Anda di halaman 1dari 12

Nama : Ashar Ramadhan M

NIM : B011181470
Kelas : Hukum Acara Peradilan Agama (C)

Pertemuan 1
Pembukaan Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan

Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu,


yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidang pengadilan agama pada
masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula
disebut "Pengadilan Serambi". Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja
Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan,
penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan
umum

Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk
Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946
Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari
Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan
konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah
wadahlbadan yang besnat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah,
Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua


Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Peradilan
Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu. Menurut Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama, yang menjadi
kewenangan dari pengadilan agama adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan 10 ekonomi syari'ah. Jadi, untuk perkara ekonomi syari’ah, menjadi
kewenangan absolut dari pengadilan agama.
fungsi dari dibentuknya peradilan agama, yakni:

1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan


menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama
dalam tingkat pertama (Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk
kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut
teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan,
keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang
Peradilan Agama jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan
tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan
Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan
dengan seksama dan sewajarnya (Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Peradilan Agama) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan
serta pembangunan. (vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide :
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama).
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan
persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan
umum/perlengakapan) (KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
6. Fungsi Lainnya : a) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan
rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan
lain-lain (Pasal 52A Undang-Undang Peradilan Agama). b) Pelayanan
penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi
akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan
transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan
Informasi di Pengadilan.

Pertemuan 2
Hukum Acara Peradilan Agama Sebagai Peradilan Khusus Di Indonesia
Hukum Islam di Indonesia telah telah lama menjadi bagian dari norma hukum dan
sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Keanekaragaman pemahaman orang Islam
Indonesia di dalam memahami4 hukum Islam memiliki 2 (dua) kecenderungan, yakni
hukum Islam identik dengan syari’ah dan identik dengan fiqh. Ini banyak terjadi bukan
hanya di kalangan ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan akademisi dan praktisi hukum
Islam.

Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara
kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam
masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam
berbagai perangkat aturan dan perundangundangan yang dilegislasikan oleh lembaga
pemerintah dan negara. Perbandingan antara jumlah pemeluk Agama Islam dengan
agama lainya sangatlah jauh, permasalahan yang kian banyak dan makin kompleks
menjadikan kaum muslim membutuhan lembaga peradilan khusus bagi kaum muslim,
yang mana lembaga peradilan tersebut khusus menangani permasalahan perdata kaum
muslim dan berasaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Hukum acara peradilan agama dilaksanakan berdasarkan pada UndangUndang


Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dua kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 15 1989 Tentang Peradilan Agama. Adapaun hukum
acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di
lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus (Pasal 54 UU No. 7
Tahun 1989 jo. UU No. 50 Tahun 2009). Hukum Acara Peradilan Agama adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di
muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak,
cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan
cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.

Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenisjenis


perkara yang boleh seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam. Tegasnya,
Pengadilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang disesuaikan dengan (dimutatis-
mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Di sisi lain, Pengadilan Agama adalah
peradilan perdata, sedangkan peradilan umum adalah juga peradilan perdata di samping
peradilan umum. Jika lihat dari asas-asas hukum acara, tentulah ada prinsip-prinsip
kesamaannya secara umum di samping secara khusus tentu ada pula perbedaan antara
Hukum Acara Peradilan Umum dan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. Dengan
kata lain, Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman
yang ikut berfungsi dan berperan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan
kepastian hukum mengenai perkara perdata Islam tertentu. Karenanya, Peradilan Agama
ini disebut peradilan khusus.

Pertemuan 3
Jenis-Jenis Dan Sususnan Badan Peradilan Di Indonesia Beserta Kompetensinya

Pengadilan adalah badan/lembaga yang menjalankan peradilan dalam sebuah negara.


Lembaga ini adalah pelaku kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara yang berdaulat
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Landasan awal adanya tingkatan pada sistem
peradilan di Indonesia ditetapkan di dalam konstitusi, yaitu Pasal 24 UUD NRI 1945 yang
menentukan bahwa:

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan


peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.
4 (empat) lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah
Agung. Ke-empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Bersifat umum, yaitu lingkungan peradilan umum (peradilan dengan general


jurisdiction). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini
diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan golongan atau
agama, yustisiabele atau pencari keadilannya umum, setiap orang termasuk jenis
perkaranya kecuali ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menentukan lain. Di dalam peradilan umum masih dikenal spesialisasi seperti
pengadilan ekonomi.
2. Bersifat khusus, yakni peradilan dengan special jurisdiction, yaitu lingkungan
peradilan agama, Iingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata
usaha negara. Peradilan khusus disediakan untuk yustisiabele atau pencari
keadilan yang khusus (beragama Islam, militer) atau yang menggunakan hukum
materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam).
a) Peradilan Agama
Peradilan agama hanya menangani perkara perdata tertentu bagi
masyarakat beragama Islam. Badan yang menjalankannya terdiri dari
Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan
Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding.
b) Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan tata usaha negara hanya menangani perkara gugatan terhadap
pejabat administrasi negara akibat penetapan tertulis yang dibuatnya
merugikan seseorang atau badan hukum perdata. Dalam arti luas,
Peradilan administrasi negara adalah peradilan yang menyangkut pejabat-
pejabat dan isntansi-instansi administrasi negara, baik yang bersifat
perkara pidana atau perdata dan perkara administrasi negara murni.
c) Peradilan Militer
Peradilan militer hanya menangani perkara pidana dan sengketa tata usaha
angkatan bersenjata bagi kalangan militer. Badan yang menjalankannya
terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan
Militer Utama. Peradilan Militer diatur dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Masing-masing pengadilan dalam lingkungan badan-badan peradilan tersebut


mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan
perkara sejenis tertentu yang merupakan kompetensi absolut, karenanya apa yang
merupakan kompetensi suatu badan peradilan secara mutlak tidak mungkin dilakukan
oleh badan peradilan lain.

Pertemuan 4
Sumber-Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Hukum Acara Peradilan Agama menggunakan hukum acara perdata dalam


pelaksanaannya. maka sumber-sumber hukum acara peradilan agama merujuk pula pada
sumber-sumber hukum acara perdata. Sumber hukum acara perdata di Indonesia adalah
sumber hukum pada umumnya. Di Indonesia sumber-sumber hukum digolongkan dalam
dua jenis yaitu:

1. Sumber hukum dalam arti formal, yaitu: Undang-undang, Kebiasaan, Traktat atau
perjanjian internasional, Yurisprudensi, Doktrin, Hukum agama.
2. Sumber hukum dalam arti material, yaitu keyakinan hukum yang hidup didalam
masyarakat.

Dalam sumber Peradilan agama secara sistematis ;

1. Peraturan Perundangan-Perundangan
Undang-undang yang merupakan sumber hukum acara perdata di Indonesia adalah:
a) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara
pengadilan pengadilan sipil.
b) Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1955 Tentang Perubahan Undang-
Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-tindakan sementara
untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan pengadilan pengadilan
sipil
c) BW (Burgelijke Wetboek) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khusus
buku IV tentang Pembuktian Dan Daluwarsa
d) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
e) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Kentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
f) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
2. Kebiasaan
Tentang adat kebiasaan, ada pakar hukum yang memandangnya sebagai salah satu
sumber hukum acara perdata di Indonesia. Yang dimaksud adalah adat kebiasaan
hakim yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan. Tetapi pakar hukum yaitu
Sudikno Mertokusumo (1993:8), tidak sependapat jika adat kebiasaan dijadikan salah
satu sumber hukum acara perdata di Indonesia dengan alasan adat kebiasaan hakim
yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan, tidak akan menjamin kepastian
hukum.
3. Yurisprudensi
Yurisprudensi yang paling banyak menjadi sumber hukum acara perdata di
Indonesia. Di dalam pembahasan tentang sumber hukum ini, istilah yurisprudensi yang
digunakan adalah putusan hakim. Istilah yurisprudensi di Indonesia mempunyai
beberapa pengertian:
1) Yurisprudensi dapat berarti putusan lembaga pengadilan, baik lembaga
peradilan dalam pengertian pengadilan maupun peradilan non pengadilan (sui
generis).
2) Yurisprudensi juga berarti putusan putusan pengadilan yang disusun secara
sistematis dan diberi annotasi atau catatancatatan oleh pakar-pakar hukum
yang mempunyai wibawa.
3) Yurisprudensi berarti pula ajaran hukum atau doktrin yang diambil alih oleh
hakim dalam putusannya dan dipertahankannya.
4) Yurisprudensi tetap menunjukkan yurisprudensi yang tidak berubah-ubah
selama waktu yang panjang, contohnya Putusan Hogeraad Tahun 1919 dalam
perkara perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW).

Yang dapat menjadi yurisprudensi saat ini di Indonesia meliputi Putusan


Mahkamah Agung, Putusan Pengadilan Tinggi yang tidak dikasasi, dan Putusan
Pengadilan Negeri yang tidak dibanding.

4. Traktat atau Perjanjian Internasional

Traktat atau perjanjian internasional merupakan sumber hukum acara perdata.


Traktat adalah perjanjian antara satu negara dengan negara lain. Warga negara kedua
belah pihak akan mendapat keleluasaan berperkara dan menghadap ke pengadilan di
wilayah pihak yang lainnya, dengan syarat-syarat yang sama, seperti warga negara pihak
lain. Masing-masing pihak menunjuk satu instansi yang berkewajiban untuk
mengirimkan dan menerima permohonan penyampaian dokumen panggilan. Instansi
tersebut untuk Republik Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pembinaan Badan
Peradilan Umum Departemen Hukum dan HAM, dan untuk Kerajaan Thailand adalah
Office Judicial Affairs of The Ministry of Justice.

5. Doktrin
Merupakan salah satu sumber hukum, termasuk salah satu sumber hukum acara
perdata, Meskipun demikian, doktrin bukanlah hukum. Di Indonesia, doktrin bersumber
dari kalangan Universitas yakni dari pendapat para pakar atau ilmuwan hukum.
Kewibawaan doktrin karena didukung oleh para pengikutnya serta sifat objektif dari
ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim bernilai objektif.
6. Hukum Agama
Di Indonesia, banyak perkara-perkara tertentu yang penyelesaiannya berdasarkan pada
hukum agama. Misalnya dalam perkara Pembagian warisan bagi warga negara yang
muslim Pembagian warisan nya didasarkan pada sumber hukum Islam, antara lain Al-
Quran, sunnah atau hadits.
Terkhusus untuk Hukum Acara Peradilan Agama, rujukan utamanya adalah Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dua
kali dengan: Pertama, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

Pertemuan 5
Kekuasaan Peradilan Agama

Ada 4 (empat) lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada


Mahkamah Agung. Ke-empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Bersifat umum, yaitu lingkungan peradilan umum (peradilan dengan general


jurisdiction). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini
diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan golongan atau
agama, yustisiabele atau pencari keadilannya umum, setiap orang termasuk jenis
perkaranya kecuali ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menentukan lain. Di dalam peradilan umum masih dikenal spesialisasi seperti
pengadilan ekonomi.
2. Bersifat khusus, yakni peradilan dengan special jurisdiction, yaitu lingkungan
peradilan agama, Iingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata
usaha negara. Peradilan khusus disediakan untuk yustisiabele atau pencari
keadilan yang khusus (beragama Islam, militer) atau yang menggunakan hukum
materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam). Khas bagi peradilan agama
terdapat pilihan hukum, yakni orang Indonesia asli yang beragama Islam
khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada hukum adat
yang menjadi wewenang peradilan umum atau hukum Islam yang menjadi
wewenang peradilan agama
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur
mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas
penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama
bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Konsekuensi dari lahirnya
UndangUndang Kekuasaan Kehakima.
Secara khusus, peradilan agama juga memiliki kekuasaan atau kewenangannya
sendiri yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dua kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
Kekuasaan atau kompetensi peradilan agama ini dapat pula dibagi menjadi 2 (dua),
yakni relatif dan absolut. Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative
competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar
Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang
memeriksa dan memutus perkara. Sedangkan kewenangan absolut (absolute
competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa
kekuasaan pengadilan.

Pertemuan 6
Upaya Penyelesaian Sengketa Keperdataan

penyelesaian suatu sengketa, khususnya sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui


2 (dua) jalur, yakni litigasi dan non litigasi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut,

1. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Non Litigasi)


Dalam Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menentukan bahwa
“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli”
Penyelesaian sengketa melalui non-litigasi jauh lebih efektif dan efisien sebabnya
pada masa belakangan ini, berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa
(settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan ADR dalam berbagai
bentuk, seperti:
a) Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan mungkin terjadi
maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga
serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui peradilan.
b) Negosiasi, negosiasi ialah proses tawar-menawar untuk mencapai
kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang
dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar
dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak.
c) Mediasi, Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan adalah cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu mediator.
d) Konsiliasi. Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah
fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal ini konsiliator menjalankan fungsi
yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dan
menawarkannya kepada para pihak.
e) Pendapat Ahli. Penilaian ahli merupakan cara penyelesaian sengketa oleh
para pihak dengan meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap
perselisihan yang sedang terjadi
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)
Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal, Prosedur penyelesaian
sengketa yang dilaksanakan di pengadilan (litigasi) lazimnya dikenal juga dengan
proses persidangan perkara perdata sebagaimana ditentukan berdasarkan hukum
acara perdata (HIR), termasuk untuk penyelesaian perkara di peradilan agama.
Penyelesaian perkara keperdataan, baik di peradilan umum maupun di peradilan
agama dilakukan melalui penuntutan hak. Tuntutan hak adalah tindakan yang
bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah eigenrichting. Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau
berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia mempunyai kepentingan untuk
memperoleh perlindungan hukum, maka oleh karena itu ia mengajukan tuntutan
hak ke pengadilan.

Pertemuan 7

Beracara Di Pengadilan Agama

Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting, Orang yang mengajukan
tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia mempunyai
kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum. Tuntuan hak yang dalam Pasal 118
ayat 1 HIR (Pasal 142 ayat (1) Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata tidak lain adalah
tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan.

Tuntutan hak ini dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yakni permohonan dan gugatan. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Permohonan, yaitu yang di dalamnya tidak terdapat sengketa atau perselisihan


tapi hanya semata-mata untuk kepentingan pemohon dan bersifat sepihak (ex-
parte). Disebut juga gugatan permohonan. Contoh meminta penetapan bagian
masingmasing warisan, mengubah nama, pengangkatan anak, wali,
pengampu, perbaikan akta catatan sipil, dan lain-lain.
2. Gugatan, yaitu perkara yang di dalamnya terdapat sengketa 2 pihak atau lebih
yang sering disebut dengan istilah gugatan perdata. Artinya ada konflik yang
harus diselesaikan dan harus diputus pengadilan, apakah berakhir dengan
kalah, menang, atau damai tergantung pada proses hukumnya. Misalnya
sengketa hak milik, warisan, dan lain-lain.

Dalam Praktik Peradilan Ada yang dikenal dengan gugatan, jawaban, replik, duplik, dan
rekonvensi.

a) Gugatan, diajukan berbentuk tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg) dan lisan
(Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg).
b) Jawaban dan Rekonvensi.
Jawaban diajukan setelah upaya perdamaian yang dilakukan hakim tidak berhasil.
Pasal 121 ayat (2) HIR jo. Pasal 145 ayat (2) RBg menentukan bahwa pihak
tergugat dapat menjawab gugatan penggugat baik secara tertulis maupun lisan.

c) Replik merupakan tahapan persidangan yang diberikan kepada Penggugat dimana


Penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan hak perdatanya atas
sanggahan yang diberikan Tergugat berupa tanggapannya atas Jawaban yang
diberikan Tergugat.
d) Duplik
Duplik merupakan tahapan yang dimiliki tergugat. Dalam membuat duplik
tergugat diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan dalil-dalilnya yang
dimuat dalam jawaban. Bila dalam jawaban ada eksepsi yang kemudian eksepsi
tersebut ditanggapi oleh penggugat dalam repliknya, maka tergugat dalam tahap
ini harus memuat dalil-dalil yang pada dasarnya semakin memperkuat dalilnya
semula.

Anda mungkin juga menyukai