Mengenalkan kepada mahasiswa untuk memahami bagaimana peranan hukum adat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia dan dalam pembentukan hukum nasional, menjelaskan
bagaimana dan system hukum adat yang berlaku di Indonesia dan sejauh mana hukum adat ini
digunakan dalam putusan-putusan hakim.
Materi pembelajaran:
PENGERTIAN
ADAT.
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah
satu penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad kea bad.
Snouck hurgrounje adalah orang pertama yang memakai istilah adatrecht itu dalam bukunya
“de atjehers” (orang-orang aceh). Istilah adatrecht kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya
oleh Van Vollehhoven sebagai itilah teknis yuridis. Sebelumnya hukum adat itu dinyatakan
dengan berbagai istilah dalam perundang-undangan : godsdiengtige wetten, volksinstelingen en
gebruikken (pasal 11AB). Dalam perundang-undangan baru muncul pada tahun 1920 yaitu
untuk pertama kali dipakai dalam undang-undang Belanda mengenai perguruan tinggi di
Negara belanda. Dan akhirnya pada tahun 1929 pemerintah colonial Belanda mulai memakai
istilah “hukum Adat” secara resmi di dalam peraturan perundang-undangan.
Hukum adat yang diterjemahkan menjadi “Adatrecht” merupakan introduksi dan permulaan
tentang pengakuan eksistensi hukum adat sebagai hukum orang Indonesia di dalam lingkungan
ilmu pengetahuan Hukum Barat. Dengan lingkungan budaya yang dihayati Snouck Hurgronje
dalam pengertian hukum selalu mempunyai akibat hukum. Inilah dasar yang digunakan untuk
menterjemahkan kebiasaan dan tingkah laku dalam masyarakat Aceh, yang dilihatnya
mempunyai akibat yang dikualifikasikan sebagai hukum. Kemudian diberi nama Hukum Adat,
yaitu adat yang mempunyai akibat hukum. Dengan dipelopori oleh Snouck Hurgronje diadakan
pembagian antara “adat yang tidak mempunyai akibat hukum” dan “adat yang mempunyai
akibat hukum”. 1
Secara etimologis kata adat berasal dari bahasa Arab yang kemudian lazim dipergunakan di
Indonesia. Secara singkat Snouck Hurgronje mendefinisikan hukum adat sebagai hukum rakyat
Indonesia yang tidak dokodifikasikan.
1
DR. Djamanat Samosir, SH, MH.,2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di
Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia, hal:25
Prof Kusumadi Pudjosewojo di dalam bukunya : “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia”,
menjelaskan arti adat dan hukum sebagai berikut:
Adat ialah tingkah laku yang oleh dan dalam sesuatu masyarakat (sudah, sedang, akan)
diadatkan. Dan adat itu ada yang tebal, ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis.
Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat sebagaimana dimaksud tadi adalah
aturan-aturan adat. Akan tetapi dari aturan-aturan tingkah laku itu ada pula aturan-aturan
tingkah laku yang merupakan aturan hukum.
Di dalam masyarakat ada susunan badan-badan atau orang-orang tertentu yang justru
mempunyai tugas untuk menentukan, melaksanakan, mempertahankan dan memperlakukan
aturan-aturan tingkah laku tertentu, dengan cara tertentu, disertai akibat-akibat tertentu pula.
Orang/badan tertentu yang mempunyai tugas demikian lazim disebut “yang berwajib” atau
‘penguasa’
Beberapa pengertian hukum adat menurut para sarjana hukum:
Prof Dr. Supomo SH
Dalam karangan beliau “beberapa catatan mengenai kedudukan hukum adat”, memberi
pengertian hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan
legislative (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
ditetapkan oleh yang berwajib tetap ditaati dan didukung oleh masyarakat berdasarkan atas
keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Pengertian dari Prof Dr supomo SH ini hamper sama dengan pengertian yang diberikan oleh Mr
J.H.P Bellefroid dalam bukunya “inleiding tot de rechtwetenschap in Nederland”.
Prof. Mr. C. Van Vollenhoven.
Dalam bukunya “Het adatrecht Van Nederland indie”. Hukum adat adalah hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu
atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan
Belanda dahulu.
Mr. B. Terhaar Bzn
Dalam pidato dies natalis tahun 1930 berjudul : “peradilan Landraad berdasarkan hukum tidak
tertulis” serta dalam orasinya tahun 1937 yang berobyek: “hukum adat hindia Belanda di dalam
ilmu, praktek dan pengajaran” menegaskan sebagai berikut:
Hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan para warga
masyarakat hukum, terutama keputusan keputusan berwibawa dari kepala-kepala
rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum ; atau dalam hal
bertentangan kepentingan –keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa,
sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian-tidak
bertentangan dengan keyakina hukum masyarakat, melainkan senapas seirama dengan
kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.
Prof. H. Hilman Hadikusumah
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan
manusia itu berawal dari keluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut
kebiasaan, kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan bernegara.
Dapat ditarik kesimpulan dari pengertian-pengertian yang diberikan oleh para sarjana-sarjana
tersebut, hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan
keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis,
senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
Jadi, adat adalah kebiasaan masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat, lambat laun
menjadikan adat itu sebagai alat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat,
sehingga menjadi “hukum adat”. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus
dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan. Untuk mempertahankan pelaksanaan
hukum adat itu agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran, maka diantara anggota
masyarakat diserahi tugas mengawasinya. Dengan demikian lambat laun petugas-petugas adat
ini menjadi kepala adat.2
Menurut pasal 75 RR (Regering Reglements):
Hukum adat adalah peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan agama-agama dan
kebiasaan-kebiasaan mereka.
2
Hilman Hadikusuma, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju, Hal:1
Hukum adat adalah hukum non statuair. Pada umumnya belum/tidak tertulis. Tidak semua
adat merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat istiadat biasa dan hukum adat. Menurut
Van Vollenhovenn hanya adat yang bersanksi mempunyai sifat hukum serta merupakan hukum
adat . sanksinya adalah berupa reaksi dari masyarakat hukum yang bersangkutan. Reaksi adat
dari masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaan sudah barang tentu
dilakukan oleh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakat hukum yang
bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat, menjatuhkan
keputusan hukuman.
Ter haar: untuk melihat apakah sesuatu adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka
kita wajib melihat sikap penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan terhadap si pelanggar
peraturan adat-istiadat yang bersangkutan. Kalau penguasa terhadap si pelanggar menjatuhkan
putusan hukuman, maka adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
Hukum adat beurat akar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang
hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata.
Tiap peraturan hukum adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyapdengan lahirnya
peraturan baru, sedangkan peraturan baru itu berkembang jugaakan tetapi kemudian juga
lenyap dengan perubahan perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani rakyat yang
menimbulkan perubahan peraturan.
Sifat hukum adat:
1. Tidak terkodifikasi atau non statuair (tidak tertulis)
2. Bersifat dinamis, artinya mudah berubah-ubah menurut waktu, tempat dan keadaan.
Pasal 18 B ayat 2 UUD 45..menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan2
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
Pasal 28I ayat (3) UUD 45 menjamin identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Jadi meskipun bangsa Indonesia itu masyarakatnya terdiri dari Bergama suku , adat budaya,
Bahasa dan agama namun kaidah-kaidah kepribadian bangsa tersebut adalah jiwa hukum
Indonesia yaitu jiwa hukum adat yang kemudian diangkat dan dijelmakan menjadi jiwa hukum
nasional dan dicantumkan dalam UUD 1945.
Bidang-bidang hukum adat:
Meliputi:
a. Hukum Negara
b. Hukum Tata Usaha Negara
c. Hukum Pidana (menurut supomo: Hukum Adat Delik)
d. Hukum Perdata
e. Hukum Antar bangsa adat.
Menurut Prof Soepomo, pembidangan hukum adat:
1. Hukum keluarga
2. Hukum perkawinan
3. Hukum waris
4. Hukum tanah
5. Hukum hutang piutang
6. Hukum pelanggaran
Ter Haar mengemukakan pembidangan hukum adat, yaitu:
1. Tata Masyarakat
2. Hak-hak atas Tanah
3. Transaksi-transaksi tanah
4. Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut
5. Hukum hutang piutang
6. Lembaga/Yayasan
7. Hukum Pribadi
8. Hukum keluarga
9. Hukum Perkawinan
10. Hukum Delik
11. Pengaruh Lampau waktu
SISTEM HUKUM ADAT
System hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah barang tentu
berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum barat.
Hukum adat memiliki corak-corak yang memedakannya dari corak system hukum barat, yaitu:
a. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat,
Sifat ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam kegiatan gotong royong
yang dilakukan masyarakat warga desa “gugur gunung” yang mana memperlihatkan
kebiasaan tolong menolong dalam hidup, saling membantu.
b. Mempunyai corak religio magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam
Indonesia.
Artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan
terhadap yang ghaib dana tau berdasarkan pada ajaran KeTuhanan Yang Maha Esa.
Corak ini terlihat dengan jelas dalam upacara-upacara adat masyarakat yang mana
biasanya selalu ada sesajen-sesajen yang ditujukan kepada roh-roh leluhur yang mana
biasanya dimintai bantuannya dan atau memohon restu.
c. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat
memperhatikan banyaknya.dan berulang-ulangnya perhubungan-perhubungan sifat
yang konkrit.
Pikiran penataan serba konkrit dalam realitas kehidupan sehari-hari menyebabkan
“satunya perkataan dengan perbuatan”.
Konkrit artinya jelas, nyata, dan berwujud.
d. Hukum adat mempunyai sifat yang visual, artinya perhubungan hukum dianggap hanya
terjadi, oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (tanda yang
kelihatan).
Sifat ini menyebabkan dalam kehidupan sehari-hari adanya selalu pemberian tanda-
tanda yang kelihatan untuk bukti penegasan atau peneguhan daripada apa yang telah
dilakukan atau yang dalam waktu dekat akan dilakukan. Misalnya: dalam acara
pertunangan biasanya ada pemberian/seserahan kepada mempelai perempuannya
“peningset” dalam bahasa Jawa.
Antara system Hukum adat dengan Hukum Barat terdapat beberapa perbedaan fundamental:
1. Hukum Barat mengenal “zakelijke rechten” (hukum benda) dan “Persoonlijke rechten”
(hak perorangan)
Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan tersebut. Hak-hak
menurut system hukum adat perlindungannya ada di tangan hakim. Dalam hukum adat
hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan itu baik berwujud benda ataupun tidak
berwujud benda, seperti ha katas nyawa, kehormatan dan hak lainnya tidak bersifat
mutlak sebagai hak pribadinya sendiri, oleh karena pribadinya tidak terlepas
hubungannya dengan kekeluargaan dan kekerabatannya.
2. Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum public dan hukum privat. Hukum adat
tidak mengenal perbedaan itu.
3. Hukum barat membedakan pelanggaran-pelanggaran hukum dalam dua golongan, yaitu
pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata. Masing-masing diperiksa oleh hakim
sesuai pelanggaran. Dalam hukum adat tidak ada pembedaan demikian, tiap
pelanggaran hukum adat membutuhkan pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala
adat) memutuskan upaya adat (adat reaksi) apa yang harus digunakan untuk
memulihkan kembali hukum yang dilanggar itu.
BAB II
SEJARAH HUKUM ADAT
Sejarah hukum adat dipisah-pisahkan daam:
a. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri.
b. Sejarah hukum adat sebagai system hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai
dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan
c. Sejarah kedudukan hukum adat, sebagai masalah politik hukum, di dalam system
perundang-undangan di Indonesia.
Teori “Receptio In Complexu”
Teori ini diperkenalkan oleh sarjana hukum yang menjabat sebagai penasehat bahasa-bahasa
Timur dan Hukum Islam pada pemerintah Kolonial Belanda.
Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut
ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti
hukum-hukum agama itu dengan setia”
Jadi tegasnya, menurut teori ini kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu,
maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.
2. Faktor Agama
Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hukum adat misalnya :
Agama Hindu :
Pada abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia dengan membawa agamanya, pengaruhnya
dapat dilihat di Bali. Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang pemerintahan Raja dan
pembagian kasta-kasta.
Agama Islam :
Pada abad ke 14 dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Iran. Pengaruah Agama
Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan
perkawinan dan juga dalam bidang wakaf. Pengaruh hukum perkawinan Islam didalam hukum adat
di beberapa daerah di Indonesia tidak sama kuatnya misalnya daerah Jawa dan Madura, Aceh
pengaruh Agama Islam sangat kuat, namun beberapa daerah tertentu walaupun sudah diadakan
menurut hukum perkawinan Islam, tetapi tetap dilakukan upacara upacara perkawinan menurut
hukum adat,
missal di Lampung, Tapanuli.
Agama Kristen :
Agama Kristen dibawa oleh pedagang-pedagang Barat. Aturan-aturan hukum Kristen di Indonesia
cukup memberikan pengaruh pada hukum keluarga, hukum perkawinan.
Agama Kristen juga telah memberikan pengaruh besar dalam bidang social khususnya dalam bidang
pendidikan dan kesehatan, dengan didirikannya beberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah
sakit.
3. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat.
Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang dimaksud adalah kekuasaan-kekuasaan Raja-raja,
kepala Kuria, Nagari dan lain-lain. Tidak semua Raja-raja yang pernah bertahta di negeri ini baik, ada
juga Raja yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang terjadi keluarga dan lingkungan
kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan misalnya penggantian kepala-kepala
adat banyak diganti oleh orang-orang yang dengan kerajaan tanpa menghiraukan adat istiadat
bahkan menginjak-injak hukum adat yang ada dan berlaku didalam masyarakat tersebut.
Pengaruh kekuasaan-kekuasaan ini ada yang mempunyai pengaruh positif dan negative, kalau
diperhatikan pengaruh-pengaruh tersebut adalah:
- Yang positif, yang berupa penetapan peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku di dalam wilayah kerajaannya, seperti Gajahmada dan Adigama (Majapahit),
peswara-peswara (Bali), Pranatan-paranatan atau Nawolo-Nawolo ( Jawa Tengah), Buku
Undang-undang kerajaan Bone dan lain sebagainya.
- Yang negative, yang berupa tindakan-tindakan yang menginjak-injak ketentuan-ketentuan
adat sesuatu persekutuan hukum, misalnya pelaksanaan system apanage tanpa
memperhatikan hal-hal pertuanan persekutuan-persekutuan hukum yang bersangkutan,
penempatan kaula-kaula kerajaan sebagai kepala Persekutuan menggantikan kepala-kepala
adat yang dahulu dipilih oleh waarga persekutuan hukum yang bersangkutan dan lain
sebagainya.
SEJARAH HUKUM ADAT SEBAGAI SISTEM HUKUM DARI TIDAK/BELUM DIKENAL HINGGA
SAMPAI DIKENAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
Sebelum berlakunya UU No. 19 Tahun 1964 LN Nomor 107 tahun 1964 yakni undang-undang
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, diundangkan pada tanggal 31
Oktober 1964 maka yang menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat adalah pasal II
Aturan Peralihan UUD 45.
Pada zaman colonial Belanda sumber pengetahuan tentang hal ini adalah pasal 131 IS. Ayat 1
pasal 131 IS menetapkan suatu asas bahwa hukum perdata dan hukum pidana materiil dan
formil akan ditulis-ditetapkan dalam ordonansi-ordonansi, yaitu suatu undang-undang yang
diundangkan oleh Gubernur Jendral dengan persetujuan volksraad.
Ayat 2 sub b pasal dimaksud di atas menetapkan suatu pedoman kepada pembentuk ordonansi
untuk hukum perdata materiil yang harus diatur bagi orang Indonesia dan orang Timur Asing.
Untuk itu berlaku asas, bahwa hukum adat mereka akan dihormati dengan kemungkinan
penyimpangan dalam hal:
1. Kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, maka mereka akan ditaklukan
pada perundang-undangan yang berlaku bagi orang Eropa.
2. Kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendaki atau berdasarkan kepentingan
umum, maka pembentuk ordo nansi dapat mengadakan hukum yang berlaku bagi orang
Indonesia dan orang Timur asing atau bagian-bagian tersendiri dari golongan-golongan
itu, yang bukan hukum adat, bukan juga hukum Eropa, melainkan hukum yang
diciptakan oleh pembentuk undang-undang sendiri.
Pasal 146 ayat (1) konstitusi RIS:
“bahwa segala keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkaa hukuman
harus berisi menyebut aturan-aturan U U dan aturan hukum adat yang dijadikan dasar
hukuman itu”.
Pasal 104 ayat (1) UUDS 1950:
menegaskan kembali pasal 146 KRIS diatas.
Pada jaman pemerintahan jepang dikeluarkan undang-Undang No.1 yang pada pasal 3
menentukan sebagai berikut:
“semua badan-badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari
pemerintah dahulu tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan
dengan aturan Pemerintah Militer”
Jadi pada jaman Jepang pun pada hakikatnya dilanjutkan keadaan perundang-undangan dari
zaman colonial Belanda.
setelah diundangkannya UUD 1945 penerapan hukum adat wajib didasarkan serta dijiwai
perwujudan cita-cita hukum dasar Negara an sumber tertib hukum yang baru yang sudah jelas
dan tegas yaitu Pancasila.
3
DR Djamanat Samosir, SH.,MH.,Hal:69-70
4
Ibid, hal:70
bertalian dengan alam yang tak kasat mata dan memiliki kultur yang berbeda dengan
masyarakat lainnya. Menurutnya masyarakat hukum adat memiliki cara pandang hidup yang
holistic, komunalistik, transcendental dan berkelanjutan. Pandangan hidup mereka tidak
fragmentaris dan temporer. Mereka memikirkan dengan baik apa akibat dari suatu perbuatan
pada masyarakat sebagai suatu kesatuan, bukan hanya masa kini tetapi juga di masa
mendatang, turun temurun dan berkelanjutan.
Menurut Mahadi, masyarakat hukum adat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut;
1. Adanya sejumlah orang tertentu yang bertindak semua merasa terikat dan semuanya
mempersoalkan untung rugi.
2. Apabila kita melihat ke dalam tampak ada orang-orang tertentu atas golongan-
golongan tertentu mempunyai kelebihan, wibawa dan kekuasaan.
3. Adanya harta benda seperti barang-barang tertentu, tanah, air, tanaman, tempat
peribadatan, gedung dan lain-lainnya, dan semua orang ikut memelihara benda itu,
menjaga kebersihan fisiknya, menjaga kesuciannya dan sebagainya. Semua boleh
menikmati harta benda itu, tetapi orang yang bukan anggota pada umumnya tidak
boleh mengambil manfaat daripadanya kecuali dengan seizing persekutuan.
Dalam Pasal 1 ayat (3) PMNA/Ka.BPN No.5 Tahun 1999, masyarakat hukum adat
dirumuskan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.
Dengan berbagai penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat
hukum adat dapat dipahami dengan kriteria sebagai berikut;
1. Ada sekelompok orang yang terikat dalam tatanan hukum adatnya
2. Ada warga masyarakat merupakan warga bersama masyarakat hukum adat
3. Masyarakat hukum yang didasarkan atas tempat tinggal atau dasar keturunan.
PERSEKUTUAN HUKUM
Menurut van Vollenhoven : “untuk mengetahui hukum terlebih dahulu harus mengetahui
tentang persekutuan hukum sebagai tempat dimana masyarakat yang dikuasai hukum
tersebut hidup sehari-hari”
Persekutuan hukum adalah: kesatuan masyarakat hukum adat yang hidup dengan diatur oleh
suatu perangkat norma yang telah ditentukan bersama dalam kesatuan masyarakat hukum
adat yang bersangkutan.
Persekutuan hukum merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur
dan kekal serta memiliki pengurus sendiri, baik kekayaan imateriil maupun materiil.
Contoh: family di Minangkabau=persekutuan hukum. Sebab:
a. Tata susunan yang tetap yang terdiri atas beberapa bagian yang disebut “rumah” atau
“jurai”
b. Pengurus sendiri, yaitu oleh seseorang yang diketuai oleh penghulu andiko
c. Harta pusaka sendiri yang diurus oleh penghulu andiko.
Begitu pula dengan di Jawa=persekutuan hukum.
Ada 4 sifat umum alat perlengkapan persekutuan hukum di Inonesia menurut Drs Nico Ngani,
SH, MSSW, MM, CLE:
1. Pemerintah dalam persekutuan hukum Indonesia di berbagai tempat berada di tangan
beberapa pembesar, kepala desa, kepala nagari, kepala urung, kepala negorai, dst.
Diantara kepala-kepala itu biasanya ada seseorang atau lebih yang terhitung paling
tinggi.
2. Putusan penting dalam perkara-perkara umum diambil dalam satu rapat oleh semua
warga persekutuan, ada kalanya dibatasi pada orang-orang baku dan laki-laki yang
sudah kawin. Seperti biasa dalam rapat-rapat seperti itu warga persekutuan yang
terkemuka lebih banyak bersuara dan berpengaruh.
3. Dalam hal-hal umum yang penting, para kepala pengambil keputusan akhir melakukan
pembicaraan pendahuluan dan lobi-lobi dengan para pemimpin tingkat bawah. Karena
itu, pendapat umum benar-benar terakomodasi.
4. Pengangkatan kepala adat dan pembantunya di dasarkan ppada syarat-syarat yang
ketat. Para ahli waris mendapatkan prioritas. Apabila ahli pertama tidak memenuhi
syarat, ia diganti atau dilompati oleh adiknya dan seterusnya. 5
5
Drs Nico Ngani, SH, MSSW, MM, CLE, Dipl. Phil.,dll,2002, Perkembangan Hukum Adat Indonesia,
Yogyakarta:Pustaka Yustisia, Hal;25
BAB V
HUKUM PERORANGAN
hukum perorangan pada prinsipnya mengatur hak dan kewajiban dari subjek hukum.
Subyektum Yuris: manusia dan badan hukum (desa, suku, nagari, wakaf, dan yayasan)
a. Manusia sebagai Subyektum Yuris
Di dalam hukum adat kriteria dewasa bukanlah umur, tetapi kenyataan-kenyaan ciri-ciri
tertentu dan bahkan juga berdasarkan pada penilaian masyarakat setempat.
Wenang hukum (kecakapan Berhak)=semua orang baik pria maupun wanita dalam
hukum adat diakui mempunyai wewenang hukum (kecakapan berhak) yang sama.
Kecakapan hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (kecakapan
bertindak)= orang-orang baik pria maupun wanita yang sudah dewasa.
Pengertian dewasa:
Menurut Ter Haar adalah seseorang yang telah tidak menjadi tanggungan orang tua dan
tidak serumah lagi dengan orang tua.
Menurut Prof Djoyodiguno adalah kedewasaan datang secara berangsur. Dewasa
penuh jika sudah mentas dan mencar (hidup mandiri dan berkeluarga sendiri).
Menurut Prof Supomo, dianggap dewasa apabila :
1) Kuwat gawe (dapat/mampu bekerja sendiri)
2) Cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri.
3) Bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
Kriteria Dewasa dalam Hukum Adat:
Dalam hukum adat kriterianya bukan umur, tetapi kenyataan-kenyataan tertentu:
1) Kuwat gawe (dapat/mampu bekerja sendiri)
2) Cakap mengurus harta bendanya serta keperluan sendiri.
3) Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta
mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya.
Raad Van Justitie (Pengadilan Tinggi) Jakarta dalam keputusanna tertanggal 16 Oktober
1908 menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk dapat dianggap sebagai cakap
menyatakan kehendaknya sendiri:
1) Umur 15 tahun
2) Masak untuk hidup sebagai isteri
3) Cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri.
(menggunakan criteria hukum barat dan hukum adat).
b. Badan Hukum sebagai Subyektum Yuris:
Dalam hukum adat badan hukum diakui sebagai subyek hukum yang dapat melakukan
tindakan hukum yang diwakili pengurusnya. Keberadaan badan hukum setidk-tidaknya
dapat disadari oleh factor-faktor sebagai berikut:
1) Adanya suatu kebutuhan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu atas
dasar kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama
2) Adanya tujuan idiil yang perlu dicapai tanpa senantiasa tergantung pada pribadi-
pribadi kodrati secara perorangan.6
Sebagai subyek hukum, badan hukum mempunyai tujuan dan memiliki harta kekayaan
sendiri yang terlepas dari harta kekayaan pribadi kodrati yang menjalankannya. Karena
itu yang dapat melakukan hubungan hukum misalnya masyarakat hukum adat, dalam
melakukan tindakan hukum diwakili oleh kepala adat/pimpinannya.
Adapun badan hukum yang dapat bertindak sebagai subyek hukum adalah sebagai
berikut:
1. persekutuan (Desa, nagari, family, marga, dll)
2. wakaf
lembaga wakaf dikenal atau berasal dari hukum islam, didaerah-daerah di
Indonesia telah diresepsi oleh masyarakat hukum adat. Pengertian wakaf
menurut pasal 1 UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf dirumuskan sebagai
perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
6
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Hal:259
tertentu untuk keperluan ibadah dana tau kesejahteraan umum menurut
syariah.
menurut hukum adat:
a) mencadangkan suatu pekarangan/tanah untuk mesjiid/langgar. Termasuk
tanah pekarangan/pertanian untuk memungut hasil.
b) Menentukan sebagian dari harta benda sebagai benda yang tidak dapat
dijual demi kepentingan keturunannya.
Syarat-syarat wakaf:
a) Pembuat wakaf harus mempunyai hak penuh (menurut hk adat) atas apa
yang diwakafkan.
b) Benda yang diwakafkan harus ditunjuk terang dan maksud serta tujuannya
yang tidak bertentangan dengan agama.
c) Pihak yang memberikan wakaf harus disebut dengan tenang.
d) Maksudnyya harus tetap.
e) Yang menerima wakaf harus menerimanya Kabul.
3. Yayasan
Badan hukum yang bergerak di bidang social. Harus berbadan hukum, dilakukan
pendaftaran mengenai pendiriannya. Untuk mendirikan yayasan diperlukan
syarat-syarat materiil dan formil.
Syarat materiil:
a) Harus ada suatu pemisahan harta kekayaan
b) Mempunyai suatu tujuan
c) Mempunyai suatu organisasi
Sedangkan syarat formilnya yaitu dengan adanya akta otentik.
4. koperasi.
Diatur dalam pasal 33 UUd 1945
Dasar hukum UU nomor 25 Tahun 1992
Bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya.