FIQIH MUNAKAHAT
“Saksi Nikah”
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS SYARIAH
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT.
yang senantiasa memberikan kekuatan lahir bathin, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul : ”Saksi Nikah”.
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terimakasih kepada
semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis telah berupaya dengan
segala kemampuan dan pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan
tercapainya tujuan dari penulisan makalah ini. Dan penulis mengharapkan kritik serta saran
demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
BAB 1 PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
a. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan
atau syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits Nabi SAW.
Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab
dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang
ulama/mazhab dengan mazhab lain.
Syarat-syaratnya ada 2 :
1. Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria
lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena wafat
suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang
terlarang dinikahi.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Menurut jumhur uama, perkawinan yang tidak dihadiri saksi-saksi tidak sah.
Jika ketika ijab qobul tak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan
orang ramai dengan cara lain, perkawinannya tidak sah.
Dalam Hadits Riwayat Tirmidzi :
Dari Ibnu Abbas, rasullullah saw.bersabda : “Pelacur yaitu perempuan-perempuan
yang mengawinkan dirinya tanpa saksi.”
B. Syarat-syarat Saksi
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, sak·si adalah n 1 orang yg melihat atau
mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian): siapa — nya bahwa saya berbuat begitu; langit
dan bumi yg menjadi –; 2 orang yg dimintai hadir pd suatu peristiwa yg dianggap mengetahui
kejadian tsb agar pd suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yg
membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi: dua orang itu ikut
menandatangani kontrak sbg –; 3 orang yg memberikan keterangan di muka hakim untuk
kepentingan pendakwa atau terdakwa: — yg kedua itu oleh hakim dianggap tidak sah; 4
keterangan (bukti pernyataan) yg diberikan oleh orang yg melihat atau mengetahui; 5 bukti
kebenaran: ia berani memberi — dng sumpah; 6 orang yg dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan penuntutan dan peradilan tt suatu perkara pidana yg didengarnya,
dilihatnya, atau dialaminya sendiri;
Imam Abu Hanifah,Syafi’i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan,
hanya mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan
pernikahan yang dituntut. Sebelum pasangan suami istri “bercampur” (berhubungan seks)
atau syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.
Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang
dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan berita pernikahan.
Bagaimana kalau saksi-saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan itu? Imam Syafi’I
dan Abu Hanifah menilainya sah-sah saja, sedang Imam Malik menilai bahwa syarat yang
demikian membatalkan pernikahan {fasakh). Perbedaan pendapat ini lahir dari analisis
mereka tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka keagamaan, atau semata-mata
tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya perselisihan pendapat. Demikian penjelasan
Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayat Al-Mujtahid.
Dalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan pernikahan yang ditetapkan
melalui undang-undang, namun di sisi lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua
orang saksi-tetap dinilai sah oleh agama. Bahkan seandainya kedua saksi itu diminta untuk
merahasiakan pernikahan yang disaksikannya itu, maka pernikahan tetap dinilai sah dalam
pandangan pakar hukum Islam Syafi’i dan Abu Hanifah.
Namun dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah
menurut hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi
pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR
(Ulil Amri). Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri selama tidak
bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak
bertentangan, tetapi justru sangat sejalan dengan semangat Al-Quran. Selain ada wali, nikah
juga memerlukan dua orang saksi. Wali menikahkan (mengijabkan) dan
Saksi menyaksikan pernikahan itu. Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud:
“Tidak sah nikah kecuali ada dua orang saksi yang adil nikah yang tidak demikian (tidak ada
wali dan dua orang saksi) adalah batal”.
Akad nikah sama dengan jual beli, yaitu karena merupakan perjanjian
timbale balik ini dianggap sah dengan saksi dua perempuan disamping seorang
laki-laki.
C. Ketentuan Perundang-undangan
Dalam peraturan perundang-undangan yaitu Kitab Undang-Undang Acara Pidana
(KUHAP) yang dimaksud saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Saksi dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu saksi sebagai syarat formil dan saksi sebagai syarat materil. Saksi sebagai syarat formil
yaitu saksi sebagai pembuktian dalam hukum, contohnya: buku nikah. Sedangkan saksi
syarat materil adalah saksi sebagai penentu sah atau tidaknya perkawinan tersebut. Dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak terdapat pasal yang secara khusus
mengenai saksi, namun pada pasal 26 ayat (1) dinyatakan bahwa suatu perkawinan dapat
dimintakan pembatalan disebabkan (salah satunya) oleh tidak dihadiri 2 orang saksi ketika
dilangsungkannya pernikahan. Selain itu, dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 10 ayat (3)
juga ditegaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nikah dan
dihadiri oleh dua orang saksi. Kedua orang saksi tersebut nantinya juga akan menandatangani
akta perkawinan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam, aturan mengenai saksi lebih diperinci sebagai berikut :
a. Pasal 17 (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah
menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi
nikah.
b. Pasal 24 (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad
nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan dua orang saksi.
c. Pasal 25 yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang
laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna
rungu atau tuli.
d. Pasal 26 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad dilangsungkan.
Keputusan Mahkamah Agung (KMA) Nomor 298 tahun 2003 pasal 28 ayat
(2)menyatakan, ”Sesaat setelah nikah dilaksanakan, akta nikah ditandatangani oleh Pegawai
Pencatat Nikah (PPN), suami, istri, wali nikah dan saksi-saksi dalam model N jika
pelaksanaan nikah di balai nikah dan dalam model NB jika pelaksanaan di luar balai nikah
Masih dalam KMA Nomor 298 tahun 2003 pasal 35 menyatakan bahwa :
Saksi-saksi yang hadir pada waktu pencatatan nikah dan rujuk dipilih
olehyang bersangkutan, beragama Islam, sudah mencapai umur 19
tahun dan memenuhi syarat-syarat menurut hukum.
Keluarga dekat, pegawai KUA Kecamatan atau P3N dapat diterima
sebagai saksi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain,
atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau
dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
DAFTAR PUSTAKA