ABSTRAK
Perbedaan latar belakang sejarah, karakter/perilaku, rasa hukum, dan cara pandang
sebuah bangsa melahirkan cara berhukum yang berbeda pula. Cara berhukum tersebut yang
kemudian dikenal dengan istilah tradisi hukum atau sistem hukum. Sistem hukum adalah suatu
rangkaian kesatuan peraturan-peraturan hukum yang disusun secara teratur menurut asas-asasnya,
yang oleh suatu negara menjadi karakteristik dalam penegakkan hukum. Dari kelima macam sistem
hukum yang dikenal di dunia, Indonesia dengan konsep hukum prismatik memanifestasikannya ke
dalam satu wadah, yaitu Pancasila. Dalam penulisan artikel ini digunakan metode penelitian hukum
normatif. Tujuan dari penulisannya adalah agar bisa menjabarkan bagaimana jelasnya Pancasila bisa
menjadi sebuah sistem hukum yang ideal bagi Indonesia menurut konsep hukum prismatik.
Kata Kunci: Sistem hukum, hukum prismatik, Pancasila, Indonesia
PENDAHULUAN
Begitu banyak pengertian dari sistem hukum, oleh karena itu dalam tulisan
ini akan dipergunakan pengertian sistem hukum yang dikemukakan oleh Sudikno
Mertokusumo, bahwa sistem adalah tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri
dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang berkaitan erat satu sama lain yaitu kaidah
dan pernyataan tentang apa yang seharusnya sehingga sistem hukum merupakan
sistem normatif. Dengan kata lain sistem hukum adalah kumpulan unsur-unsur yang
ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi
dan kerja sama ke arah tujuan kesatuan.1 Menurut Paul Bellefroid, seorang ahli
hukum Vlaam, Belanda, profesor di Nijmegen, berpendapat bahwa sistem hukum
1
Sudikno Mertokusumo, (2009), Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty, hlm. 18.
adalah suatu rangkaian kesatuan peraturan- peraturan hukum, yang disusun secara
teratur menurut asas-asasnya.2
1. Sistem hukum Romawi Jerman (Romano Jerman) yang lazim dikenal dengan
Civil Law dianut oleh negara Eropa Kontinental.
2. Sistem hukum Common Law yang dianut oleh negara Anglo Saxon.
3. Sistem hukum Socialist Law.
4. Sistem hukum berdasarkan agama dan hukum kebiasaan (adat).3
2
M.L. Tobing, (2005), Sekitar Pengantar Ilmu hukum, Jakarta: Erlangga, hlm. 84.
3
H.R. Sardjono, (1991), Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata , Jakarta: Ind Hill, hlm. 4.
RUMUSAN MASALAH
METODE PENELITIAN
PEMBAHASAN
4
Yati Nurhayati, (2013), “Perdebatan Metode Normatif Dengan Metode Empirik Dalam Penelitian
Ilmu Hukum Ditinjau Dari Karakter, Fungsi Dan Tujuan Ilmu Hukum”, Jurnal Al-Adl, Volume 5
Nomor 10, Hlm. 15.
5
Yati Nurhayati, (2020), Pengantar Ilmu Hukum, Nusa Media: Bandung, hlm. 9.
Civilis yang terdiri atas empat buku, yakni Instituti, Diegesta/Pandectae,
Caudex, dan Novellae. Dalam perkembangannya, ketentuan Corpus Iuris
Civilis tersebut dijadikan dasar penyusunan kodifikasi kitab hukum di berbagai
negara seperti Jerman, Belanda, Italia, Perancis dan beberapa negara Asia,
termasuk Indonesia. Sumber hukum pertama sistem civil law adalah peraturan
perundang-undangan. Joseph Dainow menyatakan bahwa secara umum sumber
hukum yang utama dalam civil law adalah legislasi yang terkodifikasi secara
sistematik. Senada dengan hal tersebut, Vincy Fon dan Fransico Parisi
menyatakan undang-undang merupakan sumber hukum primer, sedangkan
putusan pengadilan adalah sumber hukum sekunder.6
Dalam sistem civil law, mengikatnya hukum dikarenakan hukumnya
disusun dalam undang-undang yang terkodifikasi secara sistematis. Dengan
demikian, sistem civil law menekankan pentingnya hukum yang tertulis, yaitu
peraturan perundang-undangan sebagai dasar utama sistem hukumnya. Secara
historis, hal tersebut lahir dari berkembangnya asas legalitas di Eropa yang
meminta adanya hukum yang ditulis dalam sebuah undang-undang untuk
menjamin perlindungan terhadap rakyat. Tujuan dari hukum tertulis adalah
untuk menjamin bahwa hukum itu harus pasti. Hukum yang pasti tersebut
bercirikan adanya kejelasan baik tulisan dan makna, tidak sumir, tidak
multitafsir, dan tidak ambigu.
Berdasarkan konsep di atas, pengembanan hukum dalam sistem civil
law dilakukan melalui proses legislasi. Untuk itu, peran hakim hanya terbatas
pada melaksanakan norma undang-undang yang dibentuk oleh parlemen.
Hakim diibaratkan sebagai the speaker of the law semata, karena diskresi hakim
yang sangat terbatas. Bahkan dalam menerapkan suatu norma hukum ke dalam
kasus konkret, hakim hanya menafsirkan sesuai dengan penafsiran parlemen.
Dengan demikian, hakim sangat pasif dan tidak memiliki peranan yang besar
dalam pengembanan hukum. Hakim hanya berperan sebagai negative
6
Syofyan Hadi, (2016), “MENGKAJI SISTEM HUKUM INDONESIA (Kajian Perbandingan
dengan Sistem Hukum Lainnya), DiH Jurnal Ilmu Hukum, Volume 12 Nomor 24, hlm. 165.
legislator. Hakim tidak diberikan kewenangan untuk membentuk hukum.
Hakim tidak boleh menjadi positive legislator.
Hakim hanya mempunyai peranan untuk melaksanakan “command”
dari parlemen untuk diterapkan pada kasus-kasus konkret. Hakim “diikat” oleh
undang-undang sebagai sebuah perintah dari parlemen. Hakim hanya
berkewajiban untuk melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya.
Vincy Fon dan Fransico Parisi menyatakan tugas utama hakim dan pengadilan
adalah untuk menyelesaikan kasus yang diajukan kepadanya, pengadilan dan
hakim tidak diberikan kewenangan untuk menciptakan aturan atau norma.
Posisi hakim seperti inilah yang melatar-belakangi pendapatnya Jeremy
Bentham, John Austin dan Hans Kelsen dalam mengembangkan positivisme
hukum. Walaupun John Austin dengan analytical jurisprudence-nya
berpendapat bahwa hakim mempunyai kewenangan untuk menafsirkan undang-
undang, namun kewenangan tersebut sangat terbatas sehingga bukan dalam
rangka judge made law.7
Dengan kuatnya posisi undang-undang, maka tidak dikenal prinsip
precedent atau stare decisis. Artinya, bahwa hakim tidak mempunyai kewajiban
untuk mengikuti putusan hakim sebelumnya. Biasanya, putusan hakim bersifat
inter parties yang hanya mengikat para pihak yang berperkara, sehingga hakim
tidak terikat. Namun dalam perkembangannya, sistem civil law mengenal
prinsip jurisprudence constante, di mana hakim menjadikan putusan
sebelumnya sebagai sumber hukum putusannya dengan syarat adanya
kesamaan dengan kasus yang baru.8
Di samping kedua karakter utama di atas, sistem civil law mempunyai
ciri-ciri yang lain, di antaranya:
1. Hukum publik dan hukum privat dipisahkan secara tegas.
2. Sistem peradilan tidak mengenal sistem juri.
3. Metode berpikir hakim dilakukan secara “deduktif”.
7
Ibid., hlm. 166.
8
Ibid.
B. Sistem Common Law
Sistem anglo saxon atau dikenal juga dikenal sistem common law pada
awalnya berkembang di Inggris sekitar abad ke-XI. Sistem ini mulai
berkembang semenjak menguatnya posisi raja dengan mendirikan institusi baru
dalam bentuk pengadilan kerajaan. Sistem ini berasal dari kebiasaan-kebiasaan
yang ditemukan dalam putusan pengadilan, sehingga hukumnya bersifat tidak
tertulis. Dalam perkembangannya, sistem ini menyebar ke berbagai koloni
Inggris dengan beberapa varian, di antaranya adalah sistem Anglo-America.
Dalam sistem ini, hukum yang diciptakan oleh pengadilan atau hakim melalui
putusannya merupakan sumber hukum primer. Joseph Dainow menyatakan
putusan yang dibuat oleh pengadilan atau hakim tidak hanya mengikat para
pihak yang berperkara, namun putusan tersebut wajib diikuti oleh hakim yang
lain setelahnya dalam kasus yang sama, karenanya putusan tersebut menjadi
aturan umum atau aturan kebiasaan.9 Dari pendapat tersebut, hakim memiliki
peranan yang sangat penting di dalam pengembanan hukum. Hakim
mempunyai tugas untuk menciptakan hukum melalui putusan-putusannya.
Konsep seperti ini dalam sistem hukum common law disebut jugde made law.
Hakim berfungsi sebagai positive legislator, di mana hakim memformulasikan
norma hukum case by case. Putusan hakim yang berisi prinsip atau norma
hukum kemudian dijadikan norma umum yang tidak hanya mengikat para pihak
yang bersengketa, namun berlaku dan mengikat umum.
Dalam sistem ini fungsi hakim sangat besar dalam pengembanan
hukum. Hakim tidak hanya berfungsi menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya, namun hakim berfungsi juga untuk menciptakan aturan yang
berlaku umum. Dalam rangka menciptakan aturan, hakim diberikan
kewenangan untuk melakukan pemaknaan ulang terhadap ketentuan aturan
yang sudah ada. Hakim tidak terbatas pada pelaksanaan fungsi sebagai mulut
undang-undang, lebih dari itu, hakim merupakan positive legislator. Begitu
pentingnya posisi hakim, maka dalam sistem hukum common law dikenal
9
Ibid., hlm. 167.
prinsip precedent atau prinsip stare decisis. Vincy Fon dan Fransico Parisi
menyatakan dengan adanya prinsip stare decisis, maka hakim setelahnya wajib
untuk memutus perkara berdasarkan putusan pengadilan sebelumnya. Josep
Dainow12 bahkan menyatakan bahwa prinsip precedent memberikan kestabilan
dan keberlanjutan dalam sistem anglo saxon, di mana dalam kasus yang sama
pengadilan diwajibkan untuk mengikuti putusan sebelumnya sehingga akan ada
putusan yang sama terhadap kasus yang sama.10
Dari uraian di atas, maka prinsip stare decisis mewajibkan hakim
setelahnya untuk mengikuti hakim sebelumnya. Hakim tidak diperbolehkan
untuk perkara yang sama untuk membuat putusan yang berbeda. Prinsip
tersebut hanya dapat dikesampingkan apabila hakim setelahnya melihat putusan
hakim sebelumnya sudah “out of date”, dengan pertimbangan yang didasarkan
pada kebenaran dan akal sehat. Di samping kedua karakter utama di atas, sistem
common law mempunyai ciri-ciri yang lain, di antaranya:
1. Hukum publik dan privat tidak dipisahkan secara jelas.
2. Sistem peradilan memakai sistem juri.
3. Metode berpikir hakim dilakukan secara “induktif”.
10
Ibid.
dijelaskan Rasul-Nya. Dalam ajaran Islam diyakini bahwa Allah SWT, adalah
satu-satunya yang berhak menetapkan hukum. Sedangkan kedudukan manusia
sebagai hakim hanyalah sebagai pelaksana dari sebagian tugas yang ditetapkan
Allah dalam bidang hukum dan peradilan. Dengan demikian, tidak berlebihan
jika Islam menempatkan kedudukan hakim sebagai jabatan terhormat. Ia bukan
saja sebagai orang yang dipercaya oleh penguasa di dunia, tetapi ia juga
dipercaya oleh Tuhan untuk bertindak sebagai wakil-Nya di muka bumi dalam
bidang hukum dan peradilan.
Dengan kedudukannya yang demikian, seorang hakim harus memiliki
wibawa dan kharisma di mata orang lain terutama para pencari keadilan.
Sebaliknya, setiap pencari keadilan juga harus menghormati lembaga
pengadilan (sebagai tempat dilaksanakannya hukum Tuhan dan sunnah Rasul-
Nya) dan hakim. Sikap tidak menghormati hakim dan merendahkannya berari
juga tidak menghormati kepala negara dan sekaligus tidak menghormati Tuhan
sebagai pembuat aturan hukum. Dalam Islam dikenal adanya prinsip Peradilan
bebas, prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam
nomokrasi Islam, seorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam
makna setiap putusan yang dia ambil bebas dari pengaruh siapa pun. Hakim
wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapa pun. Putusan
hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapa pun. Seorang
yuris Islam terkenal Abu Hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman
harus memiliki kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur
tangan kekuatan eksekutif, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula
wewenang hakim untuk menjatuhkan putusannya pada seorang penguasa
apabila dia melanggar hak-hak rakyat. Prinsip peradilan bebas dalam
Nomokrasi Islam bukan hanya sekedar ciri bagi suatu negara hukum tetapi juga
dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap hakim.
Peradilan bebas merupakan persyaratan bagi tegaknya prinsip keadilan dan
persamaan hukum. Dalam Nomokrasi Islam, Hakim memiliki kedudukan yang
bebas dari pengaruh siapa pun. Hakim bebas pula menentukan dan menetapkan
putusannya. Bahkan dia memiliki suatu kewenangan untuk melakukan ijtihad
dalam menegakkan hukum.
Prinsip peradilan bebas dalam Nomokrasi Islam tidak boleh
bertentangan dengan tujuan Hukum Islam, jiwa Al-Qur’an dan sunnah. Dalam
melaksanakan prinsip peradilan bebas, hakim wajib memperhatikan juga
prinsip amanah, karena kekuasaan kehakiman yang berada di tangannya adalah
pula suatu amanah dari rakyat kepadanya yang wajib dia pelihara sebaik-
baiknya. Sebelum dia menetapkan putusannya hakim wajib bermusyawarah
dengan para koleganya agar dapat dicapai suatu putusan yang seadil-adilnya.
Putusan yang adil merupakan tujuan utama dari kekuasaan kehakiman yang
bebas.11
11
Maria Ulfah, (2022), Perbandingan Sistem Hukum, Banjarmasin: UNISKA MAB, Cetakan
Pertama, hlm. 18-19.
12
Suherman Ade Maman, (2006), Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, hlm. 20-26.
13
Friedmann,W., (1990), Teori & Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm. 5.
sistem hukum sosialis adalah keputusan tertinggi para penguasa berupa produk
kebijaksanaan pemerintah atau negara. Intinya tidak ada sumber hukum yang
resmi, yang jelas hukum adalah penguasa negara dan hukum yang membela
rakyat proletar.
14
H. Mustaghfirin, (2011), “SISTEM HUKUM BARAT, SISTEM HUKUM ADAT, DAN
SISTEM HUKUM ISLAM MENUJU SEBAGAI SISTEM HUKUM NASIONAL SEBUAH
IDE YANG HARMONI”, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 11, hlm. 91-92.
Terkait dengan hal tersebut, Moh. Mahfud MD pernah menyatakan bahwa
sistem hukum Pancasila merupakan sistem hukum yang bersifat prismatik,
yakni suatu konsep perpaduan antara hal-hal yang baik dari seluruh sistem yang
ada. Pancasila berisi perpaduan antara dari hal-hal yang baik dari pandangan
individualisme dan kolektivisme, pandangan rechtsstaat dan the rule of law,
pandangan law as tool of social engineering dan the living law, dan pandangan
religious nation state yakni negara berlandaskan agama, namun bukan agama
tertentu.15 Dari pendapat di atas, maka sistem hukum Pancasila merupakan
peleburan yang baik-baik dari beberapa sistem hukum, baik civil law, anglo
saxon, dan sistem lainnya. Sistem hukum Pancasila dipengaruhi oleh sistem-
sistem hukum tersebut. Sehingga, dalam sistem hukum Pancasila ada unsur civil
law, common law, hukum Islam, hukum sosialis dan hukum adat. Semua
konsep hukum yang baik dalam sistem-sistem hukum tersebut dimasukkan ke
dalam sistem hukum Pancasila. Jadi, dapat dikatakan bahwa sistem hukum
Pancasila bercirikan pada sistem yang religius, sistem yang humanis, dan sistem
yang sosialis. Sistem hukum yang religius merupakan refleksi dari nilai
ketuhanan yang ada dalam Sila ke-1. Sistem hukum yang humanis merupakan
refleksi dari nilai kemanusiaan yang ada dalam Sila ke-2, Sila ke-3 dan Sila ke-
4. Adapun sistem hukum yang sosialis merupakan refleksi dari nilai keadilan
sosial yang ada dalam Sila ke-5.
15
Purnawan D. Negara, (2013), “MEMBANGUN HUKUM BERBASIS NILAI-NILAI
INDONESIA (TINJAUAN PRISMATIKA HUKUM SEBAGAI DASAR PEMBANGUNAN
HUKUM DI INDONESIA BERBASIS PANCASILA)”, Hukum dan Dinamika Masyarakat,
Volume 10 Nomor 2, hlm. 162.
yang kemudian melahirkan sistem hukum versi Indonesia, yaitu Sistem Hukum
Pancasila. Nilai-nilai khas hukum prismatik yang berbasis nilai-nilai Pancasila
itu meletakkan keseimbangan dalam hubungan di antara nilai-nilai yang ada,
yaitu:
16
Ibid.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Buku
H.R. Sardjono, (1991), Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata , Jakarta: Ind
Hill.
Jurnal
Kamus