Anda di halaman 1dari 18

1

A. PERBEDAAN PERADILAN DAN PENGADILAN


Peradilan adalah suatu proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan
tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara. Sedangkan pengadilan adalah badan atau
instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara. Penjelasan selengkapnya dapat disimak dalam ulasan di bawah ini.

Ulasan :
Pada dasarnya, berdasarkan penelusuran kami dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) yang merupakan
landasan hukum sistem peradilan negara dan mengatur tentang peradilan dan pengadilan pada
umumnya tidak mendefinisikan istilah peradilan dan pengadilan secara khusus.

Namun Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman setidaknya mengatur
bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA” dan peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.

Sedangkan, istilah pengadilan disebut dalam Pasal 4 UU Kekuasaan Kehakiman yang


antara lain menjelaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang dan pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan.

Dari dua istilah di atas, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa peradilan merupakan
proses menerapkan dan menegakkan hukum demi keadilan, sedangkan pengadilan adalah
tempat mengadili dan membantu para pencari keadilan agar tercapai suatu peradilan.

Di samping itu, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah tulisan yang kami akses dari
laman resmi Pengadilan Negeri Yogyakarta, disebut antara lain bahwa :

1. Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan
berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem Peradilan yang
dilaksanakan di Pengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
2. Sedangkan peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di
Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara
dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto” (hakim menerapkan
peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan
diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan
menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.

Dari kedua uraian diatas dapat dikatakan bahwa, pengadilan adalah lembaga tempat subjek
hukum mencari keadilan, sedangkan peradilan adalah sebuah proses dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan itu sendiri.”
2

Sebagai informasi untuk Anda, di Indonesia, badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan (Pasal 25 UU Kekuasaan
Kehakiman):

1.peradilan umum, berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan
perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.peradilan agama, berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara


antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

3.peradilan militer, berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.peradilan tata usaha negara, berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan


menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

B. Tugas dan Fungsi Peradilan Agama

Tugas Pokok:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam tingkat Pertama. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni menyangkut perkara-
perkara:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Shadaqah; dan
i. Ekonomi Syari’ah.
Selain kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan
bahwa “Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal
bulan pada tahun Hijriyah”. Penjelasan lengkap pasal 52A ini berbunyi: “Selama ini
pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat)
terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap
memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri
Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1
(satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai
perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.Di samping itu, dalam
penjelasan UU nomor 3 tahun 2006 diberikan pula kewenangan kepada PA untuk
Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam.

Fungsi;
3

Untuk melaksanakan tugas – tugas pokok tersebut Pengadilan Agama mempunyai


fungsi sebagai berikut :

1. Fungsi Mengadili(judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang


menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum masing-masing ;
(vide Pasal 49 Undang – Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang – Undang No. 3 Tahun 2006)
;

1. Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah
laku Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide : Pasal 53 ayat (1) Undang
– Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang – Undang No. 3 Tahun 2006) ;
Serta terhadap pelaksanaan administrasi umum. (vide : Undang – Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman).

Pengawasan tersebut dilakukan secara berkala oleh Hakim Pengawas Bidang ;

1. Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada


jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yustisial, administrasi peradilan maupun
administrasi umum. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) ;
2. Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan bagi
perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi dan
peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan pelayanan
administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (Bidang
Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum) ;
3. Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur
dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ;
4. Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan penelitian serta
llain sebagainya, seperti diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI. Nomor :
KMA/004/SK/II/1991 ;

C.SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA


Peradilan agama adalah kekuasan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,
dan shodaqah diantara orang-orang islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Penyelenggaraan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama pada Tingkat


pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada Tingkat Banding. Sedangkan pada tingkat kasasi
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Sebagai pengadilan negara tertinggi.

Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang diakui eksistensinya
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasan kehakiman
dan yang terakhir telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman, merupakan lembaga peradilan khusus yang ditunjukan kepada umat
islam dengan lingkup kewenangan yang khusus pula,baik perkaranya ataupun para pencari
4

keadilannya (justiciabel). Disamping peradilan Agama ada juga Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara yang termasuk peradilan khusus.

D.PENGERTIAN PERADILAN AGAMA


Didalam kamus besar bahasa indonesia Peradilan adalah “ segala sesuatu mengenai
perkara pengadilan”. Dalam ilmu hukum, peradilan dijelaskan oleh para sarjana hukum
indonesia sebagai terjemahan dari rechtspraak dalam bahasa belanda. Menurut Mahadi,
Peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi keadilan dalam suatu
keputusan, proses ini diatur dalam suatu peraturan hukum acara.jadi peradilan tidak bisa lepas
dari hukum acara.
Menurut abdul gani abdullah menyimpulkan bahwa peradilan adalah kewenangan suatu
lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya hukum
dan keadilan.

* AKAR HISTORIS HUKUM ISLAM DI INDONESIA


Walaupun merupakan bagian integral syari’ah Islam dan memiliki peran signifikan,
kompetensi dasar yang dimiliki hukum Islam, tidak banyak dipahami secara benar dan
mendalam oleh masyarakat, bahkan oleh kalangan ahli hukum itu sendiri. Sebagian besar
kalangan beranggapan, tidak kurang diantaranya kalangan muslim, menancapkan kesan
kejam, incompatible dan off to date dalam konsep hokum Islam.Ketakutan ini akan semakin
jelas adanya apabila mereka membincangkan hukum pidana Islam

, ketentuan pidana potong tangan, rajam, salab dan qisas telah off to date dan sangat
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian.

Bagaimana dengan perkembangan hukum pidana Islam di Indonesia? Pertanyaan ini sudah
seharusnya diajukan sebab kedudukan hukum perdata Islam telah terjalin secara luas dalam
hukum positif, baik hal itu sebagai unsur yang mempengaruhi atau sebagai modifikasi norma
agama yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan keperdataan, bahkan tercakup
dalam lingkup hokum substansial dari UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama.Sedang
hukum Islam dibidang kepidanaan- untuk menyebut lain dari hukum pidana Islam- belum
mendapat tempat seperti bidang hukum keperdataan Islam.Selain itu, berbagai kajian
akademik yang ada seringkali bersifat politis dan memperlebar jarak pemahaman hukum
pidana positif dengan hukum Islam bidang kepidanaan.

Dalam perspektif makro-historis, kemajemukan hukum merupakan realitas sejarah yang


tidak dapat dihindarkan.Mazhab Posivisme berpendapat, bahwa: the development of law
formalized for the sake of the law only. Kalangan ini menolak keras campur tangan politik
dalam hukum, hukum demi hukum, ilmu hukum berbentuk value-free science sedangkan
ilmu politik apalagi jika dikaitkan dengan ilmu sosial berbentuk value-loaded science.Dalam
pandangan kelompok ini prosedur penemuan, pembentukan, dan pelaksanaan hukum berjalan
dalam bingkai aparat hukum an sich, hukum hanya dapat ditemukan melalui keputusan hakim
saja.Adapun proses pembentukan hokum dibatasi pada produk legitimator yang disahkan
undang-undang . law is a command of the law giver .

Hubungan antara praktek hukum Islam dengan agama Islam dapat diibaratkan dengan dua
sisi mata uang yang tak terpisahkan.Hukum Islam bersumber dari ajaran Islam, sedangkan
ajaran Islam adalah ajaran yang dipraktekkan pemeluknya . Oleh sebab itu, untuk
5

membicarakan perkembangan hukum Islam di Indonesia erat hubungannya dengan


penyebaran agama Islam di Indonesia.Oleh karena itu, amat wajar jika kajian kedudukan
hukum Islam pra penjajahan dilakukan dengan asumsi bahwa tata hukum Islam Indonesia
berkembang seiring dengan sampainya dakwah Islam di Indonesia.

1. PERADILAN AGAMA DI ERA KOLONIAL BELANDA

Dengan masuknya agama islam ke indonesia,maka tata hukum mengalami perubahan.


Hukum islam tidak hanya menggantikan hukum hindu yang berwujud dalam hukum perdata
tetapi juga memasukkan pengaruhnya kedalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada
umumnya. Memasuki masa penjajahan, pada mulanya pemerintah belanda tidak mau
mencampuri organisasi pengadilan agama. Disamping itu tiap-tiap pengadilan negeri
diadakan pengadilan agama yang mempunyai daerah yang sama walaupun wewenang
pengadilan agama baru yang disebut “ priesterraad “ ini dalam bidang perkawinan dan waris,
sesungguhnya staatsblad ini merupakan pengakuan dan pengukuhan terhadap pengadilan
yang telah ada sebelumnya.
Menurut supomo, pada masa penjajahan belanda terdapat lima tatanan peradilan:
1. Peradilan gubernemen terbesar diseluruh daerah Hindia-Belanda.
2. Peradilan pribumi terbesar di luar jawa dan madura.
3. Peradilan swapraja,tersebar hampir diseluruh daerah swapraja, kecuali di pakualaman dan
pontianak.
4. Peradilan agama terbesar didaerah-daerah tempat berkedudukan peradilan gubernemen,
dan menjadi bagian dari peradilan pribumi atau didaerah-daerah swapraja menjadi bagian
dari peradilan swapraja.
5. Peradilan desa tersebar didaerah-daerah tempat berkedudukan peradilan gubernemen.
Disamping itu ada juga peradilan desa yag merupakan bagian dari peradilan pribumi atau
peradilan swapraja.

Dengan adanya ketetapan tersebut terdapat perubahan penting dalam pengadilan agama
pada waktu itu yaitu:
• Reorganisasi pada dasarnya membentuk pengadilan agama yang baru disamping landraad
(pengadilan negeri) dengan wilayah hukum yang sama, yaitu rata-rata seluas wilayah
kabupaten.
• Pengadilan itu menetapkan perkara-perkara yang dipandang masuk dalam lingkungan
kekuasaannya.
Pengadilan agama mendasarkan keputusannya kepada hukum islam sedangkan landraad
mendasarkan keputusannya kepada hukum adat. Wewenang pengadilan agama dijawa dan
madura berdasarkan ketentuan baru dalam pasal 2a, yang meliputi perkara-perkara sebagai
berikut:
1. Perselisihan antara suami istri yang beragama islam.
2. Perkara-perkara tentang, pernikahan, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang
beragama islam yang memerlukan perantara hakim agama islam.
3. Menyelenggaraka perceraian
4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al-thalaq) telah
ada.
5. Perkara mahar atau maskawin.
6. Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakanoleh suami.
Namun perkara tersebut tidak sepenuhnya menjadi wewenang dari pengadilan agama. Dan
dalam perkara-perkara tersebut apabila terdapat tuntutan untuk pembayaran dengan uang
6

maupun harta benda ataupun dengan barang tertentu, maka harus diperiksa atau diputus oleh
landraad (pengadilan negeri).

1. ELIMINASI HUKUM PERDATA ISLAM MASA PENJAJAH


Dalam banyak kajian, perkembangan hukum Islam pada masa penjajahan sangat
dipengaruhi oleh politik pemerintahan Belanda.Pada awal kedatangannya, Belanda telah
melihat hukum Islam dipraktekkan masyarakat nusantara, baik dalam peradilan, praktek
harian maupun keyakinan hukum.Sikap politik VOC terhadap Islam dipengaruhi oleh
kepentingan perdagangan rempah-rempah dan perluasan pasar .
Oleh sebab itu, exsistensi hukum Islam pada awal kedatangan VOC nyaris tidak berubah
seperti masa kerajaan Islam, rakyat berhak mempraktekkan hukum Islam dan pemerintahan
kerajaan Islam masih mempunyai wewenang legislatif . Selain faktor di atas, penyebab utama
kebijakan toleransi praktek hukum Islam di Indonesia adalah, perhatian utama kompeni
terhadap Islam hanya bersifat temporal dan kasuistik, yaitu pada saat muncul alasan untuk
mencemaskan pengacau ketertiban melalui peristiwa keagamaan yang menyolok .

Kebijakan hukum Deandles misalnya, sebagaimana yang tertuang dalam Charter voor de
aziastisce bezittingen van de bataafsce republiek, Pasal 86 :“ De rechtspleging onder den
Inlander zal blijven geschieden volgens hunne eigenne wetten en gewoonten.Het Indische
bestuur zal door gepaste middelijn zoergen dat dezelve in die territoiren, welke onmiddelijk
staan onder de opperheerschappij van den staat, soveel mogelijk worde gezuiverd van
ingenslopen misbruiken, tegen den inlandsche wetten of gebruiken strijdende, en het
bekomen van spoedige en goede justitie,….” Sikap toleransi di atas, pelan tapi pasti
kemudian berakhir seiring dengan diterimanya octrooi oleh VOC dari staten general pada
tahun 1602. Dalam pasal 35 octrooi tersebut, VOC mendapat kekuasaan untuk mengangkat
officieren van justitie. Pada waktu pengangkatan dari gouverneur general ( wali negeri ) yang
pertama serta Dewan Hindia pada tanggal 27 November 1609.Dewan ini juga diperintahkan
menengahi perkara perdata maupun pidana .

Oleh sebab itu, beberapa wilayah VOC di nusantara memberlakukan unifikasi hukum
walaupun pada perkembangan selanjutnya unifikasihukum tersebut gagal. Sebagai akibat dari
kegegalan tersebut, pada tahun 1642 VOC mengukuhkan statuta Batavia dan memberikan
legitimasi juridis praktek pembagian waris Islam masyarakat Indonesia . Pengakuan tersebut
kemudian diikuti dengan pengakuan praktek hukum Islam di daerah lain, yaitu praktek
hukum Islam masyarakat Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan .

1. PERADILAN AGAMA PADA AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI DENGAN


PEMERINTAH ORDE LAMA
Pada awal tahun 1946 dbentuklah kementrian agama. Departemen agama dimugkinkan
melakukan konsolidasin atas seluruh administrasi lembaga-lembaga islam dalam sebuah
badan yang bersifat nasional.

Adapun kekuasaan pengadilan agama / mahkamah syar’iyah menurut ketetapan pasal 4 PP


adalah sebagai berikut:
1. Pengadilan agama / mahkamah syar’iyah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara
suami isteri dan semua perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum
agama islam.
2. Pengadilan agama / mahkamah syar’iyah tidak berhak memeriksa perkara-perkara
tersebutdalam ayat 1 jika untuk perkara berlaku lain dari pada hukum agama islam.
7

Pada masa kemerdekaan, Pengadilan Agama atau Mahkamah Agung Islam Tinggi yang telah
ada berlaku berdasarkan aturan peralihan. Selang tiga bulan berdirinya Departemen Agama
yang dibentuk melalui keputusan pemerintah. Setelah Pengadilan Agama diserahkan pada
Departemen Agama masih ada pihak tertentu yang berusaha menghapuskan keberadaan
pengadilan agama. Pengadilan agama selanjutnya ditempatkan dibawah tanggung jawab
jawatan urusan agama.

Dengan demikian secara singkat dapat disebutkan bahwa pada periode 1945 – 1966 terdapat
empat lingkungan peradilan yaitu:peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usahan negara. Keempat lingkungan tersebut bukanlah kekuasaan yang
merdeka secara utuh, melainkan masih dapat intervensi dari kekuasan lain.

1. PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU


Pada masa orde baru kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami perkembangan
yang signifikan yaitu dengan diundangkannya undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang
pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang mana dalam undang-undang ini kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang ada yaitu peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang semuanya berada
dibawah Mahkamah Agung.

1. PERADILAN AGAMA PADA MASA REFORMASI


Dalam pasal 1 Undang-Undang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranyanegara hukum indonesia.
Penyelenggaraannya sebagaimana dalam pasal 1 itu dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Tata Usaha Negara oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian secara tegas dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan independensi
kekuasaan kehakiman dengan tuntutan reformasi dibidang kekuasaan yang menghendaki
kekuasaan kehakiman benar-benar merdeka bebas dari campur tangan kekuasaan lain.

Dengan demikian pada Era Reformasi, khususnya setelah berlangsungnya proses amandemen
terhadap UUD 1945 terdapat dua lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman (yudicial
power) yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

1. UU NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA


Undang-Undang nomor 7 ini disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember Tahun 1989
ditempatkan dalam lembaran Negara RI nomor 49 tahun 1989 dan tambahan dalam lembaran
negara nomor 3400. Isi dari undang-undang nomor 7 tahun 1989 terdiri atas tujuh Bab,
meliputi 108 pasal. Ketujuh Bab tersebut adalah ketentuan umum, susunan pengadilan,
kekuasaan pengadila, hukum acara, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan dan
ketentuan penutup.

Perubahan pertama,tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan, sebelum UU nomor 7


tahun 1989 berlaku dasar penyelenggaraan peradilan braneka ragam. Sebagian merupakan
produk pemerintahan belanda, dan sebagian merupakan produk pemerintah republik
8

indonesia. Sejak berlakunya UU nomor 7 tahun 1989 semua peraturan perundang-undangan


dinyatakan tidak berlaku lagi.

Perubahan kedua, tentang kedudukan pengadilan.. Berdasarkan UU Nomor 7 tahun 1989


kedudukan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama sejajar dengan pengadilan dalam
lingkungan peradilan lainnya,khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum.

Perubahan ketiga, tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim
diagkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara atas usul menteri agama
berdasarkan persetujuan mahkamah agung. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki
kebebasan untuk membuat putusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak
lainnya.

Perubahan keempat, tentang wewenang pengadilan. Menurut ketentuan pasal 49 ayat (1),
“pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara untuk orang Islam”.

Perubahan kelima, tentang hukum acara. Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang-undang ini.

Perubahan keenam, tentang penyelenggaraan administrasi peradilan. Di pengadilan dalam


lingkungan peradilan agama ada dua jenis administrasi yaitu,administrasi peradilan dan
administrasi umum.

Perubahan ketujuh, tentang perlindungan terhadap wanita. Ketentuan tidak berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, dan tidak pula dihapuskan.

1. PERADILAN AGAMA SATU ATAP DIBAWAH MAHKAMAH AGUNG (ONE


ROOF SYSTEM OF JUDICIAL)
Kekuasaan eksekutif salah satu contoh bahwa pembinaan secara organisatoris, administratif
dan finansial berada ditangan eksekutif. Mahkamah Agung hanya melakukan pembinaan
terhadap empat lingkungan peradilan secara teknis justicial. Masuknya pihak eksekutif dalam
kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan kehakiman
dinegeri ini tidak independen sebagaimana seharusnya.

Oleh karena itu banyak muncul tuntutan dari berbagai pihak agar kekuasaan kehakiman harus
bersifat independen, salah satunya adalah dalam hal mekanisme pembinaannya. Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok kekuasaan kehakiman merupakan
undang-undang yang menganut sistem dua atap (double roof system).

Sistem peradilan satu atap adalah suatu kebijakan yang potensial menimbulkan implikasi,
baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Implikasi yang perlu diantisipasi
dengan adanya sistem antara lain:
1. Ditinjau dari ajaran Trias politica dengan satu atap, pemisahan kekuasaan kehakiman dari
kekuasaan legislatif dan eksekutif menjadi lebih murni.
9

2. Satu atap juga dapat menimbulkan konsekuensi pertanggungjawaban kekuasaan


kehakiman, selain harus bertanggungjawab secara teknis yusticial juga secara administratif.
3. Ada kekhawatiran sistem satu atap justru akan melahirkan kesewenang-wenangan
pengadilan atau hakim, karena dengan satu atap tidak ada lagi lembaga lain yang mengawasi
prilaku hakim.
4. Dalam praktikmya pengawasan terhadap hakim yang nakal menjadi sulit karena urusan
gaji dan administrasi berada didepartemen kehakiman. Sistem satu atap akan lebih baik
ketika diiringi oleh keberadaan komisi yudisial.
5. Satu atap akan mempersingkat berbagai urusan dan memudahkan komunikasi.
Sementara terhadap Mahkamah Konstitusi segala hal yang terkait dengan pelaksanaan tugas
dan fungsinya menjadi wewenang secara internal. Adapun mengenai Mahkamah Konstitusi
ini diatur dalam undang- undang Nomer 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terdapat lembaga Negara lain yang
berhubungan dengan kekuasan kehakiman yaitu komisi yudisial, yang mempunyai tugas dan
kewenangan antara lain melakukan seleksi calon Hakim Agung dan menjadi pengawas
terhadap kinerja hakim secara keseluruhan.

Dengan demikian sistem peradilan yang ada di negara kita telah memadahi,sehingga yang
terpenting untuk saat ini adalah membangun moral dari aparat penegak hukum itu sendiri.
Termasuk di dalamnya dapat ditempuh melalui jalur pendidikan hukum yang menekankan
pada aspek pengetahuan(know ledge),keahlian(skill),dan nilai(values). Sehingga para calon
penegak hukum yang dihasilkan nantinya di samping memiliki keahlian di bidang hukum
juga menjunjung tinggi moral dan etika .

1. Termasuk dalam hal ini peradilan agama yang telah memiliki komptensi selain di bidang
hukum keluarga juga hukum perdata lain dalam hal ini yang berkaitan dengan
ekonomisyariah.Sehingga dengan sistem satu atap ini ,maka diperlukan SDM hakim
pengadilan agama yang benar-benar menguasai bidang Ekonomi SyKESIMPULAN
 Penyelesaian perselisihan dan persengketaan di dalam kehidupan masyarakat itu sangat
dbutuhkan. Adapun peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan.
• Penyelenggaraan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding. Sedangkan pada tingkat
kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
• Pada masa Kolonial Belanda tidak mau mencampuri organisasi Pengadilan Agama. Dan
terdapat perubahan yang cukup peting yaitu Reorganisasi yang membentuk Pengadilan
Agama yang baru disamping landraad dengan wilayah hukum yang sama dan Pengadilan
yang menetapkan perkara-perkara yang masuk dalam lingkungan kekuasaannya.
• Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mempunyai
beberapa Bab yaitu Ketentuan Umum, Susunan pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, dan
Ketentuan Penutup.
• Pada masa kolonial Belanda Pengadilan Agama disebut “ priesterraad”.
• Sistem Peradilan Agama Satu Atap Dibawah Mahkamah Agung (One Roof System Of
Judicial)
Wewenang Pengadilan Agama berdasarkan penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama adalah :
10

A. Perkawinan

Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau berdasarkan Undang-
Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
Ijin beristeri lebih dari seorang;
Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua,
wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
Dispensasi kawin;
Pencegahan perkawinan;
Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
Pembatalan perkawinan;
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
Perceraian karena talak;
Gugatan perceraian;
Penyelesaian harta bersama;
Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memenuhinya;
Penguasaan anak-anak;
Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
Pencabutan kekuasaan wali;
Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut;
Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas)
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang
tuanya;
Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya;
Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum
Islam;
Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur;
dan
Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
B. Waris
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama disebutkan
berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah
sebagai berikut:
Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
Penentuan mengenai harta peninggalan;
Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, dan penentuan bagian-bagiannya.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan
untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”. Kini, dengan
11

adanya amandemen terhadap Undang-Undang tersebut, kalimat itu dinyatakan dihapus.


Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan berdasarkan hukum Islam, maka
penyelesaiannya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Selanjutnya dikemukakan pula
mengenai keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh wilayah nusantara yang
selama ini berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar hukumnya.
Selain dari itu, berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang untuk menyelesaikan
permohonan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang agama yang
beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
C. Wasiat

Mengenai wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam penjelasan Undang-Undang


Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Peradilan Agama dijelaskan
bahwa definisi wasiat adalah: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain
atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.”
Namun, Undang-Undang tersebut tidak mengatur lebih jauh tentang wasiat. Ketentuan lebih
detail diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Dalam KHI, wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.
Ketentuan mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat orang membuat wasiat,
harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai berlaku, di mana wasiat dilakukan,
seberapa banyak maksimal wasiat dapat diberikan, bagaimana kedudukan wasiat kepada ahli
waris, dalam wasiat harus disebut dengan jelas siapa yang akan menerima harta benda wasiat,
kapan wasiat batal, wasiat mengenai hasil investasi, pencabutan wasiat, bagaimana jika harta
wasiat menyusut, wasiat melebihi sepertiga sedang ahli waris tidak setuju, di mana surat
wasiat disimpan, bagaimana jika wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat meninggal dunia,
wasiat dalam kondisi perang, wasiat dalam perjalanan, kepada siapa tidak diperbolehkan
wasiat, bagi siapa wasiat tidak berlaku, wasiat wajibah bagi orang tua angkat dan besarnya,
dan wasiat wajibah bagi anak angkat serta besarnya.
D. Hibah

Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi tentang hibah


sebagai: “pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau
badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”
Hibah juga tidak diregulasi secara rinci dalam Undang-Undang a quo. Ia secara garis besar
diatur dalam KHI, dengan menempati bab VI, dan hanya diatur dalam lima pasal. Secara
garis besar pasal-pasal ini berisi: Subjek hukum hibah, besarnya hibah, di mana hibah
dilakukan, harta benda yang dihibahkan, hibah orang tua kepada anak, kapan hibah harus
mendapat persetujuan ahli waris, dan hibah yang dilakukan di luar wilayah Republik
Indonesia.
E. Wakaf

Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dimaknai sebagai:


“perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.” Tentang wakaf ini tidak dijelaskan secara rinci dalam
Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih luas tercantum dalam KHI, Buku III, Bab I hingga Bab V, yang mencakup
12

14 pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur: Ketentuan umum, yaitu definisi wakaf, wakif, ikrar,
benda wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf; fungsi wakaf; subjek hukum yang
dapat mewakafkan harta bendanya; syarat benda wakaf; prosedur mewakafkan; syarat-syarat
nadzir; kewajiban dan hak-hak nadzir; pendaftaran benda wakaf; perubahan, penyelesaian
dan pengawasan benda wakaf. Khusus mengenai perwakafan tanah milik, KHI tidak
mengaturnya. Ia telah diregulasi empat tahun sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No.
28 tahun 1977, lembaran negara No. 38 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
F. Zakat

Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau badan hukum yang
dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya. KHI tidak menyinggung pengaturan zakat.
Regulasi mengenai zakat telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 Lembaran Negara Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis
besar, isi Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk campur tangan
dalam bidang zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada
muzakki, mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan zakat; organisasi pengelolaan zakat;
pengumpulan zakat; pendayagunaan zakat; pengawasan pengelolaan zakat; dan sanksi
terhadap pelanggaran regulasi pengelolaan zakat.
G. Infaq

Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan dengan: “perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa
makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi (karunia), atau menafkahkan sesuatu
kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlash, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
Kewenangan Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini juga tak diatur lebih lanjut.
H. Shadaqah

Mengenai shadaqah diartikan sebagai: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada


orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu
dan jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah dan pahala semata.”
Sama seperti infaq, shadaqah juga tidak diatur dalam regulasi khusus. Dan hingga kini belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
I. Ekonomi Syari’ah

Ekonomi syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah.”
Kewenangan itu antara lain:
Bank Syari’ah;
Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah;
Asuransi Syari’ah;
Reasuransi Syari’ah;
Reksadana Syari’ah;
Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah;
Sekuritas Syari’ah;
Pembiayaan Syari’ah;
Pegadaian Syari’ah;
13

Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah; dan


Bisnis Syari’ah.

Tugas Pokok & Fungsi Peradilan Agama

TUGAS POKOK PERADILAN AGAMA ;

Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan ialah
menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya, termasuk
didalamnya menyelesaikan perkara voluntair.

Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di Indonesia. Dikatakan
Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata tertentu dan
mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam struktur 0rganisasi Peradilan Agama, ada
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan
penyelesaian perkara di tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Tugas-tugas lain Pengadilan Agama ialah :


Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam kepada instansi
Pemerintah didaerah hukumnya apabila diminta.
Melaksanakan hisab dan rukyatul hilal.
Melaksanakan tugas-tugas lain pelayanan seperti pelayanan riset/penelitian, pengawasan
terhadap penasehat hukum dan sebagainya.
Menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang
yang beraga Islam.

Dengan demikian, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk menyelesaikan semua
masalah dan sengketa yang termasuk di bidang perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah,
infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Fungsi:
Melakukan pembinaan terhadap pejabat strykturan dan fungsional dan pegawai lainnya baik
menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum
Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya
(pasal 53 ayat 1 dan 2, UU No.3 Tahun 2006)
Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman

Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama


Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UU
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif
dan wewenang absolut. Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau
Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
sedang wewenang absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989.[3]
Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat dilingkungan
Peradilan Agama, yaitu :
14

1. Fungsi kewenangan mengadili


2. Memberi keterangan, pertimbangan
3. Kewenangan lain berdasarkan undang-undang
4. Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat banding dan
mengadili sengketa kompetensi relatif
5. Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

Adapun kewenangan mengadili badan Peradilan Agama dapat dibagi menjadi 2 (dua)
kewenangan yaitu:
1. Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut
kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut “Atribut Van
Rechsmacht”. Yang menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama adalah:
Menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara antara orang-
orang yang beragama Islam dalam bidang:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. InfaqShadaqoh
h. Ekonomi Syari’ah.
(Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
2. Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara
yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal
pihak-pihak berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan
yang mewilayahi tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg.
Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun
1989). Dalam istilah lain kewenangan relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”.
Pengadilan yang berhak mengadili suatu perkara dalam bahasa latin disebut dengan istilah
“Actor Sequitur Forum Rei”.

Adapun kewenangan mengadili badan Peradilan Agama dapat dibagi menjadi 2 (dua)
kewenangan yaitu:
1. Kewenangan Mutlak
(Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk
mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh
Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut “Atribut Van Rechsmacht”. Yang menjadi
kewenangan absolute Pengadilan Agama adalah:
Menecontoh kasus Fungsi pengadilan agama kel 3 pkn Peradilan Agama Kewenangan
15

Peradilan Agama pengertian Peradilan Agama

Contoh Kasus Peradilan agama


16

peradilan
17

agama a, memeriksa, mengadili dan memutus serta


menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. InfaqShadaqoh
h. Ekonomi Syari’ah.
(Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
2. Kewenangan Relatif
(Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut
wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak
berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang
mewilayahi tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg. Dalam
Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989).
Dalam istilah lain kewenangan relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. Pengadilan
yang berhak mengadili suatu perkara dalam bahasa latin disebut dengan istilah “
ariah.
18

Anda mungkin juga menyukai