Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERADILAN ISLAM

“Sumber Hukum Acara Peradilan Agama”

DISUSUN OLEH :

BRISZA VIOLANI T ( 1101202017 )

FAKULTAS SYARIAH

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM AL – GHURABAA

JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT.
yang senantiasa memberikan kekuatan lahir bathin, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul : ”Sumber Hukum Acara Peradilan Agama”.

Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terimakasih kepada
semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis telah berupaya dengan
segala kemampuan dan pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan
tercapainya tujuan dari penulisan makalah ini. Dan penulis mengharapkan kritik serta saran
demi kesempurnaan makalah ini.

Depok, 13 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

BAB 1 PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

a. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama


b. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
c. Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dengan Hukum Acara Perdata

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata
materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan
mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata
materil.
Adapun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus (Pasal 54 UU
No. 7 Tahun 1989).

B.     Rumusan Masalah


1.      Apa itu Sumber Hukum Acara Peradilan Agama ?
2.      Apa saja asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama ?
3. Bagaimana Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dengan Hukum Acara Perdata

C.    Tujuan Pembahasan


1. Untuk mengetahui Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
2. Untuk mengetahui apa saja asas-asas dalam Hukum Acara Peradilan Agama
3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dengan
Hukum Acara Perdata
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama


1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara
kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan
dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain
itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim
sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan
juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk
memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan
peralihan.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat
lingkungan peradilan. Dan semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara
kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan
dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain
itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim
sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan
juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk
memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan
peralihan.

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai dasar perkawinan, syarat-syarat
perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan,
hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan
serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak,
perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.Bagi suatu Negara dan
Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional
yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum
perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai
golongan dalam masyarakat kita. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-
prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan
zaman.

3. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun
2004
Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota,
panitera, dan seorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung
adalah hakim agung dan hakim agung paling banyak 60 orang. Pimpinan Mahkamah
Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua
muda.Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan
wakil ketua bidang non-yudisial.Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda
perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, ketua muda militer, dan ketua muda
tata usahanegara.Pada setiap pembidangan, Mahkamah Agung dapat melakukan
pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuaioleh ketua muda.Wakil ketua
bidang non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketuamuda pengawasan.
Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung selama 5
(lima) tahun.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan
bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara
adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah
Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Selain itu, ditentukan pula Mahkamah Agung mempunyai wewenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Undang-Undang ini memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut, di
samping guna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga didasarkan atas
Undang-Undang mengenai kekuasaan kehakiman baru yang menggantikan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Berbagai substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain tentang
penegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman,
syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta beberapa substansi
yang menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta dalam
melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini di samping
dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke
Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas
putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan
nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Mahkamah
Agung antara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi,
administrasi,dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka
organisasiMahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian.

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-


Undang Nomor 3 Tahun 2006
Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan
Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum
masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi
ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula,
kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian
warisan”, dinyatakan dihapus.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus
dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang ini.
Penggantian dan perubahan Undang-Undang tersebut secara tegas telah
mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan
peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan
finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih
berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan. Berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke
Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula
diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan
kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat
pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi
syari’ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan
untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan
perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang
Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum
Mahkamah Syari’ah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah
berdasarkan ganun.
Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi agama berkedudukan
di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

5. PP Nomor 9 Tahun 1975


Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah
pencatatan perkawinan,tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara perceraian, cara
mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus
perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang dan sebagainya.
Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-
langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai
Departemen atau Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama,
Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu
dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan
sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah
persiapan tersebut.

6. HIR/RBG dan RV (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan)


HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)
Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkaraperdata dan
penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia dan bangsa Timur Asing di Jawa dan
Madura.
Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal
yang berkaitan dengan perkara perdata, hal-hal yang menyangkut perkara pidana
diatur dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan peraturan
pelaksanaannya.

Dalam reglemen ini memuat:


 Hal melakukan tugas kepolisian, yang meliputi kepala desa dan semua
bawahan polisi yang Lain
 Hal mengadili perkara perdatayang termasuk wewenang pengadilan
negeri.

RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)


Reglemen Untuk Daerah Seberang berlaku untuk daerah luar Jawa dan
Madura. Dalam reglemen ini memuat:
1) Cara mengadili perkara perdata yang dalam tingkat pertama
menjadi wewenang pengadilan Negeri yang meliputi :
 Pemeriksaan di Sidang pengadilan
 Musyawarah dan Keputusan pengadilan
 Banding.
 Pelaksanaan keputusan hukum
 Beberapa acara khusus
 Izin berperkara tanpa biaya

2) Bukti dalam perkara perdata

RV (Reglement of de Rechtsvordering)
RV adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke
Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu
kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian
setelah beberapa lama, terjadi ketidak sesuaian dengan daerah luar Jawa dan
Madura, maka dibentuklah RBg.

B. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama


Asas-asas hukum acara Peradilan agama meliputi :
 Peradilan/hakim bersipat pasif.
 Mendengar pihak-pihak berperkara di muka pengadilan.
 Peradilan Agama memutus perkara berdasarkan hukum Islam. (Pasal 2 dan 49
UU No.3 Tahun 2006).
 Peradilan Agama dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa dan setiap putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat
“Bismillahirrahmanir rahim” dan diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No.7/1989)
 Peradilan Agama dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal
57 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989).
 Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
(Pasal 58 ayat (1) UU No. 7/1989).
 Pemeriksaan perkara dilakukan dalam persidangan Majelis sekurang-
kurangnya tiga orang Hakim (salah satunya Menjadi Ketua Majelis) dan
dibantu Panitera sidang. (Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) UU No.4/2004).
 Persidangan dilakukan terbuka untuk umum kecuali undang-undang
menentukan lain. (Pasal 59 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Psl. 19 ayat (1) UU No.
4 Tahun 2004).
 Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan secara tertutup. (Pasal 67 hurup b
dan pasal 80 hurup b UU No.7/1989) akan tetapi pada saat pembacaan putusan
atau penetapan dilakukan dengan terbuka untuk umum (Pasal 60 UU
No.7/1989 jo. Psl. 20 UU No.4/2004).
 Peradilan Agama dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar
(Psl.5 ayat (2) UU. No. 3/2006 jo. Psl. 4 ayat (3) UU. No. 4/2004).

C. Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dengan Hukum Acara Perdata


a. Pengertian Hukum Acara Perdata
Sebelum membicarakan pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, perlu
diketahui bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 serta dengan melihat UU No. 5 th 2004.
Tugas utama Peradilan Agama ialah menerima, memeriksa, mengadili dan
memutus serta menyelesaikan perkara perdata tertentu antara orang-orang yang
beragama Islam. (Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama jo pasal 49 & 50 UU No. 4 Th. 2006).
Untuk mengetahui hukum acara Peradilan Agama, terlebih dahulu kita harus
mengetahui pengertian hukum acara perdata karena Peradilan Agama hanya
berwenang memeriksa perkara-perkara perdata dan menurut ketentuan pasal 54
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam Undang-Undang ini.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantaraan Hakim.
Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiel.
Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya memajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan
pelaksanaan daripada putusannya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian
peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka
pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalanya peraturan hukum perdata.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. ialah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan
perantara hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara
perdata yang mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutuskan dan pelaksanaan dari pada putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak
lain adalah tindakan yang bertujuan memperolah perlindungan hukum yang diberikan
oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri.
Dari dua pengertian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian
bahwa hukum acara Peradilan Agama ialah pertaturan hukum yang mengatur tentang
bagaimana mentaati dan melaksanakan hukum perdata materiel dengan perantaraan
Pengadilan Agama termasuk bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak atau
permohonan dan bagaimana cara Hakim bertindak agar hukum perdata materiel yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya.

b. Hubungan Peradilan Agama dengan Hukum Perdata


Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah
hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-
ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum
acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum
acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
sebagian besar adalah sama.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan Agama telah
ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut
pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang
dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”,
tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan
diundangkannya ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa –
Madura.
Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan
dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki
undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara, melainkan tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula
seragam.
Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan
rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara
RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU
Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986.
Dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan
Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia.

Prof. Drs. H. Abdul Manan, S.H., SIP.M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama.

A. Mukti Arto, H. Drs., SH. Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996.

Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan


Peradilan Agama, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, 2001.

Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II
Edisi Revisi, 1997.
Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989.

Yahya Harahap, M., SH. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka
Kartini, 1990.

https://pa-seirampah.go.id/index.php/kepaniteraan/prosedur-berperkara/12-prosedur-
berpekara/269-hukum-acara

Anda mungkin juga menyukai