum perceraian juga diatur
dalam hukum Negara yaitu:
1. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab VIII tentang
Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya mulai dari Pasal 38 sampai Pasal 41.
2. PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan yang diatur
dalam Bab V tentang Tata Cara Perceraian yang tertulis dari Pasal 14 sampai dengan
Pasal 36.
3. UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama menjelaskan tentang tata cara
pemeriksaan sengketa perkawinan. Penjelasan tersebut diatur dalam 24 Bab Berita
Acara bagian kedua tentang Pemeriksaan Sengketa Perkawinan yang diatur dari Pasal
65 sampai dengan Pasal 91.
4. Ipres No. I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Bab XVI
tentang Putusnya Perkawinan serta Bab XVII tentang Akibat Putusnya Perkawinan.
Pada bab XVI ketentuan mengenai perceraian dijelaskan dalam dua bagian. Bagian
kesatu merupakan ketentuan umum tentang perceraian sedangkan bagian kedua
berkaitan dengan tata cara perceraian. Dalam bab ini kedua bagian tersebut dijelaskan
13
Rusdaya Basri, Fikih Munakahat 2, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), h. 5-6.
14
Abdul Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), 236
15
Amru Abdul Mun’im, Fiqh Ath-Thalaq min Al-Kitab wa Shahih As-Sunnah, penerjemah Futuhatul
Arifin dalam Judul Fikih Thalak Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005). H. 116.

8
dari Pasal 114 sampai dengan Pasal 148. Sedangkan pada Bab XVII dijelaskan dari
Pasal 149 sampai dengan Pasal 162.

C. Rukun dan Syarat Perceraian


Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak
bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Adapun menurut ulama Syafi’iyyah
dan Hanabillah, rukun talak itu ada lima, yaitu:16
1. Orang yang menjatuhkan talak. Orang yang menjatuhkan talak itu hendaklah seorang
mukallaf. Oleh karena itu, talak anak kecil yang belum baligh dan talak orang gila
tidak mempunyai kekuatan hukum.
2. Lafal talak. Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama Syafi'iyyah membaginya
kepada tiga macam, yaitu:
a) Lafal yang diucapkan secara şarih dan kinayah. Diantara yang termasuk lafal şarih
adalah al-sarrah, al-firaq, al-țalaq dan setiap kata yang terambil dari lafal al-țalaq
tersebut. Sedangkan lafal kinayah adalah setiap lafal yang memiliki beberapa
pengertian, seperti seorang suami berkata kepada istrinya: iżhabi(pergilah kamu)
atau ukhruji (keluarlah kamu) dan lafal-lafal lain seperti itu, sementara suami itu
meniatkan menjatuhkan talaknya. Jadi menurut mereka, talak yang dijatuhkan
oleh seorang suami itu baru terakad apabila diucapkan dengan lafal-lafal yang
şarih ataupun lafal kinayah dengan meniatkannyauntuk menjatuhkan talak
b) Apabila lafal talak itu tidak diucapkan, baik secara şarih maupun kinayah, boleh
saja melalui isyarat yang dipahami bermakna talak, namun menurut kesepakatan
ulama dikalangan Syafi’iyyah, isyarat tersebut baru dinyatakan sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan oleh orang bisu.17
c) Talak itu juga sudah dianggap memenuhi rukun kedua ini, apabila suami tersebut
menyerahkan (al-fawiḑ) kepada isterinya untuk menjatuhkan talaknya. Misalanya
seorang suami berkata kepada isterinya: Țalliqi nafsak (talaklah/ aku talak
dirimu), lalu apabila isterinya itu menjawab: Țallaqtu (aku talakkan), maka talak
isterinya itu telah jatuh. Sebab dalam kasus seperti itu, istri berkedudukan sebagai
tamlik (wakil) dalam menjatuhkan talak.

16
Khoirul Abror, Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Yogyakarta: Ladang Kata, 2020), h. 164.
17
Muhammad al-Zarqa`, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar al-Qalam, 1996), cet. Ke-4,
h. 351.

9
3. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, lafal talak itu sengaja diucapkan. Ulama
Syafi’iyyah mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang keraguan cacatnya
kesengajaan, yaitu:
a) Salah ucapan. Misalnya, seorang suami yang isterinya bernama Țariq, lalu ia
memanggilnya dengan ucapan: Ya Țaliq (wahai yang ditalak). Kemudian suami
tersebut mengatakan bahwa lidahnya terpeleset (salah ucapan), maka talaknya
tidak sah. Jadi apabila seorang suami tersalah ucapannya sehingga kata yang
keluar itu adalah kata talak atau lafal-lafal yang secara şarihbermakna talak, maka
talaknya dianggap tidak sah;
b) Ketidaktahuan. Apabila seorang suami mengatakan: “Hai wanita yang ditalak”
kepada seorang wanita yang disangkanya istri orang lain namun ternyata wanita
itu adalah isterinya sendiri, maka menurut pendapat Jumhur ulama Syafi’iyyah
talaknya sah. Namun apabila orang ‘ajam (non arab) mengucapkan lafal talak,
sementara ia tidak memahami maksudnya maka talak itu tidak sah;
c) Bersenda gurau. Talak yang dijatuhkan dalam keadaan bersenda gurau, tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana ketentuan yang berlaku pada
seluruh bentuk akad lainnya;
d) Adanya unsur paksaan. Adanya unsur keterpaksaan dapat menghalangi ke-
absahan seluruh bentuk taşarrufkecuali mengislamkan kafir harbi dan murtad.
Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami dalam keadaan terpaksa
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
e) Hilang akal pikiran disebabkan gila dan minum obat. Yang dimaksud dengan gila
dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk ke dalamnya
sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena rusak syaraf
otaknya.18
4. Wanita yang dihalalkan (isteri). Apabila seorang suami menyandarkan talak itu
kepada bagian dari tubuh isterinya, misalnya ia menyandarkan kepada anggota tubuh
tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau hati, maka talaknya sah. Namun apabila
suami tersebut menyandarkan kepada faḑalat tubuhnya seperti air liur, air susu atau
air mani, maka talaknya tidak sah;
5. Menguasai istri tersebut. Apabila seorang suami berkata kepada seorang wanita yang
bukan isterinya: Anti țalliq (kamu wanita yang ditalak), maka talaknya tidak sah,

18
Rusdaya Basri, Fikih Munakahat 2, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), h. 6.

10
namun apabila suami tersebut berkata kepada isterinya atau isterinya itu masih berada
dalam masa ‘iddah talak raj’i, maka talaknya baru dianggap sah.

D. Macam-Macam Perceraian
1. Talak
Talak dibagi kepada dua macam, sebagai berikut:
1. Talak Raj’i; Adalah suatu talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk istri tanpa
kehendaknya. Dan talak raj’i ini disyaratkan pada istri yang telah digauli. 19 Dengan
demikian, yang dimaksud dengan talak raj’i adalah: talak yang dijatuhkan oleh suami
kepada istri sebagai talak satu atau dua, yang di ikrarkan di depan sidang Pengadilan,
dan suami diperbolehkan meruju’nya bila masih dalam masa iddah, tanpa diharuskan
nikah baru.
2. Talak ba’in adalah talak ketiga atau talak yang jatuh sebelum suami istri berhubungan
kelamin, atau talak yang jatuh dengan tebusan (khulu’). Untuk mengembalikan bekas
istri ke dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru
lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.20 Talak ba’in ada dua macam yaitu:
a) Ba’in şugra adalah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya,
tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru (tajdid an-nikah) kepada bekas
isterinya. Yang dimaksud menghilangkan hak-hak rujuk, seperti suami tidak
diperkenankan rujuk kepada istrinya yang ditalak, hingga masa iddahnya habis.
Suami diperbolehkan kembali kepada isterinya namun diharuskan nikah baru
(tajdid an nikah) dan juga mahar baru (tajdid al mahr). Yang temasuk dalam talak
ba’in sughra adalah talak yang dijatuhkan sebelum berkumpul, talak dengan
penggantian harta atau yang disebut khuluk’, talak karena aib (cacat badan),
karena salah seorang dipenjara, karena penganiayaan atau yang semacamya.21
b) Ba’in kubra adalah talak yang menghilangkan hak suami untuk nikah kembali
kepada istrinya, kecuali kalau bekas istrinya telah kawin dengan laki-laki lain dan
telah berkumpul sebagaimana suami istri secara nyata dan sah, dan juga istri
tersebut telah menjalani masa iddahnya serta iddahnya telah habis pula.22

19
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terjemahan, Abdurrahman dkk, Juz 2, Asy-Syifa’, Semarang, 1990,
h. 477.
20
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 221.
21
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 198.
22
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 29.

11
Talak ditinjau dari keadaan istri waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi menjadi
dua macam, sebagai berikut:
1. Talak Sunni adalah talak yang sesuai perintah Allah Swt. dan Rasulullah Saw, yaitu
talak yang dilakukan ketika istri dalam keadaan suci yang belum disetubuhi dan
kemudian dibiarkan sampai ia selesai menjalani iddah.23 Dikatakan sebagai talak
Sunni jika memenuhi empat syarat sebagai berikut:24
a) Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli. Bila talak jatuh pada istri yang belum
pernah dikumpuli, maka tidak termasuk talak Sunni.
b) Istri dapat melakukan iddah suci setelah ditalak. Yaitu istri dalam keadaan suci
dari haid.
c) Dalam masa suci itu suami tidak pernah mengumpuli istri.
2. Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat. 25
Talak bid’i merupakan talak yang dilakukan tidak sesuai dengan tuntunan syari’ah,
baik dalam waktu maupun cara menjatuhkannya. Para ulama sepakat bahwa talak
bid’i dari segi jumlah talak, ialah talak yang diucapkan tiga sekaligus, mereka juga
sepakat bahwa talak bid’i itu haram dan melakukannya berdosa, Yang termasuk talak
bid’i adalah:
a) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu istri tersebut haid.
b) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu istri dalam keadaan suci tetapi
sudah pernah digauli dalam masa sucinya tersebut.
2. Gugatan Perceraian
Cerai gugat dalam Islam disebut juga khulu’ yang menurut bahasa adalah melepaskan
atau menanggalkan. Hal itu karena suami dan istri ibarat pakaian dan bila terjadi khulu’ maka
lepasnya ikatan pernikahan diantara mereka.
Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti menghilangkan
atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan istri membayar uang ‘iwaḑ atau uang
pengganti kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’.26
Bila terjadi cerai dengan cara khulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk
kepada istrinya. Dari tinjauan sighat, khulu’ mengandung pengertian “penggantungan” dan

23
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh al-Usrah al-Muslimah, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar dengan
judul Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), 211.
24
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:Rajawali
Pers,2009)., 237.
25
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, 238.
26
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Grup 2010), h. 220

12
ganti rugi oleh pihak istri. Perceraian akan terjadi bila istri telah membayar sejumlah yang
disyaratkan suami.
Perceraian yang disebabkan khulu’ adalah merupakan țalaq ba’in. Maka bila suami
telah melakukan khulu’ terhadap isteri, suami tidak berhak untuk ruju’ kembali kepada istri,
sekalipun istri rela menerima kembali uang iwaḑ yang telah dibayarkannya. Jika istri bersedia
kembali bekas suaminya tersebut ruju’ kepadanya, maka suami harus melakukan akad nikah
kembali dengan melengkapi rukun dan syaratnya.

3. Perceraian Karena Sebab lain27


1. Putusnya Perkawinan karena Fasakh
Fasakh menurut bahasa berarti memisahkan atau memutuskan. Adapun
pengertian fasakh menurut istilah adalah memutuskan akan nikah karena ada sebab
yang nyata dan jelas yang menghalangi kelestarian hubungan suami istri. Thalaq
adalah hak suami; khulu’ merupakan hak isteri; sementara fasakh merupakan hak bagi
keduanya. Bila sebab fasakh ada pada isteri, maka hak fasakh ada pada suami, dan
begitu juga sebaliknya.
Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dalam proses peradilan.
Hakimlah yang memberikan keputusan tentang berlangsungnya perkawinan, atau
terjadinya perceraian karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh haruslah
mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat
menimbulkan keyakinan bagi hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
2. Putusnya Perkawinan karena Li’an
Li’an secara etimologi berarti laknat atau kutukan. Sementara secara
terminologi adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika menuduh istrinya
berzina dengan empat kali sumpah dan menyatakan bahwa dia adalah termasuk orang
yang benar dalam tuduhan, dan pada sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia
bersedia menerima laknat/kutukan Allah jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami
melakukan li’an kepada istrinya, sedangkan istrinya tidak menerima, maka istri boleh
melakukan sumpah li’an juga terhadap suaminya.
Mencermati definisi tersebut, dapat dipahami bahwa Suami istri saling
menyatakan bersedia dilaknat oleh Allah setelah masing-masing suami istri
mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah
masing-masingnya, karena salah satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain

27
Khoirul Abror, Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Yogyakarta: Ladang Kata, 2020), h. 194.

13
melakukan zina, atau suami tidak mengakui anak yang dikandung/dilahirkan oleh
istrinya sebagai anaknya sendiri, dan pihak istri bersikeras pula menolak tuduhan
suami sedang mereka tidak memiliki alat bukti yang diajukan kepada hakim.
3. Putusnya Perkawinan karena Syiqaq
Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami dan istri. Bila ini
terjadi maka diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan istri
setelah fase-fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan memukul istri sebagai
upaya mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil.
4. Putusnya Perkawinan karena Ila’
Ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan
bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum
perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya,
waktunya tidak ditentukan dan selama itu istri tidak di-țalaq ataupun diceraikan;
sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak
istri karena keadaannya terkatung-katung dan tidak ada ketentuan yang pasti.
5. Putusnya Perkawinan karena Zihar
Salah satu perceraian antara suami istri yang merupakan wewenang hakim
untuk menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada istrinya bahwa
istrinya itu disamakan dengan ibunya sendiri. Ẓihȃr adalah salah satu bentuk
perceraian di zaman jahiliyyah, bila suami tidak menyukai istrinya lagi dan juga tidak
menginginkan istrinya itu kawin dengan laki-laki lain sekiranya istrinya telah
diceraikannya.
Dengan datangnya aturan Islam ẓihar itu tidak lagi dibenarkan, karena men-
ẓihar istri dengan menyamakannya dengan ibu berarti mengucapkan perkataan dusta
dan mungkar. Suami yang terlanjur men-ẓihar istrinya agar menarik kembali men-
ẓiharnya dengan diwajibkan membayar kaffarat (denda) dengan memerdekakan
seorang budak sebelum melakukan hubungan suami istri. Jika suami tidak mampu
memerdekakan budak hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika juga
tidak mampu maka hendaklah ia memberi makan 60 orang miskin.
6. Putusnya Pernikahan karena Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian, terjadi karena salah satu pihak dalam
perkawinan meninggal dunia, apakah itu suami atau istri, yang lebih dulu atau pun
para pihak suami dan istri secara bersamaan meninggal dunia.

14
Putusnya perkawinan karena kematian, merupakan kejadian yang berada
diluar kehendak atau kuasa dari para pihak dalam perkawinan. Tidak terdapat campur
tangan dari pasangan yang hidup lebih lama ataupun campur tangan pengadilan dalam
hal ini. Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya merupakan kehendak atau
kuasa dari Allah.28Putusnya perkawinan karena kematian lazim disebut dalam
masyarakat kita dengan istilah cerai mati.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat dipahami bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami-
istri dalam rangka membina rumah tangga yang utuh, kekal dan abadi, sehingga antara
keduanya tidak halal lagi bergaul sebagaimana layaknya suami-istri. Meskipun tidak ada ayat
Al-Qur’an yang menyuruh atau melarang melakukan talak yang mengandung arti hukumnya
mubah, namun talak itu termasuk perbuatan yang tidak disenangi Nabi. Hal ini mengandung
arti perceraian itu hukumnya makruh.
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak
bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Adapun menurut ulama Syafi’iyyah
dan Hanabillah, rukun talak itu ada lima, yaitu: 1) orang yang menjatuhkan talak; 2) adanya
lafal talak; 3) adanya kesengajaan menjatuhkan talak; 4.) adanya wanita yang dihalalkan; dan
5) menguasai isteri tersebut.
Talak dibagi kepada dua macam, yaitu Talak Raj’i; adalah talak yang dijatuhkan oleh
suami kepada istri sebagai talak satu atau dua, yang di ikrarkan di depan sidang Pengadilan,
dan suami diperbolehkan meruju’nya bila masih dalam masa iddah, tanpa diharuskan nikah
baru. Sedangkan Talak Ba’in adalah talak ketiga atau talak yang jatuh sebelum suami istri
28
Supriatna dkk, Fiqih Munakahat II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 17.

15
berhubungan kelamin, atau talak yang jatuh dengan tebusan (khulu’). Untuk mengembalikan
bekas istri ke dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru
lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Adapun talak Ba’in terbagi dua yaitu Talak Ba’in şugra adalah talak yang
menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah
baru (tajdid an-nikah) kepada bekas isterinya. Sedangkan Talak Ba’in kubra adalah talak
yang menghilangkan hak suami untuk nikah kembali kepada istrinya, kecuali kalau bekas
istrinya telah kawin dengan laki-laki lain dan telah berkumpul sebagaimana suami istri secara
nyata dan sah, dan juga istri tersebut telah menjalani masa iddahnya serta iddahnya telah
habis pula.
Adapun talak ditinjau dari keadaan istri waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi
menjadi dua macam, yaitu Talak Sunni adalah talak yang sesuai perintah Allah Swt. Dan
Rasulullah Saw, yaitu talak yang dilakukan ketika istri dalam keadaan suci yang belum
disetubuhi dan kemudian dibiarkan sampai ia selesai menjalani iddah. Sedangkan Talak Bid’i
adalah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat.
Cerai gugat dalam Islam disebut juga khulu’. Khulu’ adalah salah satu bentuk
perceraian dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan
kesediaan istri membayar uang ‘iwaḑ atau uang pengganti kepada suami dengan
menggunakan pernyataan cerai atau khulu’.Adapun perceraian karena sebab-sebab lain yaitu
1) cerai karena fasakh, 2) cerai karena li'an, 3) cerai karena ila', 4) cerai karena syiqaq, 5)
cerai karena zihar, dan 6) cerai karena kematian.

B. Saran
Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, kerena kesempur-naan itu
hanya milik Allah, berkenaan dengan hal ini kami dari penyusun sangat membutuhkan kritik
dan saran yang dapat membangun dalam pembuatan makalah ke depannya. Dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Taqiyuddin. Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina
Imam, 1993.

Abdu al-Aziz al-Malibari, Zainudin ibn. Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah Al-Aini (Surabaya:
Bengkulu Indah).

Abdul Mun’im, Amru. Fiqh Ath-Thalaq min Al-Kitab wa Shahih As-Sunnah, penerjemah
Futuhatul Arifin dalam Judul Fikih Thalak Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2005).

Abror, Khoirul. Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Yogyakarta: Ladang Kata, 2020).

Al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 1998).

Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-fiqh ala Madzahahibil Arba’ah, Jilid IV, (Mesir: Dar al-Fikr,
1989).

17
Al-Zarqa`, Muhammad. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar al-Qalam, 1996).

Basri, Rusdaya. Fikih Munakahat 2, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020).

Bunyamin, Mahmudin. Hukum Perkawinan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017).

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Kompilasi Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001).

Hasan Ayyub, Syaikh. Fiqh al-Usrah al-Muslimah, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar
dengan judul Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001).

Malik Kamal, Abdul. Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007).

Muhamad, Kamil. ‘uwaidan, al-jam’ifi fiqhan-nisai, Libanon Dar Kutub Al-ilmiyah, 1996.

Rahman Ghazali, Abd. Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003).

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet.I, 1995.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, terjemahan, Abdurrahman dkk, Juz 2, Asy-Syifa’,


Semarang, 1990.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnnah, Jilid II, (Mesir: Dǎr al-Fikr, 1983).

Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007).

Supriatna dkk, Fiqih Munakahat II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001).

Sohari Sahrani, Tihami. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009).

18

Anda mungkin juga menyukai