Anda di halaman 1dari 18

MUNAKAHAT: PENGERTIAN, TUJUAN, HUKUM, PRINSIP-PRINSIP,

RUKUN DAN SYARAT SAH PERKAWINAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh

Dosen Pengampu: Suparmo, M.Pd.

Disusun Oleh
Kelompok 9:
Nusaibah Izzati : 23060200037
Ahmad Syauqi Ridoka : 23060200050

PROGRAM STUDI TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2021
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan yang Mahakuasa karena telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan berjudul “Munakahat:
Pengertian, Tujuan, Hukum, Prinsip-prinsip, Rukun dan Syarat Sah Perkawinan” ini dapat
terselesaikan tepat waktu.

Makalah dengan judul “Munakahat: Pengertian, Tujuan, Hukum, Prinsip-prinsip,


Rukun dan Syarat Sah Perkawinan” disusun guna memenuhi tugas dari Bapak Suparmo,
M.Pd. pada mata kuliah Fiqh di Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Selain itu, kami juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan pembaca tentang fiqh munakahat
khususnya bagaian pengertian, tujuan, hukum, prinsip-prinsip, rukun dan syarat sah
perkawinan.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Suparmo, M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Fiqh. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang ditekuni kelompok 9. Kami juga mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Kebumen, 2 November 2021

Kelompok 9

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................4
C. Tujuan............................................................................................................................5
BAB II.......................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................6
A. Pengertian Pernikahan Dalam Agama Islam.............................................................6
B. Tujuan Pernikahan Dalam Islam................................................................................7
C. Hukum Pernikahan Dalam Islam..............................................................................10
D. Prinsip-prinsip Pernikahan Dalam Islam.................................................................11
E. Rukun dan Syarat Pernikahan Dalam Islam...........................................................12
BAB III....................................................................................................................................15
PENUTUP...............................................................................................................................15
A. Kesimpulan..................................................................................................................15
B. Saran.............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah sunnatullah yang berlaku bagi semua umat manusia guna
melangsungkan hidupnya dan untuk memperoleh keturunan, maka agama Islam sangat
menganjurkan pernikahan. Anjuran ini dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan yang
terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits.1

Allah s.w.t. berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21 tentang tujuan pernikahan, “Dan
di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu
dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Sungguh, yang pada
demikian itu benar-benar terdapat (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”. Mawaddah
wa rahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia
melakukan pernikahan.

Dalam kehidupan ini, manusia ingin memenuhi berbagai kebutuhannya, begitu juga
kebutuhan biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. Sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin, Islam telah menetapkan bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan
biologis seeorang yaitu hanya dengan cara pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang
sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini.
2

Islam mensyari’atkan pernikahan untuk membentuk mahligai keluarga sebagai sarana


untuk meraih kebahagiaan hidup. Islam juga mengajarkan pernikahan merupakan suatu
peristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur dan gembira. Islam telah memberikan
konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-
Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Oleh karena itu, dalam artikel ini, kelompok diskusi
kami mengeksplorasi pengertian, tujuan, hukum, prinsip-prinsip, rukun dan syarat sah
perkawinan.

1
Hidayatullah. 2019. Fiqih. Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari.
2
Atabik, Ahmad dan Khoirul M. 2014. Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam. Yudisia. 5(2). 286-
287.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian munakahat atau perkawinan dalam Islam?
2. Bagaimana Tujuan pernikahan dalam Islam?
3. Bagaimana hukum pernikahan dalam Islam?
4. Bagaimana prinsip-prinsip pernikahan dalam Islam?
5. Bagaimana rukun dan syarat sah pernikahan dalam Islam?

C. Tujuan
1. Mendeskripsikan pengertian munakahat atau perkawinan dalam Islam.
2. Mendeskripsikan hukum perkawinan dalam Islam.
3. Mendeskripsikan prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam.
4. Mendeskripsikan rukun dan syarat sah perkawinan dalam Islam.

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan Dalam Agama Islam
Istilah nikah diambil dari bahasa Arab, nikah. Dikalangan ulama madzab Hanafi, seperti
yang disampaikan oleh Muhamad Ibn Ahmad Abi Sahl dalam kitabnya Al-mabsuth lisarakhsi
mengatakan bahwa Nikah secara bahasa adalah ibarotul anil wath (ibarat hubungan sexual),
hal senada juga disampaikan oleh Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad dalam kitabnya
Bahrura’iq bahwa nikah secara bahasa makna hakikinya adalah al-wath sedang makna
majazinya adalah al-dhamu (berkumpul) , sedang menurut Abdullah Ibn Mah mud Ibn
Maudud al-Hanafi dalam kitabnya Al-ikhtiyar li ta’lil Mukhtar mengartikan nikah secara
bahasa al-dhamu dan al-Jam’u (penggabungan dan pengumpulan)

Sedangkan kalangan madzab maliki, seperti yang disampaikan oleh Shaleh Ibn Al-Sami
dalam kitabnya Syarah Risalah Al-Qirwani mengatakan bahwa Nikah secara bahasa ‫الوطء‬
(hakikat untuk untuk hubungan suami istri). Demikian juga Syihabuddin Ahmad Ibni Idris al-
Qaraafi dalam kitabnya Al-Dzakhirah mengartikan nikah secara bahasa dengan ‫داخل‬LL‫)الت‬
memasukan)

Para ulama madzab syafi’i mengartikan nikah secara bahasa diantara disampaikan oleh
Taqiyuddin Ibn Abi Bakr dalam kitabnya Kifayatul akhyar fi hili ghaayatul ikhtishar

mengartikan nikah secara bahasa ‫الضم و الجمع‬ (penggabungan dan pengumpulan). Hal
senada juga disampaikan oleh Muhammad Syata ad-Dimyati di dalam kitab i’anah atthalibin

Para ulama Madzab Hambali mengartikan nikah secara bahasa, seperti yang disampaikan
oleh Abu Ishaq dalam kitabnya Al-Mubda’ fi Syarhi al-Munqona’ mengartikan nikah secara
bahasa adalah ‫وطء‬LL‫( ال‬hubungan suami istri). Hal senada disampail oleh Ibn Qoshim al-
Hanbali dalam kitabnya Hasyiyah Raudhilmuraba’ mengartikan nikah secara bahasa adalah
hubungan suami istri. Sedangkan Ibn Shalohuddin al-Hanbali dalam kitabnya Kasyafulqona’
mengartikan nikah secara bahasa adalah penggabungan.

Nikah merupakan suatu ikatan perjanjian yang sakral antara seorang lelaki (calon suami)
dengan seorang perempuan (calon isteri) untuk Bersama-sama dalam membentuk lembaga

6
keluarga (rumah tangga) agar memperoleh kedamaian hati, ketentraman jiwa, dan cinta
kasih.

Dari pemaparan tentang pengertian nikah secara leksikal atau bahasa, maka dapat
dikatakan bahwa dari bebera ulama baik dikalangan madzab Hanafi, madzab Maliki, Mazhab
Syafi’i dan madzab Hanbali serta penulis kitab fiqh empat mazdab mengartikan secara bahasa
dengan tiga arti yaitu

(‫)الضم و الوطء و الجمع و التداخل‬

empat arti tersebut secara maksud dari nikah mengarah ke tujuan yang sama, yaitu
menyatunya dua jenis laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim sehingga sehingga
menjadi halal sisatukan, dikumpulkan sampai melakukan hubungan sex yang selum
melakukan nikah diharamkan

Pengertian nikah menurut istilah (syara’) yang dikemukakan oleh para ulama madzab
Hanafi, madzab Maliki, madzab Syafi’i, dan madzab Hanbali bermuara pada satu konteks
akad dengan menggunakan lafad inkahatau tazwij, atau terjemahannya setalah syarat-syarat
dan rukun-rukun semuanya terpenuni, kemudian setelah akad selesai maka halal untuk
melakukan hubungan biologis. Hal ini yang menyebabkan laki-laki dan perempuan tertarik
untuk menjalin hubungan adalah salah satunya karena adanya dorongan-dorongan yang
bersifat biologis.

Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi seluruh definisi
tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab
Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan
suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan ulama
Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang mempaedahkan halalnya melakukan
hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan
syara’.

B. Tujuan Pernikahan Dalam Islam


Banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh dari sebuah pernikahan. Dalam Islam ada
beberapa tujuan yang bisa dicapai dan dirasakan manfaatnya. Berikut tujuan-tujuan
pernikahan dalam Islam yaitu:

1. Ibadah kepada Allah SWT

7
Di dalam pernikahan terdapat penuh dengan ibadah jika dilakukan dengan
tulus, ikhlas karena Allah dan sesuai syariatNya sebab nikah adalah perintah Allah.
Perintah tersebut, terdapat dalam al-Qur’an surat (4) al-Nissa ayat 3.
Yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,atau budak-
budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.”
2. Menjalankan sunnah Rasul
Nikah adalah ajaran para Nabi dan Rasul. Hal ini menunjukkan, pernikahan
bukan semata-mata urusan kemanusiaan semata, namun ada sisi Ketuhanan yang
sangat kuat. Oleh karena itulah menikah dicontohkan oleh para Rasul dan menjadi
bagian dari ajaran mereka, untuk dicontoh oleh umat manusia. Hal ini didasarkan
pada firman Allah dalam al-Qur,an surat(13) Ar Ra’du ayat 38.
Yang artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul
sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan
tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan
dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu).”
3. Membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah
Tujuan pernikahan dalam Islam adalah membangun keluarga sakinah,
mawaddah wa rahmah. Sebagaimana yang difirman oleh Allah SWT dalam al-
Qur’an surat (30) al-Rum ayat 21.
Yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.”
4. Untuk menjaga diri dari perbuatan zina
Salah satu tujuan dari pernikahan adalah supaya terhindar dari perbuatan dosa,
karena semua manusia memiliki insting dan kecenderungan kepada pasangan
jenisnya yang menuntut secara biologis disalurkan secara benar. Apabila tidak
disalurkan secara benar, yang muncul adalah penyimpangan dan kehinaan.
Banyaknya pergaulan bebas, fenomena aborsi di kalangan mahasiswa dan pelajar,
8
kehamilan di luar pernikahan, perselingkuhan, dan lain sebagainya, menjadi bukti
bahwa kecenderungan syahwat ini sangat alami sifatnya. Untuk itu harus disalurkan
secara benar dan bermartabat, dengan pernikahan. Sebagaimana yang disabdakan
oleh Nabi SAW:
“Telah diberitakan kepada kami Ibn Hafash hiyast Ibn Ghiyas telah
diberitakan kepada kami Bapaku telah diberitakan kepada kami al-A’masy dia
berkata telah diberitakan kepada kami Umarah dari Abdurahman Ibn Yazid ia
berkata masuk kepadaku beserta Alqomah dan Aswad pada Abdullah, Maka
Abdullah berkata Kami berserta Nabi SAW juga pemuda yang tidak menemukan
sesuatu maka Rsulullah SAW bersabda kepada kami: “hai para pemuda, barang
siapa di antara kamu telah sanggup untuk kawin maka hendaklah ia kawin. Maka
kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang di larang oleh agama) dan lebih
menjaga kemaluan, dan barang siapa tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa itu merupakan perisai baginya.”
5. Untuk mendapatkan keturunan
Salah satu tujuan pernikahan adalah supaya mendapatkan keturunan. Semua
orang memiliki kecenderungan dan perasaan senang dengan anak. Bahkan Nabi
menuntutkan agar menikahi perempuan yang penuh kasih sayang serta bisa
melahirkan banyak keturunan. Dengan memiliki anak keturunan, akan memberikan
jalan bagi kelanjutan generasi kemanusiaan di muka bumi. Jenis kemanusiaan akan
terjaga dan tidak punah, yang akan melaksanakan misi kemanusiaan dalam
kehidupannya. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat (16) ayat 72
Yang artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?"
6. Investasi akhirat
Anak-anak adalah investasi akhirat, bukan semata-mata kesenangan dunia.
Karena dengan memiliki anak yang shalih dan shalihah, akan memberikan
kesempatan kepada kedua orang tua untuk mendapatkan surga di akhirat kelak.
Rasulullah Saw bersabda, “Di hari kiamat nanti orang-orang disuruh masuk ke
dalam surga, namun mereka berkata: wahai Tuhan kami, kami akan masuk setelah
ayah dan ibu kami masuk lebih dahulu. Kemudian ayah dan ibu mereka datang.
Maka Allah berfirman: Kenapa mereka masih belum masuk ke dalam surga,
9
masuklah kamu semua ke dalam surga. Mereka menjawab: wahai Tuhan kami,
bagaimana nasib ayah dan ibu kami? Kemudian Allah menjawab: masuklah kamu
dan orang tuamu ke dalam surga”
7. Menyalurkan fitrah
Di antara fitrah manusia adalah berpasangan, bahwa laki-laki dan perempuan
diciptakan untuk menjadi pasangan agar saling melengkapi, saling mengisi, dan
saling berbagi. Kesendirian merupakan persoalan yang membuat ketidakseimbangan
dalam kehidupan. Semua orang ingin berbagi, ingin mendapatkan kasih sayang dan
menyalurkan kasih sayang kepada pasangannya.
Manusia juga memiliki fitrah kebapakan serta keibuan. Laki-laki perlu
menyalurkan fitrah kebapakan, perempuan perlu menyalurkan fitrah keibuan dengan
jalan yang benar, yaitu menikah dan memiliki keturunan. Menikah adalah jalan yang
terhormat dan tepat untuk menyalurkan berbagai fitrah kemanusiaan tersebut.
8. Membentuk peradaban
Menikah menyebabkan munculnya keteraturan hidup dalam masyarakat.
Muncullah keluarga sebagai basis pendidikan dan penanaman nilai-nilai kebaikan.
Lahirlah keluarga-keluarga sebagai pondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Dengan menikah, terbentuklah tatanan kehidupan kemasyarakatan
yang ideal. Semua orang akan terikat dengan keluarga, dan akan kembali kepada
keluarga.
Perhatikanlah munculnya anak-anak jalanan yang tidak memiliki keluarga atau
terbuang dari keluarga. Mereka menggantungkan kehidupan di tengah kerasnya
kehidupan jalanan. Padahal harusnya mereka dibina dan dididik di tengah
kelembutan serta kehangatan keluarga. Mereka mungkin saja korban dari
kehancuran keluarga, dan tidak bisa dibayangkan peradaban yang akan diciptakan
dari kehidupan jalanan ini.
Peradaban yang kuat akan lahir dari keluarga yang kuat. Maka menikahlah
untuk membentuk keluarga yang kuat. Dengan demikian kita sudah berkontribusi
menciptakan lahirnya peradaban yang kuat serta bermartabat.

C. Hukum Pernikahan Dalam Islam


Mengenai hukum pernikahan, beberapa ulama berpendapat bahwa hukum pernikahan
yaitu mandub (sunah). Ahli Zhahir berpendapat bahwa hukum nikah adalah wajib.
Sedangkan, golongan Malikiyah yang kemudian berpendapat bahwa hukum menikah bagi

10
Sebagian orang adalah wajib, bagi Sebagian lagi adalah sunnah, dan bagi Sebagian yang lain
adalah mubah (boleh). Hal tersebut, menurut disesuaikan dengan kekhawatiran seseorang
untuk berbuat zina.

Jadi, dengan demikian hukum pernikahan dapat dilihat tergantung pada keadaan
seseorang yang melaksanakannya.

Hukum pernikahan dapat dibedakan menjadi menjadi lima macam, yaitu:

1. Pernikahan wajib.
Hukum pernikahan menjadi wajib apabila seseorang yang memiliki kemampuan
untuk menikah serta memiliki nafsu biologis (afsu syahwat) dan khawatir apabila
dirinya akan melakukan zina jika dirinya tidak melakukan pernikahan.
Allah berfirman dalam QS An-Nur 33 yang artinya : “Dan orang-orang yang tidak
mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya.”
2. Pernikahan Sunnah
Hukum pernikahan menjadi sunnah apabila seseorang yang mampu melakukan
pernikahan dan memiliki nafsu biologis tetapi dirinya merasa mampu untuk
menghindari dari perbuatan zina.
3. Pernikahan Makruh
Hukum pernikahan makruh ini yaitu jenis dari pernikahan yang dilakukan oleh
orang yang tidak memiliki kemampuan biaya hidup meskipun memiliki nafsu biologis
atau pun sebaliknya, tetapi ketidakmampuannya tersebut tidak sampai membahayakan
salah satu pihak khususnya calon isteri
4. Pernikahan Mubah
Hukum pernikahan menjadi mubah yaitu pernikahan yang dilaksanakan tanpa ada
faktor yang mendorong, memkasa, atau menghalang-halangi dalam melaksanakan
pernikahan
5. Pernikahan Haram
Hukum pernikahan menjadi haram yaitu apabila seseorang tidak mampu memnuhi
nafkah batin dan lahir kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak

D. Prinsip-prinsip Pernikahan Dalam Islam


Islam menegaskan bahwa pernikahan merupakan komitmen yang teguh dan perjanjian
itu tetap menjadi teguh dan kokoh selamanya, islam sendiri menggariskan beberapa prinsip

11
yang harus dijadikan pedoman dalam hubungan suami istri. Prinsip dasar ini harus di pegang
teguh oleh kedua pasangan.

Prinsip-prinsipnya yaitu:

1. Prinsip Mitsaqan ghaliza (Komitmen Suci)


Pernikahan merupakan amanat dari Allah SWT. pernikahan dalam islam bukan
hanya melibatkan aspek biologis dan hal-hal yang bersifat material semata
melainkan jauh lebih luas dan dalam dari apa yang kita bayangkan. Pernikahan pun
melibatkan aspek spiritual yang terdalam dari diri manusia.
Komitmen itu harus diaplikasikan dalam wujud rasa taqwa dan malu kepada Allah
SWT. suami yang memiliki rasa taqwa dan malu kepada Allah tidak akan
melakukan perbuatan kasar terhadap isterinya. Demikian sebaliknya. Bahkan jika
suami mendapati isterinya memiliki kekurangan, Al-Qur’an masih meminta suami
tetap bersabar
2. Prinsip Mawaddah wa Rahmah (Cinta dan Kasih Yang tidak bertepi)
Mawaddah wa Rahmah terbentuk dari suasana hati yang penuh keikhlasan dan
kerelaan berkorban demi kebahagiaan bersama. Sejak akad nikah suami isteri
seharusnyya telah dipertautkan oleh perasaan cinta dan kasih saying sehingga
keduanya tidak mudah goyah dalam mengarungi Samudra keluarga yang kerap kali
penuh dengan perseteruan.
Pada pasangan suami isteri sangat dianjurkan memperbanyak doa dan tak lupa
berikhtiar agar dianugerahi mawaddah waa rahmah sehingga keduanya saling
mencintai secara tulus dan ikhlas tanpa pamrih
3. Prinsip perilaku santun dan beradab
Prinsip ini paling banyak di tuntut dalam relasi seksual di antara suami isteri
dalam relasi seksual antara suami dan isteri. Hubungan seksual ini merupakan
kenikmatan yang di anugerahkan Allah kepada manusia, agar hubungan tersebut
tidak dikotori oleh pengaruh setan dan agar dapat membuahkan anak yang shaleh.

E. Rukun dan Syarat Pernikahan Dalam Islam


Suatu akad pernikahan menurut hukum Islam ada yang sah dan ada yang batal. Akad
pernikahan dikatakan sah apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-
rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan agama.

12
Imam asy-Syafi’i menyebutkan bahwa rukun nikah itu ada lima, yaitu calon suami, calon
istri, wali, dua orang saksi dan sigat. Menurut Imam Malik rukun nikah itu adalah wali,
mahar calon suami, calon istri, sigat. Mahar/ mas kawin adalah hak wanita. Karena dengan
menerima mahar, artinya ia suka dan rela dipimpin oleh laki-laki yang baru saja
mengawininya. Mempermahal mahal adalah suatu hal yang dibenci Islam, karena akan
mempersulit hubungan pernikahan di antara sesama manusia. Dalam hal pemberian mahar
ini, pada dasarnya hanya sekedar perbuatan yang terpuji (istishab) saja, walaupun menjadi
syarat sahnya nikah. Sebagaimana saksi menjadi syarat sahnya nikah menurut Imam asy-
syafi’i.

Perkawinan dalam Islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun syaratnya yang
telah digariskan oleh para fuqaha. Rukun perkawinan ada lima, yaitu:

1. Calon suami
2. Calon Isteri
3. Wali
4. Dua Orang saksi
5. Ijab Qabul.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan rukun perkawinan
menurut Hukum Islam, akan kami uraikan satu persatu sebagai berikut:

1. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:


a. Beragama Islam.
b. Laki-laki.
c. Jelas orangnya.
d. Dapat memberikan persetujuan.
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:
a. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani.
b. Perempuan.
c. Jelas orangnya.
d. Dapat dimintai persetujuannya.
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
3. Wali Nikah, syarat-syaratnya:
a. Laki-laki

13
b. Dewasa.
c. Mempunyai hak perwalian.
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.
4. Saksi Nikah, syarat-syaratnya:
a. Minimal dua orang laki-laki.
b. Hadir dalam ijab qabul.
c. Dapat mengerti maksud akad.
d. Islam.
e. Dewasa.
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
b. Adanya pernyataan perkawinan dari calon mempelai pria.
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij.
d. Antara ijab dan qabul bersambungan.
e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
f. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram atau haji.
g. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon
mempelai pria atau wakilnya, wali dan mempelai wanita atau wakilnya, dan
dua orang saksi. Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut di atas wajib
dipenuhi apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak
sah.

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Nikah merupakan suatu ikatan perjanjian yang sakral antara seorang lelaki (calon suami)
dengan seorang perempuan (calon isteri) untuk Bersama-sama dalam membentuk lembaga
keluarga (rumah tangga) agar memperoleh kedamaian hati, ketentraman jiwa, dan cinta
kasih. Hukum pernikahan dapat dibedakan menjadi menjadi lima macam, yaitu: wajib,
sunnah, makruh, mubah, dan ada pernikahan yang hukumnya haram. Prinsip-prinsip
pernikahan yaitu: prinsip Mitsaqan ghaliza, prinsip Mawaddah wa Rahmah, dan Prinsip
perilaku santun dan beradab. Tujuan pernikahan adalah sebagai berikut, ibadah kepada Allah
SWT, menjalankan sunnah Rasul, membangun keluarga samara, untuk menjaga diri dari
perbuatan zina, untuk mendapatkan keturunan, investasi akhirat, menyalurkan fitrah, dan
Membentuk peradaban.

Rukun nikah terdiri dari: pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali nikah, dua
orang saksi, ijab dan qabul. Adapun syarat-syarat dari pernikahan menurut agama islam
sendiri yaitu,

1. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:


a. Beragama Islam.
b. Laki-laki.
c. Jelas orangnya.

15
d. Dapat memberikan persetujuan.
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:
a. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani.
b. Perempuan.
c. Jelas orangnya.
d. Dapat dimintai persetujuannya.
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
3. Wali Nikah, syarat-syaratnya:
a. Laki-laki
b. Dewasa.
c. Mempunyai hak perwalian.
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.
4. Saksi Nikah, syarat-syaratnya:
a. Minimal dua orang laki-laki.
b. Hadir dalam ijab qabul.
c. Dapat mengerti maksud akad.
d. Islam.
e. Dewasa.
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
b. Adanya pernyataan perkawinan dari calon mempelai pria.
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij.
d. Antara ijab dan qabul bersambungan.
e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
f. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram atau haji.
g. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat orang.

B. Saran
Kami sebagai penyusun makalah sangat berterimakasih atas segala partisipasi dalam
membaca maupun memahami isi dari makalah ini. Kamipun menyadari akan banyaknya
kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kami siap menerima berbagai kritik dan saran dari
pembaca untuk memperbaikinya di kemudian hari.

16
17
DAFTAR PUSTAKA
Atabik, Ahmad dan Khoirul M. 2014. Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam. Yudisia.
5(2). 286-287.
Hidayatullah. 2019. Fiqih. Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad
Al-Banjari.
Kosim. 2019. Fiqh Munakahat. Depok: PT Raja Grafindo Persada.
Muzammil, Iffah. 2019. Fiqh Munakahat: Rukun Pernikahan Dalam Islam. Tangerang: Tira
Smart.
Nurhayati, Agustina. 2011. Pernikahan dalam Perspektif Islam. Asas. 3(1). 100

18

Anda mungkin juga menyukai