Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setiap agama yang diturunkan Allah kepada rasul-rasul-Nya, bertujuan
untuk memberikan pimpinan bagi umat manusia dalam usaha memberi nilai
kehidupannya, begitu juga dengan Agama Islam (Agama Paripurna). Karena dasar
jiwa manusia itu berakal dan berfikir, maka tentu harus melakukan amalan-amalan
atau perintah yang diberikan oleh Allah SWT yang dimuat dalam masing-masing
agama tersebut.
Dalam Agama Islam, terdapat beberapa varian ilmu pengetahuan yang
dijadikan sebagai pedoman hidup manusia, salah satunya adalah fikih. Fikih
merupakan produk ijtihad yang di dalamnya mengaitkan antara berbagi dalil-dalil
syari’ah dengan realitas yang ada. Dalam fikih sendiri juga banyak pembahasan di
dalamnya, diantaranya membahas tentang thaharah (bersuci), shalat, zakat,
perkawinan (nikah), waris, dan lain sebagainya.
Pembahasan-pembahasan tersebut sangat penting bagi kehidupan manusia.
Misalnya saja membahas tentang perkawinan, ketika seseorang melakukan
perkawinan, banyak hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjadikan
perkawinan tersebut benar-benar sah, khususnya dalam rukun pernikahan, begitu
pun nantinya ketika menjalani kehidupan selanjutnya. Kedua pasangan harus
sangat berhati-hati dalam hal tersebut, agar perkawinan yang dijalani justru tak
menjadi bumerang bagi keduanya, agar selalu menjaga tali perkawinannya.
Hal inilah yang melatar belakangi pemakalah untuk membuat makalah
berjudul “Pandangan Rukun Nikah dalam Empat Madzhab”. Melihat
pentingnya pengetahuan tentang rukun-rukun yang menyangkut pernikahan,
sangat perlu membahasnya. Sebab, semua umat manusia tentu akan melaksanakan
ajaran sunnah rasulullah tersebut, yaitu menikah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pernikahan?

1
2. Apa yang dimaksud dengan rukun?
3. Bagaimana perbandingan rukun nikah menurut empat mazhab?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud pernikahan.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksu dengan rukun.
3. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan rukun nikah menurut empat
mazhab.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan kawin. Kalimat
nikah atau ziwaj diartikan dengan perkawinan. Abdurrahman Al-Jarizi dalam
kitabnya Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah menyebutkan ada tiga macam makna
nikah.  Pertama, menurut bahasa nikah adalah:
ْ ‫َوهُ َو ْال َو‬
َّ ‫ط ُء َوال‬
‫ض ُّم‬
“Bersenggama atau campur"
Kedua, makna Ushuli atau makna menurut syar’i, yaitu nikah arti
hakikatnya adalah watha’ (bersenggama), akad, musytarak atau gabungan dari
pengertian akad dan watha’. Dan yang ketiga, menurut para ahli fiqih.
1. Menurut golongan Hanafiah, nikah  adalah :
‫النكاح بانه عقد يفيد ملك المتعة قصدا‬
“Nikah itu adalah akad yang memfaidahkan memiliki, bersenang-senang
dengan sengaja”

2. Menurut golongan Asy-Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai:

‫النكاح بانه عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او تزويج او معنهما‬
“Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
watha’ dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan keduanya”

3. Menurut Malikiyah:

‫النكاح بانه عقد على مجرد متعه التلذذ بادمية غير موجب قيمتها ببينة‬
“Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata
untuk memperbolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada
pada diri seorang wanita yang dinikahinya”.

3
4. Menurut golongan Hanabilah, mendefinisikan bahwa:
‫هو عقد بلفظ انكاح او تزويج على منفعة االستماع‬
”Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tazwij
guna memperbolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita”.1
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama
masih memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang semula dilarang berhubungan.
Secara keseluruhan pula, mereka berpendapat bahwa nikah merupakan akad yang
ditetapkan oleh syara’ bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan dan
bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya. Mereka
tak memperhatikan tujuan dari menikah yang sesungguhnya, bahwa di dalam
pernikahan terdapat pengaruh hak dan kewajiban yang harus dimiliki suami istri.
Para ulama mutaakhirin mendefinisikan nikah mengandung aspek akibat
hukum yaitu termasuk unsur hak dan kewajiban suami istri, serta bertujuan
mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena perkawinan
termasuk ke dalam syariat agama, maka di dalamnya terkandung maksud dan
tujuan, yaitu mengharapkan Ridha Allah SWT.2

B. Pengertian Rukun
Abdul Hamid Hakim dalam kitabnya Mabadi Awwaliyyah menyebutkan
definisi rukun yakni sesuatu yang bergantung padanya sah sesuatu yang lain
dan sesuatu tersebut bagian dari sesuatu yang lain itu. Misalnya, membasuh
muka rukun dalam ibadah wudhu; dan takbiratul ihram rukun dalam ibadah
shalat. Maka dapat dijelaskan bahwa akan terbentuk dan sahnya ibadah wudhu’
dengan salah satu kriterianya ada membasuh wajah. Begitu pula akan
terlaksana ibadah shalat dan sahnya dengan ada takbiratul ihram. Sebaliknya,

1 Hariri Abdurrahman . Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. (Beirut Libanon: Ihya al-Turat


al-‘Arabi. 1969) hal 3-4
2 Djamaan Nur. Fiqih Munakahat. Semarang: Penerbit Dina Utama Semarang (DIMAS).
1993. Hal 3-4

4
jika tidak ada pembasuhan muka, maka tidak ada dan tidak sah wudhu’. Jika
tidak ada takbiratul ihram, maka tidak ada dan tidak sah shalat.3
Demikian pula bila dibawa dalam ranah rukun nikah. Misalnya, shighat
(ijab-qabul) merupakan rukun dalam ibadah akad nikah. Apabila ada sighat,
maka terbentuklah akad nikah dan sah. Sebaliknya, jika tidak shighat, maka
tidak akan diperdapati akad tersebut dan tentunya tidak sah.

C. Rukun Nikah Menurut Empat Mazhab


1. Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki bahwa rukun – rukun nikah ada lima, yakni:
(1) Wali dari wanita, (2) Shidaq atau mahar, (3) Suami tidak sedang ihram, (4)
Isteri tidak sedang ihram atau tidak sedang dalam iddah dan (5) Shighat (ijab
dan qabul).
Menurut mazhab Maliki, rukun adalah sesuatu yang tidak akan ada
esensi syar’iyah (al-mahiyatu al-syar’iyyah) kecuali dengan adanya. Maka,
akad nikah tidak akan terbentuk, kecuali dengan adanya kedua belah pihak
yang berakad, yaitu suami dan wali; dan tidak akan terbentuk kecuali dengan
adanya ma’qud ‘alaih, yakni wanita dan maskawin; dan tidak akan terbentuk
kecuali dengan adanya shighat, yakni lafaz atau kata-kata yang dengannya
menegaskan pernikahan menurut syara’. Adapun tidak menyebutkan mahar
dalam akad itu tidak mengapa, karena keberadaannya sebagai rukun dilihat dari
sudut sesuatu yang tidak boleh tidak ada (ma la budda minhu).4 Dari rukun-
rukun yang telah disebutkan, maka tidak ada di dalamnya saksi. Dengan
demikian, saksi bukan rukun menurut mazhab ini.
2. Mazhab Syafi’i
Dalam mazhab syafi’i rukun-rukun pernikahan terdiri dari lima rukun
juga, yakni: (1). Suami, (2). Isteri, (3). Wali, (4). Dua orang saksi, dan (5).
Shighat.

3 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwloiyah, Jakarta: Sa’adiyah Putera, hal. 7.


4 Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul
Kutub al-Ilmiah, tahun 2010, Cet. 4, Jil. 2, hal. 712.

5
Para imam mazhab syafi’i menggolongkan dua saksi ke dalam bagian
syarat nikah. Mereka beralasan karena saksi berada diluar esensi akad
(mahiyatul aqdi) nikah. Hikmah menetapkan dua saksi sebagai satu rukun
tersendiri, sementara suami-isteri sebagai satu rukun untuk masing-masingnya,
bahwa syarat-syarat dua orang saksi sama, sedangkan syarat-syarat suami dan
isteri berbeda.5
Menurut mereka, syarat-syarat pernikahan sebagiannya berhubungan
dengan shighat, sebagian dengan wali, sebagian dengan suami-isteri dan
sebagian lagi berhubungan dengan saksi.6
Dari ketentuan rukun-rukun di atas, maka tidak tersebut mahar. Dengan
demikian, mahar bukan rukun nikah menurut mereka.
3. Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, ada beberapa syarat nikah yang sebagiannya
berhubungan dengan shighat, sebagiannya berhubungan dengan dua pihak yang
melakukan akad, dan sebagian lagi berhubungan dengan saksi. 7 Wali nikah
menurut mazhab ini bukanlah syarat sah nikah. Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya’bi dan
Al-Zuhri, mereka berpendapat bahwa apabila seorang wanita melakukan akad
nikah untuk dirinya tanpa wali, dengan laki-laki yang kuf-ah, maka hukumnya
boleh.8
Dari itu, dapat disimpulkan bahwa rukun nikah menurut mereka ada tiga,
yakni (1) sighat (akad), (2). Dua pihak yang berakad, (3). Saksi. Berarti menurut
mereka, mahar dan wali bukan rukun nikah dan bukan syarat.

4. Mazhab Hambali
5 Ibid. Hal. 712
6 Ibid. Hal. 715
7 Ibid. Hal. 713
8 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Darul Kutub, jil.2,
hal. 7.

6
Menurut mazhab Hambali bahwa dalam pernikahan ada empat syarat
yakni: (1). Tertentu suami-isteri, (2). Kemauan sendiri dan rela (al-ikhtiyar wa al-
ridha), (3). Wali, dan (4). Saksi.9
Dengan demikian, menurut mereka, hal-hal tersebut hanya sebagai syarat,
bukan rukun. Di sana tidak disebutkan shighad (akad) dan mahar. Ini boleh jadi
menurut mereka sebagai rukun, bukan syarat.

Dapat diambil kesimpulan dalam perbandingan keempat mazhab tersebut


dengan melihat dalam tabel berikut:

No Mazhab Rukun Nikah Keterangan


1 Hanafi 1. Shighat Mahar tidak tersebut dalam urutan
2. Dua pihak yang rukun
berakad (wali dan
suami)
3. Saksi
2 Maliki 1. Wali dari wanita Saksi tidak tersebut dalam urutan
2. Mahar rukun. Tidak menyebut mahar dalam
3. Suami tidak akad tidak mengapa karena
sedang ihram kedudukannya sebagai rukun
4. Isteri tidak sedang dipandang dari segi ‘sesuatu yang
ihram dan tidak tidak boleh tidak’
sedang iddah
5. Shighat
3 Syafi’i 1. Suami Sebagian ulama syafi’iyah
2. Isteri menetapkan saksi sebagai syarat sah
3. Wali nikah, karena kedudukannya diluar
4. Dua saksi akad nikah. Mahar tidak tersebut
5. Sighat dalam urutan rukun nikah, dengan
demikian mahar bukan rukun nikah.

9 Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul


Kutub al-Ilmiah, tahun 2010, Cet. 4, Jil. 2, hal. 716.

7
Mahar menjadi wajib dengan tiga
sebab; 1. Mewajibkan oleh hakim. 2.
Mewajibkan oleh suami sendiri. 3.
Dengan terjadi jima’ (persetubuhan)
setelah nikah. Penyebutan mahar
dalam akad hanya sunnah, maka sah
nikah meskipun tidak disebutkan saat
akad
4 Hambali 1. Sighat Sighat dan mahar tidak tersebut dalam
2. Mahar urutan syarat. Berarti keduanya masuk
dalam rukun.

BAB III
PENUTUP

8
A. Kesimpulan
Dari penulisan makalah diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Para ulama masih memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan
hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang semula
dilarang berhubungan. Secara keseluruhan pula, mereka berpendapat bahwa
nikah merupakan akad yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seseorang suami
dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri
dan seluruh tubuhnya. Mereka tak memperhatikan tujuan dari menikah yang
sesungguhnya, bahwa di dalam pernikahan terdapat pengaruh hak dan
kewajiban yang harus dimiliki suami istri.
2. Dalam ranah rukun nikah. Shighat (ijab-qabul) merupakan rukun dalam
ibadah akad nikah. Apabila ada sighat, maka terbentuklah akad nikah dan sah.
Sebaliknya, jika tidak shighat, maka tidak akan diperdapati akad tersebut dan
tentunya tidak sah.
3. Menurut mazhab Maliki bahwa rukun – rukun nikah ada lima, yakni: (1) Wali
dari wanita, (2) Shidaq atau mahar, (3) Suami tidak sedang ihram, (4) Isteri
tidak sedang ihram atau tidak sedang dalam iddah dan (5) Shighat (ijab dan
qabul). Dalam mazhab syafi’i rukun-rukun pernikahan terdiri dari lima rukun
juga, yakni: (1). Suami, (2). Isteri, (3). Wali, (4). Dua orang saksi, dan (5).
Shighat. Menurut mazhab Hanafi rukun nikah ada tiga, yakni (1) sighat
(akad), (2). Dua pihak yang berakad, (3). Saksi. Dan Menurut mazhab
Hambali bahwa dalam pernikahan ada empat syarat yakni: (1). Tertentu
suami-isteri, (2). Kemauan sendiri dan rela (al-ikhtiyar wa al-ridha), (3). Wali,
dan (4). Saksi.

B. Saran-saran

9
Manusia adalah hamba Allah, makhluk, dan khalifah yang telah dipercaya
menjalankan undang-undang dasar Allah swt, marilah kita jalankan sebaik-
baiknya, sehingga kita selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Manusia adalah ahsani taqwim (sebaik-baik ciptaan), karena manusia
dibekali akal. Marilah kita gunakan akal kita untuk mendalami isi al-Qur’an,
untuk selanjutnya diamalkan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan
bernegara dengan satu tujuan yaitu menyembah hanya kepada Allah.

DAFTAR PUSTAKA

10
Abdurrahman, Hariri. 1969. Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut
Libanon: Ihya al-Turat al-‘Arabi. 
Al-Jazairi, Abdurrahman. 2010. Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah.
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah. Cet. 4. Jil. 2
Hakim, Abdul Hamid. Mabadi Awwloiyah. Jakarta: Sa’adiyah Putera
Nur, Djamaan. 1993. Fiqih Munakahat. Semarang: Penerbit Dina Utama
Semarang (DIMAS)
Rusyd, Ibnu Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Beirut:
Darul Kutub. jil.2

11

Anda mungkin juga menyukai