Anda di halaman 1dari 15

MENGENAL KONSEP HUKUM PRISMATIK DALAM PANCASILA

SEBAGAI SISTEM HUKUM INDONESIA

Muhammad Ridho Taufiq


2108010043
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan
Muhammad Arsyad Al-Banjari
Jalan Salak No. 44, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia
Email: sikugaa@gmail.com

ABSTRAK
Perbedaan latar belakang sejarah, karakter/perilaku, rasa hukum, dan cara pandang
sebuah bangsa melahirkan cara berhukum yang berbeda pula. Cara berhukum tersebut yang
kemudian dikenal dengan istilah tradisi hukum atau sistem hukum. Sistem hukum adalah suatu
rangkaian kesatuan peraturan-peraturan hukum yang disusun secara teratur menurut asas-asasnya,
yang oleh suatu negara menjadi karakteristik dalam penegakkan hukum. Dari kelima macam sistem
hukum yang dikenal di dunia, Indonesia dengan konsep hukum prismatik memanifestasikannya ke
dalam satu wadah, yaitu Pancasila. Dalam penulisan artikel ini digunakan metode penelitian hukum
normatif. Tujuan dari penulisannya adalah agar bisa menjabarkan bagaimana jelasnya Pancasila bisa
menjadi sebuah sistem hukum yang ideal bagi Indonesia menurut konsep hukum prismatik.
Kata Kunci: Sistem hukum, hukum prismatik, Pancasila, Indonesia

PENDAHULUAN

Begitu banyak pengertian dari sistem hukum, oleh karena itu dalam tulisan
ini akan dipergunakan pengertian sistem hukum yang dikemukakan oleh Sudikno
Mertokusumo, bahwa sistem adalah tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri
dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang berkaitan erat satu sama lain yaitu kaidah
dan pernyataan tentang apa yang seharusnya sehingga sistem hukum merupakan
sistem normatif. Dengan kata lain sistem hukum adalah kumpulan unsur-unsur yang
ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi
dan kerja sama ke arah tujuan kesatuan.1 Menurut Paul Bellefroid, seorang ahli
hukum Vlaam, Belanda, profesor di Nijmegen, berpendapat bahwa sistem hukum

1
Sudikno Mertokusumo, (2009), Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty, hlm. 18.
adalah suatu rangkaian kesatuan peraturan- peraturan hukum, yang disusun secara
teratur menurut asas-asasnya.2

Lahirnya suatu sistem hukum yang kemudian dipergunakan di suatu


negara tidak lepas dari sejarah tradisi dan budaya hukum (legal culture) yang dianut
pada masyarakat tersebut. Bagi masyarakat yang menganggap praktik-praktik
kebiasaan yang melembaga dan kemudian menjelma menjadi hukum, maka sistem
hukumnya menjadi tradisi sistem hukum tidak tertulis sebagai bagian spirit of the
people suatu bangsa. Sebaliknya ketika tradisi dan budaya tata tulis telah menjadi
semangat kepastian hukum suatu bangsa, maka sistem hukumnya menjelma
menjadi sistem hukum tertulis yang dikodifikasikan. Perbedaan latar belakang
kesejarahan, karakter/perilaku, rasa hukum, dan cara pandang di atas melahirkan
cara berhukum yang berbeda pula. Cara berhukum tersebut yang kita kenal dengan
istilah tradisi hukum atau sistem hukum.

Berangkat dari latar belakang itulah kemudian lahir bermacam-macam


sistem hukum di dunia yang mengikuti tradisi dan budaya masyarakat itu. Menurut
Rene David dalam bukunya Major Legal System in The World Today, penelitian
secara mondial dengan cara perbandingan hukum memperlihatkan gambaran
sebagai berikut:

1. Sistem hukum Romawi Jerman (Romano Jerman) yang lazim dikenal dengan
Civil Law dianut oleh negara Eropa Kontinental.
2. Sistem hukum Common Law yang dianut oleh negara Anglo Saxon.
3. Sistem hukum Socialist Law.
4. Sistem hukum berdasarkan agama dan hukum kebiasaan (adat).3

2
M.L. Tobing, (2005), Sekitar Pengantar Ilmu hukum, Jakarta: Erlangga, hlm. 84.
3
H.R. Sardjono, (1991), Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata , Jakarta: Ind Hill, hlm. 4.
RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka diangkatlah


suatu rumusan masalah untuk diteliti, yaitu apa sistem hukum yang dipakai di
Indonesia saat ini?

METODE PENELITIAN

Dalam pembuatan sebuah karya ilmiah terutama karya ilmiah penelitian


hukum diharuskan menggunakan metode penelitian hukum. Ilmu hukum berusaha
untuk menampilkan hukum secara integral sesuai dengan kebutuhan kajian ilmu
hukum itu sendiri, sehingga metode penelitian dibutuhkan untuk memperoleh arah
penelitian yang komprehensif.4 Sebenarnya ilmu hukum mempunyai ciri-ciri
sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Dalam preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan dalam suatu hukum, baik buruk
suatu aturan hukum, konsep-konsep dan norma hukum. sedangkan dalam ilmu
terapan, ilmu hukum menetapkan suatu prosedur, ketentuan-ketentuan dan batasan-
batasan dalam menegakkan suatu aturan hukum.5 Metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode penelitian hukum normatif,
yang mana metode ini mengkaji suatu permasalahan dengan merujuk kepada riset-
riset dan tinjauan yang berasal dari studi kepustakaan sebagai sumbernya.

PEMBAHASAN

A. Sistem Civil Law


Sistem Eropa Kontinental atau civil law berasal dari bahasa Latin ius
civile yakni hukum yang diterapkan kepada seluruh masyarakat Romawi. Pada
zaman Kaisar Justinian (Abad ke-VI BC), dilakukan kodifikasi Corpus Iuris

4
Yati Nurhayati, (2013), “Perdebatan Metode Normatif Dengan Metode Empirik Dalam Penelitian
Ilmu Hukum Ditinjau Dari Karakter, Fungsi Dan Tujuan Ilmu Hukum”, Jurnal Al-Adl, Volume 5
Nomor 10, Hlm. 15.
5
Yati Nurhayati, (2020), Pengantar Ilmu Hukum, Nusa Media: Bandung, hlm. 9.
Civilis yang terdiri atas empat buku, yakni Instituti, Diegesta/Pandectae,
Caudex, dan Novellae. Dalam perkembangannya, ketentuan Corpus Iuris
Civilis tersebut dijadikan dasar penyusunan kodifikasi kitab hukum di berbagai
negara seperti Jerman, Belanda, Italia, Perancis dan beberapa negara Asia,
termasuk Indonesia. Sumber hukum pertama sistem civil law adalah peraturan
perundang-undangan. Joseph Dainow menyatakan bahwa secara umum sumber
hukum yang utama dalam civil law adalah legislasi yang terkodifikasi secara
sistematik. Senada dengan hal tersebut, Vincy Fon dan Fransico Parisi
menyatakan undang-undang merupakan sumber hukum primer, sedangkan
putusan pengadilan adalah sumber hukum sekunder.6
Dalam sistem civil law, mengikatnya hukum dikarenakan hukumnya
disusun dalam undang-undang yang terkodifikasi secara sistematis. Dengan
demikian, sistem civil law menekankan pentingnya hukum yang tertulis, yaitu
peraturan perundang-undangan sebagai dasar utama sistem hukumnya. Secara
historis, hal tersebut lahir dari berkembangnya asas legalitas di Eropa yang
meminta adanya hukum yang ditulis dalam sebuah undang-undang untuk
menjamin perlindungan terhadap rakyat. Tujuan dari hukum tertulis adalah
untuk menjamin bahwa hukum itu harus pasti. Hukum yang pasti tersebut
bercirikan adanya kejelasan baik tulisan dan makna, tidak sumir, tidak
multitafsir, dan tidak ambigu.
Berdasarkan konsep di atas, pengembanan hukum dalam sistem civil
law dilakukan melalui proses legislasi. Untuk itu, peran hakim hanya terbatas
pada melaksanakan norma undang-undang yang dibentuk oleh parlemen.
Hakim diibaratkan sebagai the speaker of the law semata, karena diskresi hakim
yang sangat terbatas. Bahkan dalam menerapkan suatu norma hukum ke dalam
kasus konkret, hakim hanya menafsirkan sesuai dengan penafsiran parlemen.
Dengan demikian, hakim sangat pasif dan tidak memiliki peranan yang besar
dalam pengembanan hukum. Hakim hanya berperan sebagai negative

6
Syofyan Hadi, (2016), “MENGKAJI SISTEM HUKUM INDONESIA (Kajian Perbandingan
dengan Sistem Hukum Lainnya), DiH Jurnal Ilmu Hukum, Volume 12 Nomor 24, hlm. 165.
legislator. Hakim tidak diberikan kewenangan untuk membentuk hukum.
Hakim tidak boleh menjadi positive legislator.
Hakim hanya mempunyai peranan untuk melaksanakan “command”
dari parlemen untuk diterapkan pada kasus-kasus konkret. Hakim “diikat” oleh
undang-undang sebagai sebuah perintah dari parlemen. Hakim hanya
berkewajiban untuk melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya.
Vincy Fon dan Fransico Parisi menyatakan tugas utama hakim dan pengadilan
adalah untuk menyelesaikan kasus yang diajukan kepadanya, pengadilan dan
hakim tidak diberikan kewenangan untuk menciptakan aturan atau norma.
Posisi hakim seperti inilah yang melatar-belakangi pendapatnya Jeremy
Bentham, John Austin dan Hans Kelsen dalam mengembangkan positivisme
hukum. Walaupun John Austin dengan analytical jurisprudence-nya
berpendapat bahwa hakim mempunyai kewenangan untuk menafsirkan undang-
undang, namun kewenangan tersebut sangat terbatas sehingga bukan dalam
rangka judge made law.7
Dengan kuatnya posisi undang-undang, maka tidak dikenal prinsip
precedent atau stare decisis. Artinya, bahwa hakim tidak mempunyai kewajiban
untuk mengikuti putusan hakim sebelumnya. Biasanya, putusan hakim bersifat
inter parties yang hanya mengikat para pihak yang berperkara, sehingga hakim
tidak terikat. Namun dalam perkembangannya, sistem civil law mengenal
prinsip jurisprudence constante, di mana hakim menjadikan putusan
sebelumnya sebagai sumber hukum putusannya dengan syarat adanya
kesamaan dengan kasus yang baru.8
Di samping kedua karakter utama di atas, sistem civil law mempunyai
ciri-ciri yang lain, di antaranya:
1. Hukum publik dan hukum privat dipisahkan secara tegas.
2. Sistem peradilan tidak mengenal sistem juri.
3. Metode berpikir hakim dilakukan secara “deduktif”.

7
Ibid., hlm. 166.
8
Ibid.
B. Sistem Common Law
Sistem anglo saxon atau dikenal juga dikenal sistem common law pada
awalnya berkembang di Inggris sekitar abad ke-XI. Sistem ini mulai
berkembang semenjak menguatnya posisi raja dengan mendirikan institusi baru
dalam bentuk pengadilan kerajaan. Sistem ini berasal dari kebiasaan-kebiasaan
yang ditemukan dalam putusan pengadilan, sehingga hukumnya bersifat tidak
tertulis. Dalam perkembangannya, sistem ini menyebar ke berbagai koloni
Inggris dengan beberapa varian, di antaranya adalah sistem Anglo-America.
Dalam sistem ini, hukum yang diciptakan oleh pengadilan atau hakim melalui
putusannya merupakan sumber hukum primer. Joseph Dainow menyatakan
putusan yang dibuat oleh pengadilan atau hakim tidak hanya mengikat para
pihak yang berperkara, namun putusan tersebut wajib diikuti oleh hakim yang
lain setelahnya dalam kasus yang sama, karenanya putusan tersebut menjadi
aturan umum atau aturan kebiasaan.9 Dari pendapat tersebut, hakim memiliki
peranan yang sangat penting di dalam pengembanan hukum. Hakim
mempunyai tugas untuk menciptakan hukum melalui putusan-putusannya.
Konsep seperti ini dalam sistem hukum common law disebut jugde made law.
Hakim berfungsi sebagai positive legislator, di mana hakim memformulasikan
norma hukum case by case. Putusan hakim yang berisi prinsip atau norma
hukum kemudian dijadikan norma umum yang tidak hanya mengikat para pihak
yang bersengketa, namun berlaku dan mengikat umum.
Dalam sistem ini fungsi hakim sangat besar dalam pengembanan
hukum. Hakim tidak hanya berfungsi menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya, namun hakim berfungsi juga untuk menciptakan aturan yang
berlaku umum. Dalam rangka menciptakan aturan, hakim diberikan
kewenangan untuk melakukan pemaknaan ulang terhadap ketentuan aturan
yang sudah ada. Hakim tidak terbatas pada pelaksanaan fungsi sebagai mulut
undang-undang, lebih dari itu, hakim merupakan positive legislator. Begitu
pentingnya posisi hakim, maka dalam sistem hukum common law dikenal

9
Ibid., hlm. 167.
prinsip precedent atau prinsip stare decisis. Vincy Fon dan Fransico Parisi
menyatakan dengan adanya prinsip stare decisis, maka hakim setelahnya wajib
untuk memutus perkara berdasarkan putusan pengadilan sebelumnya. Josep
Dainow12 bahkan menyatakan bahwa prinsip precedent memberikan kestabilan
dan keberlanjutan dalam sistem anglo saxon, di mana dalam kasus yang sama
pengadilan diwajibkan untuk mengikuti putusan sebelumnya sehingga akan ada
putusan yang sama terhadap kasus yang sama.10
Dari uraian di atas, maka prinsip stare decisis mewajibkan hakim
setelahnya untuk mengikuti hakim sebelumnya. Hakim tidak diperbolehkan
untuk perkara yang sama untuk membuat putusan yang berbeda. Prinsip
tersebut hanya dapat dikesampingkan apabila hakim setelahnya melihat putusan
hakim sebelumnya sudah “out of date”, dengan pertimbangan yang didasarkan
pada kebenaran dan akal sehat. Di samping kedua karakter utama di atas, sistem
common law mempunyai ciri-ciri yang lain, di antaranya:
1. Hukum publik dan privat tidak dipisahkan secara jelas.
2. Sistem peradilan memakai sistem juri.
3. Metode berpikir hakim dilakukan secara “induktif”.

C. Sistem Hukum Islam


Dalam ajaran Islam diyakini bahwa hukum bersumber pada Al-Qur’an
dan Hadist. Segala persoalan hukum yang timbul hendaknya dapat diselesaikan
dengan merujuk pada kedua sumber tersebut. Untuk menyampaikan aturan-Nya
itu Allah mengutus Rasul. Setelah Rasulullah wafat, urusan hukum dan
peradilan diserahkan pada penguasa (ulul amri). Peranan para mujtahid ini
begitu besar karena telah menjadi pembuat hukum atau pemberi keputusan
dalam masalah-masalah hukum yang baru dan tidak pernah dijelaskan
ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Hadist. Hakim sebagai orang yang
melakukan ijtihad disyaratkan harus memiliki pengetahuan yang luas untuk
memahami apa yang dinyatakan Tuhan dalam Al-Qur’an dan apa yang

10
Ibid.
dijelaskan Rasul-Nya. Dalam ajaran Islam diyakini bahwa Allah SWT, adalah
satu-satunya yang berhak menetapkan hukum. Sedangkan kedudukan manusia
sebagai hakim hanyalah sebagai pelaksana dari sebagian tugas yang ditetapkan
Allah dalam bidang hukum dan peradilan. Dengan demikian, tidak berlebihan
jika Islam menempatkan kedudukan hakim sebagai jabatan terhormat. Ia bukan
saja sebagai orang yang dipercaya oleh penguasa di dunia, tetapi ia juga
dipercaya oleh Tuhan untuk bertindak sebagai wakil-Nya di muka bumi dalam
bidang hukum dan peradilan.
Dengan kedudukannya yang demikian, seorang hakim harus memiliki
wibawa dan kharisma di mata orang lain terutama para pencari keadilan.
Sebaliknya, setiap pencari keadilan juga harus menghormati lembaga
pengadilan (sebagai tempat dilaksanakannya hukum Tuhan dan sunnah Rasul-
Nya) dan hakim. Sikap tidak menghormati hakim dan merendahkannya berari
juga tidak menghormati kepala negara dan sekaligus tidak menghormati Tuhan
sebagai pembuat aturan hukum. Dalam Islam dikenal adanya prinsip Peradilan
bebas, prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam
nomokrasi Islam, seorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam
makna setiap putusan yang dia ambil bebas dari pengaruh siapa pun. Hakim
wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapa pun. Putusan
hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapa pun. Seorang
yuris Islam terkenal Abu Hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman
harus memiliki kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur
tangan kekuatan eksekutif, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula
wewenang hakim untuk menjatuhkan putusannya pada seorang penguasa
apabila dia melanggar hak-hak rakyat. Prinsip peradilan bebas dalam
Nomokrasi Islam bukan hanya sekedar ciri bagi suatu negara hukum tetapi juga
dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap hakim.
Peradilan bebas merupakan persyaratan bagi tegaknya prinsip keadilan dan
persamaan hukum. Dalam Nomokrasi Islam, Hakim memiliki kedudukan yang
bebas dari pengaruh siapa pun. Hakim bebas pula menentukan dan menetapkan
putusannya. Bahkan dia memiliki suatu kewenangan untuk melakukan ijtihad
dalam menegakkan hukum.
Prinsip peradilan bebas dalam Nomokrasi Islam tidak boleh
bertentangan dengan tujuan Hukum Islam, jiwa Al-Qur’an dan sunnah. Dalam
melaksanakan prinsip peradilan bebas, hakim wajib memperhatikan juga
prinsip amanah, karena kekuasaan kehakiman yang berada di tangannya adalah
pula suatu amanah dari rakyat kepadanya yang wajib dia pelihara sebaik-
baiknya. Sebelum dia menetapkan putusannya hakim wajib bermusyawarah
dengan para koleganya agar dapat dicapai suatu putusan yang seadil-adilnya.
Putusan yang adil merupakan tujuan utama dari kekuasaan kehakiman yang
bebas.11

D. Sistem Hukum Sosialis


Sistem hukum sosialis adalah hukum dari negara-negara yang
pemerintahannya secara resmi memandang negara tersebut sebagai sosialis atau
bergerak dari kapitalisme menuju sosialisme, dan menganggap sebuah
masyarakat komunistik sebagai tujuan puncaknya.12
Hukum oleh pemerintahnya atau pemimpinnya digunakan sebagai
sarana dalam merencanakan dan mengorganisasikan struktur ekonomi dan
sosial tersebut, dan ia hanya sekedar bagian dari struktur ideologis yang
mengontrol realitas materi dari sarana produksi; ia ditentukan dan didefinisikan
dalam kaitannya dengan fungsi politisnya. Bahwa seluruh cita hukum berkaitan
dengan negara dan karena itu merupakan sarana dengan mana mereka yang
mengawasi alat-alat produksi tetap mengawasi mereka yang dicabut hak
miliknya. Dengan berpindahnya pemilikan alat-alat produksi ke tangan
masyarakat, individu akan dilibatkan, seperti halnya negara dan hukum, yang
dibenarkan hanya oleh kebutuhan dengan paksaan. 13 Sumber hukum dalam

11
Maria Ulfah, (2022), Perbandingan Sistem Hukum, Banjarmasin: UNISKA MAB, Cetakan
Pertama, hlm. 18-19.
12
Suherman Ade Maman, (2006), Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, hlm. 20-26.
13
Friedmann,W., (1990), Teori & Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm. 5.
sistem hukum sosialis adalah keputusan tertinggi para penguasa berupa produk
kebijaksanaan pemerintah atau negara. Intinya tidak ada sumber hukum yang
resmi, yang jelas hukum adalah penguasa negara dan hukum yang membela
rakyat proletar.

E. Sistem Hukum Adat


Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan
kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang,
India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak
tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran
hukum masyarakatnya. Peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat
disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk
menjaga keutuhan hidup sejahtera.
Hukum adat ini didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam setiap
masyarakat hukum adat, apabila didasarkan pada perwilayahan lingkungan
masyarakat adat, sebagaimana dikemukakan oleh Cornelis van Vollenhoven
maka akan memiliki nilai-nilai hukum adat pada setiap masyarakat adat di 23
(dua puluh tiga) lingkungan wilayah adat, sedangkan menurut Gezt maka akan
memiliki nilai-nilai hukum adat pada setiap masyarakat adat di 350 lingkungan
wilayah adat beserta budayanya. Hukum adat di Indonesia terdiri dari berbagai
macam hukum adat, menurut Puchta (1798-1846) murid von Savigny hukum
adat yang semacam ini tidak dapat dijadikan hukum secara nasional hanya
sebagai keyakinan bagi masyarakatnya masing-masing, nilai-nilainya juga tidak
dapat dimasukkan di dalam sistem hukum nasional, kecuali hukum adat yang di
miliki, diyakini dan diamalkan secara terus menerus oleh bangsa atau
masyarakat nasional dapat dijadikan hukum secara nasional setelah melalui
proses pengesahan di lembaga legislatif dan atau eksekutif, dan nilai-nilainya
dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum nasional.14

F. Sistem Hukum Indonesia


Hukum harus bersumber dari kesadaran dan kenyataan-kenyataan
masyarakat, kalau tidak begitu maka tidak efektif. Maka sumber materi hukum
itu adalah historis, sosiologis, dan filosofis dari masyarakat yang bersangkutan.

Dilihat dari perspektif historis banyak ahli yang berpendapat bahwa


Indonesia menganut sistem civil law. Mereka beralasan bahwa karena Indonesia
pernah menjadi daerah jajahan belanda selama berabad-abad yang notabene
adalah negara dengan sistem Civil law. Alasan kesejarahan tersebut memang
tidak dapat dipungkiri sangat mempengaruhi sistem hukum Indonesia, namun
bukan berarti Indonesia memakai sistem civil law secara mutlak.

Dalam aspek sosiologis bisa dikatakan bahwa “law as tradition”, maka


pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem civil law merupakan tradisi
hukum Indonesia? Tentu bukan. Jika bukan, maka sistem hukum civil law tidak
dapat dipaksakan menjadi sistem hukum Indonesia. Meminjam pendapat Eugen
Ehrlich yang menyatakan hukum berkembang dan eksis pada masyarakat itu
sendiri, bukan pada undang-undang, ilmu pengetahuan hukum ataupun pada
putusan hakim.

Dengan pendapat tersebut, maka hukum sebagai sebuah tradisi/budaya


harus ditemukan dalam masyarakat. Begitu pun dengan sistem hukum
Indonesia harus digali dari budaya masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
sistem hukum Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang berdasarkan
Pancasila. Pancasila merupakan refleksi kebudayaan bangsa dan rakyat
Indonesia. Pancasila merupakan jiwa bangsa Indonesia. Untuk itu, Indonesia
memiliki sistem tersendiri dalam berhukum yakni sistem hukum Pancasila.

14
H. Mustaghfirin, (2011), “SISTEM HUKUM BARAT, SISTEM HUKUM ADAT, DAN
SISTEM HUKUM ISLAM MENUJU SEBAGAI SISTEM HUKUM NASIONAL SEBUAH
IDE YANG HARMONI”, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 11, hlm. 91-92.
Terkait dengan hal tersebut, Moh. Mahfud MD pernah menyatakan bahwa
sistem hukum Pancasila merupakan sistem hukum yang bersifat prismatik,
yakni suatu konsep perpaduan antara hal-hal yang baik dari seluruh sistem yang
ada. Pancasila berisi perpaduan antara dari hal-hal yang baik dari pandangan
individualisme dan kolektivisme, pandangan rechtsstaat dan the rule of law,
pandangan law as tool of social engineering dan the living law, dan pandangan
religious nation state yakni negara berlandaskan agama, namun bukan agama
tertentu.15 Dari pendapat di atas, maka sistem hukum Pancasila merupakan
peleburan yang baik-baik dari beberapa sistem hukum, baik civil law, anglo
saxon, dan sistem lainnya. Sistem hukum Pancasila dipengaruhi oleh sistem-
sistem hukum tersebut. Sehingga, dalam sistem hukum Pancasila ada unsur civil
law, common law, hukum Islam, hukum sosialis dan hukum adat. Semua
konsep hukum yang baik dalam sistem-sistem hukum tersebut dimasukkan ke
dalam sistem hukum Pancasila. Jadi, dapat dikatakan bahwa sistem hukum
Pancasila bercirikan pada sistem yang religius, sistem yang humanis, dan sistem
yang sosialis. Sistem hukum yang religius merupakan refleksi dari nilai
ketuhanan yang ada dalam Sila ke-1. Sistem hukum yang humanis merupakan
refleksi dari nilai kemanusiaan yang ada dalam Sila ke-2, Sila ke-3 dan Sila ke-
4. Adapun sistem hukum yang sosialis merupakan refleksi dari nilai keadilan
sosial yang ada dalam Sila ke-5.

Nilai-nilai khas inilah yang membedakan sistem hukum Indonesia


dengan sistem hukum lainnya. Sehingga muncul istilah hukum Pancasila yang,
jika dikaitkan dengan literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan
nilai sosial, disebut sebagai pilihan nilai prismatik yang karenanya dalam
konteks hukum dapat disebut sebagai hukum prismatik.

Bagi masyarakat Indonesia nilai-nilai khas prismatik ini


mengkristalkan tujuan, dasar, cita hukum dan norma dasar negara Indonesia

15
Purnawan D. Negara, (2013), “MEMBANGUN HUKUM BERBASIS NILAI-NILAI
INDONESIA (TINJAUAN PRISMATIKA HUKUM SEBAGAI DASAR PEMBANGUNAN
HUKUM DI INDONESIA BERBASIS PANCASILA)”, Hukum dan Dinamika Masyarakat,
Volume 10 Nomor 2, hlm. 162.
yang kemudian melahirkan sistem hukum versi Indonesia, yaitu Sistem Hukum
Pancasila. Nilai-nilai khas hukum prismatik yang berbasis nilai-nilai Pancasila
itu meletakkan keseimbangan dalam hubungan di antara nilai-nilai yang ada,
yaitu:

1. Keseimbangan antara nilai individualisme dan kolektivisme;


2. Keseimbangan antara Rechstaat dan the Rule of Law;
3. Keseimbangan antara hukum sebagai alat untuk memajukan dan hukum
sebagai cermin nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat;
4. Keseimbangan antara negara agama dan negara sekuler atau disebut
religious nation state.

Apabila diuraikan konsep hukum-konsep hukum prismatik berbasis


nilai-nilai Pancasila itu adalah sebagai berikut; Pertama, Pancasila memadukan
unsur yang baik dari paham individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui
bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun
sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan
makhluk sosial; Kedua, Pancasila mengintegrasikan konsepsi negara hukum
rechtsstaat yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta
konsepsi negara hukum the rule of law yang menekankan pada common law
dan rasa keadilan; Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaruan
masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai cermin
rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law) dan; Keempat, Pancasila
menganut paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan satu
agama tertentu (karena bukan negara agama), tapi juga tidak hampa agama
(karena bukan negara sekuler). Di sini, negara harus melindungi dan membina
semua pemeluk agama tanpa diskriminasi berdasar pertimbangan mayoritas
dan minoritas.16

16
Ibid.
KESIMPULAN

Sekurang-kurangnya ada lima sistem hukum yang terkenal di dunia, yaitu


civil law, common law, sosialis, hukum Islam, dan hukum adat. Dari ke semuanya
itu semua diterapkan di Indonesia. Karena tidak ada satu pun negara di dunia ini
yang menerapkan satu sistem hukum secara absolut. Indonesia mengombinasikan
antara lebih dari satu pilihan nilai sosial yang kita sebut dengan hukum prismatik,
yang kemudian disebut sebagai sistem hukum Pancasila. Semua konsep hukum
yang baik dalam sistem-sistem hukum yang telah disebutkan dimasukkan ke dalam
sistem hukum Pancasila. Jadi, dapat dikatakan bahwa sistem hukum Pancasila
bercirikan pada sistem yang religius, sistem yang humanis, dan sistem yang sosialis.
Sistem hukum yang religius merupakan refleksi dari nilai ketuhanan yang ada
dalam Sila ke-1. Sistem hukum yang humanis merupakan refleksi dari nilai
kemanusiaan yang ada dalam Sila ke-2, Sila ke-3 dan Sila ke-4. Adapun sistem
hukum yang sosialis merupakan refleksi dari nilai keadilan sosial yang ada dalam
Sila ke-5.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Friedmann,W., (1990), Teori & Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali.

H.R. Sardjono, (1991), Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata , Jakarta: Ind
Hill.

Maria Ulfah, (2022), Perbandingan Sistem Hukum, Banjarmasin: UNISKA MAB,


Cetakan Pertama.

M.L. Tobing, (2005), Sekitar Pengantar Ilmu hukum, Jakarta: Erlangga.

Sudikno Mertokusumo, (2009), Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty.

Suherman Ade Maman, (2006), Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta:


PT.Raja Grafindo Persada.
Yati Nurhayati, (2020), Pengantar Ilmu Hukum, Nusa Media: Bandung.

Jurnal

H. Mustaghfirin, (2011), “SISTEM HUKUM BARAT, SISTEM HUKUM ADAT,


DAN SISTEM HUKUM ISLAM MENUJU SEBAGAI SISTEM
HUKUM NASIONAL SEBUAH IDE YANG HARMONI”, Jurnal
Dinamika Hukum, Volume 11.

Purnawan D. Negara, (2013), “MEMBANGUN HUKUM BERBASIS NILAI-


NILAI INDONESIA (TINJAUAN PRISMATIKA HUKUM SEBAGAI
DASAR PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA BERBASIS
PANCASILA)”, Hukum dan Dinamika Masyarakat, Volume 10 Nomor 2.

Syofyan Hadi, (2016), “MENGKAJI SISTEM HUKUM INDONESIA (Kajian


Perbandingan dengan Sistem Hukum Lainnya), DiH Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 12 Nomor 24.

Yati Nurhayati, (2013), “Perdebatan Metode Normatif Dengan Metode Empirik


Dalam Penelitian Ilmu Hukum Ditinjau Dari Karakter, Fungsi Dan Tujuan
Ilmu Hukum”, Jurnal Al-Adl, Volume 5 Nomor 10.

Kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kelima.

Anda mungkin juga menyukai