Anda di halaman 1dari 19

PERSIDANGAN, ASAS DAN JENIS ACARANYA

Abdusalis, Qusnul Chotimah, Zahwa Zaidatun Niam

Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon

Jurusan Hukum Keluarga

Abdusalis03@gmail.com, qusnul35@gmail.com, zahwazaidatun20@gmail.com

ABSTRAK

Pengaruh politik hukum terhadap keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama di Indonesia
ditandai dengan produk-produk hukum yang menjadi landasan keberadaan dan kedudukan
Peradilan Agama. Dasar filosofis keberadaan Peradilan Agama di Indonesia adalah nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia terutama sila pertama
“Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjiwai sila-sila lainnya. Sedangkan dasar sosiologis
keberadaan Peradilan Agama yang berdasarkan hukum Islam merupakan cerminan
norma-norma bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Hukum Islam sudah menjadi
hukum yang hidup dalam masayarakat Indonesia sejak Islam mulai berkembang di Nusantara.
Adapun dasar yuridis yang merupakan landasan konstitusional keberadaan Peradilan Agama
di Indonesia adalah Pancasila, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan UUD 1945.
Kata Kunci: Peradilan Agama, Filosofi, Sosiologis dan Yuridis

ABSTRACT

The influence of legal politics on the existence and position of the Religious Courts in
Indonesia is characterized by legal products which are the basis for the existence and position
of the Religious Courts. The philosophical basis for the existence of Religious Courts in
Indonesia is the values contained in Pancasila which is adhered to by the Indonesian people,
especially the first principle "Belief in One Almighty God" which animates the other precepts.
Meanwhile, the sociological basis for the existence of Religious Courts based on Islamic law is
a reflection of the norms of the Indonesian nation, which is predominantly Muslim. Islamic law
has become a living law in Indonesian society since Islam began to develop in the archipelago.
The juridical basis which is the constitutional basis for the existence of Religious Courts in
Indonesia is Pancasila, the Presidential Decree of 5 July 1959, and the 1945 Constitution.

Keywords: Justice Religious, Philosophical, Sociological and Juridical Justice


PENDAHULUAN

Pengadilan merupakan benteng terakhir tempat mencari keadilan. Menurut filosofinya,


dalam urusan mengadili perkara Hakim sebagai penyelenggara lembaga pengadilan, sering
disebut sebagai “Wakil Tuhan Di Dunia”. Bukan berarti hakim sama dengan Tuhan.Tetapi
ketika memutus perkara, hakim wajib mengawali putusannya dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya, putusan hakim harus berazaskan
keadilandan kebenaran, yang kelak wajib dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Oleh karena itu, lembaga pengadilan, hakim dan putusannya, harus bermartabat,
berwibawa, dihargai, dihormati dan dipatuhi semua pihak. Perlunya mengangkat kehormatan
pengadilan, hakim dan hasil putusannya, bertujuan untuk memenuhi harapan masyarakat
pencari keadilan (justicia balance), agar penyelenggaraan proses peradilan dan sidang di
pengadilan, dilaksanakan dengan baik, aman, nyaman dan tanpa gangguan dari pihak manapun,
agar masyarakat terlayani secara baik, tepat waktu dan segera mendapatkan kepastian hukum.
Pengertian Pengadilan menurut bahasa adalah sebuah forum publik, resmi, di
manakekuasaan publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan
pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh, administratif, dan kriminal di bawah hukum.
Dalamnegara dengan sistem common law, pengadilan merupakan cara utama untuk
penyelesaian perselisihan, dan umumnya dimengerti bahwa semua orang memiliki hak untuk
membawa klaim nya ke pengadilan. Dan juga, pihak tertuduh kejahatan memiliki hak untuk
meminta perlindungan di pengadilan. Jadi para pihak yang merasa haknya dirugikan atau ingin
mendapat perlindungan yang sama di muka hukum, jalan terakhir yang mereka lakukan adalah
mengajukan tuntutan hak ke pengadilan.
Peran pengadilan juga diatur dalam Ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dankeadilan”. Dengan demikian tugas utama lembaga peradilan adalah menegakkan hukum dan
keadilan bagi seluruh masyarakat pencari keadilan.
LITERATURE REVIEW

Mengkaji mengenai Peradilan Agama, peradilan agama memiliki dampak yang


signifikan terhadap perkembangan hukum Islam karena masalah hukum Islam perlu diperbarui
untuk mengikuti perkembangan negara. Kewajiban kita sebagai warga negara adalah saling
menelaah untuk menentukan apa tujuan utama hukum Islam dalam peradilan agama. Untuk
kesejahteraan dan sesuai dengan UUD 1945. Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1
tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan proyek-proyek kompilasi tentang
peraturan peradilan Agama serta kompilasi hukum Islam dan lain sebagainya, memberikan
isyarat tentang makin membaiknya eksistensi peradilan agama dalam Negara Republik
Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dimasa-masa mendatang kecenderungan


membaiknya kedudukan peradilan agama tersebut terus berlangsung dan lebih mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat yang sebagian besar memeluk agama Islam. Masalah ini
adalah komplek dan tidak mudah, tetapi setidak-tidaknya dapat ditinjau dari tiga sudut.

Pertama, penulis mau menjelaskan bahwasannya itu harus dikembalikan kepada hukum
islamnya sendiri dalam kontek negara Republik Indonesia. Kalau hukum islam oleh para ahli
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan lebih dirasakan sebagai perlindungan
masyarakat, maka peradilan sebagai lambang kekuasaan berlakunya hukum islam akan lebih
banyak mendapat tempat.

Kedua menyangkut kekuasaan kaum elit politik. Kalau kaum elit politik tetap konsisten
dengan Pancasila dan UUD 1945, yang menurut Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dijiwai oleh
piagam Jakarta, maka perkembangkan peradilan agama yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat tidak akan dihambat dan dibatasi.1

Ketiga adalah kesadaran hukum masyarakat pemeluk agama Islam Jika pemeluk tetap
konsisten dengan keislaman dan komitmennya kuat, maka peradilannya pun akan lebih
berkembang dengan baik.

METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah Penelitian yuridis
normatif yang menitikberatkan pada kajian literatur dan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan perkembangan hukum agraria dalam mewujudkan keadilan di bidang peradilan
Agama di Indonesia.

Metode pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan


bahan hukum utama dengan cara meneelah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini
dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan
perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

1
H. Anshari, M.A. 1986. Piagam Jakarta 22 Juni 1942. Jakarta: Rajawali
PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama

Beberapa hal yang perlu di mengerti lebih dahulu, sehubungan dengan “Hukum Acara
Peradilan Agama”, ialah tentang “Hukum Acara”, “Peradilan Agama”, dan “Berita Acara
Persidangan”.
1. Hukum Acara
Istilah Hukum Acara, sering juga disebut dengan istilah Hukum Proses atau Hukum
Formal. Proses berarti suatu rangkaian perbuatan, yaitu mulai dari memasukan
permohonan atau gugatan sampai selesai diputus dan dilaksanakan.
Tujuan dari proses ialah untuk melaksanakan penentuan bagaimana hukumnya
suatu kasus dan bagaimana hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu
sebenarnya dan seharusnya, agar segala apa yang ditetapkan oleh pengadilan dapat
direalisir dengan secara paksa dan karenanya dapat terwujud secara pasti.
Kemudian dalam hal Hukum Acara diistilahkan dengan hukum formal, maka
pengertian ditekankan pada masalah bentuk atau cara, yang maksudnya hukum yang
mengutamakan pada kebenaran bentuk atau cara. Itulah sebabnya beracara di muka
Pengadilan tidak cukup hanya tahu dengan hukum tetapi lebih dari itu harus tahu terhadap
bentuk atau caranya yang spesifik itu, sebab ia terikat pada bentuk-bentuk atau cara-cara
tertentu yang sudah diatur. Keterikatan kepada bentuk atau cara ini, berlaku bagi para
hakim dan dengannya pula perbuatan semena-mena dapat diantisipasi sedini mungkin.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara atau Formal itu
sebenarnya hanya untuk mengabdi atau untuk mewujudkan atau mempertahankan Hukum
Material.
Mengutamakan kebenaran formal disini tidaklah berarti bahwa hukum acara
perdata sekarang ini mengenyampingkan kebenaran material sebab menurut para Ahli
Hukum dan Mahkamah Agung, kini sudah tidak lagi untuk berpendapat demikian. Hukum
Acara perdata kini ini pun sudah harus mencari kebenaran material seperti juga prinsip
Hukum Acara Pidana.2
2. Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang
bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu,

2
Darmansyah Hasyim, Hukum Acara peradilan Agama, (Lambung Mangkurat University Press), Hlm 2.
bagi orang-orang islam di Indonesia3.
Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan
Peradilan islam di Indonesia jadi ia harus mengindahkan peraturan perundangundangan
negara dan syariat islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Acara Peradilan Agama
diusulkan sebagai berikut:
Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara
maupun dari syariat islam yang mengatur bagaimana cara bertindak ke muka Pengadilan
Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material islam yang
menjadi kekuasaan peradilan Agama4.
Untuk menghindari kekeliruan pengertian antara Peradilan Agama dengan
Peradilan Islam, perlu adanya kejelasan kearah pengertian tersebut Peradilan Agama
adalah peradilan islam limitatif, yang telah dimutatis mutandiskan dengan keadaan di
Indonesia.
Adapun mengenai istilah Peradilan Islam tanpa dikaitkan dengan kata-kata
indonesia maka yang di maksud adalah peradilan yang mengadili jenis-jenis perkara
perdata menurut islam secara universal. Oleh karena itu, peradilannya mempunyai prinsip
kesamaan sebab hukum islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan
dimanapun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau suatu negara tertentu saja5.
Peradilan Agama sebagai perwujudan Peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat
dari beberapa sudut pandang:
a. Secara filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakan hukum dan
keadilan. Hukum yang ditegakan adalah hukum Allah yang telah disistematisasi oleh
manusia.
b. Secara yuridis hukum islam (di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,
shadaqah) berlaku di Peradilan Agama.
c. Secara Historis Peradilan Agama merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam
yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah Saw.
d. Secara Sosiologis Peradilan Agama didukung dan dikembangkan oleh dan di dalam
masyarakat islam6.

Unsur-unsur Peradilan Agama meliputi: kekuasaan Negara yang merdeka,

3
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara peradilan Agama, (PT Raja Grafindo Persada), Hlm 6.
4
Ibid, Hlm 10.
5
H. Darmansyah Hasyim, Op. Cit., Hlm 3-4
6
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Rajawali Pers), Hlm 24-25.
penyelenggara kekuasaan negara yaitu pengadilan, perkara yang menjadi wewenang
Pengadilan, orang-orang yang berperkara, hukum yang dijadikan rujukan dalam
berperkara, prosedur dalam menerima memeriksa mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara, penegakan hukum dan keadilan, sebagai tujuan7.
Undang-undang aturan Hukum Acara Peradilan Agama disebutkan pada bab IV
undang-undang Peradilan Agama. Diantaranya bahwa Hukum Acara yang berlaku di
Pengadilan Agama Adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-
undang Peradilan Agama8 .
3. Berita Acara Persidangan
Berita acara disebut juga proces verbaal, artinya laporan yang dibuat oleh polisi /
pegawai penuntut umum (dalam perkara pidana) mengenai waktuterjadinya, tempatnya,
keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk lainnyamengenai suatu perkara / peristiwa.
Dalam perkara perdata adalah laporan yangdibuat oleh pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk itu mengenai waktuterjadinya, tempatnya, keterangan-keterangan dan
petunjuk-petunjuk lainnyatentang suatu perkara9 .
Dasar hukum pembuatan berita acara persidangan diatur dalam peraturan
perundang-undangan antara lain sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan KehakimanPasal 11 ayat
(3).
b. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yangtelah diubah
dengan Perubahan Kedua yaitu Undang-undang Nomor50 Tahun 2009, Pasal 97 dan
penjelasannya.
c. Reglement Buitengewesten (RBg) Pasal 197 atau Het HerzieneIndonesisch Reglement
(HIR) pasal 186.
d. Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/IV/2006tanggal 4 April 2006
tentang Pemberlakuan Buku II PedomanPelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan.
e. Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 145/ KMA/SK/VIII/2007tanggal 29 Agustus
2007 tentang Memberlakukan Buku IV PedomanPelaksanaan Pengawasan Di
Lingkungan Badan-Badan Peradilan

7
Ibid, Hlm 26.
8
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Rajawali pers), Hlm 273.
9
Abu Amar, Berita Acara Persidangan Dalam Pengadilan Agama , (Jayapura : 2012),hlm. 2
Pembuatan berita acara persidangan dilakukan oleh panitera. Ketentuan tentang
hal ini diatur dalam Bg Pasal 197 ayat 1 atau HIR pasal 186 ayat 1 danUU No.7 Tahun
1989 Pasal 97.
Berita acara persidangan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Berita acara persidangan merupakancatatan
resmi persidangan yang dibuat oleh panitera selaku pejabat yang berwenang, dan
ditandatangani oleh Hakim dan Panitera Pengganti yang bersangkutan, maka pada berita
acara persidangan itu melekat kekuatan autentik,artinya apa yang diterangkan di
dalamnya tentang kebenerannya tidak bisa di bantah oleh siapapun, kecuali dapat
dibuktikan yang sebaliknya berdasarkankeputusan pidana yang berkekuatan hukum
tetap.
Adapun mengenai fungsi dari berita acara persidangan adalah sebagai berikut :
1. Sebagai dasar Hakim dalam menyusun putusan.
2. Sebagai landasan menilai kebenaran putusan dalam pemeriksaan perkaratingkat
banding
3. Sebagai bagian dari dokumentasi pengadilan
4. Sebagai rujukan membuat pengganti putusan, jika asli putusan rusak atauhilang.
5. Sebagai bahan informasi ilmu pengetahuan.

Jenis-Jenis Persidangan dalam Peradilan Agama

Pada dasarnya
1. Pernikahan, meliputi :
a. Izin beristeri lebih dari seorang;
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun, dalam hal orang wali, atau keluarga dalam dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat;
c. Dispensasi Kawin;
d. Pencegahan Perkawinan;
e. Penolakan Perkawinan ole Pegawal Pencatat Nikah,;
f. Pembatalan Perkawinan;
g. Gugatan Kelalaian atas Kewajiban Suami dan Isteri;
h. Perceralan karena Talak;
i. Gugatan Perceraian;
j. Penyelesaian Harta Bersama;
k. Penguasaan Anak:
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnyabertanggungjawab tidak mematuhinya;
m. Penentuan kewajiban pemberian blaya hidup oleh suami kepada bekas isteri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
n. Putusan tentang sah tidakya seorang anak;
o. Putusan tentang Pencabutan Kekuasaan Orang Tua;
p. Pencabutan Kekuasaan Wali;
q. Penunjukan orang lain sebagal wali ofeh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut;
r. Penujukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan
belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
s. Pembebanan kewajiban ganti kergian atas harta benda anak vang ada dibawah
kekuasaannya;
t. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum
Islam,
u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan
campuran;
v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan;

2. Waris, meliputi: Penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian
harta peninggalan tersebut, seta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Wakaf;
6. Zakat;
7. Infaq:
8. Shadaqah;
9. Ekonomi Syari'ah, meliputi :
a. Bank Syariah:
b. Lembaga Keuangan Mikro Syari'ah;
c. Asurasnsi Svari'ah:
d. Reasuransi Syari ah;
e. Reksadana Syari'ah;
f. Obligasi Syari'ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari'ah;
g. Sekuritas Syari'ah;
h. Pembiayaan Syariah;
i. Dana Penslun Lembaga Keuangan Syari'ah;
j. Bisnis Syariah

Asas-Asas dalam Peradilan Agama

Pada dasarnya setiap badan peradilan mempunyai asas asas yang telah dirumuskan
untuk mengemban tugasnya karena dengan tugas tersebut dapat dikatakan sebagai sifat dan
karakter yang melekat pada keseluruhan rumusan dalam pasal-pasal dan Undang-Undang.
Dengan begitu, setiap pasal dalam undang-undang tidak boleh bertentangan dengan asas-asas
yang menjadi karakternya10 . Dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama terdapat 7 asas sebagai berikut11 :
1. Asas Personalita Keislaman
Peradilan Agama merupakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu diantaranya perkawinan,
kewarisan, wakaf, hibah, shodaqoh dan dan dalam perkembanganya di tambah dengan
ekonomi syari’ah.
Untuk itu diantara asas didalam Peradilan Agama yakni Asas personalita keislaman
dimana yang dapat tunduk dalam kekuasaan lingkungan Peradilan Agama yakni hanya
mereka yang mengakui pemeluk Agama Islam. Penganut Selain agama Islam atau non
Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk kepada lingkungan Pengadilan Agama.
Oleh karena itu, ketundukan personalita muslim kepada lingkungan Peradilan Agama,
tidak merupakan tundukan yang bersifat umum, yang meliputi semua bidang perdata.12
2. Asas kebebasan

10
A. Rahmad Rosyadi, M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Islam,
(Bogor : Galai Indonesia, 2006), 147.
11
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : kencana, 2005), 59-74.
12
Ibid, 60.
Asas kebebasan merupakan asas yang paling sentral dalam kehidupan peradilan
karena kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna penegakan hokum. Dalam hal ini agar hokum dapat
ditegakan berdasarkan pancasila, akan tetapi kebebasan kehakiman bukanlah kebebasan
yang membabi buta akan tetapi terbatas dan relative.diantaranya:
 Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lain,
 Bebas dari paksaan
 Kebebasan melaksanakan wewenang judical (peradilan)
3. Asas wajib mendamaikan

Asas mendamaikan dalam Peradilan Agama sejalan dengan konsep Islam yang
dinamakan Ishlah. Untuk itu layak sekali para hakim Peradilan Agama menyadari dan
mengemban fungsi “mendamaikan” karena bagaimanapun seaduil-adilnya putusan jauh
lebih baik dan lebih adil jika perkara diselesaikan dengan perdamaian, karena karakter
didalam persidangan dalam Peradilan pasti ada menang dan kalah seadil adilnya putusnya
hakim akan di rasa tidak adil oleh pihak yang kalah, dan sebaliknya seadil adilnya putusan
akan dirasa adil oleh yang menang. Untuk itu hasil dari perdamaian yang dihasilkan dari
kesadaran kedua belah pihak merka akan sama-sama merasa menang dan mermasa kalah.
Akan tetapi dalam masalah perceraian perdamaian wajib bagi hakim dimana yang sifatnya
“imperative”.
4. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan

Sebuah Peradilan apalagi Peradilan Agama yang menjadi harapan masyarakat


muslim untuk mencari keadilan, dengan adanya Asas sederhana, cepat dan biaya ringan
akan selalu dikehendaki oleh masyarakat. Penyelesain perkara dalam peradilan yang cepat,
tepat, adil, dan biaya ringan tidak berbelit belit yang menyebabkan proses sampai
bertahun-tahun. Biaya ringan artinya biaya yang sederhana mungikin sehingga dapat
terpikul oleh rakyat.
5. Asas terbuka untuk umum

Pelaksanaan sidang terbuka untuk umum berarti setiap pemeriksaan berlangsung


disidang pengadilan, siapa saja yang ingin berkunjung, menghadiri, menyaksikan, dan
mendengarkan jalanya persidangana tidak boleh dihalangi dan dilarang, maka untuk
memenuhi syarat formal atas asas ini, sebelum hakim melakukan pemeriksaan lebih dahulu
menyatakan dan mengumumkan ”persidangan terbuka untuk umum”. Tujuan yang
terkandunga dalam asas ini adalah agar tidak sampai terjadi pemeriksaan gelap/bisik-bisik
karena persidangan tertutup cenderung melakukan pemeriksaan ssecara sewenang-wenang,
selain itu adanya edukasi yakni dapat menjadi informasi kepada masyarakat agar tidsak
terperosok kearah yang tidak tepat. Kecuali dalam masalah Perceraian yang bersifat
tertutup karena pertimbanganya yakni kepentingan kerahasiaan iaib rimah tangga dan
pribadi suami istri jauh lebih besar nilai “ekuivalensinya” disbanding terbuka untuk umum,
karena barangkali mereka berpendapat bertentantangan dengan moral dan kepatutan untuk
meyebar luaskan rahasia aib dan kebobrokan suami istri mmelalui siding peradilan, satu-
satunya cara untuk menutup kebocoran melalui siding tertutup.
6. Asas legalitas dan persamaan
Pengertian makna legalistis pada prinsipnya sama dengan rule of law yakni
pengdilan mengadili menurut ketentuan-ketentuan hukum karena hakim berfungsi dan
berwenang mengerkan roda jalanya peradilan melalui badan pengadilan, semua tindakan
yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan, mesti
menurut hukum, hakim dilarang menjatuhkan putusan dengan sesuka atau dengan selera
hakim itu sendiri yang bertentangan dengan hukum. Sedangkan makna Persamaan hak
adalah seseorang yang datang yang berhadapan dalam persidangan sama hak dan
kedudukanya tidak memandang jabatan, saudara, maupun kawan semuanya sama
dihadapan pengadilan.
7. Asas aktif memberikan bantuan
Dalam asas ini hakim hendaknya dapat memberi bantuan secara aktif dilihat dari
tujuan dari memberi bantuan diarahkan untuk mewujudkan praktek peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan. Ada berberapa masalah formal yang tercakup kedalam
objek fingsi memberi bantuan dan nasihat yaitu:
 Membuat gugatan bagi yang buta huruf
 Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”
 Menyarankan penyempurnaan surat kuasa
 Menganjurkan perbaikan surat gugatan
 Memberi penjelasan alat bukti yang sah
 Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban
 Bantuan memanggil saksi secara resmi
 Memberi bantuan upaya hukum
 Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi
 Mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian
Proses Peradilan di Pengadilan Agama

Proses Peradilan adalah proses beracara di peradilan yang sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Dalam beracara di pengadilan agama ada beberapa tahap yang harus
dilaksanakan sebelum melakukan persidangan, diantaranya13 :
1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan atau
permohonan.
2. Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan surat gugatan atau
permohonan, minimal 2 (dua) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat.
3. Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan
dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis
dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan
harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182
ayat (1) HIR atau pasal 90 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor : 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
4. Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada pihak
berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).
5. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau
permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
6. Pemegang kas menandatangani Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), membubuhkan
nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) dan dalam surat gugatan atau permohonan.
7. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pihak
berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.
8. Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar biaya
perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM), seperti nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian pihak
berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang
tertera dalam slip bank tersebut.
9. Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan
bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.

13
Dokumentasi Pengadilan Agama Kab. Kediri tahun 2012.
10. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada pihak
berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan
pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang
bersangkutan.
11. berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat gugatan atau permohonan
sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM).
12. Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register
bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut
yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.
13. Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau permohonan
yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.
14. pendaftaran selesai.

Catatan :
 Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cumacuma).
Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau
Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat.
 Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam Surat
Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 237 - 245 HIR.
 Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo.
Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama
(menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan
disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam
petitumnya.

Setelah perkara didaftarkan, Pemohon atau Penggugat dan pihak termohon atau
tergugat serta turut termohon atau turut tergugat menunggu Surat Panggilan untuk menghadiri
persidangan, susunan persidangan di pengadilan agama adalah sebagai berikut14 :

a. Sidang Pertama
14
LKBH FH.UNKRIS, file:///E:/pk.muha%20yang%20cerah/Lembaga%20Konsultasi%20dan
%20Bantuan%20Hukum%2 0%28LKBH%29%20FH%20Universitas%20Krisnadwipayana%20%20PROSES
%20PERADILA N%20PERDATA. 25-06-13.
Pada sidang pertama Hakim akan membuka persidangan dengan menanyakan
identitas para pihak, kemudian mengusahakan dan menghimbau para pihak untuk
melakukan mediasi/perdamaian. Bila mediasi tidak tercapai maka persidangan akan
dilanjutkan ke tahap berikutnya. Namun bila mediasi tercapai maka akan dibuat akta
perdamaian dan persidangan selesai.
b. Sidang Kedua
Pada sidang kedua agendanya adalah penyerahan jawaban dari pihak Tergugat atas
gugatan dari pihak Penggugat. Jawaban dibuat rangkap 3 (tiga) untuk Penggugat, Hakim,
dan arsip Tergugat sendiri.
c. Sidang Ketiga
Agenda sidang ketiga adalah penyerahan Replik. Replik adalah tanggapan
Penggugat terhadap jawaban dari Tergugat. Artinya pihak Tergugat/Termohon diberi
kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingan terhadap
Penggugat/Pemohon melalui majelis hakim dalam persidangan.
d. Sidang Keempat
Agenda sidang keempat adalah penyerahan Duplik. Duplik adalah tanggapan
Penggugat terhadap Replik. Jadi Penggugat atau Pemohon dapat dapat menegaskan
Kembali Gugatannya/Permohonannya yang disangkal oleh Tergugat/Termohon dan juga
mempertahankan diri atas serangan-serangan Tergugat/Termohon.
e. Sidang Kelima
Agenda sidang kelima adalah acara pembuktian oleh pihak Penggugat terhadap
dalil-dalil (posita)yang telah ia kemukakan sebelumnya untuk menguatkan gugatanya.
f. Sidang Keenam
Agenda sidang keenam adalah acara pembuktian untuk mendukung pihak Tergugat
untuk menguatkan jawabanya. Demikian juga Tergugar/Termohon mengajukan alat-alat
bukti untuk mendukung jawabannya (sanggahannya). Masing-masing pihak berhak menilai
alat bukti pihak lawan.
g. Sidang Ketujuh
Agenda sidang ketujuh adalah penyerahan kesimpulan oleh para pihak sebagai
langkah akhir untuk menguatkan dalil masing-masing sebelum hakim menjatuhkan
putusan.

h. Sidang Kedelapan
Agenda sidang kedelapan adalah putusan Hakim. Dalam hal ini hakim
menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan mentimpulkannya dalam amar
putusan, sebagai akhir persengketaan.
i. Eksekusi
Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim dalam sengketa perdata. Setelah
Hakim membacakan putusan dan membagikannya kepada para pihak, maka saat itu
jugalah putusan tersebut berlaku dan dapat dilaksanakan eksekusi. Terdapat 3 (tiga) jenis
pelaksanaan putusan eksekusi :
1. Eksekusi untuk membayar sejumlah uang. (Lihat pasal 196 HIR dan pasal 208Rbg)
2. Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan (Lihat pasal 225 HIR dan pasal 259 Rbg)
3. Eksekusi Riil (Lihat pasal 1033 Rv).
j. Upaya Hukum
Apabila saat menerima putusan terdapat salah satu pihak yang merasa tidak puas
terhadap hasil putusan yang ada, maka pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum.
Upaya hukum dalam Hukum Acara Perdata terdapat 2 (dua) macam upaya hukum yaitu:
1. Upaya hukum biasa
Upaya hukum biasa dibagi menjadi tiga, yaitu:
 Verstek yaitu perlawanan dari pihak tergugat terhadap putusan verstek Peradilan
Agama di tingkat pertama15. Verstek ini dapat diajukan ke Pengadilan Agama yang
mengeluarkan putusan dalam waktu tertentu. Dalam upaya hukum verstek ini
hakim dapat memeriksa kembali gugatan yang diputuskan secara verstek, sampai
belum mencakup materi/substansi perkara.
 Banding Yang dimaksud banding yaitu permintaan atau permohonan yang diajukan
oleh salah satu pihak atau para pihak yang berperkara, dengan harapan
putusan/penetapan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Tingkat Pertama
yang diperiksa ulang oleh Pengadilan Tinggi Agama (PTA) yang berada di tingkat
Provinsi,16sedangkan Kalau di sini berada di Surabaya. Dasar Hukumnya sebagai
mana yang terdapat pada Pasal 61 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, yang berbunyi:
“atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh
pihak yang berperkara, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.”17
15
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah. (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), 128.
16
Ibid, 29.
17
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, 262.
 Kasasi Kasasi yaitu permohonan pembatalan terhadap putusan/penetan Pengadilan
Agama Tingkat Pertama atau terhadap putusan pengadilan tingkat banding
(Pengadilan Tinggi Agama ke Mahkamah Agung di Jakarta melalui Pengadilan
Agama yang memutuskan perkara tersebut, dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan).18 Dalam hal ini, permohonan kasasi ini diatur dalam pasal 28 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.19
 Upaya hukum istimewa Upaya hukum istimewa dibagi menjadi dua, yaitu:
Peninjauan Kembali dan Doven Verzet atau Verzet Door Derden atau bisa disebut
dengan perlawanan pihak ketiga.

18
Ibid, 133.
19
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, 186.
KESIMPULAN

Apabila saat menerima putusan terdapat salah satu pihak yang merasa tidak puas
terhadap hasil putusan yang ada, maka pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum. Upaya
hukum dalam Hukum Acara Perdata terdapat 2 (dua) macam upaya hukum yaitu:
Gugat kepada putusan verstek.
 Banding yaitu upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri oleh pihak yang merasa
dirugikan oleh putusan tersebut.
 Kasasi yaitu upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Tinggi oleh pihak yang merasa
dirugikan oleh putusan tersebut.
Upaya hukum luar biasa
Upaya hukum luar biasa merupakan upaya hukum yang ditempuh jika terjadi keadaan
tertentu yang dianggap menghambat keadilan atau mengakibatkan kerugian yang sangat besar.
Upaya hukum luar biasa ini meliputi:
a. Peninjauan Kembali (PK) yaitu upaya hukum terhadap putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dengan dasar adanya fakta atau alat-alat bukti yang baru yang dapat
mengubah atau membatalkan putusan tersebut.
b. Grasi yaitu pengampunan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (presiden)
terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena pertimbangan-
pertimbangan kemanusiaan.
c. Rehabilitasi yaitu upaya hukum untuk mengembalikan nama baik seseorang yang telah
dihukum pidana namun kemudian ternyata tidak bersalah.

Tentang kesimpulan, berikut adalah beberapa poin yang dapat diambil dari tulisan tersebut:

1. Hukum Acara (Formal):

 Merupakan serangkaian perbuatan dari permohonan atau gugatan hingga pelaksanaan


putusan.
 Bertujuan untuk menentukan hukum suatu kasus dan hubungan hukum antara pihak
yang berperkara.
 Menekankan pada kebenaran bentuk atau cara, terikat pada bentuk atau cara yang telah
diatur.
 Hukum Acara hanya sebagai alat untuk mengabdi atau mewujudkan Hukum Material.

2. Peradilan Agama:
 Salah satu Peradilan Negara Indonesia yang sah, khusus untuk perkara perdata Islam.
 Mengindahkan peraturan perundang-undangan negara dan syariat Islam.
 Filosofis, yuridis, historis, dan sosiologis menjadi pandangan dalam memahami
Peradilan Agama.
 Melibatkan kekuasaan negara yang merdeka, prosedur, hukum acara perdata, dan
penegakan hukum.

3. Berita Acara Persidangan:

 Juga dikenal sebagai proces verbaal.


 Dasar hukum pembuatannya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
 Fungsi utamanya sebagai dasar bagi hakim dalam menyusun putusan, landasan untuk
menilai kebenaran putusan, dokumentasi pengadilan, rujukan pengganti putusan, dan
informasi ilmu pengetahuan.

4. Jenis-Jenis Persidangan dalam Peradilan Agama: Melibatkan berbagai perkara, seperti


pernikahan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, ekonomi syariah, dan lainnya.
5. Asas-Asas dalam Peradilan Agama: Asas personalita keislaman, kebebasan, wajib
mendamaikan, sederhana, cepat, biaya ringan, terbuka untuk umum, legalitas, persamaan,
dan aktif memberikan bantuan.
6. Proses Peradilan di Pengadilan Agama:

 Tahapan meliputi sidang pertama hingga sidang kedelapan.


 Proses eksekusi dan upaya hukum biasa serta luar biasa juga dijelaskan.

7. Upaya Hukum: Terdapat upaya hukum biasa (verstek, banding, kasasi) dan luar biasa
(PK, grasi, rehabilitasi).

Dengan memahami poin-poin tersebut, pembaca dapat memiliki gambaran yang lebih
komprehensif tentang Hukum Acara Peradilan Agama, prosesnya, dan unsur-unsur yang
terlibat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Amar. 2012. Berita Acara Persidangan Dalam Pengadilan Agama. Jayapura

Ali, Mohammad Daud. 2002. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta : Rajawali Pers

Bintani, Aris. 2012. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Bisri, Cik Hasan. 2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers

H. Anshari, M.A. 1986. Piagam Jakarta 22 Juni 1942. Jakarta: Rajawali

Hasyim, Darmansyah. 1993. Hukum Acara peradilan Agama. Lampung Mangkurat


University Press

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama

Lubis, Sulaikin. 2005. Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : kencana

Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah. Jakarta:
Sinar Grafika

Rahmad Rosyadi, M. Rais Ahmad. 2006. Formalisasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata
Hukum Islam. Bogor : Galai Indonesia

Anda mungkin juga menyukai