Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
2021 / 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga
makalah yang berjudul “Peran Tarekat dalam Islamisasi Asia Tenggara” dapat terselesaikan.
Makalah ini disusun dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Islam Asia
Tenggara dari Ibu Dr. Nelly Yusra, M.Ag. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan
untuk menambah wawasan kepada pembaca tentang peran tarekat dalam mengembangkan
dakwah Islam di Asia Tenggara.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Nelly Yusra, M.Ag
selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Islam Asia Tenggara. Berkat tugas yang
diberikan, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam proses
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih terdapat banyak
kesalahan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran
dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini. Atas perhatiannya, penulis
ucapkan terima kasih
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang dianut kurang lebih 200 juta orang di Asia Tenggara,
yang berpusat di sebuah kepulauan Muslim yang tersebar mulai dari Thailand Selatan
melalui Malaysia dan Indonesia sampai bagian utara Brunei Darussalam dan Filipina
Selatan. Ada banyak teori yang ditawarkan mengenai awal datangnya Islam ke Indonesia.
Dan begitu juga tarekat (sufisme) di kepulauan ini dengan sebagian besar perdebatan
terpusat perihal daerah terjadinya Islamisasi yang pertama.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Pemimpin sebuah tarekat biasa disebut sebagai Mursyīd (dari akat kata rasyada, yang
artinya: "penuntun"). Adapun para pengikut tarekat biasa disebut sebagai Murīd (dari akar
kata arāda, yang artinya: "yang menginginkan"), yang bermakna orang yang menginginkan
untuk mendekat kepada Tuhan; atau Sālik (dari akar kata salaka, yang artinya "yang
memasuki"), yang bermakna orang yang memasuki atau menempuh jalan menuju Tuhan.
Metafora tarekat sebagai "jalan" harus dipahami secara khusus, sehubungan dengan
istilah syariat yang juga memiliki arti "jalan". Dalam hal ini tarekat bermakna sebagai jalan
yang khusus atau individual, yang merupakan fase kedua dari skema umum tahapan
perjalanan keagamaan: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
2
otoritas dan legalitas kesufian, yang berhak mengawasi muridnya dalam setiap
langkah dan geraknya sesuai dengan ajaran Islam .
2. Murid, secara bahasa murid berarti seseorang yang berkehendak, berharap atau
menginginkan sesuatu. Dalam tarekat, murid berarti penempuh jalan ruhani yang
berharap mendapat ridha Allah Swt, mengenal dan mencintai-Nya.
3. Wirid. Secara etimologi wirid berarti sesuatu yang terjadi berulang-ulang. Dalam
tarekat wirid adalah zikir yang dilakukan secara
4. Baiat, yaitu perjanjian atau sumpah setia di antara dua orang atau dua pihak. Murid
berjanji akan mengamalkan zikir yang diajarkan guru dengan sebaik-baiknya.
5. Silsilah, yaitu mata rantai yang menghubungkan kesinambungan ruhani di antara
mursyid dengan mursyid sebelumnya hingga sampai kepada mursyid tertinggi.
6. Adab, berarti etika yang mengatur hubungan murid dengan mursyid. Adab merupakan
kunci keberhasilan murid tarekat.
3
Berkembang pesatnya tarekat pada puncak kejayaan menjadi peran penting dari
perkembangan Islam di Indonesia. Dengan demikian proses islamisasi di Indonesia dalam
bentuk tarekat sangat besar kontribusinya dari peranan tasawuf yang terlembaga dengan
baik. Hal tersebut tidak hanya mendapatkan pengakuan dari sarjana muslim saja akan tetapi
para sarjana Barat juga mengakuinya. Pengakuan di atas seakan-akan berparadigma bahwa
yang membuat Islam tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan besar di masyarakat
Indonesia adalah tasawuf. Sejarah masuknya tarekat di Indonesia sangat berhubungan
dengan sejarah masuk Islam di Indonesia. Berdasarkan laporan Marcopolo yang datang ke
Indonesia pada tahun 1629 M, mengatakan bahwa di Sumatera hanya satu kerajaan Aceh-
Perlak yang beragama Islam dari delapan kerajaan. Bukti lain masuknya Islam di Indonesia
dengan tercapainya puncak kejayaan pada kerajaan Aceh yang didukung oleh para sufi dan
syech tarekat. Penyebaran Islam yang dibawa Syech Burhanuddin Ulaka, berfokus pada
seluruh wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sekitarnya. Sedangkan penyebaran
Islam di pulau Jawa dikenalkan oleh Syech Maulana Malik Ibrahim, Syech Maulana Ishak,
dan Syech Ibrahim Asmoro. Mereka merupakan alumni dari pusat pendidikan Islam di Aceh.
Menurut Jalaluddin tarekat yang terdapat di Indonesia seperti, Tarekat Qadiriyah,
Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Tijaniyyah, Khalwatiyyah, Wahidiyyah, Shiddiqiyyah dan
lain-lain. Meskipun tarekat tersebut tidak bisa diprediksi secara pasti.
a. Tarekat Naqsabandiyah
Pendiri tarekat ini ialah Muhammad bin Baha’uddin Al-Huwaisi Al Bukhari (717-
791 H), yang juga dikenal dengan nama Naksyabandi yang berarti lukisan, karena ia ahli
4
dalam memberikan gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib. Kata ‘Uwais’ ada pada
namanya, karena ia ada hubungan nenek dengan Uwais Al-Qarni, lalu mendapat pendidikan
kerohanian dari wali besar Abdul Khalik Al-Khujdawani yang juga murid Uwais dan
menimba ilmu tasawuf kepada ulama yang ternama kala itu, Muhammad Baba Al-Sammasi.
Tarekat naqsabandiyah mengajarkan zikir-zikir yang sangat sederhana, namun lebih
mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan. Pokok-pokok ajaran tarekat
naqsabandiyah: berpegang teguh dengan akidah ahli sunnah, senantiasa berpaling dari
kemegahan dunia, berpakaian dengan pakaian orang mukmin biasa, zikir tanpa suara, dan
berakhlak dengan akhlak Nabi Muhammad SAW.
b. Tarekat Qadariyah
Pendiri tarekat qadiriyah adalah Syeikh Abduk Qadir Jailani, seorang ulama yang
zahid, pengikut mazhab Hambali. Ia mempunyai sebuah sekolah untuk melakukan suluk dan
latihan-latihan kesufian di Baghdad. Pengembangan dan penyebaran tarekat ini didukung
oleh anak-anaknya antara lain Ibrahim dan Abdul Salam. Tarekat qadariyah berpengaruh
luas di dunia timur. Pengaruh pendirinya ini sangat banyak meresap di hati masyarakat yang
dituturkan lewat bacaan manaqib. Tujuan dari bacaan manaqib adalah untuk mendapatkan
barkah, karena abdul Qadir Jailani terkenal dengan keramatnya. Dasar pokok ajaran tarekat
qadariyah yaitu: menjaga kehormatan, kuat pendirian, dan membesarkan nikmat Tuhan.
c. Tarekat Sadziliyah
Pendiri tarekat sadziliyah adalah Abdul Hasan Ali Asy-Syazili, seorang ulama dan
sufi besar. Menurut silsilahnya, ia masih keturunan Hasan, putra Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah binti Rasulullah SAW. Ia dilahirkan pada 573 H di suatu desa kecil di kawasan
Maghribi. Ali Syazili terkenal sangat saleh dan alim, tutur katanya enak didengar dan
mengandung kedalaman makna. Bahkan bentuk tubuh dan wajahnya, Menurut orang-orang
yang mengenalnya, konon mencerminkan keimanan dan keikhlasan. Sifat-sifat salehnya
telah tampak sejak ia masih kecil. Pokok ajaran tarekat sadziliyah yaitu: bertakwa kepada
Allah ditempat sunyi dan ramai, mengikuti sunnah dalam segala perbuatan dan perkataan,
ridho dengan pemberian Allah sedikit atau banyak, dan kembali kepada Allah baik senang
maupun sedih.
d. Tarekat Khalwatiyah
5
Tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Zahir al-Din di Khurasan (w. 1397 M). Di
samping itu, terdapat keterangan lain menyatakan bahwa nama tarekat ini berasal dari nama
seorang guru Sheikh Umar, yakni Muhammad Ibn Nur al-Barisi yang mendapat julukan al-
Khalwati lantaran ia sering menjalani pengasingan diri. Secara “Nasabiah”, tarekat
Khalwatiyah merupakan cabang dari tarekat al-Zahidiyah, cabang dari al-Abhariyah, dan
cabang dari Al-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Sheikh Shihab al-din Abi Hafs Umar al-
Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H) dan Umar Suhrawardi (w. 1234 M) yang tiap kali
menamakan dirinya golongan Siddiqiyah, karena mereka menganggap dirinya berasal dari
keturunan Khalifah Abu Bakar.
e. Tarekat Shattariyah
Pemimpin tarekat Shattariyah pada akhir abad ke 17 adalah Shaikh Abdul Muhyi
Pamijahan, di TasikMalaya Selatan, yang mengklaim dirinya sebagai keturunan Sunan giri,
mencatat nama Maulana Ishaq dan Jumadil Kubra di dalamnya.
f. Tarekat Tijaniyah
Dalam tahun beberapa rekat ini masuk ke Indonesia tidak diketahui orang-orang
secara pasti, tetapi sejak tahun 1928 mulai terdengar adanya gerakan ini di Cirebon. Seorang
Arab yang tinggal di Tasikmalaya, bernama Ali bin Abdullah At-Tayib Al-Azhari, berasal
dari Madinah, menulis sebuah kitab yang berjudul “Kitab Munayatul Murid” (Tasikmalaya,
1928 M), berisi beberapa petunujk mengenai hakikat ini, dan kitab itu terdapat tersebar luas
di Cirebon khususnya, dan di Jawa barat umumnya. Pendirinya seorang ulama dari Algeria,
bernama Abdul Abbas bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani, lahir di ‘Ain Mahdi pada
tahun 1150 H, (1737-1738 M). Diceritakan bahwa dari bapaknya ia keturunan Hasan bin Ali
bin Abi Thalib, sedang nama Tijani adalah dari Tijanah dari keluarga ibunya. Terekat ini
mempunyai wirid yang sangat sederhana, dan wazifah yang sangat mudah.Wiridnya terdiri
dari istighfar seratus kali, shalawat seratus kali, dan tahlil seratus kali. Boleh dilakukan dua
kali sehari yaitu pagi dan sore. Di Cirebon tarekat Tijani ini pernah tersiar dengan suburnya
di bawah pimpinan Kiyai Buntet dan saudaranya Kiyai Anas di desa Martapada, dekat kota
Cirebon.
g. Tarekat Sammaniyah
Nama tarekat ini diambil daripada nama seorang guru tasawuf yang masyhur, disebut
Muhammad Samman, seorang guru tarekat yang ternama di Madinah, pengajarannya
6
banyak dikunjungi orang-orang Indonesia di antaranya berasal dari Aceh, dan oleh karena
itu terikatnya itu banyak tersiar di Aceh, bisa disebut terekat sammaniyah. Ia meninggal di
Madinah pada tahun 1720 M. Sejarah hidupnya dibukukan orang dengan nama Manaqib
Tuan Syeikh Muhammad Samman, ditulis bersama kisah Mi’raj Nabi Muhammad, dalam
huruf arab, disiarkan dan dibaca dalam kalangan yang sangat luas di Indonesia sebagai
bacaan amalan dalam kalangan rakyat.
h. Tarekat Rifa’iyah
Pendirinya tarekat rifaiyah adalah Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifai. Ia lahir di
Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H (1106 M), sedangkan sumber lain
mengatakan ia lahir pada tahun 512 H (1118 M). Sewaktu Ahmad berusia tujuh tahun,
ayahnya meninggal dunia. Ia lalu diasuh pamannya, Mansur Al-Batha’ihi, seorang syeikh
tarekat. Selain menuntut ilmu pada pamannya tersebut ia juga berguru pada pamannya yang
lain, Abu Al-Fadl Ali Al Wasiti, terutama tentang Mazhab Fiqh Imam Syafi’i. Dalam usia
21 tahun, ia telah berhasil memperoleh ijazah dari pamannya dan khirqah 9 sebagai pertanda
sudah mendapat wewenang untuk mengajar. Ciri khas tarekat rifaiyah ini adalah pelaksanaan
dzikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir
tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan
perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, antara lain berguling-guling dalam bara api, namun
tidak terbakar sedikit pun dan tidak mempan oleh senjata tajam.
1
Dr. Sri Mulyati, M.A. et al., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta
: Kencana, 2011), cet 4, hal. 12
7
Menurut Asep Ahmad Hidayat, pada abad-abad pertama Islamisasi di Indonesia
adalah berbarengan dengan masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan
ordo tasawuf atau lembaga-lembaga sufiyah yang disebut tarekat. Hal tersebut selaras
dengan statement Martin van Bruinessen, bahwa proses islamisasi di Indonesia dimulai
ketika masa tasawuf sebagai corak pemikiran dominan dalam dunia Islam. Pikiran-pikiran
para sufi terkemuka itu sangat berpengaruh terhadap pengarang Muslim generasi pertama di
Indonesia. Dalam abad-abad ini bermunculan tokoh-tokoh sufi yang terkenal seperti Abd
Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M) dengan konsep tasawuf yang diterima para fuqaha (tasawuf
suni), Ibn Arabi (w. 1240 M) yang mempengaruhi hamper semua sufi yang muncul
belakangan, ‘Abdul al-Qadir al-Jailani (w. 1167 M) yang ajarannya selanjutnya menjadi
dasar ajaran dari Tarekat Qodariyah, Najmu al-Din al-Kubra (w. 1221 M) tokoh sufi dari
Asia Tenggara pendiri dari Tarekat Kubrawiyah, dll.
8
Tempat-tempat spesifik untuk latihan moral itu dibuatkan dalam bentuk zawiyyah
atau ribat, dan khanqah2, dan untuk untuk kasus Jawa dapat berwujud “pesantren”. Pesantren
ini mampu beradaptasi dengan sistem pendidikan modern seperti munculnya sistem
sekolah/madrasah dengan kurikulum yang kompleks.
2
Zawiyyah dan semisalnya itu pada prinsipnya adalah merupakan institusi yang mengemas pendidikan
moral-spiritual dengan kurikulum tertentu yang sederhana danpola-pola tertentu pula yang antara satu
dengan yang lain dapat berbeda disebabkanpandangan sufistik guru pemimpin zawiyyah yang berbeda.
Periksa, Abu al Wafa alGhanimiy at Taftazaniy, Sufi dari Zaman ke Zaman, ter. Ahmad Rofi‟i
„Utsman,(Bandun: Pustaka, 1985), hlm. 235.
3
Harisuddin Aqib, Al Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, (Surabaya:
Dunia Ilmu, 2000), hlm. 217
9
penampung aspirasi para murid dan masyarakat sekitar yang secara massal ingin melawan
ketidakadilan, penguasa despotik, dan berbagai bentuk penindasan. Sementara itu, tarekat
sendiri adalah mengajarkan keharmonisan, kesejahteraan, dan kebahagiaan lahir batin.
Dengan demikian, tarekat tidak dapat menutup mata untuk tidak merespons fenomena
seperti itu. Dengan potensi sosial yang solid diikat oleh rasa kebersamaan dan ketaatan
searah kepada pimpinan spiritual, maka institusi tarekat menjadi potensial untuk
ditransformasikan sebagai sebuah gerakan perlawanan terhadap realitas politik dan
pemerintahan yang tidak adil. Bahkan dalam suatu kasus, terdapat tarekat yang secara formal
bercita-cita dan bergerak mendirikan sebuah sistem pemerintahan sendiri sebagaimana
terjadi pada Tarekat Tijaniyyah di Afrika, yang telah berhasil mendirikan pemerintahan lokal
di Senegal, Nigeria, dan juga Futajalun. Kasus yang sama adalah Tarekat Sanusiyyah yang
berhasil mendirikan kerajaan sufi yang suprateokratik di Cyrenaica. Bangunan institusi
kekuasaan tarekat ini bertumpu pada sistem zawiyyah.
Sejarah telah membuktikan bahwa sepanjang abad ke-18, ke-19, dan ke-20 M.,
tarekat sebagai institusi sosio-religius menunjukkan fungsi politiknya, yaitu menjadi wadah
penampung aspirasi masyarakat yang selanjutnya menjadi wahana gerakan perlawanan atas
ketidakadilan dan penindasan. Sebagai contoh di luar Nusantara adalah: Tarekat Qadiriyyah
di Nigeria Utara yang dipimpin Syeikh Uthman Fobio (w. 1817 M.) yang berhasil melawan
dan menggulingkan rezim Habe, dan masih banyak lagi.
Gerakan politik tarekat seperti di atas tampaknya terarah pada penguasa muslim
sendiri. Adapun yang ditujukan terhadap penguasa non muslim sebagai penjajah adalah
seperti: Gerakan Tarekat Naqshabandiyyah yang dipimpin Syeikh Waliyullah melawan
dominasi Inggris di India. Sedangkan kasus di Nusantara sendiri, misalnya: Gerakan Petani
Banten pada tahun 1888 M. Termasuk gerakan tarekat yang melawan Belanda adalah
gerakan Tarekat Khalwatiyyah di Banten yang dipimpin oleh Sheikh Yusuf Tajul Khalwati
pada tahun 1682 M. 36 Dari kasus gerakan yang ditampilkan tarekat sebagaimana di atas
menunjukkan bahwa tarekat mampu tampil sebagai wahana gerakan sosial yang efektif,
walaupun dari sisi dinamika intelektual keislaman terdapat berbagai pihak yang
menuduhnya sebagai fenomena kejumudan intelektual.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tarekat merupakan sebuah istilah yang merujuk kepada aliran-aliran dalam dunia
tasawuf atau sufisme Islam. Proses islamisasi di Indonesia dalam bentuk tarekat sangat
besar kontribusinya dari peranan tasawuf yang terlembaga dengan baik. Dalam berbagai
macam peran dalam mengembangkan dakwah Islam, tarekat dengan menggunakan
berbagai macam cara diantaranya adalah dengan peran pendidikan, peran sosial dan
ekonomi, serta peran sosial-politik dan militer. Kalau dilihat lingkup yang diperankan
tarekat dalam panggung kehidupan sosial-historik ini cukup kompleks, dan juga
berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
11
DAFTAR PUSTAKA
12