Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FIQIH MUNAKAHAT

“Saksi Nikah”

DISUSUN OLEH :

BRISZA VIOLANI T ( 1101202017 )

FAKULTAS SYARIAH

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM AL – GHURABAA

JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT.
yang senantiasa memberikan kekuatan lahir bathin, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul : ”Saksi Nikah”.

Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terimakasih kepada
semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis telah berupaya dengan
segala kemampuan dan pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan
tercapainya tujuan dari penulisan makalah ini. Dan penulis mengharapkan kritik serta saran
demi kesempurnaan makalah ini.

Depok, 25 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

BAB 1 PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

a. Syarat Sah Nikah


b. Syarat-syarat Saksi
c. Ketentuan Perundang-undangan saksi nikah

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Majlis Ijab Kabul adalah saat yang mendebarkan bagi bakal suami. Sah! Maka
termeterailah ikatan perkahwinan. Tanggung jawab pun terpikul dibahu. Amanah yang besar
perlu dilaksanakan.
Sebelum Majlis Ijab Kabul dilaksanakan, amatlah berharga dan penting bagi bakal suami
isteri mengetahui tentang syarat-syarat sah yang terkandung dalam Pernikahan dan
bagaimana syarat menjadi seorang saksi dalam Pernikahan.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1,
perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat
Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah).
Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang
yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia,
ketika manusia melakukan pernikahan. Hal yang demikian tidak disebutkan Allah s.w.t.
ketika binatang ternak berpasangan untuk berkembangbiak. Karena tugas selanjutnya bagi
manusia dalam lembaga pernikahan adalah untuk membangun peradaban dan menjadi
khalifah di dunia (Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an: bab pernikahan).

B.     Rumusan Masalah


1. Apa saja yang termasuk dalam syarat sah nikah?
2. Apa saja yang termasuk dalam syarat menjadi seorang saksi dalam pernikahan?
3. Apa saja ketentuan perundang-undangan?

C.    Tujuan Pembahasan


1. Mengetahui apa saja yang termasuk dalam syarat sah nikah.
2. Mengetahui apa saja yang termasuk dalam syarat menjadi seorang saksi dalam
pernikahan.
3. Mengetahui ketentuan perundang-undangan saksi nikah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syarat Sah Nikah


Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna
ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan,
tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan
Pernikahan tersebut dianggap sah menurut hukum Islam bila telah memenuhi syarat
dan rukun pernikahan. Syarat pernikahan adalah :
1. Persetujuan kedua belah pihak,
2. Mahar (mas kawin),
3. Tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan.
Sedangkan rukun pernikahan adalah:
1) calon suami,
2) calon isteri,
3) wali,
4) saksi dan
5) ijab kabul.

Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan
atau syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits Nabi SAW.
Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab
dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang
ulama/mazhab dengan mazhab lain.
Syarat-syaratnya ada 2 :
1. Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria
lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena wafat
suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang
terlarang dinikahi.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Menurut jumhur uama, perkawinan yang tidak dihadiri saksi-saksi tidak sah.
Jika ketika ijab qobul tak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan
orang ramai dengan cara lain, perkawinannya tidak sah.
Dalam Hadits Riwayat Tirmidzi :
Dari Ibnu Abbas, rasullullah saw.bersabda : “Pelacur yaitu perempuan-perempuan
yang mengawinkan dirinya tanpa saksi.”

Dalam Hadits riwayat Darruqutni :


Dari Aisyah ra. Rasullullah saw bersabda : “tidak sah perkawinan kecuali dengan
wali dan dua saksi yang adil.”

B. Syarat-syarat Saksi

Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, sak·si adalah n 1 orang yg melihat atau
mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian): siapa — nya bahwa saya berbuat begitu; langit
dan bumi yg menjadi –; 2 orang yg dimintai hadir pd suatu peristiwa yg dianggap mengetahui
kejadian tsb agar pd suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yg
membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi: dua orang itu ikut
menandatangani kontrak sbg –; 3 orang yg memberikan keterangan di muka hakim untuk
kepentingan pendakwa atau terdakwa: — yg kedua itu oleh hakim dianggap tidak sah; 4
keterangan (bukti pernyataan) yg diberikan oleh orang yg melihat atau mengetahui; 5 bukti
kebenaran: ia berani memberi — dng sumpah; 6 orang yg dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan penuntutan dan peradilan tt suatu perkara pidana yg didengarnya,
dilihatnya, atau dialaminya sendiri;
Imam Abu Hanifah,Syafi’i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan,
hanya mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan
pernikahan yang dituntut. Sebelum pasangan suami istri “bercampur” (berhubungan seks)
atau syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.
Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang
dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan berita pernikahan.
Bagaimana kalau saksi-saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan itu? Imam Syafi’I
dan Abu Hanifah menilainya sah-sah saja, sedang Imam Malik menilai bahwa syarat yang
demikian membatalkan pernikahan {fasakh). Perbedaan pendapat ini lahir dari analisis
mereka tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka keagamaan, atau semata-mata
tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya perselisihan pendapat. Demikian penjelasan
Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayat Al-Mujtahid.
Dalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan pernikahan yang ditetapkan
melalui undang-undang, namun di sisi lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua
orang saksi-tetap dinilai sah oleh agama. Bahkan seandainya kedua saksi itu diminta untuk
merahasiakan pernikahan yang disaksikannya itu, maka pernikahan tetap dinilai sah dalam
pandangan pakar hukum Islam Syafi’i dan Abu Hanifah.
Namun dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah
menurut hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi
pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR
(Ulil Amri). Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri selama tidak
bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak
bertentangan, tetapi justru sangat sejalan dengan semangat Al-Quran. Selain ada wali, nikah
juga memerlukan dua orang saksi. Wali menikahkan (mengijabkan) dan
Saksi menyaksikan pernikahan itu. Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud:
“Tidak sah nikah kecuali ada dua orang saksi yang adil nikah yang tidak demikian (tidak ada
wali dan dua orang saksi) adalah batal”.

Syarat Saksi secara umum yaitu :


1) Islam.
2) Laki-laki.
3) Berakal sihat (tidak gila).
4) Dikehendaki yang sudah baligh.
5) Dapat melihat (tidak buta)
6) Dapat mendengar.
7) Merdeka (bukan hamba abdi).
8) Dapat bercakap.
9) Saksi dikehendaki dapat memahami ijab dan kabul.
10) Saksi hendaklah bukan orang yang boleh menjadi wali bagi si perempuan
yang akan nikah.
11) Adil (tidak fasik).
Penjelasan mengenai perbedaan pendapat salam syarat menjadi saksi adalah :
1. Bersifat adil
Menurut imam Hanafi untuk menjadi saksi dalam perkawinan tidak
disyaratkan harus orang adil, jadi perkawinan yang disaksikan oleh dua orang
fasik hukumnya sah.
Ulama syafiiyah berpendapat saksi itu harus orang adil , sebagaimana dalam
hadits :
“Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil. Menurut mereka
ini biala perkawinan disaksikan oleh dua orang yang belum dikenal adil
tidaknya, amak ada dua pendapat, tetapi menurut Syafii kawin dengan saksi-
saksi yang belum dikenal adil tidaknya, hukumnya sah.”
2. Harus orang merdeka
Abu Hanifah dan Syafii menyaratkan orang yang menjadi saksi harus
orang-orang yang merdeka, tetapi ahmad juga mengharuskan syarat ini. Dia
berpendapat bahwa aqad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak,
hukumnya sah sebagimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah
lain, karena dalam alquran maupun hadits tidak ada keterangan yang menolak
seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah,
kesaksiannya tidak boleh ditolak.
3. Harus orang Islam
Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi
dalam perkawinan bilamana pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan
muslim, apakah saksinya harus beragama Islam? Juga mereka berbeda
pendapat jika yang laki-lakinya beragama Islam, apakah yang menjadi saksi
boleh bukan orang Islam?
Menurut Ahmad, syafi’I dan Muhammad bin alhasan perkawinannya
tidak sah, jika saksi-saksinya bukan orang islam, karena yang kawin adalah
orang Islam, sedang kesaksian bukan orang Islam terhadap orang Islam tidak
dapat diterima.
Tetapi Abu Hanifah dan Abi yusuf berpendapat bila perkawinan itu
antara laki-laki muslim dan perempuan Ahli kitab maka kesaksian dua orang
Ahli Kitab boleh diterima. Dan pendapat ini diikuti oleh undang-undang
perkawinan Mesir.
4. Saksi wanita dalam pernikahan
Golongan Syafi’i dan hambali menyaratkan saksi haruslah laki-laki.
aqad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah,
sebagimana riwayat abu ‘Ubaid dari zuhri, katanya :Telah berlaku contoh dari
Rosullullah saw. bahwa tidak boleh perempuan menjadi saksi dalam urusan
pidana, nikah dan talak. Aqad nikah bukanlahsatu perjanjian kebendaan,
bukan pula dimaksudkan untuk kebendaan, dan biasanya yang menghindari
adalah kaum laki-laki. karena itu tidak sah aqad nikah dengan saksi dua orang
perempuan, seperti halnya dalam urusan pidana tidak dapat diterima
kesaksiannya dua orang perempuan.
Tetapi golongan hanafi tidak mengharuskan syarat ini.mereka
berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki atau
seorang seorang laki-laki dan dua perempuan sudah sah, sebagaimana Alloh
berfirman dalam QS Albaqoroh : 282 :
282. “…..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya….“

Akad nikah sama dengan jual beli, yaitu karena merupakan perjanjian
timbale balik ini dianggap sah dengan saksi dua perempuan disamping seorang
laki-laki.

C. Ketentuan Perundang-undangan
Dalam peraturan perundang-undangan yaitu Kitab Undang-Undang Acara Pidana
(KUHAP) yang dimaksud saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Saksi dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu saksi sebagai syarat formil dan saksi sebagai syarat materil. Saksi sebagai syarat formil
yaitu saksi sebagai pembuktian dalam hukum, contohnya: buku nikah. Sedangkan saksi
syarat materil adalah saksi sebagai penentu sah atau tidaknya perkawinan tersebut. Dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak terdapat pasal yang secara khusus
mengenai saksi, namun pada pasal 26 ayat (1) dinyatakan bahwa suatu perkawinan dapat
dimintakan pembatalan disebabkan (salah satunya) oleh tidak dihadiri 2 orang saksi ketika
dilangsungkannya pernikahan. Selain itu, dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 10 ayat (3)
juga ditegaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nikah dan
dihadiri oleh dua orang saksi. Kedua orang saksi tersebut nantinya juga akan menandatangani
akta perkawinan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam, aturan mengenai saksi lebih diperinci sebagai berikut :
a. Pasal 17 (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah
menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi
nikah.
b. Pasal 24 (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad
nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan dua orang saksi.
c. Pasal 25 yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang
laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna
rungu atau tuli.
d. Pasal 26 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad dilangsungkan.

Keputusan Mahkamah Agung (KMA) Nomor 298 tahun 2003 pasal 28 ayat
(2)menyatakan, ”Sesaat setelah nikah dilaksanakan, akta nikah ditandatangani oleh Pegawai
Pencatat Nikah (PPN), suami, istri, wali nikah dan saksi-saksi dalam model N jika
pelaksanaan nikah di balai nikah dan dalam model NB jika pelaksanaan di luar balai nikah
Masih dalam KMA Nomor 298 tahun 2003 pasal 35 menyatakan bahwa :

 Saksi-saksi yang hadir pada waktu pencatatan nikah dan rujuk dipilih
olehyang bersangkutan, beragama Islam, sudah mencapai umur 19
tahun dan memenuhi syarat-syarat menurut hukum.
 Keluarga dekat, pegawai KUA Kecamatan atau P3N dapat diterima
sebagai saksi.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Syarat-syarat nikah ada 2 :

1. Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain,
atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau
dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.

Syarat Saksi secara umum yaitu :


 Islam.
 Laki-laki.
 Berakal sihat (tidak gila).
 Dikehendaki yang sudah baligh.
 Dapat melihat (tidak buta)
 Dapat mendengar.
 Merdeka (bukan hamba abdi).
 Dapat bercakap.
 Saksi dikehendaki dapat memahami ijab dan kabul.
 Saksi hendaklah bukan orang yang boleh menjadi wali bagi si perempuan
yang akan nikah.
 Adil (tidak fasik).
Dalam perundang-undangan baik UU Perkawinan, KHI maupun KMA
mengisyaratkan dalam suatu akad nikah harus dihadirkan dua orang saksi. Dalam KHI dua
orang saksi tersebut diperinci. Persyaratan saksi dalam KHI pasal 15 adalah saksi dalam
akad nikah adalah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan
tidak tuna rungu atau tuli.

DAFTAR PUSTAKA

Rifa’I,Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang:Toha Putra,1978.

Sabiq,Sayyid.Fikih Sunnah 6.Bandung:Alma’arif,1980.Cetakan Pertama.

Ghazali, Abd Rahman. Fiqh Munakahat. Bogor: Kencana,2003.

Rusyd,Ibnu. Biddayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Jilid 2. Bandung: Trigenda


Karya,1996

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Anda mungkin juga menyukai