Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Pernikahan, Akad Nikah Lewat Telfon, Tajdid Akad Nikah, Nikah


Beda Agama, Peraturan Larangan Menikah

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Masail Al Fikh

Dosen Pengampu : Dr. H. Amir, M. Pd.

Disusun oleh:

Ahmad Faisol 202101010015


Tri Nur Aini 202101010021
Fikri Nur Azizah 202101010041
Lailia Kholifatul Jannah 202101010051
Nicky Af Idatut Tasya R 202101010090

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER
KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu dihaturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Pernikahan, Akad
Nikah Lewat Telfon, Tajdid Akad Nikah, Nikah Beda Agama, Peraturan
Larangan Menikah” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat serta
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad
SAW yang senantiasa dinantikan syafa’atnya.

Makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah Masail Al Fikh Saya
menyadari akan pentingnya sumber bacaan berupa buku maupun jurnal yang telah
membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen Dr. H. Amir,
M.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah yang telah banyak memberi petunjuk
dan telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini, sehingga penyusunan
makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Saya juga menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, sehingga saya mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Saya memohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT,
dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin ya robbal alamiin.

Jember, 9 Maret 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian pernikahan................................................................................3
B. Akad Nikah Lewat Telfon..........................................................................6
C. Tajdid Akad Nikah.....................................................................................8
D. Nikah Beda Agama....................................................................................10
E. Peraturan Larangan Menikah.....................................................................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................13
B. Saran................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nikah dalam bahasa arab dikenal dengan al-‘aqdu artinya adalah akad yang
mengahalalkan sesuatu yang haram. Nikah juga diartikan kumpul, wathi’, atau
jima’ dan Akad. Menurut syara’, nikah yaitu suatu akad yang mengandung
beberapa rukun dan syarat.1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.1
Setiap manusia yang melangsungkan pernikahan sudah barang tentu
harapannya adalah mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagian
adalah salah satu tujuan paling urgen dalam pernikahan, maka menjadi sesuatu
yang wajar bahkan merupakan sebuah keniscayaan mengharap do’a restu dari
orang lain supaya kebahagiaannya menjadi kebahagiaan yang berkah.
Adapun tujuan Nikah adalah membentuk dan merawat mawaddah (kasih
antara suami istri) dan rahmah (belas kasih Allah swt, karunia berupa kasih
sayang dari Allah swt, kasih sayang antara suami istri yang diwujudkan dalam
sikap saling peduli, menjaga, dan melindungi, serta saling menutupi ‘aib),
sehingga terbentuk keluarga Sakinah (merasa tenang, tenteram, aman, nyaman,
dan damai).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pernikahan?
2. Bagaimana pengertian akad nikah lewat telfon?
3. Apa yang dimaksud tajdid Akad nikah?
4. Bagaimana hukum nikah beda agama?
5. Bagaimana peraturan larangan menikah?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian pernikahan.


2. Untuk mengetahui pengertian akad nikah lewat telfon.
3. Untuk mengetahui maksud tajdid Akad nikah.
4. Untuk mengetahui hukum nikah beda agama.
1
Undang-Undang Sekretariat Negara RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan

4
5. Untuk mengetahui peraturan larangan menikah..

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pernikahan
a. Pengertian Nikah
Kata nikah berasal dari bahasa Arab yakni nikaahun yang merupakan
masdar dari kata kerja nakaha. Sinonimnya tazawwaja kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah
sering kita gunakan sebab telah masuk ke dalam bahasa Indonesia.2
Secara bahasa, kata nikah berarti adh-dhammu wattadaakhul (bertindih
dan memasukkan). Dalam kitab lain, kata nikah diartikan dengan adh-
dhammu waljam’u (bertindih dan berkumpul).3
Pemakaian termasyhur untuk kata nikah adalah tertuju pada akad. Dan
sesungguhnya inilah yang dimaksud pembuat Syari’at. Didalam Al-Qur’an
pun kata nikah tidak dimaksudkan lain kecuali arti akad perkawinan.3
Adapun secara istilah ilmu Fiqih, nikah berarti suatu akad (perjanjian)
yang mengandung kebolehan melakikan hubungan seksual dengan memakai
kata-kata (lafazh) nikah atau tazwij.4
Kemudian secara terminology para ulama mendefenisikan nikah
dengan redaksi yang sangat beragam. Sekalipun berbeda namun intinya
mereka memiliki suatu rumusan yang secara makna sama. Berikut
dikemukakan beberapa rumusan para ulama tersebut.
Ulama dari golongan Syafi’iyah mendefenisikan nikah dengan
ungkapan : Artinya: “Akad yang mengandung pemilikan untuk melakukan
persetubuhan yang diungkapkan dengan kata-kata ankaha atau tazwij atau
dengan kata-kata lain yang semakna dengan keduanya”.
Dari defenisi yang telah di ungkapkan di atas sering terdapat kata akad.
Dalam hal ini kata akad yang dipergunakan merupakan pokok pangkal
kehidupan suami istri, karena akad merupakan hal yang mutlak dalam
pernikahan.

2
H. Muhammad Yunus, Kamus Bahsaa Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989). H.
467
3
Ibid, h. 12
4
Ibid 24

6
Menurut undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dalam Kompilasi Hukum Islam mendefenisikan yaitu “akad yang sangat
kuat atau mitsaqan Ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.5
Sekalipun ada perbedaan pendapat dalam merumuskan perkawinan
namun masing-masing rumusan mengandung suatu unsur kesamaan yaitu
perkawinan atau pernikahan merupakan perjanjian ikatan antara seorang laki-
laki dengan perempuan. Dan suatu akad antara seorang laki-laki dan
perempuan atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang
dilaksanakan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang ditentukan
syara’ untuk menghalalkan antara keduanya sehingga satu sama lain saling
membutuhkan sebagai teman hidup dalam rumah tangga. Perjanjian yang
dimaksud bukan hanya seperti perjanjian jual beli atau sewa menyewa barang,
melainkan perjanjian yang suci dan mempunyai implikasi hukum untuk
membentuk suatu keluarga. Karena perkawinan atau pernikahan adalah
“keberpasangan” dan merupakan ketetapan Illahi atas semua makhluknya
supaya dilaksanakan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW untuk hidup
berumah tangga dengan baik sesuai dengan syari’at Islam.6
b. Syarat Dan Rukun Nikah
Nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa
keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan
misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan
tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam
satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut.

5
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1992)
6
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
(Yogyakarta: Liberty, 1986)

7
Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia
bukan bagian dari amalan tersebut.
a. Rukun nikah
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan terdiri atas :
1. Adanya calon suami dan istri yang melakukan pernikahan.
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan.
3. Adanya dua orang saksi.
4. Shighat (ijab qabul) akad nikah.
b. Syarat-syarat nikah
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
1. Syarat-syarat calon suami.
a) Beragama Islam
b) Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal nikah dengan calon
istri
c) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
d) Tidak sedang mempunyai istri empat
e) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
f) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan
pernikahan
g) Calon suami kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya
halal baginya
h) Tidak sedang melakukan ihrom.
2. Syarat-syarat calon istri
a) Beragama Islam
b) Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
c) Bukan mahram calon suami
d) Terang (jelas) bahwa calon istri itu bukan khuntsa dan betul-betul
perempuan
e) Belum pernah di li’an (sumpah li’an) oleh calon suami
f) Tidak sedang dalam ihram
g) Calon istri rela (tidak dipaksa) untuk melakukan pernikahan
h) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya

8
c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Pernikahan bukanlah suatu sarana yang bersifat permainan, tetapi
memiliki dimensi yang jauh lebih penting dalam rangka membina rumah
tangga yang bahagia dan sejahtera, dalam hal ini pernikahan memiliki maksud
dan tujuan yang sangat mulia berkenan dengan pembinaan keluarga yang
diliputi cinta dan kasih sayang antara sesama keluarga. 7 Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat Ar-rum ayat 21:
ٰ ۚ
ٖ َ‫ق لَ ُكم ِّم ۡن َأنفُ ِس ُكمۡ َأ ۡز ٰ َو ٗجا لِّت َۡس ُكنُ ٓو ْا ِإلَ ۡيهَا َو َج َع َل بَ ۡينَ ُكم َّم َو َّد ٗة َو َر ۡح َمةً ِإ َّن فِي َذلِكَ أَل ٓ ٰي‬
‫ت لِّقَ ۡو ٖم‬ َ َ‫َو ِم ۡن َءا ٰيَتِ ِٓۦه َأ ۡن خَ ل‬
٢١ َ‫يَتَفَ َّكرُون‬
Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi kaum yang berpikir” (QS.
Ar-Rum:21).
Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera
dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota
keluarga, dan sejahtera yang menciptakan ketenangan lahir dan batin
disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir batinnya.8
Dari sudut pandang sosiologis, pernikahan merupakan sarana
fundamental untuk membangun masyarakat sejahtera berdasarkan prinsip-
prinsip humanisme, tolong menolong, solidaritas dan moral yang luhur.
Dilihat dari sudut ekonomi, pernikahan merupakan sarana fundamental
untuk membutuhkan etos kerja dan rasa tanggung jawab yang kuat terhadap
pekerjaan, efektif dan efisiensi. Sedangkan dilihat dari sudut kedokteran,
pernikahan merupakan tahap awal kehidupan seks yang sehat serta bebas dari
penyakit, bebas dari gangguan jiwa dan proses regenerasi yang sehat dan
sejahtera.9

B. Akad Nikah Lewat Telfon

7
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 16.
8
Zakiah Dradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), h. 38.
9
Ahmad Syauqi al-Fanjari, Nilai-nilai Kesehatan dalam Syari’at Islam, (Jakarta Bumi Aksara,
1996), h. 139.

9
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan
fatwa bahwa akad nikah melalui telepon itu sah, dengan menetapkan syarat-syarat
yang harus dipenuhi. Alasan yang digunakan adalah hadis riwayat Ummu
Habibah. Selain itu, alas an lainnya adalah tidak adanya dalil qath’i yang
mengatur tentang teknis akad nikah sehingga masalah teknis tersebut adalah
masalah ijtihadiyah. Pengertian satu majelis, bukan mutlak harus majelis makni
(satu tempat), akan tetapi juga bisa diartikan sebagai majelis zamani (satu waktu).
Dalam proses ijab kabul melalui telepon sebenernya boleh boleh saja
asalkan dihadiri oleh pegawai pencatat perkawinan,karena kehadiran dari petugas
pencatat perkawinan merupakan tanda bahwa perkawinan tersebut telah
didaftarkan dan dicatatkan selain itu secara tidak langsung merupakan isyarat
perkawinan telah disetujui, jadi sebelum perkawinan dilangsungkan ada keharusan
bagi pasangan yang hendak kawin memberitahukan bahwa ijab kabul akan
dilakukan melalui telepon atau skype. Semua persyaratan juga harus dapat
dipenuhi baik yang ditentukan oleh agama dan undang-undang.
Terlepas belum diaturnya ketentuan mengenai ijab kabul melalui telepon
selama semua persyaratan telah dipenuhi maka dapat dikatakan bahwa
perkawinan tersebut sah sesuai agama dan undang-undang. Beda kaitannya
apabila perkawinan tersebut tidak diberitahukan terlebih dahulu kepada pegawai
pencatat nikah jika ijab kabul akan dilakukan melalui media telepon, maka
perkawinan tersebut dapat dikatakan tidak sah dan pegawai pencatat nikah tidak
bertanggung jawab apabila perkawinan tersebut diluar pengawasan mereka.
Pegawai pencatat nikah berhakmenolak mencatat perkawinan yang dirasa tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, akibatnya perkawinan tersebut
tidak memiliki kekuatan hukum.
Bagaimanapun juga baik proses perkawinan yang dilakukan dengan
sebagaimana mestinya ataupun perkawinan yang dilakukan melalui telepon dan
skype harus tetap mematuhi peraturan perundang-undangan. Menurut Chuzaimah
T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, bahwa :
1. Harus tetap dan wajib memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah
ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku, sehingga segala hal yang berkaitan
dengan data-data diri para pihak yang bersangkutan dapat diketahui secara
jelas.

10
2. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah di antara kedua pihak, baik
keluarga maupun mempelai, benar-benar saling mengenal sebelumnya,
sehingga ijab-kabulyang dilaksanakan pada tempat yang berbeda tetap seperti
dalam satu majelis, artinya situasi saling mengenal sebelumnya berguna untuk
menghindari terjadinya penipuan.
3. Dilaksanakannya perkawinan jarak jauh ini haruslah disebabkan adanya
penghalang untuk dilangsungkannya perkawinan dalam satu majelis.10

C. Tajdid Akad Nikah


1. Pengertian Tajdid Nikah
Menurut bahasa tajdīd artinya memperbaharui. Sedangkan secara
istilah, tajdīd mempunyai dua makna, yaitu: pertama apabila dilihat dari segi
sasarannya, dasarnya, landasan dan sumber yang tidak berubah-ubah, maka
tajdīd diartikan mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk aslinya. Kedua,
tajdīd bermakna modernisasi, apabila sasarannya pada hal-hal yang tidak
mempunyai sandaran, dasar, landasan dan sumber yang berubah-ubah, seperti
metode, sistem, teknik, strategi, dan lainnya untuk disesuaikan dengan situasi
dan kondisi serta ruang dan waktu.
Sedangkan pengertian nikah secara bahasa berasal dari kata al- ḍommu
wa al-jam„u, al-waṭ`u yang artinya hubungan badan. Secara terminologis,
perkawinan (nikah) yaitu akad yang membolehkan terjadinya
istimta„ (persetubuhan) dengan seorang wanita, selama seorang wanita
tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau
seperti sebab sesusuan. Selain dalam hukum fikih Islam, pengertian
pernikahan juga termuat dalam hukum positif Indonesia yang tertuang dalam
pasal 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Di samping definisi yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia
memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi UU tersebut,
namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut,
10
Muhammad Yasin, Pernikahan Via Telefon, Jurnal Al-Qadāu Volume 2 Nomor 2/2015

11
“Perkawinan ialah akad yang sangat kuat atau miitsaaqon ghaliidzhon untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Abu Baiquni dan Arni Fauziana memberikan definisi tajdīdun nikāḥ
ialah memperbaharui atau menghidupkan kembali nilai-nilai keagamaan
sesuai Al-Qur’an dan hadis setelah mengalami pergeseran nilai karena
kharafat atau bid’ah di lingkungan umat Islam. Tajdīd an-nikāḥ adalah
memperbaharui nikah, dengan arti sudah pernah terjadi akad nikah yang sah
menurut syara‟, kemudian dengan maksud sebagai iḥtiyāt (kehati-hatian) dan
membuat kenyamanan hati maka dilakukan akad nikah sekali lagi atau lebih.
2. Hukum Tajdid Nikah
Dalam al-Quran maupun dalam hadis tidak ada penjelasan pasti
tentang tajdīd an-nikāḥ. Namun beberapa ulama memberikan pemaparan
dalam kitabnya berdasarkan hasil ijtihad masing-masing. Dalam Alquran dan
hadis memang tidak ditemukan secara pasti ketentuan tentang tajdīd an-nikāḥ,
namun kenyataannya, praktik tajdīd an-nikāḥ telah lama muncul dan tumbuh
di masyarakat. Oleh karena itu, tajdīd an-nikāḥ dapat disebut sebagai
kebiasaan atau urf yang dapat dijadikan sebagai pijakan pengambilan hukum
kebolehan melaksanakannya.
Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia, hukum tajdīd an-nikāḥ,
tidak dibahas secara pasti, namun dapat kita temukan dalam pasal 26 UU. No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pernyataan bahwa perkawinan harus
diperbaharui. Maksud dari pernyataaan tersebut ialah apabila terdapat suami
istri yang telah tinggal bersama dan memiliki akta perkawinan yang tidak
diakui oleh negara, harus melakukan pembaharuan perkawinan dihadapan
pegawai pencatat perkawinan yang sah.
Hukumnya tajdīd an-nikāḥ (memperbaharui nikah tanpa terjadinya
cerai) adalah boleh, bertujuan untuk memperindah atau ihtiyat dan tidak
termasuk pengakuan talak (tidak wajib membayar mahar) akan tetapi menurut
imam Yusuf al-Ardabili dalam kitab al-Anwar wajib membayar mahar karena
sebagai pengakuan jatuhnya talak. Tajdidun nikah terdapat perbedaan
pendapat mengenai hukum pengulangan nikah atau tajdidun nikah atau
memperbaharui akad nikah. Menurut qaul shahih (pendapat yang benar)
hukumnya zawaj (boleh) dan tidak merusak pada akad nikah yang telah
terjadi. Karena memperbarui akad itu hanya sekedar keindahan (al-tajammul)

12
atau berhati-hati (al-ihtiyath). Menurut qaul lain (pendapat lain) akad baru
tersebut bisa merusak akad yang telah terjadi.
Pandangan fiqih disebut tajdid nikah atau pembaruan nikah. Tajdid
nikah itu hukumnya boleh, apabila bertujuan untuk menguatkan status
pernikahan. Suatu hukum dari tajdidun nikah adalah boleh, karena mengulangi
lafal akad nikah di dalam nikah yang kedua tidak merusak pada akad yang
pertama. Kemudian dikuatkan oleh argumen Ahmad bin Ali bin Hajar al-
Asqalani, menyatakan bahwa menurut jumhur ulama tajdidun nikah tidak
merusak akad yang pertama. 11
D. Nikah Beda Agama
a. Pengertian dan hukum pernikahan beda agama
Nikah beda agama adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang
berlainan Agama atau berbeda keyakinan. Nikah beda agama adalah
pernikahan yang dilakukan anatara Muslim dengan Musrikah dan Musyrikah
dengan Muslim.12
Hukum nikah beda agama dalam Islam adalah haram. Analisis logis
keharaman dan tidak sahnya nikah beda agama adalah karena
mempertimbangkan kemafsadatannya lebih banyak dari pada
kemaslahatannya. Selaras dengan fatwah MUI di atas, Nahdlatul ‘ulama’
sebagai Organisasi Islam terbesar di Indonesia dan memiliki pemikiran dan
gerakan keagamaan yang kapabel melalui mu’tamar NU ke 28 di Yogyakarta
menyatakan dengan tegas, bahwa nikah beda Agama adalah haram dan tidak
sah.13

Pengertian ini didasarkan pada surah al-Baqarah (2) ayat 221, yaitu; Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫ت َح ٰتّى يُْؤ ِم َّن ۗ َواَل َ َمةٌ ُّمْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر َك ٍة َّولَوْ اَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۚ َواَل تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ِك ْين‬ ِ ‫َواَل تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ٰك‬
ٰۤ ُ
‫ار ۖ َوهّٰللا ُ يَ ْدع ُْٓوا اِلَى ْال َجنَّ ِة‬
ِ َّ‫ك يَ ْد ُعوْ نَ اِلَى الن‬ َ ‫ول ِٕى‬ ٍ ‫َح ٰتّى يُْؤ ِمنُوْ ا ۗ َولَ َع ْب ٌد ُّمْؤ ِم ٌن خَ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر‬
‫ك َّولَوْ اَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ ا‬
ِ َّ‫ࣖ و ْال َم ْغفِ َر ِة بِا ِ ْذنِ ٖ ۚه َويُبَيِّنُ ٰا ٰيتِ ٖه لِلن‬
َ‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُوْ ن‬ َ

Artinya:

11
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Baari (Syarah Shahih Bukhari), Juz 13, (Darul
Fikri), hlm. 199..
12
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Surabaya: Al-Hidayah, 1971), 53
13
Hasil Mu’tamar NU ke-28 di Yogyakarta tentang Nikah Beda Agama

13
Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman!
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu
menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga
mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik
daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
(Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil
pelajaran. (Al-Baqarah [2]:221)14

b. Syarat Sah Nikah


Menurut Islam Nikah disebut sah apabila memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan.
Adapun syarat sah nikah adalah sebagai berikut.
1. Beragama Islam
2. Bukan Laki-laki Mahrom bagi Calon Istri
3. Ada wali Akad Nikah
4. Tidak Sedang melaksanakan haji.15
c. Konsekuensi Logis Nikah Beda Agama
Nikah beda Agama dalam Islam dilarang, karena pernikahan beda
agama ini memiliki konsekuensi yang sangat besar, salah satunya adalah bagi
keluarga yang akan dibangun. Adapun konsekuensi logis itu adalah sebagai
berikut.
1. Sulit mewujudkan tujuan nikah, karena membangun keluarga sakinah,
mawaddah, warahmah dan barokah membutuhkan visi yang sama, tujuan
yang sama, dan seagama (yakni sama-sama beragama Islam).
2. Pernikahan dalam Islam itu adalah Ibadah, oleh karena itu, maka seagama
(agama Islam) antara suami istri adalah sebuah keniscayaan. Dampaknya
adalah ibadah nikahnya menjadi tidak sah

14
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.quran.kemenag

15
https://news.detik.com/berita/d-4830385/rukun-menikah-dan-s.yarat-sahnya-dalam-islam/2
diakses pada tanggal 9 Maret 2023

14
3. Islam mengajarkan tentang pentingnya menjaga keturunan, maka menikah
beda agama tidak dapat mewujudkan menjaga keturunan (Hifdh al-Nasl).16

E. Peraturan Larangan Menikah


a) Pengertian Larangan Perkawinan Dalam Islam
Di dalam hukum islam juga mengenal larangan perkawinan yang
dalam fiqih disebut dengan mahram ( orang yang haram dinikahi ) . di dalam
masyarakat istilah ini sering disebut dengan muhrim sebuah istilah yang tidak
terlalu tepat. Muhrim, kalaupun kata ini ingin digunakan maksudnya adalah
suami yang menyebabkan istrinya tidak boleh kawin dengan pria lain selama
masih terikat dalam sebuah perkawinan atau masih berada dalam iddah talak
raj’i. Ulama fiqih telah membagi mahram ini ke dalam 2 macam yang pertama
mahram mu aqqat ( larangan untuk waktu tertentu ) dan yang kedua mahram
mu’abad ( larangan untuk selamanya ).17
Mengacu dalam status hukum yang kuat, posisi yang cukup strategis
dan luhur tujuan perkawinan, maka Hukum Islam mengatur semua aspek
dalam perkawinan yang diorientasikan untuk menjaga eksistensi dan
keharmonisannya. Aspek-aspek itu mencakup ranah preventif (pencegahan
perkawinan), agar mawaddah wa ar-rahmah sebagai tujuan perkawinan tetap
terjaga optimal dan tidak terlepas. Menegnai upaya preventif, di dalam hukum
perkawinan islam(fiqih almunakahah) dikenal adanya beberapa perkawinan
yang dilarang oleh syara‟. Larangan perkawinan dalam hukum islam ini
semata untuk menghindari madharat yang akan terjadi jika perkawinan tetap
dilaksanakan. Adapun jenisjenis perkawinan yang dilarang dalam hukum
perkawinan islam antara lain adalah sebagai berikut:18
1. Nikah mut’ah
2. Nikah Sigar
3. Nikah Muhallil
4. Nikah Pinangan Atas Pinangan

16
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt565beb1c50465/ini-empat-kelemahan-nikah-beda-
agama/ diakses pada tanggal 9 Maret 2023
17
Dr.h. amirur nuruddin,ma, hukum perdata islam di indonesia ( studi kritis perkembangan hukum
islam dari fikih, UU No.1/1974 sampai KHI ) jakarta : kencana , 2004 hal 145-146
18
Idris Ramulya, Hukum Perkawinan Islam, PT Bumi Aksara, Jakarta: 2002, hal.34

15
Melakukan perkawinan dalam masa iddah yaitu masa tunggu bagi
seorang perempuan yang cerai dari suaminya untuk dapat melakukan
perkawinan lagi, hal ini agar dapat diketahui apakah perempuan ini
mengandung atau tidak. Jika perempuan itu mengandung, maka ia
diperbolehkan kawin lagi setelah anaknya lahir; apabila ia tidak mengandung,
maka ia harus menunggu selama 4 bulan 10 hari jika bercerai karena suami
meninggal dunia atau selama tiga kali suci dari haid jika dikarenakan cerai
hidup.19

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Nikah dalam bahasa arab dikenal dengan al-‘aqdu artinya adalah akad yang
mengahalalkan sesuatu yang haram. Nikah juga diartikan kumpul, wathi’, atau jima’
dan Akad. Kata nikah berasal dari bahasa Arab yakni nikaahun yang merupakan
masdar dari kata kerja nakaha. Sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering kita gunakan sebab
telah masuk ke dalam bahasa Indonesia. Secara bahasa, kata nikah berarti adh-
dhammu wattadaakhul (bertindih dan memasukkan). Dalam kitab lain, kata nikah
diartikan dengan adh- dhammu waljam’u (bertindih dan berkumpul).

Menurut syara’, nikah yaitu suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan
syarat.1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.

3.2 Saran

Penyusun menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan


dalam penulisan makalah ini.Oleh karena itu, Penyusun mengharapkan kritik serta
saran yang membangun demi perbaikan makalah ini.

19
C. Dewi Wulansari, . Hukum Adat Indonesia . PT Refika Aditama: Bandung: 2010, hal.12

16
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Sekretariat Negara RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang


Pernikahan
H. Muhammad Yunus, Kamus Bahsaa Arab-Indonesia (Jakarta: PT.
Hidakarya Agung, 1989). H. 467
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Akademi
Pressindo, 1992)
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974, (Yogyakarta: Liberty, 1986)
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 16.
Zakiah Dradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), h. 38.
Ahmad Syauqi al-Fanjari, Nilai-nilai Kesehatan dalam Syari’at Islam, (Jakarta
Bumi Aksara, 1996), h. 139.
Muhammad Yasin, Pernikahan Via Telefon, Jurnal Al-Qadāu Volume 2
Nomor 2/2015
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Surabaya: Al-Hidayah,
1971), 53
Hasil Mu’tamar NU ke-28 di Yogyakarta tentang Nikah Beda Agama
Al-Qur'an https://play.google.com/store/apps/details?id=com.quran.kemenag

17
https://news.detik.com/berita/d-4830385/rukun-menikah-dan-s.yarat-sahnya-
dalam-islam/2 diakses pada tanggal 9 Maret 2023
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt565beb1c50465/ini-empat-
kelemahan-nikah-beda-agama/ diakses pada tanggal 9 Maret 2023
Dr.h. amirur nuruddin,ma, hukum perdata islam di indonesia ( studi kritis
perkembangan hukum islam dari fikih, UU No.1/1974 sampai KHI ) jakarta : kencana
, 2004 hal 145-146
Idris Ramulya, Hukum Perkawinan Islam, PT Bumi Aksara, Jakarta: 2002,
hal.34
Dewi Wulansari, . Hukum Adat Indonesia . PT Refika Aditama: Bandung:
2010, hal.12

18

Anda mungkin juga menyukai