Anda di halaman 1dari 10

Abstrak

Hukum adat sebagai hukum tidak tertulis yang tercermin dari nilai keadilan dan norma yang
hidup dan tumbuh di masyarakat (the living law), atau setidaknya harus dijadikan sumber
hukum yang harus digali, diperhatikan, dan dihormati terutama dalam praktik penegakan
hukum, termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem
peradilan di Indonesia demi tegaknya hukum dan keadilan. Penulisan ini menggunakan
metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang dan studi pustaka
terhadap artikel-artikel dan jurnal-jurnal yang relevan. Pada penulisan ini menghasilkan
bahwa peradilan adat di Indonesia telah dikenal dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Drt tahun 1951, menyebutkan bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan
pengadilan yang terdiri dari badan pengadilan gubernemen, serta badan pengadilan swapraja
(zelbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang
hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan adat
(Inheemse rechtspraak in rechtsreeks bestuur gebied) kecuali pengadilan agama jika
pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan
adat telah dihapuskan. Dengan adanya perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat
kompleks sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-
undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata eksistensi peradilan adat
tersebut dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”.
Kata kunci: hukum adat, sistem peradilan

Abstract
Customary law is an unwritten law that is reflected in the values of justice and norms that
live and grow in society (the living law), or at least it must be used as a source of law that
must be explored, paid attention to, and respected, especially in law enforcement practices,
including in statutory regulations. invitations related to the justice system in Indonesia for
the sake of upholding law and justice. This writing uses normative legal research methods
with a legal approach and literature studies of relevant articles and journals. This article
shows that customary justice in Indonesia has been recognized in the provisions of Article 1
of Law Number 1 Drt of 1951 which states that except for village courts, all judicial bodies
consist of the governor's judicial body, as well as the self-government judicial body. body.
(zelbestuurrechtspraak) except religious courts if according to living law the court is part of
an autonomous judiciary, and customary judicial bodies (Inheemse rechtspraak in
rechtsreeks bestuur gebied) except religious courts if according to living law the court is a
1
separate part of customary law. justice. abolished. With the very complex changes and
dynamics of society, on the other hand regarding regulations that make laws and regulations
a partial legal policy, it turns out that the existence of customary courts can be said to be
between "existing" and "not existing".
Keywords: customary law, justice system

A. PENDAHULUAN
Sebelum datangnya budaya asing ke Indonesia, kehidupan masyarakat Indonesia
telah diatur oleh nilai-nilai yang terkandung dalam.hukum adat. Adat merupakan norma
dasar yang mengikat dan dilestarikan oleh komunitas atau masyarakat untuk mengatur
kehidupannya. Sehingga dengan berjalan waktu adat menjadi suatu hukum. Hukum adat
pada dasarnya merupakan cerminan dari yang diyakini oleh seseorang sebagai cara hidup
yang benar sesuai dengan rasa keadilan dan kepatuhan mereka. 1 Hukum adat berbentuk
hukum yang tidak tertulis yang berkembang dalam lingkup masyarakatnya.
Setelah Indonesia merdeka pembangunan dan perkembangan hukum di Indinesia
mengalami dinamika sesuai dengan kebijakan dan politik hukum yang diterapkan oleh
pemerintah dan menyesuaikan dengan tuntutan dalam penciptaan hukum yang lahir dari
nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Dalam perkembangan hukum di Indonesia
ditandai dengan adanya berbagai macam produk hukum baru untuk membangun hukum
nasional dengan menggali nilai yang hidup dalam masyarakat. Hukum adat sebagai
hukum tidak tertulis yang tercermin dari nilai keadilan dan norma yang hidup dan tumbuh
di masyarakat (the living law), atau setidaknya harus dijadikan sumber hukum yang harus
digali, diperhatikan, dan dihormati terutama dalam praktik penegakan hukum, termasuk
dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem peradilan di
Indonesia demi tegaknya hukum dan keadilan.2
Adanya hukum adat dalam sistem hukum nasional Indonesia mendapat tempat
penting dan strategis.3 Hukum adat sebagai bagian dari hukum yang hidup dan

1
Bachtiar, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam
https://tiar73.wordpress.com/2017/05/07/kedudukan-hukum-adat-dalam-sistem-peradilan-di-indonesia diakses
pada tanggal 30 November 2023.
2
Fathor Rahman, “Eksistensi Peradilan Adat Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
(Melacak Berlakunya Kembali Peradilan Adat di Indonesia dan Relevansinya Bagi Upaya Pembagunan Hukum
Nasional)”, Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 2, 2018, Hal. 322.
3
Hulman Panjaitan, “Keberadaan Hukum Adat Dalam Yurisprudensi”, Jurnal Hukum tô-râ, Vol. 2. No.
3, 2016, Hal. 413

2
berkembang dalam masyarakat jauh sebelum produk hukum kolonial berlaku di
Indonesia. Hukum kebiasaan memiliki ketentuan sebagai berikut:4
1. Hukum kebiasaan mengandung dua pandangan:
a. Dalam arti identik dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat etnis dan
lingkungan hukum adat.
b. Dalam arti kebiasaan yang diakui oleh masyarakat dan oengambil keputusan
sehingga menjadi hukum.
2. Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang penting dalam kehidupan
masyarakat.
Berdasarkan bentuk tradisionalnya hukum adat dengan model penyampaiannya
yang tidak tertulis dalam kehidupan komunitas. Khasnya hukum adat terletak pada tradisi
lisannya.5 Dari tradisi lisan tersebut karakter adat dilestarikan dan melalui tradisi ini pula
hubungan antara masa lalu, masa sekarang dan masa depan dipertahankan. Oleh karena
informasi yang dibawa ke dalam komunitas biasanya disampaikan secara lisan maka
hukum di dalam adat pun jarang dikodifikasikan. Hukum adat tidak pernah diupayakan
untuk diundangkan atau dikodifikasikan secara sistematis, karena ia diyakini sebagai
manifestasi langsung dari rasa keadilan dan kepatutan yang dianut oleh semua anggota
komunitas. Makanya, baik sumber maupun perkembangan hukum adat berada di tangan
komunitas dan tidak bergantung pada proses teknis legislasi.6
Sementara itu, dalam praktik peradilan pidana, hakim dalam memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara terikat oleh asas legalitas, yang menghendaki
hanya undang-undang atau hukum tertulislah yang dapat menentukan apakah suatu
perbuatan merupakan suatu perbuatan pidana atau bukan. Konsekuensinya, setiap yang
boleh atau yang tidak boleh dilakukan orang itu harus terumus dalam undang-undang.
Meskipun demikian, berlakunya asas legalitas itu tidak bersifat mutlak, artinya, masih
dimungkinkan untuk disimpangi sepanjang tidak mengurangi kepastian hukum. Hal ini
terjadi karena masalah keadilan menjadi bahan pertimbangan dan adanya beberapa daerah
di Indonesia yang masih memperlakukan hukum adat pidana. Apalagi beberapa perbuatan
yang menurut kesadaran hukum masyarakat merupakan suatu perbuatan tercela, justru

4
Ibid., Hal. 414
5
Bachtiar, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam
https://tiar73.wordpress.com/2017/05/07/kedudukan-hukum-adat-dalam-sistem-peradilan-di-indonesia diakses
pada tanggal 30 November 2023.
6
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem
Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008), Hal. 44

3
KUHP tidak mengaturnya. Di beberapa daerah di Indonesia masih berlaku hukum adat
dan hukum kebiasaan yang masih ditaati oleh masyarakatnya.
Berdasarkan hal tersebut hukum adat memiliki kedudukan yang penting dalam
sistem peradilan nasional, karena hukum adat melakukan fungsi yang pada hakikatnya
melengkapi ketentuam hukum tertulis yang diserap dari hukum tidak tertulis (hukum
adat) sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum adat menjadi salah sumber
hukum bagi hakim pengadilan dalam memutus suatu perkara, melalui proses
pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum (rechtvinding).7
Berdasarkan uraian di atas, adapun dalam penulisan ini membahas mengenai
kedudukan hukum adat dalam sistem peradilan Indonesia.

B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan sebuah metode yang
dipergunakan untuk mengkaji permasalahan hukum melalui sebuah pendekatan undang-
undang dan mencari sumber badan hukum pada literatur. 8 Serta melakukan studi pustaka
terhadap artikel-artikel dan jurnal-jurnal yang relevan.

C. PEMBAHASAN
1. Konsepsi Dasar Hukum Adat
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian
Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh),
yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang
berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka
Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 memulai menggunakan secara
resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda.
Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan
masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang
diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan.
Namun demikian, Van Dijk berkeberatan hukum adat disamakan dengan hukum

7
Bachtiar, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam
https://tiar73.wordpress.com/2017/05/07/kedudukan-hukum-adat-dalam-sistem-peradilan-di-indonesia diakses
pada tanggal 30 November 2023.
8
Diantha, I. Made Pasek, dan MS SH, Metodologi Penelitian Hukum.Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta: Prenanda Media Grup, 2016), Hal. 12

4
kebiasaan. Menurutnya, adat dan kebiasaan itu adalah suatu esensi yang berbeda bila
dilihat dari sumbernya. Hukum adat itu lebih bersumber pada adanya alat kekuasaan
dalam bentuk suatu perlengkapan masyarakat sebagai pangkalnya, sedangkan hukum
kebiasaan itu tidak.9
Menurut C. Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan antara tingkah
laku yang mengtur tingkah laku manusia dalam kebidupan masyarakat yang
merupakan adat dan sekaligus memiliki atau memberi sanksi bagi siapa saja yang
meleanggarnya dan ada upaya memaksa. 10 Dari definisi tersebut kriteria hukum adat
terdiri dari:11
a. Adanya aturan tingkah laku yang mengatur kehidupan manusia
b. Aturan tingkah laku tersebut memiliki sanksi
c. Mempunyai upaya memaksa
Menurut Ter Haar, hukum adat dikatakan sebagai keseluruhan peraturan yang
diterapkan dalam keputusan-keputusan yang berwibawa dari pada fungsionaris hukum
(misalnya: hakim adat, rapat desa, kepala adat, wali tanah, kepala desa, dan lainnya).
Yang mempunyai wibawa serta pengaruh dalam pelaksanaannya berlaku dengan serta
merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.12
Menurut Prof. Soepomo, hukum adat adalah hukum non statutoir yang
sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. 13 Hukum
adat meliputi hukum yang berdasarkan pada keputusan hakim yang berisi atas asas
hukum dalam.lingkungan dimana ia memutuskan perkara. Prof. Soepomo menyatakan
untuk meninjau kembali kedudukan Hukum Adat di dalam negara dan masyarakat
Indonesia haruslah ditekankan bahwa Hukum Adat sebagai hukum kebiasaan yang
tidak tertulis akan tetap menjadi sumber dari hukum baru dalam hal–hal yang tidak
atau belum ditetapkan dengan Undang–Undang.
Menurut Soeroyo Wignyodipuro menyebutkan hukum adat adalah suatu
kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu
berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam

9
I Gede A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa Ke Masa, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005), Hal. 10
10
Sigit Sapto Nugroho, Pengantar Hukum Adat Di Indonesia, (Solo: Pustaka Iltizam, 2016), Hal. 24
11
Ibid., Hal. 25
12
Ibid., Hal. 33-34
13
Ibid., Hal. 35

5
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa
ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum sanksi.14
Menurut Bushar Muhammad, hukum merupakan hukum yang mengatur
tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan
keseluruhan, kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di
masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat
tersebut.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas, maka terdapat
beberapa unsur-unsur dari hukum adat sebagai berikut:15
a. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat
b. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
c. Tingkah laku tersebut memiliki nilai sakral
d. Adanya keputusan kepala adat
e. Adanya sanksi atau akibat hukum
f. Tidak tertulis
g. Ditaati masyarakat

2. Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Peradilan Indonesia


Eksistensi peradilan adat di Indonesia telah dikenal dalam tatanan kehidupan
masyarakat Indonesia. Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun
1951, menyebutkan bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang
terdiri dari badan pengadilan gubernemen, serta badan pengadilan swapraja
(zelbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum
yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan
adat (Inheemse rechtspraak in rechtsreeks bestuur gebied) kecuali pengadilan agama
jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari
pengadilan adat telah dihapuskan.16 Dari adanya ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Drt Tahun 1951 telah menghapuskan badan-badan pengadilan lain kecuai badan
pengadilan umum, agama dan pengadilan desa.

14
Yulia, Buku Ajar Hukum Adat, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2016), Hal. 3
15
Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Fisip-Unpad, 2008),
Hal. 2-3
16
Bachtiar, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam
https://tiar73.wordpress.com/2017/05/07/kedudukan-hukum-adat-dalam-sistem-peradilan-di-indonesia diakses
pada tanggal 30 November 2023.

6
Akan tetapi dengan seiring berjalannya waktu, perubahan dan dinamika
masyarakat yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap
regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang
bersifat parsial ternyata eksistensi peradilan adat tersebut dapat dikatakan antara “ada”
dan “tiada”. Terdapat 2 (dua) argumentasi yang patut dikemukakan dalam konteks ini
mengapa kajian terhadap hukum pidana adat diasumsikan eksistensinya antara “ada”
dan “tiada”, yaitu:17
a. Pertama, dikaji dari dimensi asas legalitas formal (selanjutnya disebut sebagai
asas legalitas) dan asas legalitas materiil. Pada dasarnya asas legalitas lazim
disebut dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-
retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”
Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa
dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang
mendahuluinya.” Apabila dipadankan asas legalitas formal dan materiil
hendaknya diatur dalam peraturan perundang-undangan dan diimplementasikan
secara integral. Pada asas legalitas dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah
undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Kemudian
asas legalitas materiel menentukan bahwa dasar patut dipidana suatu perbuatan
adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau
hukum adat.
Barda Nawawi Arief menyebutkan dengan adanya perumusan asas
legalitas yang formal di dalam Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis atau hukum
yang hidup di dalam masyarakat sama sekali tidak mempunyai tempat sebagai
sumber hukum yang positif. Dengan perkata lain, adanya Pasal 1 KUHP itu
seolah-olah hukum pidana tidak tertulis yang hidup atau pernah ada di
masyarakat, sering “ditidurkan atau dimatikan”.
b. Kedua, dikaji dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 dimana dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b masih dikenal eksistensinya Pengadilan Adat.
Setelah dikodefikasikan Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970), yang
kemudian dirubah dengan UU Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 35 Tahun
17
Bachtiar, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam
https://tiar73.wordpress.com/2017/05/07/kedudukan-hukum-adat-dalam-sistem-peradilan-di-indonesia diakses
pada tanggal 30 November 2023.

7
1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi
eksitensi Pengadilan Adat dalam tatanan kebijakan legislasi walaupun untuk
daerah Nangroe Aceh Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan
dikenal dengan istilah Peradilan Gampong atau Peradilan Damai.
Akan tetapi walaupun kebijakan formulatif sejak UU 14 Tahun 1970
(berikut UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48
Tahun 2009) yang tidak mengakui eksistensi peradilan adat fakta aktual dalam
kebijakan aplikatif melalui yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi
peradilan adat tetap mengakuinya.
Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan
bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap
menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan “sanksi
adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat.18 Badan Peradilan Umum tidak
dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut
dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor
1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya
dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah memberikan “sanksi adat”
terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan peradilan negara berwenang
penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor
1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana. Dengan demikian, konkretisasi dan
konklusi detail eksistensi pengakuan hukum adat terdapat baik dalam peraturan
perundangan-undangan, forum ilmiah, pendapat doktrin maupun yurisprudensi
Mahkamah Agung RI.

D. KESIMPULAN
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian
Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang
kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul
“Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah
Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 memulai menggunakan secara resmi dalam
peraturan perundang-undangan Belanda. Menurut C. Van Vollenhoven, hukum adat
18
Bachtiar, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam
https://tiar73.wordpress.com/2017/05/07/kedudukan-hukum-adat-dalam-sistem-peradilan-di-indonesia diakses
pada tanggal 30 November 2023.

8
adalah keseluruhan antara tingkah laku yang mengtur tingkah laku manusia dalam
kebidupan masyarakat yang merupakan adat dan sekaligus memiliki atau memberi sanksi
bagi siapa saja yang meleanggarnya dan ada upaya memaksa. Menurut Prof. Soepomo,
hukum adat meliputi hukum yang berdasarkan pada keputusan hakim yang berisi atas
asas hukum dalam lingkungan dimana ia memutuskan perkara. Prof. Soepomo
menyatakan untuk meninjau kembali kedudukan Hukum Adat di dalam negara dan
masyarakat Indonesia haruslah ditekankan bahwa Hukum Adat sebagai hukum kebiasaan
yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber dari hukum baru dalam hal–hal yang tidak
atau belum ditetapkan dengan Undang–Undang.
Peradilan adat di Indonesia telah dikenal dalam tatanan kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951,
menyebutkan bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang terdiri dari
badan pengadilan gubernemen, serta badan pengadilan swapraja (zelbestuurrechtspraak)
kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan
suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan adat (Inheemse rechtspraak
in rechtsreeks bestuur gebied) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut
hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat telah
dihapuskan. Dengan adanya perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat kompleks
di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-
undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata eksistensi peradilan
adat tersebut dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”. Terdapat 2 (dua) argumentasi
yang patut dikemukakan dalam konteks ini mengapa kajian terhadap hukum pidana adat
diasumsikan eksistensinya antara “ada” dan “tiada”, yaitu: pertama, dikaji dari dimensi
asas legalitas formal (selanjutnya disebut sebagai asas legalitas) dan asas legalitas
materiil. Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut dengan terminologi “principle of
legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”
dan kedua, dikaji dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 dimana dalam ketentuan
Pasal 5 ayat (3) sub b masih dikenal eksistensinya Pengadilan Adat.

E. DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam
https://tiar73.wordpress.com/2017/05/07/kedudukan-hukum-adat-dalam-sistem-peradilan-
di-indonesia diakses pada tanggal 30 November 2023.

9
Diantha, I. Made Pasek, dan MS SH. 2016. Metodologi Penelitian
Hukum.Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. (Jakarta: Prenanda Media Grup).
Lukito, Ratno. 2008. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler Studi Tentang Konflik
dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia. (Jakarta: Pustaka Alvabet).
Nugroho, Sigit Sapto. 2016. Pengantar Hukum Adat Di Indonesia. (Solo: Pustaka
Iltizam).
Panjaitan, Hulman. 2016. “Keberadaan Hukum Adat Dalam Yurisprudensi”.
Jurnal Hukum tô-râ. Vol. 2. No. 3.
Rahman, Fathor. 2018. “Eksistensi Peradilan Adat Dalam Peraturan Perundang-
Undangan Di Indonesia (Melacak Berlakunya Kembali Peradilan Adat di Indonesia dan
Relevansinya Bagi Upaya Pembagunan Hukum Nasional)”. Jurnal Hukum. Vol. 13. No.
2.
Ragawino, Bewa. 2008. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia.
(Bandung: Fisip-Unpad).
Wiranata, I Gede A.B. 2005. Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa
Ke Masa. (Bandung: Citra Aditya Bakti).
Yulia. 2016. Buku Ajar Hukum Adat. (Lhokseumawe: Unimal Press).

10

Anda mungkin juga menyukai