Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIQIH

TENTANG PERNIKAHAN DALAM ISLAM


Dosen Pengampu: Lasri Nijal,Lc.,MH

Disusun Oleh ;

Nama : Muhamad Farhan

Nim : 121104121918

Pendidikan Bahasa Inggris

Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan

Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau

2021
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kepada Allah SWT, Yang telah memberikan rahmat-Nya
sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini. Saya mengharapkan makalah ini dapat
digunakan sebagai pedoman dalam mempelajari studi fiqih . Dan saya menyadari masih
banyak kekurangan yang ada pada makalah ini.
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakikan
hubungan seksual dengan memakai kata-kata (lafazh) nikah atau tazwij. Nikah
mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat
menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau
tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti
yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang terkait dengan materi pernikahan dalam Islam yaitu :

1. Apa pengertian Nikah atau pernikahan ?


2. Apa saja rukun Nikah?
3. Siapa saja orang-orang yang diharamkan untuk dinikahi?
4. Apa saja macam-macam pernikahan?
5. Apa saja hikmah pernikahan ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulihan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui apa itu pengertian Nikah.
2. Untuk mengetahui apa saja rukun Nikah.
3. Untuk mengetahui siapa saja orang-orang yang diharamkan untuk dinikahi.
4. Untuk mengetahui macam-macam pernikahan.
5. Untuk mengetahui apa saja hikmah-hikmah pernikahan.
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah

Kata nikah berasal dari bahasa Arab yakni nikaahun yang merupakan masdar dari
kata kerja nakaha. Sinonimnya tazawwaja kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering kita
gunakan sebab telah masuk ke dalam bahasa Indonesia.12

Secara bahasa, kata nikah berarti adh-dhammu wattadaakhul (bertindih dan


memasukkan). Dalam kitab lain, kata nikah diartikan dengan adhdhammu waljam’u
(bertindih dan berkumpul).3
Pemakaian termasyhur untuk kata nikah adalah tertuju pada akad. Dan
sesungguhnya inilah yang dimaksud pembuat Syari’at. Didalam Al-Qur’an
pun kata nikah tidak dimaksudkan lain kecuali arti akad perkawinan.3

Adapun secara istilah ilmu Fiqih, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang
mengandung kebolehan melakikan hubungan seksual dengan memakai kata-kata (lafazh)
nikah atau tazwij.4
Kemudian secara terminology para ulama mendefenisikan nikah dengan redaksi
yang sangat beragam. Sekalipun berbeda namun intinya mereka memiliki suatu rumusan
yang secara makna sama. Berikut dikemukakan beberapa rumusan para ulama tersebut.

Ulama dari golongan Hanafiyah mendefenisikan nikah dengan : Artinya: “Akad yang
memiliki kemanfaatan atas sesuatu yang menyenangkan yang dilakukan dengan
sengaja”.4

1 H. Muhammad Yunus, Kamus Bahsaa Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,


2 ). H. 467
3 Rahmat Hakim, Hukum perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 11 3 Ibid, h. 12
4
Ibid.
4 Ibid, h. 2 6 Ibid.
5

Golongan Malikiyah mendefenisikan nikah dengan ungkapan : Artinya: “Akad yang


bertujuan hanya untuk bersenang-senang dengan wanita yang sebelumnya tidak
ditentukan maharnya secara jelas serta tidak ada keharamannya sebagaimana lazimnya
diharamkan oleh Al-qur’an atau oleh ijma”.6

Golongan Syafi’iyah mendefenisikan nikah dengan ungkapan : Artinya: “Akad yang


mengandung pemilikan untuk melakukan persetubuhan yang diungkapkan dengan kata-
kata ankaha atau tazwij atau dengan kata-kata lain yang semakna dengan keduanya”.5

Golongan Hanabilah mendefenisikan nikah dengan ungkapan : Artinya: “Akad yang


diucapkan dengan lafaz ankaha atau tazwij untuk memperoleh manfaat bersenang-
senang”.6

Dari defenisi yang telah di ungkapkan di atas sering terdapat kata akad. Dalam hal ini
kata akad yang dipergunakan merupakan pokok pangkal kehidupan suami istri, karena
akad merupakan hal yang mutlak dalam pernikahan.

Menurut undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa


perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 78 Dalam
Kompilasi Hukum Islam mendefenisikan yaitu “akad yang sangat

kuat atau mitsaqan Ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.9
Sekalipun ada perbedaan pendapat dalam merumuskan perkawinan namun
masing-masing rumusan mengandung suatu unsur kesamaan yaitu perkawinan atau
pernikahan merupakan perjanjian ikatan antara seorang lakilaki dengan perempuan. 10 Dan
suatu akad antara seorang laki-laki dan perempuan atas dasar kerelaan dan kesukaan
kedua belah pihak, yang dilaksanakan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang
5 Ibid.
6 Ibid, h. 3
7 Undang-Undang Perkawinan No 1, Tahun 1974 dan Penjelasannya PP. No 9 Tahun
8 (Semarang: Aneka Ilmu, 1990) Cet ke-1, h. 1
9 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1992)
10 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
(Yogyakarta: Liberty, 1986)
6

ditentukan syara’ untuk menghalalkan antara keduanya sehingga satu sama lain saling
membutuhkan sebagai teman hidup dalam rumah tangga. Perjanjian yang dimaksud
bukan hanya seperti perjanjian jual beli atau sewa menyewa barang, melainkan perjanjian
yang suci dan mempunyai implikasi hukum untuk membentuk suatu keluarga. Karena
perkawinan atau pernikahan adalah “keberpasangan” dan merupakan ketetapan Illahi atas
semua makhluknya
supaya dilaksanakan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW untuk hidup berumah tangga
dengan baik sesuai dengan syari’at Islam.
B. Syarat Dan Rukun Nikah

Nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan
syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau
tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang
sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. 11 Dalam
pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan
tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah
kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari
amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan
namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
1. Rukun nikah

Dalam memahami tentang Rukun perkawinan ini ada beberapa buku dan pendapat yang
mengutarakan dan menguraikan dengan susunan yang berbeda tetapi tetap sama intinya.
Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan
adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan terdiri atas :

a. Adanya calon suami dan istri yang melakukan pernikahan. Yaitu orang
yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara
perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si
wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si
lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan.

11 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 13


7

Atau, si wanita sedang dalam masa iddah dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si
lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang
muslimah.12

b. Adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan. Akad nikah akan
dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan
menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW : (‫ْذ ِن‬Gِِْ ‫َِْْغيِْر ا‬Gِ ِ‫ت ب‬ ْ ‫اَيُّ َ َما امْ َرأَ ٍة نِ َك َْح‬
‫ ٌل (اخرجه االربعة اال للنسائ‬Gٌ‫اِط‬
ٌِ َ‫َُُحهَا ب‬Gَْ ‫ َكا‬Gََِْ‫ َِِولِيـَهَا فَِن‬Gَْ
Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal.

c. Adanya dua orang saksi.

Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah
tersebut, berdasarkan sabda Nabi
)‫ْد ٍل (رواه احمد‬Gٍٍْ ‫دَى َع‬Gَْ‫َاَل نِ َكا َ َح ا ِّل ا بِ َول ِّي َو َشا َِِه‬: SAW
Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.

d. Shighat (ijab qabul) akad nikah.

yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab
oleh calon pengantin laki-laki. Maksud ijab dalam akad nikah seperti ijab
dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan yang keluar dari salah satu
pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baik berupa katakata, tulisan,
atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad, baik
salah satunya dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan Qabul
adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik berupa kata-kata,
tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan ridhanya.
2. Syarat-syarat nikah

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya

perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
1. Syarat-syarat calon suami.

a. Beragama Islam
12 Ibid.
8

b. Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal nikah dengan

calon istri

c. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki

d. Tidak sedang mempunyai istri empat

e. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri

f. Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan pernikahan

g. Calon suami kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal
baginya
h. Tidak sedang melakukan ihrom, Nabi SAW bersabda :

ُ‫ُِِك ُح ْالـ ُمحْ ُر ُم َوالَ يـن َُك ُح َوالَ يَ ْخطُُب‬Gَُ ‫الَ يـ ْن‬
Seseorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan
tidak boleh mengkhitbah.

2. Syarat-syarat calon istri

a. Beragama Islam

b. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah

c. Bukan mahram calon suami

d. Terang (jelas) bahwa calon istri itu bukan khuntsa dan betul-betul
perempuan
e. Belum pernah di li’an (sumpah li’an) oleh calon suami

f. Tidak sedang dalam ihram

g. Calon istri rela (tidak dipaksa) untuk melakukan pernikahan


9

Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya,sebagaimana .h


َّ ‫ْك ُر ََح‬Gَُُْ ِ‫ت ى تُ ْستَأْ َم َر َوالَ تُـ ْن َُك ُح ْالب‬
َ‫ت ى تُ ْستَأْ َذن‬ َّ ‫الَ تُـ ْن َُك ُح ْاألَيِّ ُم َ َح‬: sabda Nabi SAW
Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan
sampai dimintai izinnya.

C. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Pernikahan bukanlah suatu sarana yang bersifat permainan, tetapi memiliki


dimensi yang jauh lebih penting dalam rangka membina rumah tangga yang bahagia dan
sejahtera, dalam hal ini pernikahan memiliki maksud dan tujuan yang sangat mulia
berkenan dengan pembinaan keluarga yang diliputi cinta dan kasih sayang antara sesama
keluarga.13 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-rum ayat 21:

َ َ‫ َِِو ْم ْن آياتِ ِه ْأَ ْن َخل‬Gَْ


َّ ً‫ق لَ ُْك ْم ِْم ْن أَ ْنـفُ ِس ُْك ْم أَ َْزواًجًا لِتَ ْس ُكنُُوا إلَيْـَهَا َو َج َع ََل بَـيْـنَ ُْك ْم َم َو َّد ةً َوَرحْ َمة‬
‫إن‬
َّ َ‫ْوم يَـتَـَف‬Gٍٍْ َ‫ت لِق‬
َ‫ك ر َُون‬ َ َ ‫ِ في َذ ِل‬
ٍ ٍ ‫ك آليا‬

Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu mawadah dan rahmah.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi
kaum yang berpikir” (QS. Ar-Rum:21).

Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis
dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, dan sejahtera yang
menciptakan ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir
batinnya.14
Dari sudut pandang sosiologis, pernikahan merupakan sarana fundamental untuk
membangun masyarakat sejahtera berdasarkan prinsipprinsip humanisme, tolong
menolong, solidaritas dan moral yang luhur.

13 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 16.


14 Zakiah Dradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), h. 38.
10

Dilihat dari sudut ekonomi, pernikahan merupakan sarana fundamental untuk


membutuhkan etos kerja dan rasa tanggung jawab yang kuat terhadap pekerjaan, efektif
dan efisiensi. Sedangkan dilihat dari sudut kedokteran, pernikahan merupakan tahap awal
kehidupan seks yang sehat serta bebas dari penyakit, bebas dari gangguan jiwa dan proses
regenerasi yang sehat dan sejahtera.15
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pernikahan yaitu:
a. Memperoleh keturunan yang sah dan akan melangsungkan keturunan serta
memperkembangkan suku-suku bangsa.
b. Menghalalkan hubungan kelamin antara suami istri untuk memenuhi tuntutan hajat
tabiat kemanusiaan.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat
yang besar atas dasar kasih sayang.
e. Menumbuhkan kesanggupan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan
memperbesar tanggung jawab.16

D. Hukum-hukum Pernikahan

1.Wajib

Pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang telah memiliki kemampuan

untuk berumah tangga, baik secara fisik maupun finansial, serta sulit baginya untuk

menghindari zina. Orang tersebut diwajibkan menikah karena dikhawatirkan jika tidak,

maka ia bisa melakukan perbuatan zina yang dilarang dalam Islam.

2.Sunah

15 Ahmad Syauqi al-Fanjari, Nilai-nilai Kesehatan dalam Syari’at Islam, (Jakarta Bumi
Aksara, 1996), h. 139.
16
11

Dasar hukum nikah menjadi sunah jika seseorang sudah mampu dan siap membangun

rumah tangga, tapi dia dapat menahan diri dari segala perbuatan yang menjerumuskannya

pada zina. Meskipun demikian, Islam selalu menganjurkan umatnya untuk menikah jika

sudah memiliki kemampuan sebab pernikahan merupakan salah satu bentuk ibadah

kepada Allah.

3.Mubah

Hukum nikah juga bisa menjadi mubah atau boleh dilakukan. Dikatakan mubah jika ia

menikah hanya untuk memenuhi syahwatnya saja dan bukan bertujuan untuk membina

rumah tangga sesuai syariat Islam, tapi dia juga tidak dikhawatirkan akan menelantarkan

istrinya.

4.Makruh

Selanjutnya ialah hukum nikah makruh. Hal ini terjadi jika seseorang memang tidak

menginginkan untuk menikah karena faktor penyakit ataupun wataknya. Dia juga tidak

memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya sehingga jika dipaksakan

menikah, dikhawatirkan orang tersebut tak bisa memenuhi hak dan kewajibannya dalam

rumah tangga.

5.Haram
12

Hukum nikah juga bisa menjadi haram jika seseorang tidak memiliki kemampuan atau

tanggung jawab untuk membangun rumah tangga. Misalnya, tidak mampu berhubungan

seksual atau tak memiliki penghasilan sehingga besar kemungkinannya dia tidak bisa

menafkahi keluarganya kelak. Selain itu, hukum nikah jadi haram jika pernikahan itu

dilakukan dengan maksud untuk menganiaya, menyakiti, dan menelantarkan

pasangannya.

E. Orang-orang yang haram di nikahi

1. Mahram

adalah perempuan yang haram untuk dinikahi dengan beberapa sebab. Keharaman

dikategorikan menjadi dua macam, pertama hurmah mu’abbadah (haram selamanya) dan

kedua hurmah mu’aqqatah (haram dalam waktu tertentu). Hurmah mu’abbadah terjadi

dengan beberapa sebab yakni, kekerabatan, karena hubungan permantuan (mushaharah)

dan susuan. Perempuan yang haram dinikahi karena di sebabkan hubungan kekerabatan

ada 7 (tujuh), ibu, anak permpuan, saudara perempuan, anak perempuannya saudara laki-

laki (keponakan), anak perempuannya saudara perempuan (keponakan), bibi dari ayah,

dan yang terahir bibi dari ibu. Dalam Al-Qur'an disebutkan: ‫حُرِّ َم ْت َعلَ ْي ُك ْم أُ َّمهَاتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوأَخَ َواتُ ُك ْم‬

ُ َ‫ضا َع ِة َوأُ َّمه‬


‫ائِ ُك ْم َو َربَائِبُ ُك ُم الالَّتِي‬G ‫ات نِ َس‬ َ ‫خَواتُ ُك ْم ِمنَ ال َّر‬ َ ْ‫ت َوأُ َّمهَاتُ ُك ُم الالَّتِي أَر‬
َ َ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأ‬ ِ ‫َات ْاألُ ْخ‬ ِ َ‫َات ْاأل‬
ُ ‫خ َوبَن‬ ُ ‫َو َع َّماتُ ُك ْم َوخَاالَتُ ُك ْم َوبَن‬

ْ َ‫ ُل أَبْنَائِ ُك ُم الَّ ِذينَ ِم ْن أ‬GGGِ‫ائِ ُك ُم الالَّتِي َدخَ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَإِ ْن لَ ْم تَ ُكونُوا َدخَ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَالَ جُنَا َح َعلَ ْي ُك ْم َو َحالَئ‬GGG‫ُجُور ُك ْم ِم ْن نِ َس‬
‫الَبِ ُك ْم‬GGG‫ص‬ ِ ‫فِي ح‬

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,

saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,

saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak perempuan dari saudara-saudaramu yang

perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan seper susuan, ibu-ibu

istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang kamu

campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
13

maka tidak berdosa kamu mengawininya, (diharamkan bagimu) istri-istri anak

kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua permpuan

bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23) Ketentuan ini berlaku bagi laki-

laki. Dan bagi perempuan berlaku sebaliknya, yaitu haram bagi mereka menikahi ayah,

anak laki-laki, saudara laki-laki dan seterusnya. Selanjutnya, perempuan yang haram

dinikahi karena disebabkan hubungan permantuan ada 4 (empat) yaitu istri ayah, istri

anak laki-laki, ibunya istri (mertua) dan anak perempuannya istri (anak tiri). Kemudian

yang haram dinikahi sebab persusuan ada 7 (tujuh) yaitu, ibu yang menyusui, saudara

perempuan susuan, anak perempuan saudara laki-laki susuan, anak perempuan saudara

perempuan susuan, bibi susuan (saudarah susuan ayah), saudara susuan ibu dan anak

perempuan susuan (yang menyusu pada istri). Apabila pernikahan dengan perempuan

yang menjadi mahram tetap dilakukan maka pernikahannya menjadi batal. Bahkan

apabila tetap dilanggar dan dilanjutkan akan bisa mengakibatkan beberapa kemungkinan

yang lebih berat.

F. Macam-macam pernikahan

1.Pernikahan Az Zawaj Al Wajib

Pernikahan Az Zawaj Al Wajib adalah pernikahan wajib yang harus dilakukan oleh

individu yang memiliki kemampuan untuk melakukan pernikahan serta memiliki nafsu

biologis (nafsu syahwat), dan khawatir pribadinya melakukan dosa paling berat dalam

Islam yakni perbuatan zina yang dosa dan dilarang Allah manakala tidak melakukan

pernikahan. Untuk menghindari perbuatan zina, maka melakukan pernikahan menjadi

wajib bagi individu yang seperti ini.


14

2. Pernikahan Az Zawaj Al Mustahab

Pernikahan Az Zawaj Al Mustahab adalah pernikahan yang dianjurkan kepada individu

yang mampu untuk melakukan pernikahan dan memiliki nafsu biologis untuk

menghindarkan pribadinya dari kemungkinan melakukan zina yang dosa. Seorang muslim

yang memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi, serta sehat jasmani dalam artian

memiliki nafsu syahwat, maka dia tetap dianjurkan supaya melakukan pernikahan

meskipun individu yang bersangkutan merasa mampu untuk memelihara kehormatan

pribadinya.

Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda:

"Dari Abdillah berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kami, "hai para pemuda

barang siapa pribadi kalian mampu untuk melakukan pernikahan maka melakukan

pernikahanlah, sesungguhnya pernikahan itu menundukkan pandangan dan menjaga farji

(kehormatan). Dan barang siapa tidak mampu maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu

baginya sebagai penahan. (pribadiwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Pernikahan)".

3.Pernikahan Az Zawaj Al Makruh

Pernikahan Az Zawaj Al Makruh merupakan pernikahan yang kurang atau tidak disukai

oleh Allah. Pernikahan ini bisa terjadi karena seorang muslim tidak memiliki kemampuan

biaya hidup meskipun memiliki kemampuan biologis, atau tidak memiliki nafsu biologis

meskipun memiliki kemampuan ekonomi, tetapi ketidakmampuan biologis atau ekonomi

itu tidak sampai membahayakan salah satu pihak khususnya istri. Hal itu terjadi apabila

seorang muslim akan menikah tetapi tidak berniat memiliki anak, juga ia mampu
15

menahan diri dari berbuat zina. Padahal, apabila ia menikah ibadah sunnahnya akan

terlantar.

4.Pernikahan Az Sawah Al Mubah

Pernikahan Az Zawaj Al Mubah adalah pernikahan yang diperbolehkan untuk

dilakukan tanpa ada faktor-faktor pendorong atau penghalang. Seseorang yang hendak

menikah tetapi mampu menahan nafsunya dari berbuat zina, maka hukum nikahnya

adalah mubah. Sementara, ia belum berniat memiliki anak dan seandainya ia menikah

ibadah sunnahnya tidak sampai terlantar.

BAB III

PENUTUP
16

A. Kesimpulan
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terdapat 5 tujuan dari
pernikahan yaitu:
1. Memperoleh keturunan yang sah dan akan melangsungkan keturunan serta
memperkembangkan suku-suku bangsa.
2. Menghalalkan hubungan kelamin antara suami istri untuk memenuhi tuntutan hajat
tabiat kemanusiaan.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat
yang besar atas dasar kasih sayang.
5. Menumbuhkan kesanggupan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan
memperbesar tanggung jawab

DAFTAR PUSTAKA
https://islam.nu.or.id/syariah/siapa-saja-mahram-orang-yang-haram-dinikahi-itu-iV5Ei
https://www.brilio.net/wow/macam-macam-pernikahan-dalam-islam-lengkap-dengan-
penjelasannya-200702i.html
PDF.SayyidQub,TafsirFiZhilailQur’an
17

Anda mungkin juga menyukai