Abstract
Among the issues on marriage hotly discussed are the types of marriages frequently
causing problems in society. One of these marriages are sirrimarriages, which are
still often declared religiously valid by several parties. Observing the problem raised
by sirrimarriages, among them dues to its lack of documentation, Muhammadiyah
–through MajlisTarjihand Tajdid- views that all marriages must be registered.
Meanwhile, Muhammadiyah also holds the view that marital itsbatis a facility
prepared by the state only for exceptional circumstances of sirrimarriages prior to the
enactment of Law No. 1 of 1974. The analysis on the views of Muhammadiyah
will be conducted according to the theory of maqashidasy-syari’ah.
Kata Kunci: Nikah Sirri, Itsbat Nikah, Kesaksian, Pencatatan.
I. Pendahuluan
Memperbincangkan pernikahan sama dengan memperbincangkan buku
yang tiada habis halamannya. Itu terjadi karena persoalan yang menyertai
pernikahan sedemikian melimpah. Diantara persoalan yang hingga saat ini
masih selalu hangat diperbincangkan adalah persoalan nikah sirri dan itsbat
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
1
Lihat, Abdul Ghofur Anshari, Hukum Perkawinan Islam Perpektif Fikih dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: UII, 2010), 210-216. Bandingkan dengan Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata
Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 47.
2
Lihat “Naskah Fikih Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah”, disampaikan dalam
Musyawarah Nasional ke27 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, diselenggarakan
1-4 April 2010 di Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Jawa Timur.
216
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah...
3
Dalam teks arabnya dituliskan sebagai كل من الزوجني بااألخر عقد يحل به استمتاعLihat Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha, (Beirut: Dar an-Nafais, 1985), 487.
4
Lihat Abu al-Fadlal Jamaluddin Muhammad bin Mukram lebih dikenal dengan Ibnu Manzhur
al-Mashriy, Lisan al-‘Arab, (Bierut: Dar Shaadir, Tth.), IV:356.
5
Dinyatakan bahwa kata as-sirr, وس ِّمي بذلك ألن َّه أم ٌر ال ي ُ ْعلَن به، وهو النِّكاح،الس ّر
ِّ ومن الباب, Lihat Abul Husain
Ahmad bin Faris bin Zakariya bin Habib ar-Razi, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Ttp: Tnp, 1365), III:67.
6
Dalam teks arabnya disebutkan sebagai: أن يكون بال تشهير. Lihat asy-Syarif ‘Ali bin Muhammad
al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat, (Jedah, Maktabah al-Haramain, 1421), 244.
7
Riwayat tersebut menyebutkan: أن عمر أتي بنكاح لم يشهد عليه إال رجل وامرأة فقال هذا نكاح:عن ابن الزبير
] السر و ال أجيزه ولو كنت تقدمت فيه لرجمت» [اخرجه مالكLihat Ali Nayif asy-Syahud, al-Fatawa al-Mu’ashirah
(Qatar:tnp, 1426), I:546.
8
Abdul Ghofur Anshari, Hukum Perkawinan Islam, 210.
9
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat menurut Hukum Tertulis di
Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
217
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
dari pihak keluarga perempuan, ada mahar, ada ungkapan (shighah) ijab dan
qabul serta adanya saksi. Yang kurang dari pernikahan ini adalah tiadanya
pencatatan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan10 serta Kompilasi Hukum Islam.11
Pernikahan sirri biasa juga disebut sebagai nikah ‘urfi. Istilah nikah urfi
dengan pengertian pernikahan yang tidak dicatatkan, antara lain, terungkap
dalam fatwa yang dikeluarkan ulama Timur Tengah, antara lain, Abdullah
al-Faqih saat menjawab pertanyaan terkait nikah sirri yang disampaikan
oleh seorang pemuda.12Terhadap pertanyaan itu Mufti Abdullah al-Faqih
menjawab:”..Jika dalam nikah ‘urfi itu terpenuhi syarat-syarat pernikahan
maka pernikahan Saudara sah. Bahwa pernikahan Saudara tidak dicatatkan
di lembaga peradilan itu tidak mengganggu keabsahan pernikahan urfi...”.13
Para ulama mazhab beragam kalimat dalam mendefinisikan nikah sirri.
Ulama Hanafiyah menyatakan sepanjang ada saksi minimal dua orang itu tidak
disebut nikah sirri. Namun demikian secara umum mereka mengharamkan
nikah sirri. Ini terungkap dalam kitab Hanafiyah yang menyatakan bahwa
nikah sirri bertentangan dengan ajaran Nabi saw tentang pernikahan yang
10
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa: Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 1 dan 2 menyebutkan: (1) Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
11
Sementara Kompilasi Hukum Islam pasal 5 dan 7 menyatakan : Pasal 5: (1) Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat; (2) Pencatatan perkawinan
tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang No 22 tahun 1946 jo Undang-undang No 32 tahun 1954; (2) Untuk memenuhi ketentuan dalam
pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawan Pegawai Pencatat
Nikah; (3) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan hukum. Sedangkan Pasal 7: (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
12
Pemuda ini bertanya dengan mengatakan, “Saya seorang pemuda sedang belajar di Australia,
saya sangat ingin sekali menikah, bolehkah saya melaksanakan pernikahan ‘urfi dengan tujuan semata-
mata ketenangan dan tidak berzina?”. Lihat, Abdullah al-Faqih, dalam Fatawa asy-Syabakah al-Islamiyah,
IV:5060 atau dilihat pada www.islamweb.net. Diakses tanggal 24 Januari 2013.
13
Lihat Ibid. Bandingkan juga dengan penglaman lainnya. Salah satu yang terungkap, diantaranya,
diceritakan bahwa ada seorang pemuda Muslim berkenalan dengan seorang pemudi Muslimah melalui
internet. Satu sama lain bersepakat untuk menikah tetapi kedua orangtuanya tidak menyepakati. Mereka
pun bersepakat untk melakukan nikah sirri dengan pertimbangan daripada satu sama lain melakukan
perzinahan. Lihat, Muhammad Shalih al-Munjid, Fatawa al-Islam: Sual wa jawab, (Saudi Arabia, tnp,
1427), I:3611. Bandingkan dengan Abdulah al-Faqih, dalam Ftwa lewat Internet, atau Fatawa asy-Syabakah
al-Islamiyah (1425), VIII:4948.
218
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah...
14
Lihat Badhai’ ash-Shanai’, “fashl wa minha asy-syahadah”. II:253. Lihat juga Kitab Tabyin al-
Haqaiq, bab Kitab an-Nikah, II: 98.
15
Lihat, Minahul Jalil, fi Fashl an-nikah, III:301.
16
Lihat, Abdullah al-Faqih, al-mawsu’ah al-fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Wizarah al-awqaf wasy-
suun al-islamiyah, 1427). Dicari pada persoalan nikah sirri.
17
Dalam ushul fikih peristiwa ini disebut seabagai al-ikhtilaaf fi Fahm an-nashsh wa tafsiirih,
keragamagan dalam memahami dan menafsirkan nash. Lihat, Mushtafa Sa’id al-Khin, Atsar Ikhtilaaf
al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaaf al-Fuqaha, (Libanon: Dar an-Nafais, 1983).
18
Lihat, Abdul Ghani Abdullah, dalam Mimbar Hukum, No. 23 Tahun 1995, 26.
219
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
19
Lihat, Abdul Ghafur Anshary, Hukum Perkawinan Islam, 211-231.
20
Lihat, Ibid., 212.
21
Lihat, Syamsul Ma’arif, “Pandangan Hakim-Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta Mengenai
Nikah Sirri”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
22
Lihat, Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, (Yogyakarta: Suara Muhamamdiyah,
2010), 287-308.
23
Lihat, Fathurrahman Djamil, “The Muhamamdiyah and The Theory of Maqashid asy-Syari’ah”
dalam Studia Islamika, Jakarta:IAIN Syarif Hidayataullah, 1995, Vol. 2, No. 1, 53.
220
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah...
221
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak
dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah
atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang
beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam,
sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain
dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan
di bawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul
setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam
kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus
dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
222
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah...
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta
perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan
dan kutipannya, yaitu:
(1). Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan
oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan
dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada
(2). Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta
perkawinan.
Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari
’Aisyah].
223
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
224
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah...
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat
kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21:
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus
dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih
utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau
kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya
apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan
dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan
perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain
terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan
merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana
disebutkan dalam qaidah:
225
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
27
Lihat Bahan Munas Tarjih Muhammadiyah, Fikih Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah,
disampaikan di Malang, tanggal 1-4 April 2010.
28
Wawancara dengan Ustadz Marzuki Rasyid, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, lewat hubungan tilphone, pada hari Rabu, tanggal 21 Agustus 2013.
29
Solahudin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet. ke 1 (Jakarta: Visi Media, 2007), 485.
226
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah...
30
Aam Hamidah, “Menakar Yuriditas Sidang Isbat di Luar Negeri” dalam www.badilag.net.
Diakses tanggal 20 Januari 2013.
227
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
31
Lihat Wawan Gunawan Abdul Wahid, “Nikah Sirri Versus Keluarga Sakinah”, Makalah
Disajikan untuk Kajian Tafsir di TVRI Yogyakarta, Tanggal 7 Desember 2012.
32
Lihat, Khoerudin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan Perandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2008), 45.
228
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah...
yang bernma Aisyah Mukhtar yang lebih akrab dipanggil Machicha Mukhtar
bersama putera semata wayangnya bernama Iqbal. Hingga saat ini apa yang
diharapkan oleh sang perempuan bersama anaknya ini belum mendapatkan
kepastian nasib meskipun Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa
anak yang terlahir dari pernaiakahn yang tidak sah selain memiliki hubungan
biologis dengan ibunya juga memiliki hubungan biologis dengan ayahnya.
Sementara upaya sang Ibu untuk mendapatkan itsbat nikah terhadap
pernikahannya dengan tokoh Orde Baru tidak mendapatkan respons yang
Pengadilan Agama dengan beberapa alasan, lagi-lagi mengisyaratkan betapa
kesulitan yang diakibatkan oleh nikah sirri.
Kemudaratan lain yang ditimbulkan dari nikah sirri adalah karena
nikah sirri sering digunakan sebagai cara untuk “berkelit” dari prosedur
poligami yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan pemerintah.
Dengan demikian dalam pernikahan sirri ada upaya untuk menyembunyikan
fakta bahwa seseorang telah bersitrikan dua karena ia melakukannya secara
sembunyi-sembunyi. Sebuah cara yang dimaksudkan supaya isteri pertama dan
keluerga besarnya tidak mengetahui pernikahan keduanya. Dalam pernikahan
sirri yang dimamasukdan sebagai cara poligami boleh jadi yang dirugikan itu
bukan hanya isteri pertama yang dinikai secara sah tetapi isteri kedua yang
dinikahi secara sirri yang tidak mengetahui bahwa lelaki yang menikahinya
secara sirri itu sesungguhnya suami seorang isteri dengan sekian anak, misalnya.
Terhadap kenyataan yang disebutkan diatas wajar jika ada pandangan
dan usulan bahwa pelaku nikah sirri serta petugas yang menyokongnya dapat
diajukan ke pengadilan karena nikah sirri dapat dikulaifikasikan sebagai
suatu tindakan yang melawan prinsip yang ditegaskan dalam maqashid asy-
syariah. Katika maqashid asy-syari’ah menyatakan bahwa dalam penentuan dan
menjalan hukum harus peduli pada aspek pemeliharaan agama, harta, jiwa,
akal serta keturunan33 sementara praktek nikah sirri merusak sebagian besar
dari lima unsur tadi. Karena sebagaima diuraikan terdahulu praktek nikah
sirri mendistorsi hak harta yang menjadi hak anak serta isteri, melanggar
prinsip agama dan pada saat yang sama berpotensi untuk mengganggu jiwa
pihak yang menjalankannya.34
33
Lihat, Jaser Audah, al-Maqashid for beginers, versi Indonesianya berjudul al-Maqashid untuk Pemula,
terjemah Ali Abdoelmun’im (Yogyakarta:Suka Press, 2013), 1-15.
34
Lihat, Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 57.
229
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
35
Lihat Ibnu Manzhur, Ibid, II: 19
36
Kemitraan Indonesia-Australia, Panduan Pengajuan Itsbat Nikah, (Jakarta: Kemitraan Indonesia
Australia, t.t.), 3
230
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah...
37
Abdul Gani Abdullah, “Sekitar Masalah Pengesahan Nikah Sirri”, Materi Rakernas Perdata
Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, 13-14.
38
Abdul Ghafur Anshari, Hukum Perkawinan Islam, 214.
39
Dalam kaitan inilah dapat dipahami mengapa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan
dengan dikabulkannya separo pengajuan judicial review yang dilakukan oleh Aisyah Mukhtar (yang
lebih dikenal dengan Machicha Mukhtar ), respons para pemerhati tidak seragam. Salah satunya adalah
yang menyatakan bahwa putusan MK itu sama dengan melegalkan pernikahan sirri dan mendorong
perempuan untuk melakukan “perampokan pernikahan” yang telah dibina oleh pasangan suami-isteri
dengan susah payah yang dilakukan secara sah.
231
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
mempertegas bahwa nikah sirri sebagai suatu praktek yang terjadi di tengah
masyarakat meskipun sering dinyatakan sebagai pernikahan yang sah menurut
agama memucnulkan problematika yang tidak dapat diselesaikan kecuali
dengen mengindahkan ketentuan undang-undang.
232
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah...
VI. Simpulan
Dari uraian tersebut di atas kiranya dapat ditarik beberapa simpulan
sebagai berikut: Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa nikah sirri
itu sesuai dengan agama patut diluruskan kerana dalam kenyatannya nikah
sirri itu menimbulkan berbagai persoalan yang intinya kerugian salah satu
pasangan yaitu perempuan dan anak. Persoalan yang ditimbulkan ini ini dapat
dikualifiaksikan sebagai dlarar yang dilarang agama.
Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan pernikahan tidak
pernah dilakukan pada zaman Nabi saw karena itu pencatatan pernikahan
merupakan syarat administratif perlu diluruskan. itu adanya isbat nikah
seolah membuka peluang untuk tumbuh kembangnya nikah sirri. Situasi
40
Wawancara dengan Ustadz Marzuki Rasyid, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah (2010-2015), tanngal 21 agustus 2013.
233
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
41
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jinai al-Islamiy, (Libanon: Dar an-Nafais, 1986), II: 234.
234
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah...
DAFTAR PUSTAKA
235
Musâwa, Vol. 12 No 2 Juli 2013
236