Ulasan :
Pada dasarnya, berdasarkan penelusuran kami dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) yang merupakan
landasan hukum sistem peradilan negara dan mengatur tentang peradilan dan pengadilan pada
umumnya tidak mendefinisikan istilah peradilan dan pengadilan secara khusus.
Namun Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman setidaknya mengatur
bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA” dan peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
Dari dua istilah di atas, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa peradilan merupakan
proses menerapkan dan menegakkan hukum demi keadilan, sedangkan pengadilan adalah
tempat mengadili dan membantu para pencari keadilan agar tercapai suatu peradilan.
Di samping itu, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah tulisan yang kami akses dari
laman resmi Pengadilan Negeri Yogyakarta, disebut antara lain bahwa :
1. Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan
berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem Peradilan yang
dilaksanakan di Pengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
2. Sedangkan peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di
Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara
dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto” (hakim menerapkan
peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan
diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan
menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.
Dari kedua uraian diatas dapat dikatakan bahwa, pengadilan adalah lembaga tempat subjek
hukum mencari keadilan, sedangkan peradilan adalah sebuah proses dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan itu sendiri.”
2
Sebagai informasi untuk Anda, di Indonesia, badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan (Pasal 25 UU Kekuasaan
Kehakiman):
1.peradilan umum, berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan
perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.peradilan militer, berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tugas Pokok:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam tingkat Pertama. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni menyangkut perkara-
perkara:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Shadaqah; dan
i. Ekonomi Syari’ah.
Selain kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan
bahwa “Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal
bulan pada tahun Hijriyah”. Penjelasan lengkap pasal 52A ini berbunyi: “Selama ini
pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat)
terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap
memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri
Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1
(satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai
perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.Di samping itu, dalam
penjelasan UU nomor 3 tahun 2006 diberikan pula kewenangan kepada PA untuk
Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam.
Fungsi;
3
1. Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah
laku Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide : Pasal 53 ayat (1) Undang
– Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang – Undang No. 3 Tahun 2006) ;
Serta terhadap pelaksanaan administrasi umum. (vide : Undang – Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman).
Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang diakui eksistensinya
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasan kehakiman
dan yang terakhir telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman, merupakan lembaga peradilan khusus yang ditunjukan kepada umat
islam dengan lingkup kewenangan yang khusus pula,baik perkaranya ataupun para pencari
4
keadilannya (justiciabel). Disamping peradilan Agama ada juga Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara yang termasuk peradilan khusus.
, ketentuan pidana potong tangan, rajam, salab dan qisas telah off to date dan sangat
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian.
Bagaimana dengan perkembangan hukum pidana Islam di Indonesia? Pertanyaan ini sudah
seharusnya diajukan sebab kedudukan hukum perdata Islam telah terjalin secara luas dalam
hukum positif, baik hal itu sebagai unsur yang mempengaruhi atau sebagai modifikasi norma
agama yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan keperdataan, bahkan tercakup
dalam lingkup hokum substansial dari UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama.Sedang
hukum Islam dibidang kepidanaan- untuk menyebut lain dari hukum pidana Islam- belum
mendapat tempat seperti bidang hukum keperdataan Islam.Selain itu, berbagai kajian
akademik yang ada seringkali bersifat politis dan memperlebar jarak pemahaman hukum
pidana positif dengan hukum Islam bidang kepidanaan.
Hubungan antara praktek hukum Islam dengan agama Islam dapat diibaratkan dengan dua
sisi mata uang yang tak terpisahkan.Hukum Islam bersumber dari ajaran Islam, sedangkan
ajaran Islam adalah ajaran yang dipraktekkan pemeluknya . Oleh sebab itu, untuk
5
Dengan adanya ketetapan tersebut terdapat perubahan penting dalam pengadilan agama
pada waktu itu yaitu:
• Reorganisasi pada dasarnya membentuk pengadilan agama yang baru disamping landraad
(pengadilan negeri) dengan wilayah hukum yang sama, yaitu rata-rata seluas wilayah
kabupaten.
• Pengadilan itu menetapkan perkara-perkara yang dipandang masuk dalam lingkungan
kekuasaannya.
Pengadilan agama mendasarkan keputusannya kepada hukum islam sedangkan landraad
mendasarkan keputusannya kepada hukum adat. Wewenang pengadilan agama dijawa dan
madura berdasarkan ketentuan baru dalam pasal 2a, yang meliputi perkara-perkara sebagai
berikut:
1. Perselisihan antara suami istri yang beragama islam.
2. Perkara-perkara tentang, pernikahan, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang
beragama islam yang memerlukan perantara hakim agama islam.
3. Menyelenggaraka perceraian
4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al-thalaq) telah
ada.
5. Perkara mahar atau maskawin.
6. Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakanoleh suami.
Namun perkara tersebut tidak sepenuhnya menjadi wewenang dari pengadilan agama. Dan
dalam perkara-perkara tersebut apabila terdapat tuntutan untuk pembayaran dengan uang
6
maupun harta benda ataupun dengan barang tertentu, maka harus diperiksa atau diputus oleh
landraad (pengadilan negeri).
Kebijakan hukum Deandles misalnya, sebagaimana yang tertuang dalam Charter voor de
aziastisce bezittingen van de bataafsce republiek, Pasal 86 :“ De rechtspleging onder den
Inlander zal blijven geschieden volgens hunne eigenne wetten en gewoonten.Het Indische
bestuur zal door gepaste middelijn zoergen dat dezelve in die territoiren, welke onmiddelijk
staan onder de opperheerschappij van den staat, soveel mogelijk worde gezuiverd van
ingenslopen misbruiken, tegen den inlandsche wetten of gebruiken strijdende, en het
bekomen van spoedige en goede justitie,….” Sikap toleransi di atas, pelan tapi pasti
kemudian berakhir seiring dengan diterimanya octrooi oleh VOC dari staten general pada
tahun 1602. Dalam pasal 35 octrooi tersebut, VOC mendapat kekuasaan untuk mengangkat
officieren van justitie. Pada waktu pengangkatan dari gouverneur general ( wali negeri ) yang
pertama serta Dewan Hindia pada tanggal 27 November 1609.Dewan ini juga diperintahkan
menengahi perkara perdata maupun pidana .
Oleh sebab itu, beberapa wilayah VOC di nusantara memberlakukan unifikasi hukum
walaupun pada perkembangan selanjutnya unifikasihukum tersebut gagal. Sebagai akibat dari
kegegalan tersebut, pada tahun 1642 VOC mengukuhkan statuta Batavia dan memberikan
legitimasi juridis praktek pembagian waris Islam masyarakat Indonesia . Pengakuan tersebut
kemudian diikuti dengan pengakuan praktek hukum Islam di daerah lain, yaitu praktek
hukum Islam masyarakat Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan .
Pada masa kemerdekaan, Pengadilan Agama atau Mahkamah Agung Islam Tinggi yang telah
ada berlaku berdasarkan aturan peralihan. Selang tiga bulan berdirinya Departemen Agama
yang dibentuk melalui keputusan pemerintah. Setelah Pengadilan Agama diserahkan pada
Departemen Agama masih ada pihak tertentu yang berusaha menghapuskan keberadaan
pengadilan agama. Pengadilan agama selanjutnya ditempatkan dibawah tanggung jawab
jawatan urusan agama.
Dengan demikian secara singkat dapat disebutkan bahwa pada periode 1945 – 1966 terdapat
empat lingkungan peradilan yaitu:peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usahan negara. Keempat lingkungan tersebut bukanlah kekuasaan yang
merdeka secara utuh, melainkan masih dapat intervensi dari kekuasan lain.
Dengan demikian secara tegas dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan independensi
kekuasaan kehakiman dengan tuntutan reformasi dibidang kekuasaan yang menghendaki
kekuasaan kehakiman benar-benar merdeka bebas dari campur tangan kekuasaan lain.
Dengan demikian pada Era Reformasi, khususnya setelah berlangsungnya proses amandemen
terhadap UUD 1945 terdapat dua lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman (yudicial
power) yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Perubahan ketiga, tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim
diagkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara atas usul menteri agama
berdasarkan persetujuan mahkamah agung. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki
kebebasan untuk membuat putusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak
lainnya.
Perubahan keempat, tentang wewenang pengadilan. Menurut ketentuan pasal 49 ayat (1),
“pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara untuk orang Islam”.
Perubahan kelima, tentang hukum acara. Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang-undang ini.
Perubahan ketujuh, tentang perlindungan terhadap wanita. Ketentuan tidak berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, dan tidak pula dihapuskan.
Oleh karena itu banyak muncul tuntutan dari berbagai pihak agar kekuasaan kehakiman harus
bersifat independen, salah satunya adalah dalam hal mekanisme pembinaannya. Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok kekuasaan kehakiman merupakan
undang-undang yang menganut sistem dua atap (double roof system).
Sistem peradilan satu atap adalah suatu kebijakan yang potensial menimbulkan implikasi,
baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Implikasi yang perlu diantisipasi
dengan adanya sistem antara lain:
1. Ditinjau dari ajaran Trias politica dengan satu atap, pemisahan kekuasaan kehakiman dari
kekuasaan legislatif dan eksekutif menjadi lebih murni.
9
Selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terdapat lembaga Negara lain yang
berhubungan dengan kekuasan kehakiman yaitu komisi yudisial, yang mempunyai tugas dan
kewenangan antara lain melakukan seleksi calon Hakim Agung dan menjadi pengawas
terhadap kinerja hakim secara keseluruhan.
Dengan demikian sistem peradilan yang ada di negara kita telah memadahi,sehingga yang
terpenting untuk saat ini adalah membangun moral dari aparat penegak hukum itu sendiri.
Termasuk di dalamnya dapat ditempuh melalui jalur pendidikan hukum yang menekankan
pada aspek pengetahuan(know ledge),keahlian(skill),dan nilai(values). Sehingga para calon
penegak hukum yang dihasilkan nantinya di samping memiliki keahlian di bidang hukum
juga menjunjung tinggi moral dan etika .
1. Termasuk dalam hal ini peradilan agama yang telah memiliki komptensi selain di bidang
hukum keluarga juga hukum perdata lain dalam hal ini yang berkaitan dengan
ekonomisyariah.Sehingga dengan sistem satu atap ini ,maka diperlukan SDM hakim
pengadilan agama yang benar-benar menguasai bidang Ekonomi SyKESIMPULAN
Penyelesaian perselisihan dan persengketaan di dalam kehidupan masyarakat itu sangat
dbutuhkan. Adapun peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan.
• Penyelenggaraan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding. Sedangkan pada tingkat
kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
• Pada masa Kolonial Belanda tidak mau mencampuri organisasi Pengadilan Agama. Dan
terdapat perubahan yang cukup peting yaitu Reorganisasi yang membentuk Pengadilan
Agama yang baru disamping landraad dengan wilayah hukum yang sama dan Pengadilan
yang menetapkan perkara-perkara yang masuk dalam lingkungan kekuasaannya.
• Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mempunyai
beberapa Bab yaitu Ketentuan Umum, Susunan pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, dan
Ketentuan Penutup.
• Pada masa kolonial Belanda Pengadilan Agama disebut “ priesterraad”.
• Sistem Peradilan Agama Satu Atap Dibawah Mahkamah Agung (One Roof System Of
Judicial)
Wewenang Pengadilan Agama berdasarkan penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama adalah :
10
A. Perkawinan
Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau berdasarkan Undang-
Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
Ijin beristeri lebih dari seorang;
Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua,
wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
Dispensasi kawin;
Pencegahan perkawinan;
Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
Pembatalan perkawinan;
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
Perceraian karena talak;
Gugatan perceraian;
Penyelesaian harta bersama;
Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memenuhinya;
Penguasaan anak-anak;
Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
Pencabutan kekuasaan wali;
Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut;
Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas)
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang
tuanya;
Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya;
Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum
Islam;
Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur;
dan
Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
B. Waris
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama disebutkan
berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah
sebagai berikut:
Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
Penentuan mengenai harta peninggalan;
Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, dan penentuan bagian-bagiannya.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan
untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”. Kini, dengan
11
14 pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur: Ketentuan umum, yaitu definisi wakaf, wakif, ikrar,
benda wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf; fungsi wakaf; subjek hukum yang
dapat mewakafkan harta bendanya; syarat benda wakaf; prosedur mewakafkan; syarat-syarat
nadzir; kewajiban dan hak-hak nadzir; pendaftaran benda wakaf; perubahan, penyelesaian
dan pengawasan benda wakaf. Khusus mengenai perwakafan tanah milik, KHI tidak
mengaturnya. Ia telah diregulasi empat tahun sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No.
28 tahun 1977, lembaran negara No. 38 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
F. Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau badan hukum yang
dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya. KHI tidak menyinggung pengaturan zakat.
Regulasi mengenai zakat telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 Lembaran Negara Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis
besar, isi Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk campur tangan
dalam bidang zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada
muzakki, mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan zakat; organisasi pengelolaan zakat;
pengumpulan zakat; pendayagunaan zakat; pengawasan pengelolaan zakat; dan sanksi
terhadap pelanggaran regulasi pengelolaan zakat.
G. Infaq
Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan dengan: “perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa
makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi (karunia), atau menafkahkan sesuatu
kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlash, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
Kewenangan Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini juga tak diatur lebih lanjut.
H. Shadaqah
Ekonomi syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah.”
Kewenangan itu antara lain:
Bank Syari’ah;
Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah;
Asuransi Syari’ah;
Reasuransi Syari’ah;
Reksadana Syari’ah;
Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah;
Sekuritas Syari’ah;
Pembiayaan Syari’ah;
Pegadaian Syari’ah;
13
Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan ialah
menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya, termasuk
didalamnya menyelesaikan perkara voluntair.
Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di Indonesia. Dikatakan
Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata tertentu dan
mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam struktur 0rganisasi Peradilan Agama, ada
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan
penyelesaian perkara di tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Dengan demikian, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk menyelesaikan semua
masalah dan sengketa yang termasuk di bidang perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah,
infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Fungsi:
Melakukan pembinaan terhadap pejabat strykturan dan fungsional dan pegawai lainnya baik
menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum
Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya
(pasal 53 ayat 1 dan 2, UU No.3 Tahun 2006)
Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman
Adapun kewenangan mengadili badan Peradilan Agama dapat dibagi menjadi 2 (dua)
kewenangan yaitu:
1. Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut
kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut “Atribut Van
Rechsmacht”. Yang menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama adalah:
Menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara antara orang-
orang yang beragama Islam dalam bidang:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. InfaqShadaqoh
h. Ekonomi Syari’ah.
(Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
2. Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara
yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal
pihak-pihak berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan
yang mewilayahi tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg.
Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun
1989). Dalam istilah lain kewenangan relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”.
Pengadilan yang berhak mengadili suatu perkara dalam bahasa latin disebut dengan istilah
“Actor Sequitur Forum Rei”.
Adapun kewenangan mengadili badan Peradilan Agama dapat dibagi menjadi 2 (dua)
kewenangan yaitu:
1. Kewenangan Mutlak
(Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk
mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh
Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut “Atribut Van Rechsmacht”. Yang menjadi
kewenangan absolute Pengadilan Agama adalah:
Menecontoh kasus Fungsi pengadilan agama kel 3 pkn Peradilan Agama Kewenangan
15
peradilan
17