Disusun Oleh:
Dini Indah Syahfitri (0310213058)
Nayla (0310213054)
Billah Afrianti (0310213052)
Tsaabitah Husnaa Br Nainggolan (0310213093)
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam. Dialah yang menganugrahkan
AlQur‟an sebagai petunjuk bagi seluruh manusia dan rohmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh
alam). Dialah yang telah mengumpulkan AlQur‟an dalam dada Nabi Muhammad SAW sampai
kesucian-Nya dapat sampai kepada kita hari ini atas izin Allah SWT.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi orang lain, khususnya bagi penulis sendiri.
Kritik dan saran dari pembaca akan sangat perlu untuk memperbaiki penyusunan makalah dan
akan diterima dengan senang hati. Serta semoga makalah ini tercatat sebagai amal shaleh dan
menjadi motivator bagi penulis untuk menyusun makalah yang lebih baik dan bermanfaat.
Aaamiin ya rabbal a‟alamiin.
Penulis
1
DAFTAR ISI
A. Keseimpulan ................................................................................................................... 17
B. Saran ................................................................................................................................ 17
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata “munakahat” termasuk yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari
akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan. Kata kawin
adalah terjemahan dari kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti
mengawini, dan menikahkan sama dengan mengawinkan yang berarti menjadikan
bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang sama dengan
perkawinan. Dalam fiqih Islam perkataan yang sering dipakai dalam nikah atau
zawaj. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin. Pengertian
nikah atau zawaj secara bahasa syari’iah mempunyai pengertian secara hakiki dan
pengertian secara majazi.
Pengertian nikah atau ziwaj secara hakiki adalah bersenggama (wathi’) sedang
pengertian majazinya adalah akad. Kedua pengertian tersebut diperselisihkan oleh
kalangan ulama’ fiqih karena hal tersebut berimplikasi pada penetapan hukum
peristiwa yang lain, misalnya tentang anak hasil perzinaan. Namun pengertian yang
lebih umum dipergunakan adalah pengertian bahasa secara majazi, yaitu akad.
Ada beberapa perbedaan pendapat diantara ulama’ tentang nikah
a) Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam
arti yang sebenarnya (hakiki), dapat berarti juga hubungan kelamin,
namun dalam arti tidak sebenarnya (majazi). Penggunaan kata untuk
bukan arti sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar kata itu sendiri.
b) Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti
secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainya
seperti untuk akad adalah dalam arti majazasi yang memerlukan
penjelasan untuk maksud tersebut.
Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang saling
melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh berbeda dalam titik
pandangan.
3
B. Rumusan Masalah
1. Apa defenisi Munakahat?
2. Apa saja rukun dan syarat sah nikah?
3. Siapa saja Muharramat (Wanita-wanita yang haram untuk dinikahi)?
4. Apa penyebab Putusnya Perkawinan dan Akibat-akibatnya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenesi Munakahat
2. Mengetahui rukun dan syarat sah nikah
3. Mengetahui siapa saja Muharramat (Wanita-waanita yang haram untuk
dinikahi
4. Mengetahui penyebab putusnya perkawinan dan akibat-akibatnya
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Munakahat
Kata “munakahat” termasuk yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari
akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan. Kata kawin
adalah terjemahan dari kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti
mengawini, dan menikahkan sama dengan mengawinkan yang berarti menjadikan
bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang sama dengan
perkawinan. Dalam fiqih Islam perkataan yang sering dipakai dalam nikah atau zawaj.
Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin.
Munakahat dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan perkawinan, perkawinan
berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan
lawan jenis melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.167 Perkawinan disebut juga “
pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling
memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata nikah sendiri sering
digunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:
الزواج شرعا هل عقد وضعه الشارع ليفيد ملك استمتاع الرج بالمرأة وح استمتاع المرأة بالرج
Artinya: Perkawinan menurut syara` yaitu akad yang ditetapkan syara` untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan
bersenang senangnya perempuan dengan laki-laki.
Artinya : Nikah menurut istilah syara` ialah akad yang mengandung ketentuan
hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan katakata yang
semakna dengannya.
5
Pengertian-pengertian diatas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja,
yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita
yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Padahal setiap perbuatan hukum itu
mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadikan
perhatian manusia pada umumnya dalam kehidupannya sehari-hari, seperti terjadinya
perceraian, kurang adanya keseimbangan antara suami istri, sehingga memerlukan
penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan seksual tetapi juga
dari segi tujuan dan akibat hukumnya.
Dalam kaitan ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas :
عقد يفيد ح العشرة بين الرج والمراة وتعاونهما ويحد مالكيهما من حقلق وما عليه من واجبات
6
a) Rukun Nikah (Perkawinan)
Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :
➢ Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
➢ Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan
menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi Saw.
ايما امرأة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها باط )اخرجه االربعة اال النسائ
Artinya : Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahannya batal.
➢ Shiqhat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya
dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin lakilaki.
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat :
Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
• Wali dari pihak perempuan
• Mahar (mas kawin)
• Calon pengantin laki-laki
• Calon pengantin Wanita
• Shighat akad nikah
7
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya nikah itu ada dua :
1) Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang
haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun untuk
selama-lamanya.
2) Akad nikahnya dihadiri para saksi
Secara rinci, masing-masing rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya
sebagai berikut :
a. Syarat-syarat kedua mempelai.
• Syarat-syarat pengantin pria Syariat Islam menentukan beberapa
syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para
ulama, yaitu :
✓ Calon suami beragama Islam
✓ Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki1
✓ Orangnya diketahui dan tertentu
✓ Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri
✓ Calon mempelai laki-laki tahu /kenal pada calon istri serta tahu
betul calon istrinya halal baginya.
✓ Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan
itu.
✓ Tidak sedang melakukan ihram
✓ Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri i)
Tidak sedang mempunyai istri empat
b. Syarat-syarat Ijab Kabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan.
Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan).
Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala
yang bisa dipahami. Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai
perempuan atau walinya, sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai
3
Depag RI, Ilmu Fiqh, (Jakarta : Dirjen Bimbaga Islam, 1984/1985) hlm. 55-58
8
laki-laki atau wakilnya. Menurut pendirian Hanafi, boleh juga ijab oleh
pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan kabul oleh pihak
perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan
berakal, dan boleh sebaliknya.
Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majlis, dan tidak boleh ada
jarak yang lama antara ijab dan kabul yang merusak kesatuan akad dan
kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan kabul dapat didengar
dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Ijab dan kabul
dilakukan di dalam satu majlis, dan tidak boleh ada jarak yang lama
antara ijab dan kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan
akad, dan masing-masing ijab dan kabul dapat didengar dengan baik
oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Lafazh yang digunakan untuk akad nikah adalah lafaz nikah atau
tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab
kalimatkalimat itu terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah Perkawinan
wajib dengan akad nikah dan dengan lafaz atau kalimat tertentu
berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
) اتقال هلال فى النسآء فإنكم اخذ تملهن واستحللتم فروجهن بكلمة هلال )رواه مسلم
c. Syarat-Syarat Wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan
atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil
(tidak fasik). Perkawinan tanpa wali tidak syah, berdasarkan sabda Nabi
saw:
9
sedangkan Imam Malik berpendapat wali adalah syarat untuk
mengawinkan perempuan bangsawan, bukan untuk mengawinkan
perempuan awam.
Wali hendaknya menanyai calon mempelai perempuan,
berdasarkan sabda Nabi Saw:
التيب احق بنفسها من وليها والبكر تستأذن: عن ابن عباس ان رسل هلال ملسو هيلع هلال ىلص قا
فى نفسها واذنها صماتها )رواه الجماعة اال البخارى وفى رواية أحمد وابل داود
d. Syarat-syarat saksi.
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang lakilaki, muslim
baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan
maksud akad nikah. Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu
adalah sebagai berikut:
10
• Berakal, bukan orang gila
• Islam
11
d. Bibi : Yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung, seayah
atau seibu dan seterusnya ke atas.
e. Kemanakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki
atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.2
وامهات نسآئكم وربآئبكم االلتى فى حجلركم من نسآئكم االلتى دخلتم بهن فإن لم تكلنال دخلتم بهن فال جناح
4
Slamet Abidin dan Aminuddin, op.cit., hlm. 64
12
b. Nenek susuan : yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang
menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi
anak susuan, sehingga haram melakukan perkawinan.
c. Bibi susuan : Yaitu saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan
suami ibu susuan dan seterusnya ke atas.
d. Kemenakan susuan perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara ibu susuan,
5
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.) hlm. 24.
6
Mukhtar, Kamal, dkk. 1995a. Ushul Fiqh I. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf
13
maka laki-laki itu tidak haram mengawini adik atau kakak perempuan dari
wanita yang telah meninggal atau dicerai tersebut.
b. Wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain, haram dinikahi oleh
seorang laki-laki.
c. Wanita yang sedang dalam iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditinggal
mati berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 228-234
d. Wanita yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali
kalau sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta
dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa `iddahnya.
e. Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun ihram haji,
tidak boleh dikawini.
14
• Salah satu pihak melakukan kekejaman atau berat yang membahayakan pihak
lain;
• Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
• Antara suami dan istri terus menerus terjadi dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga.
15
Dalam hal ini terjadi perbedaan perlakuan antara wanita dan pria muslim.
Mengapa wanita muslim dilarang menikah dengan pria musyrik atau ahli kitab,
sementara pria muslim diperbolehkan oleh sebagian ulama untuk menikah dengan
wanita ahli kitab? Dalam hal ini bisa diberikan sebuah alasan hukum, bahwa surat al-
Baqarah ayat 221 memang sama-sama melarang wanita dan pria muslim untuk
menikah dengan musyrik atau musyrikah, akan tetapi pada sisi lain Allah juga
berfirman dalam surat al-Maidah ayat 5 di atas yang menyatakan bahwa terdapat
wanita muhshanat (yang terpelihara) dari mukminat dan ahli kitab serta adanya sunnah
Nabi dan praktek sahabat.
Dengan landasan ini maka kebolehan menikah dengan ahli kitab hanya
diperuntukkan bagi pria muslim bukan sebaliknya. Dalam hal ini al-Jurjawi,
Muhammad ali ash-Shabuni dan Yusuf Qardhawi memberikan penegasan bahwa
dilarangnya wanita muslimah menikah dengan ahli kitab semata-mata untuk menjaga
iman. Sebab, biasanya, istri mudah terpengaruh, jika diperbolehkan mereka menikah
dengan laki-laki ahli kitab dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata “munakahat” termasuk yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari
akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan. Kata kawin
adalah terjemahan dari kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti
mengawini, dan menikahkan sama dengan mengawinkan yang berarti menjadikan
bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang sama dengan
perkawinan. Dalam fiqih Islam perkataan yang sering dipakai dalam nikah atau zawaj.
Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin. Pengertian nikah atau
zawaj secara bahasa syari’iah mempunyai pengertian secara hakiki dan pengertian secara
majazi.
Pengertian ini tampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu
kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang
semula dilarang menjadi dibolehkan. Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai
tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadikan perhatian manusia
pada umumnya dalam kehidupannya sehari-hari, seperti terjadinya perceraian, kurang
adanya keseimbangan antara suami istri, sehingga memerlukan penegasan arti perkawinan,
bukan saja dari segi kebolehan hubungan seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat
hukumnya.
B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya
dengan judul makalah ini. Kami banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah di kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi kami khususnya
juga para pembaca yang pada umumnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet, dan Aminuddin, 1999, Fiqih Munakahat 1, Bandung : CV. Pustaka Setia
Mukhtar, Kamal, dkk. 1995a. Ushul Fiqh I. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
RI, Depag, 1984/ 1985, Ilmu Fiqh, Jakarta : Dirjen Bimbaga Islam.
18