Anda di halaman 1dari 31

HUKUM ADAT

Tujuan pembelajaran umum:

Mengenalkan kepada mahasiswa untuk memahami bagaimana peranan hukum adat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia dan dalam pembentukan hukum nasional, menjelaskan
bagaimana dan system hukum adat yang berlaku di Indonesia dan sejauh mana hukum adat ini
digunakan dalam putusan-putusan hakim.

Materi pembelajaran:

1. Pengantar Hukum Adat


2. Sejarah Hukum Adat
3. Dasar Berlakunya Hukum Adat
4. Tata Susunan Rakyat Indonesia
5. Hukum perorangan
6. Hukum waris Adat
7. Hak Ulayat
8. Hukum Adat Delik
BAB I
PENGANTAR HUKUM ADAT

PENGERTIAN
ADAT.
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah
satu penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad kea bad.
Snouck hurgrounje adalah orang pertama yang memakai istilah adatrecht itu dalam bukunya
“de atjehers” (orang-orang aceh). Istilah adatrecht kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya
oleh Van Vollehhoven sebagai itilah teknis yuridis. Sebelumnya hukum adat itu dinyatakan
dengan berbagai istilah dalam perundang-undangan : godsdiengtige wetten, volksinstelingen en
gebruikken (pasal 11AB). Dalam perundang-undangan baru muncul pada tahun 1920 yaitu
untuk pertama kali dipakai dalam undang-undang Belanda mengenai perguruan tinggi di
Negara belanda. Dan akhirnya pada tahun 1929 pemerintah colonial Belanda mulai memakai
istilah “hukum Adat” secara resmi di dalam peraturan perundang-undangan.
Hukum adat yang diterjemahkan menjadi “Adatrecht” merupakan introduksi dan permulaan
tentang pengakuan eksistensi hukum adat sebagai hukum orang Indonesia di dalam lingkungan
ilmu pengetahuan Hukum Barat. Dengan lingkungan budaya yang dihayati Snouck Hurgronje
dalam pengertian hukum selalu mempunyai akibat hukum. Inilah dasar yang digunakan untuk
menterjemahkan kebiasaan dan tingkah laku dalam masyarakat Aceh, yang dilihatnya
mempunyai akibat yang dikualifikasikan sebagai hukum. Kemudian diberi nama Hukum Adat,
yaitu adat yang mempunyai akibat hukum. Dengan dipelopori oleh Snouck Hurgronje diadakan
pembagian antara “adat yang tidak mempunyai akibat hukum” dan “adat yang mempunyai
akibat hukum”. 1
Secara etimologis kata adat berasal dari bahasa Arab yang kemudian lazim dipergunakan di
Indonesia. Secara singkat Snouck Hurgronje mendefinisikan hukum adat sebagai hukum rakyat
Indonesia yang tidak dokodifikasikan.

1
DR. Djamanat Samosir, SH, MH.,2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di
Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia, hal:25
Prof Kusumadi Pudjosewojo di dalam bukunya : “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia”,
menjelaskan arti adat dan hukum sebagai berikut:
Adat ialah tingkah laku yang oleh dan dalam sesuatu masyarakat (sudah, sedang, akan)
diadatkan. Dan adat itu ada yang tebal, ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis.
Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat sebagaimana dimaksud tadi adalah
aturan-aturan adat. Akan tetapi dari aturan-aturan tingkah laku itu ada pula aturan-aturan
tingkah laku yang merupakan aturan hukum.
Di dalam masyarakat ada susunan badan-badan atau orang-orang tertentu yang justru
mempunyai tugas untuk menentukan, melaksanakan, mempertahankan dan memperlakukan
aturan-aturan tingkah laku tertentu, dengan cara tertentu, disertai akibat-akibat tertentu pula.
Orang/badan tertentu yang mempunyai tugas demikian lazim disebut “yang berwajib” atau
‘penguasa’
Beberapa pengertian hukum adat menurut para sarjana hukum:
Prof Dr. Supomo SH
Dalam karangan beliau “beberapa catatan mengenai kedudukan hukum adat”, memberi
pengertian hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan
legislative (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
ditetapkan oleh yang berwajib tetap ditaati dan didukung oleh masyarakat berdasarkan atas
keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Pengertian dari Prof Dr supomo SH ini hamper sama dengan pengertian yang diberikan oleh Mr
J.H.P Bellefroid dalam bukunya “inleiding tot de rechtwetenschap in Nederland”.
Prof. Mr. C. Van Vollenhoven.
Dalam bukunya “Het adatrecht Van Nederland indie”. Hukum adat adalah hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu
atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan
Belanda dahulu.
Mr. B. Terhaar Bzn
Dalam pidato dies natalis tahun 1930 berjudul : “peradilan Landraad berdasarkan hukum tidak
tertulis” serta dalam orasinya tahun 1937 yang berobyek: “hukum adat hindia Belanda di dalam
ilmu, praktek dan pengajaran” menegaskan sebagai berikut:
Hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan para warga
masyarakat hukum, terutama keputusan keputusan berwibawa dari kepala-kepala
rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum ; atau dalam hal
bertentangan kepentingan –keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa,
sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian-tidak
bertentangan dengan keyakina hukum masyarakat, melainkan senapas seirama dengan
kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.
Prof. H. Hilman Hadikusumah
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan
manusia itu berawal dari keluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut
kebiasaan, kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan bernegara.
Dapat ditarik kesimpulan dari pengertian-pengertian yang diberikan oleh para sarjana-sarjana
tersebut, hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan
keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis,
senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
Jadi, adat adalah kebiasaan masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat, lambat laun
menjadikan adat itu sebagai alat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat,
sehingga menjadi “hukum adat”. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus
dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan. Untuk mempertahankan pelaksanaan
hukum adat itu agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran, maka diantara anggota
masyarakat diserahi tugas mengawasinya. Dengan demikian lambat laun petugas-petugas adat
ini menjadi kepala adat.2
Menurut pasal 75 RR (Regering Reglements):
Hukum adat adalah peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan agama-agama dan
kebiasaan-kebiasaan mereka.
2
Hilman Hadikusuma, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju, Hal:1
Hukum adat adalah hukum non statuair. Pada umumnya belum/tidak tertulis. Tidak semua
adat merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat istiadat biasa dan hukum adat. Menurut
Van Vollenhovenn hanya adat yang bersanksi mempunyai sifat hukum serta merupakan hukum
adat . sanksinya adalah berupa reaksi dari masyarakat hukum yang bersangkutan. Reaksi adat
dari masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaan sudah barang tentu
dilakukan oleh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakat hukum yang
bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat, menjatuhkan
keputusan hukuman.
Ter haar: untuk melihat apakah sesuatu adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka
kita wajib melihat sikap penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan terhadap si pelanggar
peraturan adat-istiadat yang bersangkutan. Kalau penguasa terhadap si pelanggar menjatuhkan
putusan hukuman, maka adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
Hukum adat beurat akar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang
hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata.
Tiap peraturan hukum adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyapdengan lahirnya
peraturan baru, sedangkan peraturan baru itu berkembang jugaakan tetapi kemudian juga
lenyap dengan perubahan perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani rakyat yang
menimbulkan perubahan peraturan.
Sifat hukum adat:
1. Tidak terkodifikasi atau non statuair (tidak tertulis)
2. Bersifat dinamis, artinya mudah berubah-ubah menurut waktu, tempat dan keadaan.
Pasal 18 B ayat 2 UUD 45..menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan2
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
Pasal 28I ayat (3) UUD 45 menjamin identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Jadi meskipun bangsa Indonesia itu masyarakatnya terdiri dari Bergama suku , adat budaya,
Bahasa dan agama namun kaidah-kaidah kepribadian bangsa tersebut adalah jiwa hukum
Indonesia yaitu jiwa hukum adat yang kemudian diangkat dan dijelmakan menjadi jiwa hukum
nasional dan dicantumkan dalam UUD 1945.
Bidang-bidang hukum adat:
Meliputi:
a. Hukum Negara
b. Hukum Tata Usaha Negara
c. Hukum Pidana (menurut supomo: Hukum Adat Delik)
d. Hukum Perdata
e. Hukum Antar bangsa adat.
Menurut Prof Soepomo, pembidangan hukum adat:
1. Hukum keluarga
2. Hukum perkawinan
3. Hukum waris
4. Hukum tanah
5. Hukum hutang piutang
6. Hukum pelanggaran
Ter Haar mengemukakan pembidangan hukum adat, yaitu:
1. Tata Masyarakat
2. Hak-hak atas Tanah
3. Transaksi-transaksi tanah
4. Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut
5. Hukum hutang piutang
6. Lembaga/Yayasan
7. Hukum Pribadi
8. Hukum keluarga
9. Hukum Perkawinan
10. Hukum Delik
11. Pengaruh Lampau waktu
SISTEM HUKUM ADAT
System hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah barang tentu
berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum barat.
Hukum adat memiliki corak-corak yang memedakannya dari corak system hukum barat, yaitu:
a. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat,
Sifat ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam kegiatan gotong royong
yang dilakukan masyarakat warga desa “gugur gunung” yang mana memperlihatkan
kebiasaan tolong menolong dalam hidup, saling membantu.
b. Mempunyai corak religio magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam
Indonesia.
Artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan
terhadap yang ghaib dana tau berdasarkan pada ajaran KeTuhanan Yang Maha Esa.
Corak ini terlihat dengan jelas dalam upacara-upacara adat masyarakat yang mana
biasanya selalu ada sesajen-sesajen yang ditujukan kepada roh-roh leluhur yang mana
biasanya dimintai bantuannya dan atau memohon restu.
c. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat
memperhatikan banyaknya.dan berulang-ulangnya perhubungan-perhubungan sifat
yang konkrit.
Pikiran penataan serba konkrit dalam realitas kehidupan sehari-hari menyebabkan
“satunya perkataan dengan perbuatan”.
Konkrit artinya jelas, nyata, dan berwujud.
d. Hukum adat mempunyai sifat yang visual, artinya perhubungan hukum dianggap hanya
terjadi, oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (tanda yang
kelihatan).
Sifat ini menyebabkan dalam kehidupan sehari-hari adanya selalu pemberian tanda-
tanda yang kelihatan untuk bukti penegasan atau peneguhan daripada apa yang telah
dilakukan atau yang dalam waktu dekat akan dilakukan. Misalnya: dalam acara
pertunangan biasanya ada pemberian/seserahan kepada mempelai perempuannya
“peningset” dalam bahasa Jawa.
Antara system Hukum adat dengan Hukum Barat terdapat beberapa perbedaan fundamental:
1. Hukum Barat mengenal “zakelijke rechten” (hukum benda) dan “Persoonlijke rechten”
(hak perorangan)
Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan tersebut. Hak-hak
menurut system hukum adat perlindungannya ada di tangan hakim. Dalam hukum adat
hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan itu baik berwujud benda ataupun tidak
berwujud benda, seperti ha katas nyawa, kehormatan dan hak lainnya tidak bersifat
mutlak sebagai hak pribadinya sendiri, oleh karena pribadinya tidak terlepas
hubungannya dengan kekeluargaan dan kekerabatannya.
2. Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum public dan hukum privat. Hukum adat
tidak mengenal perbedaan itu.
3. Hukum barat membedakan pelanggaran-pelanggaran hukum dalam dua golongan, yaitu
pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata. Masing-masing diperiksa oleh hakim
sesuai pelanggaran. Dalam hukum adat tidak ada pembedaan demikian, tiap
pelanggaran hukum adat membutuhkan pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala
adat) memutuskan upaya adat (adat reaksi) apa yang harus digunakan untuk
memulihkan kembali hukum yang dilanggar itu.

Perbedaan fundamental dalam system ini pada hakikatnya disebabkan karena:


a. Corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum Barat.
b. Pandangan hidup yang mendukung kedua macam hukum itu jauh berlainan.
Aliran dunia barat bersifat liberalistis dan bercorak rasionalistis intelektualistis.
Aliran dunia Timur, khususnya alam pikiran tradisional Indonesia, bersifat kosmis, tidak ada
pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib; dunia manusia berhubungan erat dengan segala
hidup di dalam alam ini.
System hukum adat sangat sederhana bahkan kebanyakan tidak sistematis, hukum adat
mengutamakan adanya musyawarah di dalam keluarga, di dalam hubungan kekerabatan dan
ketetanggaan.
System hukum adat bersumber pada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Hukum adat itu
mempunyai tipe yang bersifat tradisional dengan berpangkal kepada kehendak nenek moyang.
Untuk ketertiban hukumnya selalu diberikan penghormatan yang sangat besar bagi kehendak
nenek moyang itu. Peraturan-peraturan hukum adat juga dapat berubah tergantung dari
pengaruh kejadian-kejadian dan keadaan hidup yang silih berganti. Dari sumber hukum yang
tidak tertulis itu, hukum adat dapat memperlihatkan kesanggupannya untuk menyesuaikan diri
dan elastis. Misalnya saja seseorang dari daerah Medan datang ke daerah Jawa dengan
membawa ikatan-ikatan tradisinya, segera cepat ia dapat menyesuaikan dengan tradisi daerah
yang didatangi.
Menurut Van Dijk, seperti yang disebutkan oleh Soehardi mengemukakan 4 (empat) sifat
hukum adat sebagai berikut:
1. Hukum adat tidak dikodifikasi
2. Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisional. Istilah tradisional berkonotasi
bahwa hukum adat itu berasal dari nenek moyang yang legendaries, diitemukan dalam
cerita-cerita orang tua.
3. Hukum adat dapat berubah. Perubahan itu terjadi oleh pengaruh kejadian-kejadian,
pengaruh peri-keadaan hidup yang silih berganti. Para pemangku adat wajib
memperkenalkan perubahan-perubahan tersebut kepada warga pada peristiwa-
perisyiwa tersebut.
4. Kesanggupan hukum adat untuk menyesuaikan diri atau elastisitet. Hal ini terjadi karena
tidak ada halangan birokrasi seperti yang terjadi dalam perubahan peraturan
perundang-undangan.

BAB II
SEJARAH HUKUM ADAT
Sejarah hukum adat dipisah-pisahkan daam:
a. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri.
b. Sejarah hukum adat sebagai system hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai
dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan
c. Sejarah kedudukan hukum adat, sebagai masalah politik hukum, di dalam system
perundang-undangan di Indonesia.
Teori “Receptio In Complexu”
Teori ini diperkenalkan oleh sarjana hukum yang menjabat sebagai penasehat bahasa-bahasa
Timur dan Hukum Islam pada pemerintah Kolonial Belanda.
Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut
ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti
hukum-hukum agama itu dengan setia”
Jadi tegasnya, menurut teori ini kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu,
maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN HUKUM ADAT


Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping kemajuan zaman,
ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga factor-faktor yang bersifat tradisional
adalah sebagai berikut :
1. Magis dan Animisme :
Alam pikiran magis dan animisme pada dasarnya dialami oleh setiap bangsa di dunia. Di Indonesia
faktor magis dan animisme cukup besar pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dalam upacara-upacara
adat yang bersumber pada kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib.
a. Kepercayaan kepada mahkluk-mahkluk halus, roh-roh, dan hantu-hantu yang menempati seluruh
alam semesta dan juga gejala-gejala alam, semua benda yang ada di alam bernyawa.
b. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti dan adanya roh-roh yang baik dan yang jahat.
c. Adanya orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan dunia gaib dab atau sakti.
d. Takut adanya hukuman/ pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini dapat dilihat adanya
kebiasaan mengadakan siaran-siaran, sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat. Animisme
yaitu percaya bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini bernyawa.
Animisme ada dua macam yaitu :
1. Fetisisme :
Yaitu memuja jiwa-jiwa yang ada pada alam semesta, yang mempunyai kemampuan jauh lebih
besar dari pada kemampuan manusia, seperti halilintar, taufan, matahari, samudra, tanah, pohon
besar, gua dan lain-lain.
2. Spiritisme :
Yaitu memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya yang baik dan yang jahat.
Menurut Mrs Is H Cassuto dalam bukunya “Adatrecht Van Ned Indie” pengaruh magi dan animisme
ini khususnya terlihat dalam empat hal sebagai berikut:
1. pemujaan roh-roh leluhur, sehingga hukum adat oleh karenanya kadang-kadang disebut
juga oleh bangsa Barat “Adat Leluhur”.
2. Percaya adanya roh-roh jahat dan baik,
3. Takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh keuatan-kekuatan gaib. Ditunjukkan
adanya kegiatan masyarakat dalam zarah-ziarah makam-makam.
4. Dijumpai dimana-mana orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan
dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib tersebut di atas.

2. Faktor Agama
Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hukum adat misalnya :

Agama Hindu :
Pada abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia dengan membawa agamanya, pengaruhnya
dapat dilihat di Bali. Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang pemerintahan Raja dan
pembagian kasta-kasta.
Agama Islam :
Pada abad ke 14 dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Iran. Pengaruah Agama
Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan
perkawinan dan juga dalam bidang wakaf. Pengaruh hukum perkawinan Islam didalam hukum adat
di beberapa daerah di Indonesia tidak sama kuatnya misalnya daerah Jawa dan Madura, Aceh
pengaruh Agama Islam sangat kuat, namun beberapa daerah tertentu walaupun sudah diadakan
menurut hukum perkawinan Islam, tetapi tetap dilakukan upacara upacara perkawinan menurut
hukum adat,
missal di Lampung, Tapanuli.
Agama Kristen :
Agama Kristen dibawa oleh pedagang-pedagang Barat. Aturan-aturan hukum Kristen di Indonesia
cukup memberikan pengaruh pada hukum keluarga, hukum perkawinan.
Agama Kristen juga telah memberikan pengaruh besar dalam bidang social khususnya dalam bidang
pendidikan dan kesehatan, dengan didirikannya beberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah
sakit.
3. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat.
Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang dimaksud adalah kekuasaan-kekuasaan Raja-raja,
kepala Kuria, Nagari dan lain-lain. Tidak semua Raja-raja yang pernah bertahta di negeri ini baik, ada
juga Raja yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang terjadi keluarga dan lingkungan
kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan misalnya penggantian kepala-kepala
adat banyak diganti oleh orang-orang yang dengan kerajaan tanpa menghiraukan adat istiadat
bahkan menginjak-injak hukum adat yang ada dan berlaku didalam masyarakat tersebut.
Pengaruh kekuasaan-kekuasaan ini ada yang mempunyai pengaruh positif dan negative, kalau
diperhatikan pengaruh-pengaruh tersebut adalah:
- Yang positif, yang berupa penetapan peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku di dalam wilayah kerajaannya, seperti Gajahmada dan Adigama (Majapahit),
peswara-peswara (Bali), Pranatan-paranatan atau Nawolo-Nawolo ( Jawa Tengah), Buku
Undang-undang kerajaan Bone dan lain sebagainya.
- Yang negative, yang berupa tindakan-tindakan yang menginjak-injak ketentuan-ketentuan
adat sesuatu persekutuan hukum, misalnya pelaksanaan system apanage tanpa
memperhatikan hal-hal pertuanan persekutuan-persekutuan hukum yang bersangkutan,
penempatan kaula-kaula kerajaan sebagai kepala Persekutuan menggantikan kepala-kepala
adat yang dahulu dipilih oleh waarga persekutuan hukum yang bersangkutan dan lain
sebagainya.

4. hubungan dengan orang-orang ataupun Kekuasaan Asing.


Yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, dimana orang-orang Belanda dengan alam pikiran baratnya
yang individualisme. Hal ini jelas bertentangan dengan alam pikiran adat yang bersifat
kebersamaan. sebagai salah satu hasil pengaruh alam pikiran barat dalam hukum adat adalah
timbulnya proses individualiseering. Proses kebangktan individu yang di kota-kota besar Nampak
berjalan dengan lebih cepat daripada di pedalaman.
Semula hukum adat meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh keuasaan asing khususnya Pada
zaman penjajahan belanda menjadi terdesak sedemikian rupa sehingga akhirnya praktis tinggal
meliputi bidang perdata material saja.

SEJARAH HUKUM ADAT SEBAGAI SISTEM HUKUM DARI TIDAK/BELUM DIKENAL HINGGA
SAMPAI DIKENAL DALAM ILMU PENGETAHUAN

Sebelum tahun 1602


Sebelum zaman kompeni, tidak diketemukan catatan ataupun tidak terdapat perhatian
terhadap hukum adat kita dari orang-orang bangsa asing.
Setelah masuknya kompeni tahun 1602
Barulah bangsa asing mulai menaruh perhatian terhadap adat istiadat kita, ada yang
perorangan, adapula yang karena jabatannya, ataupun yang mendapat tugas/perintah dari
penguasa colonial.
Tahun 1602-1800
Kompeni hanyalah mengutamakan kepentingannya sebagai badan perniagaan, dengan
demikian, maka bangunan-bangunan hukum adat yang hingga saat itu sudah ada di daerah-
daerah sejauh mungkin dibiarkan saja, sehingga hukum rakyat tersebut masih tetap berlaku.
Baru apabila kepentingan terganggu, maka kompeni menggunakan kekuasaannya terhadap
hukum rakyat itu. Jadi, sikap kompeni terhadap hukum adat adalah tergantung daripada
keperluan ketika itu.
Kompeni hanya mengutamakan kepentingannya sebagai badan perniagaan, dengan demikian
bangunan-bangunan hukum adat hingga saat itu di daerah-daerah sejauh mungkin dibiarkan
saja.sehingga hukum rakyat masih saja terus berlaku. Baru apabila kepentingan kompeni terganggu
barulah kompeni menggunakan kekasaannya. Kompeni pada masa itu menjalankan politik
opportuniteit.
Pada zaman kompeni ditemukan beberapa kitab hukum dan tulisan-tulisna tentang hukum adat:
1. Kitab hukum Mogharraer (1750). Untuk keperluan PN di semarang. Sebagian bear isinya
memuat hukum pidana islam.
2. Catatan tentang Hukum Adat yang terdapat di Keraton Bone dan Goa oleh Bosschenaar
Yan Dirk Van Clootwijck, Gubernur Pantai Sulawesi.
3. Kitab Hukum Preijer yang berisi hukum Perkawinan dan Hukum Waris menurut Islam utk
dipakai di pengadlan-pengadilan kompeni.
4. Pepakem Cirebon yang dibuat oleh Mr. P. C Hasselaer residen Cirebon dari 1757-1765.
5. Laporan Van Overstraten Gubernur pesisir Timur Laut Jawa.
6. Tulisan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pasundan tentang penduduk desa asli dan
penumpang di Pasundan.
7. Hasil-hasil penelitianDirk Van Hogendorp, Gezaghebber Pantai timur Jawa (1794-1798)
mengenai soal-soal miliik tanah.

Zaman Deandels (tahun 1808-1811)


Deandels tidak membuat perubahan-perubahan yang penting dalam hukum adat. Deandels
masih menganggap bahwa hukum adat terdiri dari atas hukum islam. Deandels menganggap
derajat hukum Eropa lebih tinggi daipada hukum adat.
Zaman Raffles (tahun 1811-1816)
Tindakan pertama yang dilakukan oleh raffles adalah dibentuknya panitia Mackenzie untuk
mengadakan penyelidikan terhadap masyarakat Indonesia di Pulau Jawa. Buah pekerjaan
panitia ini akan dijadikan dasar untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti akan
menentukan bentuk susunan pemerintahannya. Raffles juga mengira bahwa hukum adat itu
tidak lain adalah hukum islam.
Zaman colonial Belanda (tahun 1816-1819)
Mulai terdapat oang-orang asing bukan pejabat tinggi pemerintah colonial belanda yang
mempunyai cukup perhatian terhadap hukum adat.
Dengan demikian, hukum adat sudah tidak lagi terbatas hanya menarik perhatian kaum
penjajah saja tetapi juga menarik perhatian kaum cerdik pandai bangsa-bangsa laiinya.
Tahun 1918
Putera-putera Indonesia sudah mulai sadar akan beberapa persoalan hukum adat, antara lain:
Soepmo, Hazairin, Djojodiegoeno.
Abad ke 20
Penyelidikan hukum adat harus juga dilihat dengan kacamata timur, meninggalkan
nasionalisme materialisme dari abad yang lalu dan membuka mata terhadap ke Timuran,
terhadap hal-hal yang tidak materialistis, terhadap dunia religio magiss.

SEJARAH HUKUM ADAT SEBAGAI MASALAH POLITIK HUKUM, DI DALAM SYSTEM


PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA DIBAGI MENJADI 3 PERIODE, YAITU:
1. Masa Menjelang Tahun 1848
Hukum adat pada masa ini hanya dibiarkan saja seperti sedia kala hidup dan berlaku
untuk bangsa Indonesia dengan tidak pernah mempersoalkan atau menyelidiki sifat
serta corak-corak hukum ini. Pada masa ini hukum adat mendapat sorotan untuk
pertama kali sebagai masalah hukum oleh pemerintah Belanda di negerinya sana.
Pengangkatan Mr. G. C Hageman sebagai ketua “Hoog Gerechtshof Hindia Belanda”
(Mahkamah Agung pada Pemerintahan Kolonial Belanda dahulu). Hageman dtugaskan
untuk mengadakan pemeriksaan yang sengaja dan selekas-lekasnya agar undang-
undang yang umum yang ditetapkan kerajaan Belanda sedapat-dapatnya juga
diperlakukan di Indonesia. Namun usaha untuk memberlakukan hukum yang berlaku
dinegeri Belanda tidak berhasil pada masa ini, salah satu pemikiran yang mendukung
tidak dapat diberlakukannya adalah bahwa hukum Belanda akan janggal bagi suatu
negeri yang mempunyai penduduk berjuta-juta manusia yang bukan beragama nasrani
dan yang mempunyai berbagai agama dan adat istiadat, sedangkan penduduknya yang
beragama islam sangat besar kesetiaannya pada sendi-sendi agamanya serta undang-
undang dan adat kebiasaan mereka yang tertulis, sehingga dengan diperlakukannya
hukum Belanda akan berarti suatu pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat daripada
golongan penduduk yang bukan bangsa Eropa.
2. Pada Tahun 1848.
Suasana di sekitar tahun 1848 adalah sangat dikuasai oleh pemujaan nilai dan
kepentingan kodifikasi. Suasana inilah yang yang mendorong atau merupakan sebab
utama adanya permulaan untuk mengadakan hukum adat. Pemerintah Belanda
melakukan usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya maupun pemerintah
colonial di Indonesia. Namun rencana pengkodifikasian tersebut kembali gagal. Sebab
dari semua kegagalan usaha-usaha tersebut adalah bahwasanya tidak mungkin bangsa
Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk harus tunduk pada hukum
yang sebagian besar disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Eropa sedangkan bangsa
eropa ini hanya merupakan bagian kecil saja.
3. Sejak tahun 1927 politik pemerintah Hindia Belanda terhadap Hukum Adat mulai
berganti haluan yaitu dari “UNIFIKASI” beralih ke “KODIFIKASI”.
Pada tahun 1927 konsepsi Van Vollenhoven yang isinya menganjurkan diadaknnya
pencatatan-pencatatan yang sistematis dari pengertian-pengertian hukum yang
sesungguhnya dari penduduk, daerah hukum demi daerah hukum tetapi didahului
dengan penelitian dan penyelidikan yang dipimpin oleh para ahli diterima.
Pencatatan hasil-hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh para ahli harus diterangkan
seteliti-telitinya supaya ada jaminan hukum yang lebih besar dan akhirnya juga untuk
membantu hakim yang harus menggunakan hukum adat yang tidak tertulis.
Karangan pertama sebagai hasil penyelidikan serta pencatatan hukum adat yang ditulis
berdasarkan politik pemerintah adalah buku Profesor Soepomo “Het Adat Privatrecht
van west Java” (hukum adat privat di jawa Barat) yang terbit pada tahun 1933.
BAB III
DASAR HUKUM BERLAKUNYA HUKUM ADAT

Sebelum berlakunya UU No. 19 Tahun 1964 LN Nomor 107 tahun 1964 yakni undang-undang
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, diundangkan pada tanggal 31
Oktober 1964 maka yang menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat adalah pasal II
Aturan Peralihan UUD 45.
Pada zaman colonial Belanda sumber pengetahuan tentang hal ini adalah pasal 131 IS. Ayat 1
pasal 131 IS menetapkan suatu asas bahwa hukum perdata dan hukum pidana materiil dan
formil akan ditulis-ditetapkan dalam ordonansi-ordonansi, yaitu suatu undang-undang yang
diundangkan oleh Gubernur Jendral dengan persetujuan volksraad.
Ayat 2 sub b pasal dimaksud di atas menetapkan suatu pedoman kepada pembentuk ordonansi
untuk hukum perdata materiil yang harus diatur bagi orang Indonesia dan orang Timur Asing.
Untuk itu berlaku asas, bahwa hukum adat mereka akan dihormati dengan kemungkinan
penyimpangan dalam hal:
1. Kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, maka mereka akan ditaklukan
pada perundang-undangan yang berlaku bagi orang Eropa.
2. Kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendaki atau berdasarkan kepentingan
umum, maka pembentuk ordo nansi dapat mengadakan hukum yang berlaku bagi orang
Indonesia dan orang Timur asing atau bagian-bagian tersendiri dari golongan-golongan
itu, yang bukan hukum adat, bukan juga hukum Eropa, melainkan hukum yang
diciptakan oleh pembentuk undang-undang sendiri.
Pasal 146 ayat (1) konstitusi RIS:
“bahwa segala keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkaa hukuman
harus berisi menyebut aturan-aturan U U dan aturan hukum adat yang dijadikan dasar
hukuman itu”.
Pasal 104 ayat (1) UUDS 1950:
menegaskan kembali pasal 146 KRIS diatas.
Pada jaman pemerintahan jepang dikeluarkan undang-Undang No.1 yang pada pasal 3
menentukan sebagai berikut:
“semua badan-badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari
pemerintah dahulu tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan
dengan aturan Pemerintah Militer”
Jadi pada jaman Jepang pun pada hakikatnya dilanjutkan keadaan perundang-undangan dari
zaman colonial Belanda.
setelah diundangkannya UUD 1945 penerapan hukum adat wajib didasarkan serta dijiwai
perwujudan cita-cita hukum dasar Negara an sumber tertib hukum yang baru yang sudah jelas
dan tegas yaitu Pancasila.

setelah diundangkannya UU Nomor 19 tahun 1964:


a. Dalam pasal 3 penjelasannya menyebutkan bahwa hukum yang dipakai adalah
hukumyang berdasarkan Pancasila yaitu hukum yang sifat-sifatnya berakar pada
kepribadian bangsa (tidak ada menyebutkan hukum adat)
b. Pengadilan Negeri dan sesuai penjelasan 10 dinyatakan adanya hukum yang tertulis dan
hukum yang tidak tertulis.
Pengadilan-pengadilan negara menerapkan hukum tidak tertulis yang disebut sebagai
hukum adat.
Berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1970 yang menggantikan UU Nomor 19 tahun 1946 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman:
a. Pasal 23 ayat (1) “hukum tidak tertulis sebagai dasar untuk mengadili”
b. Pasal 27 ayat (1)
dalam penjelasan umumnya memberi petunjuk kepada kita bahwa hukum tidak tertulis dalam
UU adalah hukum adat.

Setelah diamandemen UUD 1945:


a. Pasal 18 B ayat 2
“bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI”
b. Pasal 28I ayat 3
Menjamin identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
Lahirnya Undang-Undang pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 (UUPA) penyusunan nya
berdasarkan pada asas hukum adat. Dalam UUPA juga mengakui keberadaan hukum adat,
seperti pengakuan terhadap hak ulayat. Seperti yang termuat dalam pasal 5 UUPA:
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini dan dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Undang-undang lain yang menyebutkan pengakuan keberadaan hukum adat:
a. Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 41 tahun 1999
b. Undang-Undang HAM
c. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
d. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 35 tahun 1999
BAB IV
MASYARAKAT HUKUM ADAT
DAN TATA SUSUNAN RAKYAT INDONESIA

MASYARAKAT HUKUM ADAT


Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau
Indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan popular disebut dengan istilah
“masyarakat adat”. Beberapa pakar hukum membedakan istilah masyarakat hukum adat
dengan masyarakat adat.
Menurut Kusumadi Pujosewojo masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul
secara spontan di wilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh
penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar diantara
anggota, memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang dan menggunakan wilayahnya
sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggota. 3
Penegertian masyarakat hukum adat menurut Ter Haar dalam Bukunya “Beginselen En
Stelsel Van Het Adatrecht, yang diterjemahkan oleh Soebekti Poesponoto ke dalam Bahasa
Indonesia menjadi Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, dikatakan sebagai berikut:
“Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata terdapat pergaulan hidup di
dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar,
lahir dan batin.golongan-golongan/kelompok itu mempunyai tata susunan yang tetap dan
kekal, dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam
golongan sebagai hal yang sewajarnya, dalam hal menurut kodrat alam. Tidak ada
seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran
golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pengurus sendiri dan harta benda,
milik keduniaan dan milik gaib, Golongan-golongan yang demikian bersifat persekutuan
hukum”.4
Berdasarkan dengan penggambaran yang dikemukakan oleh Ter Haar tersebut
menunjukkan adanya pertalian antara manusia dengan manusia lainnya sebagai kesatuan,

3
DR Djamanat Samosir, SH.,MH.,Hal:69-70
4
Ibid, hal:70
bertalian dengan alam yang tak kasat mata dan memiliki kultur yang berbeda dengan
masyarakat lainnya. Menurutnya masyarakat hukum adat memiliki cara pandang hidup yang
holistic, komunalistik, transcendental dan berkelanjutan. Pandangan hidup mereka tidak
fragmentaris dan temporer. Mereka memikirkan dengan baik apa akibat dari suatu perbuatan
pada masyarakat sebagai suatu kesatuan, bukan hanya masa kini tetapi juga di masa
mendatang, turun temurun dan berkelanjutan.
Menurut Mahadi, masyarakat hukum adat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut;
1. Adanya sejumlah orang tertentu yang bertindak semua merasa terikat dan semuanya
mempersoalkan untung rugi.
2. Apabila kita melihat ke dalam tampak ada orang-orang tertentu atas golongan-
golongan tertentu mempunyai kelebihan, wibawa dan kekuasaan.
3. Adanya harta benda seperti barang-barang tertentu, tanah, air, tanaman, tempat
peribadatan, gedung dan lain-lainnya, dan semua orang ikut memelihara benda itu,
menjaga kebersihan fisiknya, menjaga kesuciannya dan sebagainya. Semua boleh
menikmati harta benda itu, tetapi orang yang bukan anggota pada umumnya tidak
boleh mengambil manfaat daripadanya kecuali dengan seizing persekutuan.
Dalam Pasal 1 ayat (3) PMNA/Ka.BPN No.5 Tahun 1999, masyarakat hukum adat
dirumuskan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.
Dengan berbagai penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat
hukum adat dapat dipahami dengan kriteria sebagai berikut;
1. Ada sekelompok orang yang terikat dalam tatanan hukum adatnya
2. Ada warga masyarakat merupakan warga bersama masyarakat hukum adat
3. Masyarakat hukum yang didasarkan atas tempat tinggal atau dasar keturunan.
PERSEKUTUAN HUKUM
Menurut van Vollenhoven : “untuk mengetahui hukum terlebih dahulu harus mengetahui
tentang persekutuan hukum sebagai tempat dimana masyarakat yang dikuasai hukum
tersebut hidup sehari-hari”
Persekutuan hukum adalah: kesatuan masyarakat hukum adat yang hidup dengan diatur oleh
suatu perangkat norma yang telah ditentukan bersama dalam kesatuan masyarakat hukum
adat yang bersangkutan.
Persekutuan hukum merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur
dan kekal serta memiliki pengurus sendiri, baik kekayaan imateriil maupun materiil.
Contoh: family di Minangkabau=persekutuan hukum. Sebab:
a. Tata susunan yang tetap yang terdiri atas beberapa bagian yang disebut “rumah” atau
“jurai”
b. Pengurus sendiri, yaitu oleh seseorang yang diketuai oleh penghulu andiko
c. Harta pusaka sendiri yang diurus oleh penghulu andiko.
Begitu pula dengan di Jawa=persekutuan hukum.

STRUKTUR PERSEKUTUAN HUKUM


Adanya factor-faktor dalam timbulnya persekutuan-persekutuan yang bersangkutan;
a. Factor territorial, yaitu factor terikat pada suatu daerah ternyata merupakan factor yang
mempunyai peranan yang terpenting dalam tiap timbulnya persekutuan hukum
b. Factor genealogis yaitu factor yang melandaskan kepada pertalian dalam pertalian suatu
keturunan, dalam kenyataannya tidak menduduki peranan yang penting dalam
timbulnya suatu persekutuan hukum.
Menurut dasar tata susunannya, maka struktur persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia
dapat digolongkan menjadi dua:
a. Genealogis (berdasar pertalian suatu keturunan).
Dalam hal ini ada 3 macam dasar pertalian keturunan sebagai berikut:
1. Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal) ada yang murni dan beralih-alih,
contoh:batak, nias, sumba
2. Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal), contoh:Minangkabau
3. Pertalian darah menurut garis bapak dan garis ibu (parental), contoh:jawa, sunda,
dayak aceh.
Ada kecendrungan masyrakat matrileineal dan patrilineal itu berubah menuju
masyarakat bilaterall. Hal ini dapat terrlihat dari 3 sudut/segi yaitu:
a) Dari sudut adat itu sendiri: masyarakat hukum adat yang goyah; dalam perkawinan
dan pewarisan; masyarakat hukum adat yang darurat; perkembangan hukum adat.
b) Dari sudut hukum islam: masyarakat Indonesia 90 % beragama islam, islam lebih
meridhoi masyarakat hukum bilateral.
c) Factor-faktor sosiologis yang murni: persentuhan dua atau lebih kebudayaan akan
menimbulkan kebudayaan baru. Juga dapat melalui peperangan; pendidikan;
komunikasi; teknologi canggih.
b. Persekutuan territorial (berdasar lingkungan daerah) yaitu apabila keanggotaan
seseorang tergantung daripada tempat tinggal di dalam lingkungan daerah persekutuan
itu atau tidak.
Ada 3 jenis persekutuan territorial:
1. Persekutuan desa. Apabila segolongan orang terikat pada suatu tempat kediaman
juga apabila di dalamnya termasuk dukuh-dukuh yang terpencil yang tidak berdiri
sendiri, sedang oara pejabat pemerintahan desa boleh dikatakan semuanya
bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu. Berasaskan pada pandangan hidup,
cara hidup dan system kepercayaan yang sama, contoh: jawa, sunda , maadura dan
bali.
2. Persekutuan daerah, yaitu apabila di dalam suatu daerah terletak beberapa desa
yang masing-masing mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri yang
sejenis, berdirri sendiri tetapi semuanya merupakan bawahan dari daerah. Contoh:
Kurya di Angkola dan Mandailing. Kurya sebagai masyarakat hukum wilayah
menaungi beberapa Huta. Marga di Sumatera Selatan sebagai masyarakat hukum
wilayah menaungi beberapa dusun.
3. Perserikatan (beberapa kampong), yaitu apabila beberapa persekutuan kampong
yang terletak berdekatan mengadakan permufakatan untuk memelihara
kepentingan-kepentingan bersama.
Ada pula yang berdasar kedua factor, genealogis dan territorial. Jadi untuk menjadi
anggota persekutuan yang demikian ini wajib dipenuhi dua syarat sekaligus:
a. Harus masuk dalam satu kesatuan genealogis
b. Harus berdiam di dalam daerah persekutuan yang bersangkutan
Contoh: pulau mentawai (uma), pulau Nias (Euri) daerah tapanuli (kuria dan Huta),
Minangkabau (nagari), Palembang (marga) dan Maluku (Negorij)
Ada 5 bentuk model persekutuan genealogis-teritorial:
a. Suatu daerah/kampong hanya ditempati oleh satu golongan/clan. Tidak ada clan lain yg
tinggal di sini. Contoh: pulau Enggano, Buru, Seram, dan Flores.
b. Mula-mula suatu clan memiliki daerah sendiri, kemudian masuk marga/clan lain dan
menjadi anggota persekutuan tersebut.
c. Muala-mula suatu daerah dikuasai oleh clan yang lama, kemudian datang clan baru yang
kemudian mengalahkan dan merebut kekuasaan clan lama, sehingga clan yang baru
inilah yang memegang kekuasaan pemerintahan. Contoh: persekutuan di Sumba Tengah
dan sumba Timur.
d. Dalam satu wilayah terdiri dari beberapa clan yang berbeda yang mana masing-masing
clan mempunyai daerah sendiri-sendiri dan diantara kesemua clan tersebut tidak ada
golongan yang berkuasa memerintah maupun menguasai tanah melainkan kesemuanya
berkeduduka sama dan merupakan satu territorial. Contoh : Nagari di Minangkabau.
e. Dalam satu wilayah berdiam beberapa clan yang satu sama lain tidak bertalian family
yang keseluruhan wilayah tersebut adalah daerah bersama yang tidak dibagi-bagi dan
kesemua clan adalah bagian dari satu persekutuan hukum. Contoh; Nagari di
Minangkaau dan Rejang Bengkulu.
Persekutuan hukum dipisah-pisahkan menjadi 4 golongan menurut Ter Haar:
1. Golongan pertama persekutuan hukum yang berupa kesatuan genealogis
2. Golongan kedua, persekutuan hukum yang berupa kesatuan territorial dengan di
dalamnya terdapat kesatuan-kesatuan genealogis.
3. Persekutuan hukum yang berupa kesatuan territorial tanpa kesatuan genealogis di
dalamnya
4. Persekutuan hukum yang berupa kesatuan territorial dengan di dalamnya terdapat
persekutuan-persekutuan/badan-badan hukum yang sengaja didirikan oleh para
warganya.
Dalam garis besarnya pembedaan penduduk dalam beberapa golongan terdapat di
kebanyakan lingkungan hukum adat. Hanya asas penggolongannya saja yang tidak sama
daerah datu dengan yang lain:
a. Termasuk golongan pertama: pemilik sawah/lading/tegalan dengan pekarangan.
b. Termasuk golongan kedua: pemilik pekarangan saja.
c. Termasuk golongan ketiga: orang-orang yang tidak memiliki tanah atau pekarangan.

LINGKARAN HUKUM ADAT


Van Vollenhoven dalam bukunya “Adat Recht I” menyebutkan suatu daerah di dalam daerah
mana garis-garis besar, corak dan sifatnya hukum adat yang berlaku di situ seragam
“rechtskring”. Yang kalau disalin dalam bahasa Indonesia menjadi lingkaran-lingkaran hukum
atau lingkungan hukum. Van Vollenhoven dalam bukunya membagi Indonesia dalam 19
lingkaran hukum sebagai berikut:
1. Aceh
2. Tanah Gayo – Alas dan Batak beserta Nias
3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai
4. Sumatera Selatan
5. Daerah Melayu (Sumatera_Timur, Jambi, Riau)
6. Bangka dan Belitung
7. Kalimantan
8. Minahasa
9. Gorontalo
10. Daerah Toraja
11. Sulawesi Selatan
12. Kepulauan Ternate
13. Maluku, Ambon
14. Irian
15. Kepulauan Timor
16. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat)
17. Jawa Tengah dan Timur (beserta Madura)
18. Daerah-daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta)
19. Jawa barat

Garis-garis atau dasar-dasar umum persekutuan hukum:


1. Segala badan persekutuan hukum ini dipimpin oleh kepala-kepala rakyat
2. Sifat dan susunan pimpinan itu erat hubungannya dengan sifat serta susunan tiap-tiap
jenis badan persekutuan hukum yang bersangkutan

Ada 4 sifat umum alat perlengkapan persekutuan hukum di Inonesia menurut Drs Nico Ngani,
SH, MSSW, MM, CLE:
1. Pemerintah dalam persekutuan hukum Indonesia di berbagai tempat berada di tangan
beberapa pembesar, kepala desa, kepala nagari, kepala urung, kepala negorai, dst.
Diantara kepala-kepala itu biasanya ada seseorang atau lebih yang terhitung paling
tinggi.
2. Putusan penting dalam perkara-perkara umum diambil dalam satu rapat oleh semua
warga persekutuan, ada kalanya dibatasi pada orang-orang baku dan laki-laki yang
sudah kawin. Seperti biasa dalam rapat-rapat seperti itu warga persekutuan yang
terkemuka lebih banyak bersuara dan berpengaruh.
3. Dalam hal-hal umum yang penting, para kepala pengambil keputusan akhir melakukan
pembicaraan pendahuluan dan lobi-lobi dengan para pemimpin tingkat bawah. Karena
itu, pendapat umum benar-benar terakomodasi.
4. Pengangkatan kepala adat dan pembantunya di dasarkan ppada syarat-syarat yang
ketat. Para ahli waris mendapatkan prioritas. Apabila ahli pertama tidak memenuhi
syarat, ia diganti atau dilompati oleh adiknya dan seterusnya. 5

SIFAT PIMPINAN KEPALA-KEPALA RAKYAT


Kepala persekutuan adalah kepala rakyat atau bapam masyarakat. Ia mengetuai persekutuan
sebagai ketua suatu keluarga yang besar. Kepala rakyat yang bertugas memelihara hidup
hukum di dalam suatu persekutuan. Menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan
selayaknya.
Pada pokoknya aktivitas kepala rakyat ada 3 hal, yaitu:
1. Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian yang
erat antara ttanah dan persekutuan yang menguasai tanah itu.
2. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum,
supaya hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya (pembinaan secara preventif)
3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu dilanggar.
(pembinaan secara refresif

5
Drs Nico Ngani, SH, MSSW, MM, CLE, Dipl. Phil.,dll,2002, Perkembangan Hukum Adat Indonesia,
Yogyakarta:Pustaka Yustisia, Hal;25
BAB V
HUKUM PERORANGAN

hukum perorangan pada prinsipnya mengatur hak dan kewajiban dari subjek hukum.
Subyektum Yuris: manusia dan badan hukum (desa, suku, nagari, wakaf, dan yayasan)
a. Manusia sebagai Subyektum Yuris
Di dalam hukum adat kriteria dewasa bukanlah umur, tetapi kenyataan-kenyaan ciri-ciri
tertentu dan bahkan juga berdasarkan pada penilaian masyarakat setempat.
Wenang hukum (kecakapan Berhak)=semua orang baik pria maupun wanita dalam
hukum adat diakui mempunyai wewenang hukum (kecakapan berhak) yang sama.
Kecakapan hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (kecakapan
bertindak)= orang-orang baik pria maupun wanita yang sudah dewasa.
Pengertian dewasa:
Menurut Ter Haar adalah seseorang yang telah tidak menjadi tanggungan orang tua dan
tidak serumah lagi dengan orang tua.
Menurut Prof Djoyodiguno adalah kedewasaan datang secara berangsur. Dewasa
penuh jika sudah mentas dan mencar (hidup mandiri dan berkeluarga sendiri).
Menurut Prof Supomo, dianggap dewasa apabila :
1) Kuwat gawe (dapat/mampu bekerja sendiri)
2) Cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri.
3) Bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
Kriteria Dewasa dalam Hukum Adat:
Dalam hukum adat kriterianya bukan umur, tetapi kenyataan-kenyataan tertentu:
1) Kuwat gawe (dapat/mampu bekerja sendiri)
2) Cakap mengurus harta bendanya serta keperluan sendiri.
3) Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta
mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya.
Raad Van Justitie (Pengadilan Tinggi) Jakarta dalam keputusanna tertanggal 16 Oktober
1908 menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk dapat dianggap sebagai cakap
menyatakan kehendaknya sendiri:
1) Umur 15 tahun
2) Masak untuk hidup sebagai isteri
3) Cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri.
(menggunakan criteria hukum barat dan hukum adat).
b. Badan Hukum sebagai Subyektum Yuris:
Dalam hukum adat badan hukum diakui sebagai subyek hukum yang dapat melakukan
tindakan hukum yang diwakili pengurusnya. Keberadaan badan hukum setidk-tidaknya
dapat disadari oleh factor-faktor sebagai berikut:
1) Adanya suatu kebutuhan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu atas
dasar kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama
2) Adanya tujuan idiil yang perlu dicapai tanpa senantiasa tergantung pada pribadi-
pribadi kodrati secara perorangan.6
Sebagai subyek hukum, badan hukum mempunyai tujuan dan memiliki harta kekayaan
sendiri yang terlepas dari harta kekayaan pribadi kodrati yang menjalankannya. Karena
itu yang dapat melakukan hubungan hukum misalnya masyarakat hukum adat, dalam
melakukan tindakan hukum diwakili oleh kepala adat/pimpinannya.
Adapun badan hukum yang dapat bertindak sebagai subyek hukum adalah sebagai
berikut:
1. persekutuan (Desa, nagari, family, marga, dll)
2. wakaf
lembaga wakaf dikenal atau berasal dari hukum islam, didaerah-daerah di
Indonesia telah diresepsi oleh masyarakat hukum adat. Pengertian wakaf
menurut pasal 1 UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf dirumuskan sebagai
perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu

6
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Hal:259
tertentu untuk keperluan ibadah dana tau kesejahteraan umum menurut
syariah.
menurut hukum adat:
a) mencadangkan suatu pekarangan/tanah untuk mesjiid/langgar. Termasuk
tanah pekarangan/pertanian untuk memungut hasil.
b) Menentukan sebagian dari harta benda sebagai benda yang tidak dapat
dijual demi kepentingan keturunannya.
Syarat-syarat wakaf:
a) Pembuat wakaf harus mempunyai hak penuh (menurut hk adat) atas apa
yang diwakafkan.
b) Benda yang diwakafkan harus ditunjuk terang dan maksud serta tujuannya
yang tidak bertentangan dengan agama.
c) Pihak yang memberikan wakaf harus disebut dengan tenang.
d) Maksudnyya harus tetap.
e) Yang menerima wakaf harus menerimanya Kabul.
3. Yayasan
Badan hukum yang bergerak di bidang social. Harus berbadan hukum, dilakukan
pendaftaran mengenai pendiriannya. Untuk mendirikan yayasan diperlukan
syarat-syarat materiil dan formil.
Syarat materiil:
a) Harus ada suatu pemisahan harta kekayaan
b) Mempunyai suatu tujuan
c) Mempunyai suatu organisasi
Sedangkan syarat formilnya yaitu dengan adanya akta otentik.
4. koperasi.
Diatur dalam pasal 33 UUd 1945
Dasar hukum UU nomor 25 Tahun 1992
Bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya.

Anda mungkin juga menyukai