PERADILAN ISLAM
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS SYARIAH
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT.
yang senantiasa memberikan kekuatan lahir bathin, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul : ”Sumber Hukum Acara Peradilan Agama”.
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terimakasih kepada
semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis telah berupaya dengan
segala kemampuan dan pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan
tercapainya tujuan dari penulisan makalah ini. Dan penulis mengharapkan kritik serta saran
demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
BAB 1 PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
a. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
3. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun
2004
Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota,
panitera, dan seorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung
adalah hakim agung dan hakim agung paling banyak 60 orang. Pimpinan Mahkamah
Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua
muda.Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan
wakil ketua bidang non-yudisial.Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda
perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, ketua muda militer, dan ketua muda
tata usahanegara.Pada setiap pembidangan, Mahkamah Agung dapat melakukan
pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuaioleh ketua muda.Wakil ketua
bidang non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketuamuda pengawasan.
Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung selama 5
(lima) tahun.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan
bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara
adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah
Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Selain itu, ditentukan pula Mahkamah Agung mempunyai wewenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Undang-Undang ini memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut, di
samping guna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga didasarkan atas
Undang-Undang mengenai kekuasaan kehakiman baru yang menggantikan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Berbagai substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain tentang
penegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman,
syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta beberapa substansi
yang menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta dalam
melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini di samping
dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke
Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas
putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan
nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Mahkamah
Agung antara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi,
administrasi,dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka
organisasiMahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian.
RV (Reglement of de Rechtsvordering)
RV adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke
Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu
kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian
setelah beberapa lama, terjadi ketidak sesuaian dengan daerah luar Jawa dan
Madura, maka dibentuklah RBg.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan Agama telah
ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut
pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang
dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”,
tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan
diundangkannya ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa –
Madura.
Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan
dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki
undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara, melainkan tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula
seragam.
Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan
rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara
RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU
Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986.
Dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan
Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Drs. H. Abdul Manan, S.H., SIP.M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama.
A. Mukti Arto, H. Drs., SH. Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996.
Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II
Edisi Revisi, 1997.
Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989.
Yahya Harahap, M., SH. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka
Kartini, 1990.
https://pa-seirampah.go.id/index.php/kepaniteraan/prosedur-berperkara/12-prosedur-
berpekara/269-hukum-acara