NIM : B011181470
Kelas : Hukum Acara Peradilan Agama (C)
Pertemuan 1
Pembukaan Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan
Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk
Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946
Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari
Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan
konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah
wadahlbadan yang besnat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah,
Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama.
Pertemuan 2
Hukum Acara Peradilan Agama Sebagai Peradilan Khusus Di Indonesia
Hukum Islam di Indonesia telah telah lama menjadi bagian dari norma hukum dan
sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Keanekaragaman pemahaman orang Islam
Indonesia di dalam memahami4 hukum Islam memiliki 2 (dua) kecenderungan, yakni
hukum Islam identik dengan syari’ah dan identik dengan fiqh. Ini banyak terjadi bukan
hanya di kalangan ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan akademisi dan praktisi hukum
Islam.
Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara
kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam
masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam
berbagai perangkat aturan dan perundangundangan yang dilegislasikan oleh lembaga
pemerintah dan negara. Perbandingan antara jumlah pemeluk Agama Islam dengan
agama lainya sangatlah jauh, permasalahan yang kian banyak dan makin kompleks
menjadikan kaum muslim membutuhan lembaga peradilan khusus bagi kaum muslim,
yang mana lembaga peradilan tersebut khusus menangani permasalahan perdata kaum
muslim dan berasaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Pertemuan 3
Jenis-Jenis Dan Sususnan Badan Peradilan Di Indonesia Beserta Kompetensinya
Pertemuan 4
Sumber-Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
1. Sumber hukum dalam arti formal, yaitu: Undang-undang, Kebiasaan, Traktat atau
perjanjian internasional, Yurisprudensi, Doktrin, Hukum agama.
2. Sumber hukum dalam arti material, yaitu keyakinan hukum yang hidup didalam
masyarakat.
1. Peraturan Perundangan-Perundangan
Undang-undang yang merupakan sumber hukum acara perdata di Indonesia adalah:
a) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara
pengadilan pengadilan sipil.
b) Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1955 Tentang Perubahan Undang-
Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-tindakan sementara
untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan pengadilan pengadilan
sipil
c) BW (Burgelijke Wetboek) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khusus
buku IV tentang Pembuktian Dan Daluwarsa
d) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
e) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Kentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
f) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
2. Kebiasaan
Tentang adat kebiasaan, ada pakar hukum yang memandangnya sebagai salah satu
sumber hukum acara perdata di Indonesia. Yang dimaksud adalah adat kebiasaan
hakim yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan. Tetapi pakar hukum yaitu
Sudikno Mertokusumo (1993:8), tidak sependapat jika adat kebiasaan dijadikan salah
satu sumber hukum acara perdata di Indonesia dengan alasan adat kebiasaan hakim
yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan, tidak akan menjamin kepastian
hukum.
3. Yurisprudensi
Yurisprudensi yang paling banyak menjadi sumber hukum acara perdata di
Indonesia. Di dalam pembahasan tentang sumber hukum ini, istilah yurisprudensi yang
digunakan adalah putusan hakim. Istilah yurisprudensi di Indonesia mempunyai
beberapa pengertian:
1) Yurisprudensi dapat berarti putusan lembaga pengadilan, baik lembaga
peradilan dalam pengertian pengadilan maupun peradilan non pengadilan (sui
generis).
2) Yurisprudensi juga berarti putusan putusan pengadilan yang disusun secara
sistematis dan diberi annotasi atau catatancatatan oleh pakar-pakar hukum
yang mempunyai wibawa.
3) Yurisprudensi berarti pula ajaran hukum atau doktrin yang diambil alih oleh
hakim dalam putusannya dan dipertahankannya.
4) Yurisprudensi tetap menunjukkan yurisprudensi yang tidak berubah-ubah
selama waktu yang panjang, contohnya Putusan Hogeraad Tahun 1919 dalam
perkara perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW).
5. Doktrin
Merupakan salah satu sumber hukum, termasuk salah satu sumber hukum acara
perdata, Meskipun demikian, doktrin bukanlah hukum. Di Indonesia, doktrin bersumber
dari kalangan Universitas yakni dari pendapat para pakar atau ilmuwan hukum.
Kewibawaan doktrin karena didukung oleh para pengikutnya serta sifat objektif dari
ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim bernilai objektif.
6. Hukum Agama
Di Indonesia, banyak perkara-perkara tertentu yang penyelesaiannya berdasarkan pada
hukum agama. Misalnya dalam perkara Pembagian warisan bagi warga negara yang
muslim Pembagian warisan nya didasarkan pada sumber hukum Islam, antara lain Al-
Quran, sunnah atau hadits.
Terkhusus untuk Hukum Acara Peradilan Agama, rujukan utamanya adalah Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dua
kali dengan: Pertama, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Pertemuan 5
Kekuasaan Peradilan Agama
Pertemuan 6
Upaya Penyelesaian Sengketa Keperdataan
Pertemuan 7
Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting, Orang yang mengajukan
tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia mempunyai
kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum. Tuntuan hak yang dalam Pasal 118
ayat 1 HIR (Pasal 142 ayat (1) Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata tidak lain adalah
tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan.
Tuntutan hak ini dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yakni permohonan dan gugatan. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dalam Praktik Peradilan Ada yang dikenal dengan gugatan, jawaban, replik, duplik, dan
rekonvensi.
a) Gugatan, diajukan berbentuk tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg) dan lisan
(Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg).
b) Jawaban dan Rekonvensi.
Jawaban diajukan setelah upaya perdamaian yang dilakukan hakim tidak berhasil.
Pasal 121 ayat (2) HIR jo. Pasal 145 ayat (2) RBg menentukan bahwa pihak
tergugat dapat menjawab gugatan penggugat baik secara tertulis maupun lisan.