Anda di halaman 1dari 27

SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN ISLAM MENURUT

KITAB FIQH EMPAT MADZHAB

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

‘’Fiqh Munakahat’’

Dosen Pengampu:

Drs. H. Samun, M.Ag

Disusun Oleh:

Sofiatun Nisak C71218090


Virna Ardila C71218091
Abdur Rohim C91218092

HUKUM KELUARGA (AL AHWAL AL SYAKHSIYYAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melmpahkan
rahmat serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan sebuah makalah
dalam mata kuliah Fiqh Munakahat yang berjudul Syarat Dan Rukun Hukum
Perkawinan Islam Menurut Empat Madzhab.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan, oleh sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa/i Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA). Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kepada dosen kami meminta
masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang
dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Surabaya, 22-Februari-2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH....................................................................... 1

B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................... 1

C. TUJUAN MASALAH............................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Perkawinan............................................................................................ 2

2. Rukun Dan Syarat Perkawinan Islam Menurut 4 Madzhab.................................... 3

a. Syarat Mempelai............................................................................................. 6
b. Wali Nikah...................................................................................................... 9
c. Saksi.............................................................................................................. 12
d. Ijab Dan Qobul (Sighat)................................................................................ 18

BAB III PENUTUP

A. SIMPULAN......................................................................................................... 22

B. SARAN................................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 24

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan dalam syariat islam biasa disebut dengan kata “nikah” yang mana
hal tersebut menjadi salah satu asas hidup yang ada dalam masyarakat beradat. Islam
memandang bahwa sebuah perkawinan bukan hanya jalan yang mulia untuk
mengatur kehidupan rumah tangga, keluarga, dan keturunannya. Melainkan
perkawinan ialah sebuah pintu untuk dapat bersatu nya 2 suku bangsa yang berbeda,
baik dalam kebiasannya, maupun dalam budaya nya.

Perkawinan merupakan sunnah Rasul yang umum dan berlaku bagi semua
makhluk-Nya, baik pada manusia ataupun hewan. Hanya saja jika manusia hendak
memiliki keturunan haruslah menikah/kawin terlebih dahulu dengan cara
melaksanakan rukun dan syarat perkawinan yang telah ditetapkan, sebab dari hal
tersebut akan melahirkan keturunan yang sah baik dimata agama ataupun dimata
negara. Seperti yang Ulama’ Syafi’iyah katakan bahwa perkawinan itu keseluruhan
yang secara langsung berkaitan dengan segala unsurnya, maka untuk memenuhi
unsur tersebut rukun atau syarat perkawinan itu haruslah terwujud dalam
melaksanakan perkawinan itu, unsur pokoknya ialah adanya calon pengantin laki-
laki/perempuan, adanya akad (ijab qobul), adanya wali yang melangsungkan akad,
dan adanya dua orang saksi laki-laki.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Perkawinan Menurut Imam Madzhab?


2. Bagaimana Rukun Dan Syarat Perkawinan Menurut Imam Madzhab?

C. Tujuan Masalah

i. Untuk Mengetahui Pengertian Perkawinan Menurut Imam Madzhab.


ii. Untuk Mengetahui Rukun Dan Syarat Perkawinan Menurut Imam Madzhab.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan

Menurut etimilogi, perkawinan sering disebut dalam istilah fiqh yakni (‫)نكاح‬,
(‫ )زواج‬yang mana kedua lafadh tersebut berasal dari bahasa arab yang mempunyai
dua arti ialah:1

1. Arti hakiki yang berarti menindih, menghimpit, dan berkumpul, atau biasa
disebut dengan (‫)الضم‬.
2. Arti kiasan (‫ )الوطء‬yang berarti bersetubuh, dan (‫ )العقد‬yang berarti akad atau
perjanjian.

Sedangkan menurut terminologi, pengertian perkawinan ialah dipandang


dalam segi pendapat para ulama’ madzhab yakni:2

1. Menurut Ulama’ Hanafiyah, perkawinan ialah suatu akad yang beguna untuk
memiliki “mut’ah” dengan sengaja. Artinya ialah bahwa laki-laki dapat
menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan
sebuah kesennagan dan kepuasan.
2. Menurut Ulama’ Syafi’iyah, perkawinan ialah suatu akad yang harus
menggunakan lafal (‫ )نكاح‬atau (‫ )زواج‬yang mana kedua lafadh tersebut berarti
bahwa adanya perkawinan untuk bisa mendapatkan kesenangan dari
pasangannya.
3. Menurut Ulama’ Malikiyah, perkawinan ialah suatu akad yang mengandung
arti “mut’ah” untuk mencapai keputusan dengan tidak mewajibkan adanya
harga.
4. Menurut Ulama’ Hanabila, perkawinan ialah suatu akad yang menggunakan
lafadh (‫) انكاح‬, atau (‫ )تزويج‬untuk bisa mendapatkan kepuasaan. Maksudnya,
bahwa laki-laki dapat membperoleh kepuasaan dari perempuan yang sudah
dinikahinya itu begitupun sebaliknya.

1
Umar Sa’id, Hukum Islam Indonesia Tentang Pernikahan Edisi 1, (Surabaya: Cempaka, 2000), 27
2
Slamet Abidin, Aminudin, Fiqh Munakahat I, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), 10

2
5. Menurut Saleh Al-Utsaimin, perkawinan ialah suatu akad (pertalian) antara
laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-masing dari keduanya
dapat menikmati yang lain (istimta’) dan untuk membentuk keluarga yang
shalih, serta dapat membangun masyarakat yang bersih.3
6. Menurut Anwar Haryono, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup sebagai suami dan
istri yang sah dan dapat membentuk keluarga yang bahagia juga kekal.4

Dan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa


perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Jadi dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan
ialah suatu akad yang mengikat seorang laki-laki dan perempuan dalam membina
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah serta perkawinan tersebut
bertujuan untuk dapat membentuk keleuarga yang bahagia juga agar bisa
mendapatkan kesenangan antar keduanya. Baik itu kesenangan dhohir atau bathin.

B. Rukun Dan Syarat Perkawinan Islam Menurut 4 Madzhab

Sebelum kita meranjak apa saja rukun dan syarat dari perkawinan, maka
sebaiknya kita tau terlebih dahulu apa itu rukun, syarat, dan sah nya dalam
perkawinan.

Rukun ialah sesuatu yang mesti ada untuk dapat melaksanakan pekerjaan,
sebab hal ini menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu
termasuk dalam rangkain pekerjaan tersebut. Misal, membasuh muka ketika
berwudhu’ dan takbiratul ihram untuk melaksanakan sholat, harus adanya calon
pengenatin laki-laki/perempuan dalam suatu perkawinan, dan lain sebagainya.6

3
Abdul. Rahman Al Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), 9
4
Moh. Idris Romulyo, Hukum Pernikahan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat
Mnurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 45
5
Undang-Undang Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1
6
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 9

3
Syarat ialah sesuatu yang mesti ada untuk dapat melaksanakan pekerjaan dan
sesuatu itu menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) itu, tetapi sesuatu
itu tidak termasuk dalam rangkain pekerjaan tersebut. Misal, menutup aurat untuk
shalat, calon pengantin laki-laki/perempuan harus beragama islam, dan lain
sebagainya.7 Sedangkan sah ialah suatu pekerjaan (ibadah) yang telah memenuhi
rukun dan syarat yang telah ditentukan.

Suatu perkawinan dapat dianggap sah apabila sudah terpenuhi syarat dan
rukun yang ada didalamnya. Rukun nikah menurut Mahmud Yunus ialah segala
sesuatu yang terdapat dalam perkawinan yang wajib terpenuhi, jika tidak maka
perkawinan tersebut dianggap batal. Jumhur ulama’ telah sepakat bahwa rukun
nikah sendiri terdiri dari:8

1. Adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan


2. Adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan, yang mana akad nikah
akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang hendak
menikahkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi yang berbunyi:

)‫أينما امرأة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها باط (أخرجه االربعة اال النساء‬

Artinya: “Barang siapa diantara perempuan yang menikah tanpa izin walinya,
maka pernikahannya itu batal.” (H.R. Empat Orang Ahli Hadist
Kecuali Imam Nasa’i)

)‫ال تزوج المرأة المرأة وال تزوج المرأة نفسها (رواه ابن ماجه‬

Artinya: “Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan


janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.” (H.R.
Ibnu Majah)

3. Adanya dua orang saksi, yang mana dalam pelaksanaan akad nikah bisa sah
jikalau ada dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut sedang
berlangsung. Hal ini berdasarkan sabda Nabi yang berbunyi:

7
Abdul Rahman Ghozali, op.cit, 46
8
Beni Ahmad Saebeni, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 107

4
)‫ال نكاح اال بولي وشاهدي عدل (رواه احمد‬

Artinya: “Tidaklah sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua
orang saksi yang adil.” (H.R. Ahmad)

4. Sighat akad nikah yaitu ijab dan qobul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak pengantin perempuan dan kemudian dijawab oleh
pengantin laki-laki. Misal, “Saya nikahkan engkau dengan anak saya yang
bernama Aisyah Binti Abdullah.” Yang kemudian dijawab oleh calon
pengantin laki-laki “Saya terima nikahnya Aisyah Binti Abdullah.”

Adanya pembagian diatas juga sesuai dengan Pasal 14 Kompilasi Hukum


Islam (KHI). Tetapi dari kesepakatan tersebut masihlah ada perbedaan pendapat di
kalangan imam madzhab dan ulama’ fiqh, salah satunya ialah:9

1. Menurut Imam Malik rukun nikah terdiri atas:


a. Wali dari pihak perempuan
b. Mahar (maskawin)
c. Calon pengantin laki-laki
d. Calon pengantin perempuan
e. Sighat akad nikah (ijab qobul)
2. Menurut Imam syafi’i rukun nikah itu terdiri atas:
a. Calon pengantin laki-laki
b. Calon pengantin perempuan
c. Wali
d. Dua orang saksi
e. Sighat akad nikah (ijab qaobul)
3. Menurut Ulama’ Hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan qobul saja yaitu
suatu akad yang dilakukan oleh wali perempuan dan calon pengantin laki-
laki. Tetapi menurut golongan yang lain, rukun nikah itu terdiri atas:
a. Sighat akad nikah (ijab dan qobul)
b. Calon pengantin laki-laki

9
Abdul Rahman Ghozali, op.cit, 47

5
c. Calon pengantin perempuan
d. Wali dari pihak perempuan.
1. Syarat-syarat kedua mempelai
a. Syarat Calon suami
Islam mengatur beberapa syarat yang wajib dipenuhi oleh calon suami berdasarkan
ijtihad ulama, yakni:
1) Calon suami beragama Islam
Hal tersebut sudah menjadi ketentuan dalam hukum islam, sebab laki-laki
dalam rumah tangga adalah pengayom. Nash keharaman wanita muslimah
menikah dengan laki-laki non muslim tercantum dalam surat Al-Mumtahanah
ayat 10:
َ ‫َّللاُ أ َ ْعلَ ُم ِب ِإي َمانِ ِهنَّ ۖ َف ِإ ْن‬
َّ‫ع ِل ْمت ُ ُموهُن‬ َّ ۖ َّ‫ت َفا ْمتَحِ نُوهُن‬ ٍ ‫َاج َرا‬ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإذَا جَا َء ُك ُم ا ْل ُمؤْ مِ َناتُ ُمه‬
َّ‫ت َف ََل ت َ ْر ِجعُوهُنَّ ِإ َلى ا ْل ُك َّف ِار ۖ َال هُنَّ حِ ٌّل لَ ُه ْم َو َال هُ ْم يَحِ لُّونَ َل ُهن‬
ٍ ‫ُمؤْ مِ نَا‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan


mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka
tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi
mereka.

2) Jelas bahwasannya calon suami adalah benar laki-laki


Dalam hal perkawinan hukum islam menghendaki adanya pelaksanaan
perolehan hak dan kewajiban agar berjalan lancar. Biasanya hambatan dalam
akad nikah adalah kurang jelasnya calon pengantin. Maka dari itu ada ketentuan
bahwasannya calon laki-laki harus benar-benar diipastikan.
3) Orangnya diketahui dan tertentu
Jelas persyaratan ini karena bagaiama dapat dipandang sah suatu perbuatannya
hukum bila pelakunya tidak jelas.

6
4) Calon mempelai laki-laki jelas halal kawin dengan calon istri
5) Calon mempelai laki-laki mengenal calon istrinya serta tahu betul calon istrinya
halal baginya

Persyaratan ini sangat diperlukan untuk melandasi jangan sampai perkawinan


itu merupakan pelanggaran terhadap hukum.

6) Calon suami rela (tidak terpaksa) melakukan perkawinan


Perkawinan merupakan perbuatan hukum, harus dijalankan dengan kerelaan
pelakunya dalam hal ini calon suami.
7) Tidak sedang melakukan ihram
Orang yang sedang ihram, tidak boleh melakukan perkawinan dan juga tidak
boleh mengawinkan orang lain, bahkan melamar pun juga tidak. Menurut ulama
hanafiyah yang diharamkan bukan kawinnya tetapi berkumpul di waktu ihram.
8) Tidak mempunyai ihram yang haram dimadu dengan calon istri
9) Tidak sedang mempunya istri empat
Hal tersebut tercantum An-Nisa ayat 23:

َ ‫َوأ َ ْن ت َ ْج َمعُوا بَ ْينَ ْاْل ُ ْختَي ِْن إِ َّال َما َق ْد‬


َ َ‫سل‬
‫ف‬

Artinya: dan menghimpunkan(dalam perkawinan) dua perempuan yang


bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.

b. Syarat Calon Istri


1) Beragama Islam atau ahli kitab
Wanita yang tidak muslimah selain ahli kitab tidak bolek dikawini oleh lelaki
muslim, hal tersebut berdasarkan Al-Baqarah 221:10

ِ ‫َو َال ت َ ْن ِك ُحوا ا ْل ُمش ِْركَا‬


َّ‫ت َحت َّ ٰى يُؤْ مِ ن‬
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman.
2) Jelas wanita bukan banci
3) Wanita tersebut tentu orangnya

10
Ibid, 50-52

7
Karena akad membutuhkan kejelasan dalam melakukan perjanjian perkawinan
antara laki-laki dan perempuan.
4) Halal bagi calon suami
Wanita itu harus halal dinikahi oleh calon suami.
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa iddah
Apalagi talak raj’i juga menghalangi adanya perkawinan baru dengan orang
lain.
6) Tidak dipaksa
Artinya mempunyai kebebasan untuk bersikap. Yang dimaksud disini ialah
ancaman yang mengancam keselamatan jiwa.
7) Tidak dalam keadaam ihram haji atau umrah
Sama halnya yang dijelaskan di syarat calom suami.11

UU perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua mempelai dalam


Pasal 6 dengan rumusan yang sama dengan fiqh. Perkawinan juga harus didasarkan
atas persetujuan kedua mempelai. KHI mengatur persetujuan kedua mempelai di
pasal 16 dan 17.
Pasal 16 berbunyi:
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas
dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti
selama tidak ada penolakan yang tegas. Pasal 17 berbunyi:
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah
menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi
nikah.

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu
persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.12

11
Ibid, 53-54.
12
Mahmudin Banyamin dan Agus Hermanto, Hukum Kewarisan Islam, (Bandung: CV pustaka setia, 2017), 13.

8
2. Wali Nikah

1. Pengertian Wali

Secara umum, wali ialah seseorang yang memiliki wewenang untuk bertindak
atas nama orang lain. Yang mana tindakan tersebut dilakukan karena orang lain itu
memiliki kekurangan pada dirinya yang tidak memungkin untuk ia melakukan
sendiri tindakan itu secara hukum. Dalam perkawinan wali ialah seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah, yang mana akad
nikah tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak yakni pihak calon suami dan wali
dari si calon istri.13

Dan dari pengertian yang lain, Wali merupakan ketentuan hukum yang dapat
dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, yang mana dalam
perkawinan wali ialah orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam
suatu akad nikah. Mudahnya, wali ialah seseorang yang menikahkan calon istri
dengan cara ijab qobul.14

Dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adanya waali dalam


perkawinan merupakan suatu rukun bagi calon istri ketika hendak melakukan
pernikahan, apabila tidak ada wali dalam suatu pernikahan maka pernikahan itu
tidaklah sah. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi yang berbunyi:15

)‫ال نكاح اال بولي (رواه االربعة واحمد‬

Yang Artinya: “Tidaklah sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali.” (H.R.
Imam Yang Empat Dan Imam Ahmad)

13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 69
14
Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, op.cit, 14
15
Ibid

9
2. Syarat-Syarat Wali

Seperti yang telah kita ketahui bahwa perkawinan itu dilangsungkan oleh wali
dari pihak calon istri dengan calon suami melalui ijab qobul. Sebelum seorang wali
hendak menikahkan calon mempelai wanita, maka haruslah memenuhi syarat
berikut:16

a. Beragama Islam, yakni jika wali tersebut adalah non muslim maka akad
nikahpun tidak sah. Sebab seorang yang non muslim tidaklah bisa
menikahkan/dinikahkan oleh orang muslim, begitu pula sebaliknya.
b. Dewasa (Baligh), dalam artian bahwa anak kecil tidak berhak menjadi wali.
c. Berakal Sehat, dalam artian tidak gila
d. Berlaku Adil, dalam artian seorang wali itu tidak pernah terlibat dosa besar.
Misal, seorang ayah yang memperkosa anak kandungnya sendiri, maka
keadilan untuk dia menjadi wali tidaklah ada.
e. Laki-laki.
f. Merdeka.

Imam Hanafi tidak mensyaratkan wali dalam sebuah perkawinan, sebab


wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa
harus adanya wali dan saksi. Tapi menurut Imam Malik, wali adalah syarat untuk
mengawinkan perempuan bangsawan bukan untuk perempuan awam (yakni
perempuan yang pada umumnya.17 Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam
Hambali, apabila perkawinan dilakukan tanpa adanya wali tidaklah sah.18

Kemudian, wali yang berhak dan dianggap sah untuk dapat melakukan
perwalian dalam suatu perkawinan ialah:19

a. Ayahnya
b. Kakek dari ayah
c. Saudara laki-laki seayah-seibu dengan si calon istri

16
Amir Syarifuddin, op.cit, 76 – 77
17
Abdul Rahman Ghozali, op.cit, 60
18
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,
(Bandung: Mandar Maju, 2007), 29
19
Beni Ahmad Saebeni, op.cit, 236 – 237

10
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah-seibu
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g. Paman dari ayah
h. Anak laki-laki pamannya
i. Hakim

3. Macam-Macam Wali Nikah

Dari beberapa syarat mengenai wali yang telah di paparkan diatas, kemudian
ada beberapa macam wali nikah. Diantaranya ialah:20

1. Wali Nasab, ialah seorang wali yang ada hubungan nasab (darah) dengan si
calon istri yang akan melangsungkan pernikahan.
2. Wali Mu’tiq, ialah seseorang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas
hamba sahaya yang di merdekakannya.
3. Wali Hakim, ialah seorang wali nikah yang diambil dari hakim yakni pejabat
pengadilan/aparat KUA/penguasa dari pemerintah. Rasulullah Bersabda:

‫فالسلطان ولي من الولي له‬

Yang Artinya: “Maka Hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang
yang tidak ada walinya.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu
Majah, dan Imam Nasa’i)

Kemudian, jumhur ulama’ yang terdiri dari Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah,


dan Syiah Imamiyah membagi wali dalam 2 kelompok yakni:21

1. Wali dekat atau Wali Qorib (‫)ولي القريب‬, ialah wali yang paling dekat dengan
si calon istri seperti ayah. Dan apabila ayah tidak ada maka pindah kepada
kakek, yang mana kedua wali tersebut mempunyai kekuasaan yang mutlak
terhadap anak perempuan yang hendak dikawinkannya itu. Wali dalam hal
ini dapat mengawinkan anak perempuannya yang masih gadis tanpa meminta

20
Amir Syarifuddin, op.cit, 75
21
Ibid

11
persetujuan dari si anak tersebut. Dengan kata lain wali ini disebut sebagai
wali mujbir, ialah seorang wali yang berhak mengawinkan tanpa menunggu
adanya kerelaan yang dikawinkannya itu.22

Golongan Hanafiyah mendefinisikan wali mujbir ialah wali yang berlaku bagi
ashobah seketurunan terhadap anak yang masih kecil, dan orang gila. Dan wali
mujbirnya ialah kakek dari ayahnya dan hakim.23

2. Wali Jauh atau Wali Ab’ad (‫)ولي االبعد‬, ialah wali dari garis kerabat selain
ayah dan kakek, dan selain dari anak dan cucu.24

Menurut Imam Malik, perwalian yang lebih utama ialah anak laki-laki sampai
kebawah, ayah sampai keatas, saudara laki-laki seibu, saudara laki-laki seayah, dan
anak laki-laki saudara laki-laki seayah.25

3. Saksi Akad Nikah

1. Pengertian saksi
Menurut etimologi (bahasa) kata saksi dalam bahasa Arab dikenal dengan ‫شهاد‬
yang berbentuk isim fa‟il. Kata tersebut berasal dari masdar ‫ شهود‬-‫شهادة‬akar katanya
adalah -‫شهود‬-‫ يشهد‬-‫ َٓشهد‬yang menurut bahasa artinya menghadiri, menyaksikan
(dengan mata kepala), memberikan kesaksian di depan hakim, mengakui,
bersumpah, mengetahui, mendatangkan dan menjadikan sebagai saksi.26 Menurut
Kamus Istilah Fiqih, saksi adalah seseorang yang mengemukakan keterangan untuk
menetapkan hak atas orang lain. Dalam pengadilan, pembuktian dengan saksi adalah
penting sekali, apalagi ada kebiasaan di dalam masyarakat bahwa perbuatan-
perbuatan hukum yang dilakukan itu tidak dicatat.27

22
Abdul Rahman Ghozali, op.cit, 63
23
Ibid
24
Amir Syarifuddin, op.cit, 76
25
Ibid
26
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 68
27
M. Abdul Mujib, Mabruri Tholhah Dan Syafi’ah, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Bali Pustaka, 2002), 78

12
Secara istilah menurut Sulaikin Lubis, saksi adalah orang yang memberikan
keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu
peristiwa atau keadaan yang dia lihat, mendengar dan alami sendiri, sebagai bukti
terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu.28
Dari berbagai definisi yang telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian saksi adalah orang yang melihat, mendengar, atau menyaksikan
secara langsung mengenai suatu peristiwa dan apabila terjadi persengketaan
mengenai peristiwa tersebut, maka saksi akan dimintai pertanggungjawabannya
sesuai dengan apa yang telah ia lihat dan dengar, apabila kesaksian ini dilakukan di
depan pengadilan maka akan disumpah terlebih dahulu. Jika dikaitkan dengan
peristiwa pernikahan, maka saksi adalah orang atau orang-orang yang melihat atau
menyaksikan secara langsung bahwa telah terjadi suatu akad nikah di suatu tempat.

Disini para ulama berbeda pendapat tentang sah atau tidaknya nikah tanpa
saksi:29

Menurut Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali bahwa perkawinan
itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi imam Hanafi memandang cukup dengan
hadirnya dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan,
tanpa disyaratkan harus adil. Imam Syafi’i dan imam Hambali berpendapat bahwa
perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki Muslim dan adil, sedangkan Maliki
saksi tidak wajib hukumnya dalam akad nikah.

2. Dasar Hukum Saksi Nikah

Adapun mengenai dasar hukum saksi dalam al-Qur‟an dan hadits, yaitu:

a. Al-Qur‟an
1)

‫ش َهدَاءِ أَ ْن تَ ِض َّل‬ ِ َ ‫ش ِهي َدي ِْن مِ ْن ِرجَا ِل ُك ْم ۖ َف ِإ ْن لَ ْم يَكُونَا َر ُج َلي ِْن َف َر ُج ٌل َوا ْم َرأَت‬
ُّ ‫ان مِ َّم ْن ت َ ْرض َْونَ مِ نَ ال‬ َ ‫ش ِهدُوا‬ ْ َ ‫ست‬
ْ ‫َوا‬
‫إِحْ دَاهُ َما َفتُذَك َِر إِ ْحدَاهُ َما ْاْل ُ ْخ َر ٰى‬

28
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005), 87
29
Beni Ahmad Soebeni, op.cit, 47

13
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(diantaramu), jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”(Q.S. al-Baqarah ayat
282).

2)

ُ‫شهَا َدةَ ۚ َو َم ْن يَ ْكت ُ ْمهَا َف ِإنَّهُ آثِ ٌم َق ْلبُه‬


َّ ‫َو َال ت َ ْكت ُ ُموا ال‬

Artinya: “Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan


barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya.” (QS. Al-Baqarah ayat 283).

3)

ُ ِ‫يايُّهَا ا َّل ِذينَ آ َمنُوا كُونُوا َق َّوامِ ينَ ِبا ْل ِقسْط‬


…..‫ش َهدَا َء ِ َّلِل‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah.” (Q.S. al-Nisa‟ ayat 135).

b. Dasar hukum dari hadits


1) Dari Zaid bin Khalid al-Juhani r.a. bahwasannya Nabi saw bersabda:
Apakah tidak ku kabarkan kepada kamu tentang sebaikbaiknya saksi?
dialah orang yang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta
untuk mengemukakannya. (HR. Muslim).
2) Dari Abdullah bin Amr r.a, Ia berkata, Rasulullah Saw pernah
bersabda,“ tidak boleh dijadikan saksi seorang lelaki atau wanita yang
berkhianat dan seorang yang menyimpan dendam terhadap
saudaranya, juga tidak boleh seorang pembantu bersaksi terhadap
tuannya.” (H.R Ahmad dan Abu Dawud).
3) Dari Ibnu Abbas r.a. Nabi saw bersabda,“Apakah kamu dapat melihat
matahari dengan jelas?” Ia menjawab, “Dapat.” Beliau
melanjutkan,”Seperti itulah hendaknya kamu bersaksi atau jangan
beri persaksian”. (HR. Ibnu Adi dengan sanad yang dhaif. AlHakim
menshahihkan hadits ini tetapi itu keliru).

14
Dari beberapa ayat Al-Qur‟an dan hadits yang telah dipaparkan di atas
menunjukkan bahwa kedudukan saksi itu sangat penting dalam setiap peristiwa
supaya saksi ini dapat memberikan keterangan yang sebenarbenarnya tanpa ada yang
disembunyikan dan kebohongan. Begitu juga halnya dengan peristiwa pernikahan,
saksi disyaratkan ada pada saat akad nikah karena kedudukannya yang sangat
penting untuk mencegah adanya tuduhan zina, mengumumkan kepada masyarakat
bahwa telah terjadi pernikahan, dan juga menentukan sah atau tidaknya pernikahan
tersebut.

3. Syarat-Syarat Saksi Nikah

Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, karena itu
setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi (Pasal 24 KHI).
Keberadaan saksi pada saat akad nikah dilangsungkan wajib dihadirkan, apabila
saksi tidak hadir maka perkawinan tersebut tidak sah. Saksi yang menghadiri akad
nikah haruslah dua orang laki-laki, Muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar
serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah. Akan tetapi, menurut golongan
Hanafiyyah dan Hanabilah, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang
perempuan.Dan menurut Hanafiyyah, boleh dua orang buta atau dua orang fasik
(tidak adil).Orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.
Sedangkan menurut Imam Syafi‟i memberikan persyaratan yang harus dipenuhi
bagi seorang yang akan menjadi saksi adalah dua orang saksi, berakal, baligh,
beragama Islam, mendengar tidak tuli dan adil.

Syarat-syarat untuk menjadi seorang saksi secara umum yang berlaku dalam
hukum Islam adalah:30

a. Islam, yang mana seorang saksi harus beragama Islam, karena Islam
merupakan syarat untuk diterima kesaksian saksi. Oleh sebab itu tidak
diperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang Muslim. Kecuali dalam hal
wasiat di tengah perjalanan, dalam hal ini diperbolehkan oleh Imam Abu
Hanifah, Syuraih, dan Ibrahim al-Nakha’i.

30
Abdul Rahman Ghozali, op.cit, 64

15
Menurut Imam Abu Hanifah juga memperbolehkan kesaksian orang-orang
kafir terhadap sesamanya. Sebab Rasulullah SAW merajam dua orang Yahudi
dengan kesaksian orang-orang Yahudi atas keduanya bahwa keduanya telah berbuat
zina. Sementara Imam al-Syafi‟i dan Imam Malik mengatakan bahwa tidak
diperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang Muslim, baik dalam persoalan wasiat
di perjalanan ataupun yang lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi yang artinya
ialah “Tidak dapat diterima kesaksian pemeluk suatu agama terhadap yang bukan
pemeluk agama mereka, kecuali orang-orang Islam karena mereka itu adalah orang-
orang yang adil baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.” (HR. Abdur
Rozzaq).31

b. Laki-laki, yang mana menurut Ulama Syafi‟iyyah dan Hanabilah, saksi harus
laki-laki, menurutnya seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan
tidak sah dalam perkawinan. Sedangkan menurut Hanafiyyah tentang saksi
perempuan, bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan
dua orang perempuan dalam perikahan itu dibolehkan.
c. Dewasa Atau Baligh Dan Berakal, dalam artian apabila baligh merupakan
syarat diterimanya kesaksian, maka baligh dan berakal adalah syarat di dalam
keadilan. Oleh sebab itu, anak kecil tidak boleh menjadi saksi, walaupun dia
bersaksi atas anak kecil yang seperti itu, sebab mereka kurang mengerti
kemaslahatan untuk dirinya, lebih-lebih untuk orang lain.
d. Adil, yang mana kaum muslim telah sepakat bahwa keadilan menjadi syarat
dalam penerimaan kesaksian, berdasarkan firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 282:

‫ب‬ َٓ ‫س ّٗمى فَٓ ۡٱكتُبُو ِۚهُ َٓو ۡليَٓ ۡكتُب ب َّۡينَٓ ُك ۡم كَٓات ُِۢبُ بِ ۡٱلعَٓ ۡد ِۚ ِل َٓو َٓال يَٓ ۡأ‬
َٓ ُ ‫ب كَٓاتِبٌ أَٓن يَٓ ۡكت‬ َٓ ‫يَٓأَٓيُّ َٓها ٱلَّذِينَٓ َٓءا َٓمنُواْ إِذَٓا تَٓدَٓايَٓنتُم بِدَٓ ۡي ٍن إِلَٓى أَٓ َٓج ٖل ُّم‬
‫َٓس مِ ۡنهُ ش َّٗۡٓي ِۚا‬
ۡ ‫ٱّلل َٓربَّ ۥهُ َٓو َٓال َٓي ۡبخ‬ ِ َّ ‫علَٓ ۡي ِه ۡٱل َٓح ُّق َٓو ۡليَٓت‬
َٓ َّ ‫ق‬ َٓ ‫ٱّللُ فَٓ ۡليَٓ ۡكت ُ ۡب َٓو ۡلي ُۡم ِل ِل ٱلَّذِي‬
ِۚ َّ ُ‫علَّ َٓمه‬
َٓ ‫… َٓك َٓما‬

31
Beni Ahmad Soebeni, op.cit, 254

16
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
utangnya.”

Kemudian persyaratan adil juga termaktub dalam firman Allah Swt dalam
Surat Al-Thalaq: 2

َ‫شهَا َدة‬
َّ ‫ع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم َوا َ ِق ْي ُموا ال‬َ ‫ش ِهد ُْوا ذَ َو ْي‬ ْ َ‫سك ُْوهُنَّ ِب َم ْع ُر ْوفٍ ا َ ْو َف ِار ُق ْوهُنَّ ِب َم ْع ُر ْوفٍ َّوا‬
ِ ‫َف ِاذَا بَ َل ْغنَ ا َ َجلَ ُهنَّ َفا َ ْم‬
‫َّللا يَ ْج َع ْل َّل ٗه َم ْخ َر ًجا‬
َ‫ق ه‬ ٰ ْ ‫الِل َوا ْليَ ْو ِم‬
ِ َّ ‫االخِ ِر ەۗ َو َم ْن يَّت‬ ِ ‫ظ ِب ٖه َم ْن كَانَ يُؤْ مِ نُ ِب ه‬ ُ ‫ع‬َ ‫لِل ٰۗذ ِل ُك ْم يُ ْو‬
ِ‫ِه‬

Artinya: “Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah
(kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah
pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
membukakan jalan keluar baginya.” (Q.S At-Thalaq: 2)

Oleh sebab itu, maka kesaksian orang fasik tidak diterima dan orang-orang
yang terkenal kedustaan atau keburukan dan kerusakan akhlaknya.

Selanjutnya, untuk menjadi saksi yang adil harus memenuhi 5 syarat yaitu:32

1) Menjauhkan diri dari dosa besar


2) Menjauhkan diri dari membiasakan dosa kecil
3) Menjauhkan diri dari perbuatan bid‟ah
4) Jujur dikala marah
5) Berakhlak luhur

32
Ibid, 260

17
Sedangkan menurut jumhur fuqaha, bahwa keadilan merupakan suatu sifat
tambahan atas keislaman.Yakni menetapi kewajiban-kewajiban syara-syara dan
anjuran-anjurannya, dengan menjauhi perkara-perkara yang haram dan makruh.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tentang keadilan itu cukup dengan
lahirnya dan tidak diketahui adanya cela padanya. Akan tetapi apabila kefasikannya
disebabkan oleh tuduhan mengenai hak orang lain, maka kesaksiannya tidak
diterima. Berbeda dengan Imam al-Syafi‟i dan Imam Hanbali, mereka berpendapat
bahwa syarat saksi itu harus adil yakni dapat mendengarkan dan melihat, memahami
ucapan-ucapannya, jika para saksi buta, maka hendaklah mereka bisa mendengarkan
suara dan mengenal betul suara tersebut adalah suaranya.

4. Ijab dan Qabul (Sighat)

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara 2 (dua) pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan
dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari
pihak wali si perempuan dengan ucapannya: “Saya kawinkan anak saya yang
bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab al-Qur‟an.” Qabul adalah
penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya: “Saya terima mengawini anak
Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab al-Qur‟an”. Akad nikah
berasal dari kata-kata aqad nikah yang berasal lagi dari sebutan al-Qur’an aqdu al-
nikah dibaca aqdun nikah, tetapi memang telah biasa disebut dalam kata sehari-hari
di Indonesia dengan sebutan akad nikah. Akad artinya ikatan. Nikah artinya
perkawinan. Akad nikah berarti perjanjian mengikatkan diri dalam perkawinan
antara seorang wanita dengan seorang laki-laki.33

Dari pengertian yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
akad nikah adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh 2 (dua) orang pihak (wali
dari perempuan dan mempelai laki-laki) yang melangsungkan perkawinan dalam
bentuk ijab dan qabul guna mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang
wanita dengan seorang laki-laki.

33
Abdul Rahman Ghozali, op.cit, 57

18
a. Macam-Macam Sighat Akad Nikah

Adapun macam-macam sighat yang ada dalam nikah terdapat beberapa


macam,34 yaitu:

1) Sighat Munajjaz, ialah suatu sighat yang bersifat mutlak, dalam artian
shighat ini tidak digantungkan atau disandarkan pada zaman mutaqobbal
(masa yang akan datang) dan juga tidak batasi dengan adanya suatu syarat.
2) Sighat Yang Disandarkan Pada Zaman Mustaqbal, ialah sighat akad
nikah yang disandarkan pada waktu yang akan datang, seperti ucapan
sebahwa hal itu akan terjadi orang pria kepada seorang wanita “aku nikahi
engkau setelah bulan ini, atau pada tahun yang akan datang”. Adapun hukum
ijab Kabul yang menggunakan sighat ini adalah tidak sah.

b. Syarat Ijab Menurut Ulama 4 Madzhab

1) Pendapat Asy-Syafi’iyah Dan Hanabilah


Tidak sah akad nikah kecuali dengan menggunakan lafal nikah atau zawaj atau
akar kata dari keduanya saja. Alasan mereka, kedua lafadz ini datang dari asy-syafi’i
yang digunakan untuk menunjukkan akad nikah yang agung ini. Sebagaimana hadis
yng diriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda: takutlah kepada Allah dalam
urusan wanita, sesungguhnya mereka disisimu sebagai penolong, engkau ambil
mereka dengan amanat Allah dan engkau halalkan faraj mereka dengan kalimat
Allah.
Mereka mengatakan, sesungguhnya kalimat Allah yang menghalalkan faraj
didalam al-Qur’an hanyalah kata nikah dan tazwij.sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32 dan Al-Ahzab ayat 37
Mereka juga mengatakan bahwa akad nikah ini harus ada persaksian dan persaksian
itu harus menggunakan lafal yang menunjuk nikah secara jelas, tidak kiasan. Tidak
ada lafal yang menunjukkan pernikahan secara jelas melainkan kata nikah dan
zawaj. Selain dua kata ini seperti pemberian, shadaqoh, pemilikan, hadiah, dan lain-

34
Ahmad Al-Ghondur, Al-Ahwal As-Syakhsiyah At-Tasyri’ Al-Islami, (Bairut: Maktabah, 2006), 74-75

19
lain tidak menunjukkan nikah secara jelas, tetapu secara kiasan yang masih
memerlukan niat untuk mengetahui maksudnya yaitu dengan qorinah. Dan niat ini
urusan batin yang tidak dapat diketahui oleh saksi.

2) Pendapat Ulama Hanafiyah


Ulama’ hanafiyah memperluas lafal yang menunjukkan pada sebagai akad.
Menurutnya, sebagaimana akad nikah apabila sah menggunakan lafal sharih, maka
sah pula menggunakan lafal kinayah atau kiasan. Bahkan bahkan mereka
memperbolehkan menggunakan lafal bay’ (jual beli), yang penting ada indikator
yang menunjukkan pada makna nikah. Alasan yang dijadikan mereka sebagai dasar
sebagai ialah, bahwa syariah menggunakan kata hibah (pemberian) dan tamlik
(pemilikan) dalam pernikahan. Seperti dalam hadis sahih, hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam Kitab Shahih Bukhari yaitu tu tu artinya Ali bin Abdullah
bercerita kepada kita Sufyan bercerita kepada kita aku mendengar abi Hasyim
berkata aku mendengar Sahal bin Saad Saidi berkata Sesungguhnya aku benar-benar
di dalam suatu kaum di sisi Rasulullah SAW tiba-tiba seorang perempuan berdiri
kemudian berkata: “Ya Rasulullah sesungguhnya dia benar-benar menghibahkan
dirinya kepadamu maka Lihatlah dia”, dan Bagaimana menurutmu nabi tidak
menjawabnya kemudian dia berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah sesungguhnya dia
benar-benar menghibahkan dirinya kepadamu maka Lihatlah dia” dan Bagaimana
menurutmu nabi tidak menjawabnya kemudian dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu
berkata: “Ya Rasulullah sesungguhnya dia benar-benar menghibahkan dirinya
kepadamu maka Lihatlah dia” dan Bagaimana menurutmu kemudian seorang lelaki
berdiri dan berkata: Ya Rasulullah nikahkanlah aku dengannya” kemudian nabi
bertanya: apakah engkau memiliki sesuatu lelaki itu menjawab “Tidak” nabi:
bersabda Pergilah dan carilah sesuatu walaupun cincin dari besi, kemudian dia pergi
dan mencari sesuatu kemudian dia datang Lalu berkata aku tidak menemukan
sesuatu walaupun cincin dari besi kemudian nabi bersabda Apakah engkau memiliki
sesuatu dari Alquran lelaki itu menjawab Aku menguasai surat ini dan surat ini
kemudian nabi udah pergi lah sungguh aku telah menikahkanmu dengannya dengan
sesuatu yang engkau kuasai dari Alquran.

20
3) Pendapat Ulama’ Malikiyah
Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa secara khusus, dighat akad nikah
mempunyai tiga bentuk, yaitu lafadz nikah (pernikahan), tazwij (perkawinan) dan
hibah (pemberian). Tetapi sighat lafal ghibah wajib dibarengi penyebutan mahar
(mas kawin) tertentu. Misalnya “aku berikan kepada engkau puteriku dengan mahar
1.000 dinar”. Atau dibarengi dengan penyerahan diri (tafwidh), misalnya ia berkata:
“aku berikan kepada engkau puteriku ini dengan penuh penyerahan”. Tidak sah akad
nikah yang menggunakan lafadz hibah tidak dibarengi dengan penyebutan mahar
tertentu atau penyerahan diri menurut pendapat yang masyhur.

4) Pendapat Ulama’ Zahiriyah


Kaum Zhahiriyah berpendapat bahwa akad nikah tidak sah kecuali dengan
kata nikah, tazwij dan tamlik (pemilikan). Nikah tidak boleh menggunakan kata-kata
selain yang ada diatas tersebut. Dalilnya adalah sebagimana firman Allah SWT
dalam Al- Qur’an surat An-Nisa’ ayat 3 dan surat An-Nur ayat 32.

21
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
1. Pengertian perkawinan menurut Imam Madzhab ialah:
a. Menurut Ulama’ Hanafiyah, perkawinan ialah suatu akad yang
beguna untuk memiliki “mut’ah” dengan sengaja. Artinya ialah
bahwa laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota
badannya untuk mendapatkan sebuah kesennagan dan kepuasan.
b. Menurut Ulama’ Syafi’iyah, perkawinan ialah suatu akad yang
harus menggunakan lafal (‫ )نكاح‬atau (‫ )زواج‬yang mana kedua lafadh
tersebut berarti bahwa adanya perkawinan untuk bisa mendapatkan
kesenangan dari pasangannya.
c. Menurut Ulama’ Malikiyah, perkawinan ialah suatu akad yang
mengandung arti “mut’ah” untuk mencapai keputusan dengan tidak
mewajibkan adanya harga.
d. Menurut Ulama’ Hanabila, perkawinan ialah suatu akad yang
menggunakan lafadh (‫) انكاح‬, atau (‫ )تزويج‬untuk bisa mendapatkan
kepuasaan. Maksudnya, bahwa laki-laki dapat membperoleh
kepuasaan dari perempuan yang sudah dinikahinya itu begitupun
sebaliknya.
2. Rukun dan Syarat Perkawinan ialah:
a. Rukun:
1) Menurut Imam Malik rukun nikah terdiri atas:
a) Wali dari pihak perempuan
b) Mahar (maskawin)
c) Calon pengantin laki-laki
d) Calon pengantin perempuan
e) Sighat akad nikah (ijab qobul)

22
2) Menurut Imam Syafi’i rukun nikah itu terdiri atas:
a) Calon pengantin laki-laki
b) Calon pengantin perempuan
c) Wali
d) Dua orang saksi
e) Sighat akad nikah (ijab qaobul)
3) Menurut Ulama’ Hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan
qobul saja yaitu suatu akad yang dilakukan oleh wali
perempuan dan calon pengantin laki-laki. Tetapi menurut
golongan yang lain, rukun nikah itu terdiri atas:
a) Sighat akad nikah (ijab dan qobul)
b) Calon pengantin laki-laki
c) Calon pengantin perempuan
d) Wali dari pihak perempuan.
b. Syarat:

Mengenai Syarat, pembaca bisa membaca makalah yang telah kami susun.
Sebab syarat itu berada dalam rukun yang telah di paparkan.

B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga memberikan manfaat khususnya
bagi penyusun dan pembaca pada umumnya. Penyusun menyadari bahwa makalah
ini banyak sekali kekurangannya dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami
mengharapkan kritik atau saran yang membangun bagi kemampuan kami pribadi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Sa’id Umar, Hukum Islam Indonesia Tentang Pernikahan Edisi 1, Surabaya:


Cempaka, 2000.
Abidin Slamet, Aminudin, Fiqh Munakahat I, Jakarta: Pustaka Setia, 1999.
Abdul Al Ghozali Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010.
Moh. Romulyo Idris, Hukum Pernikahan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama, dan Zakat Mnurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995
Undang-Undang Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 Pasal 1.
Abdul Hakim Hamid, Mabadi Awwaliyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Beni Saebeni Ahmad, Fiqh Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Banyamin Mahmudin dan Hermanto Agus, Hukum Kewarisan Islam, Bandung: CV
pustaka setia, 2017.
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Handikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2007
Ahmad Munawwir Warson, Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.
M. Mujib Abdul, Mabruri Tholhah Dan Syafi’ah, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Bali
Pustaka, 2002.
Lubis Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005.
Al-Ghondur Ahmad Al-Ghondur, Al-Ahwal As-Syakhsiyah At-Tasyri’ Al-Islami,
Bairut: Maktabah, 2006.

24

Anda mungkin juga menyukai