PERTEMUAN 1 | 30.08.2023
Dr. Soelistyowati, S.H., M.H.
Pembukaan
Konsep dapat dilakukan dalam 1) definisi, 2) deskripsi, dan 3) klasifikasi
Definisi = pengertian dengan syarat-syarat khusus
Sistem Pewarisan
• Individual: harta warisan dibagi sejumlah pewaris -> Jawa (Parental), Batak (Patrilineal)
• Mayorat: harta warisan diberikan seluruhnya kepada pewaris tertua -> Bali (Patrilineal)
• Kolektif: harta warisan diberikan seluruhnya kepada pewaris secara bersama-sama (kolektif)
*PERTEMUAN 2 | 06.09.2023
Bu Soelistyowati
Tugas
Pandangan Adat
• Individu adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat;
• Individu adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai fungsi masing-masing untuk
melangsungkan dan kelangsungan masyarakat;
• Tak ada ketentuan adat yang memerlukan syarat yang menjamin berlakunya dengan
menggunakan paksaan (sanksi);
• Sebutan hukuman (sanksi) adat merupakan pandangan yang salah kaprah, karena hukuman
menurut hukum adat adalah upaya membawa kembalinya keseimbangan yang terganggu karena
adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat;
• Ukuran untuk menentukan adat dan hukum adat dengan menggunakan sanksi adalah kurang tepat.
Ter Haar
• Terkenal dengan Teori Beslissingenleer (teori Keputusan);
• Hukum Adat adalah seluruh peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat
hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara
serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka. Keputusan tersebut dapat berupa
persengketaan, tapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah;
• Hukum Adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakatnya;
• Hukum Adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan para warga masyarakat —> keputusan yang
berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat), yang membantu dalam pelasanaan perbuatan
hukum;
• Keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa berkaitan dengan hukum adat;
PERTEMUAN 3 | 13.09.2023
Bu Soelistyowati
Penyebab Perbedaan
• Corak dan sifat hukum adat dan hukum barat berbeda;
• Pandangan hidup yang mendukung:
- Barat, bersifat liberalistis dan rasionalistis-intelektualistis;
- Timur, bersifat pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis, tidak ada pembatasan
antara dunia lahir dan dunia gaib.
Von Savigny
• Hukum mengikuti ‘volkgeist’ (jiwa/semangat rakyat) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku;
• Karena ‘volkgeist’ masyarakat berlainan, maka hukum masyarakat itu berlainan pula;
• Hukum adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan
pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu
berlaku.
*PERTEMUAN 4 | 20.09.2023
Bu Soelistyowati
Secara Internal
• Keberlakuan Secara Faktual
Unsur dalam keberlakuan Hukum Adat (Soerojo, 1979)
- kenyataan: patuh atau tidak?
- psikologis: konsep Hukum Adat menurut Bellefroid
• Keberlakuan Secara Filosofis
Hukum Adat bersumber langsung dari nilai-nilai dan pandangan hidup masyarakats
Secara Eksternal
• Selain secara faktual dan filosofis, keberlakuan hukum adat juga harus ditopang atau dipayungi
oleh suatu hukum positip (legalisasi keberlakuan hukum adat dlm suatu peraturan per-UU-an);
• Melahirkan Keberlakuan Secara Yuridis.
Era Kemerdekaan
• UUD 1945: Pasal II AP —> Pasal 131 I.S
• Konstitusi RIS: Pasal 164 ayat (1); Pasal 192 ayat (1) —> Pasal 131 I.S
• UUDS 1950: Pasal 104 ayat (1); Pasal 142 —> Pasal 131 I.S
• Dekrit 5 Juli 1959
- UUD 1945: Pasal II AP —> Pasal 131 I.S
- UUD 1945 Amandemen: Pasal I AP —> Pasal 131 I.S; Pasal 18B ayat (2)
Zaman Kolonial
• Pada Zaman penjajahan Jepang ada peraturan Dai Nippon, yaitu Osamu Sirei.
• Pasal 3 menentukan bahwa peraturan sebelumnya juga masih berlaku (ketentuan Pasal 75 RR).
• Zaman penjajahan Belanda : Pasal 131 & 163 IS tentang Pembagian Hukum dan Penggolongan
Penduduk.
Zaman Kemerdekaan
• Ketentuan UUD 1945, menurut Iman Sudiyat: “dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang
memuat secara tegas mengenai dasar berlakunya Hukum Adat”.
• UUD 1945 hanya menciptakan pokok pikiran suasana kebatinan dari UUD RI. Pokok pikiran
tersebut. Menjiwai cita-cita hukum negara baik tertulis maupun tidak tertulis.
Ketentuan UUDS
• Pasal 32 UUDS: Tiap-tiap orang yang ada di lingkungan wilayah Indonesia harus tunduk pada
aturan hukum tertulis maupun tidak tertulis.
• Pasal 32-104 bahwa di Indonesia berlaku Hukum Adat.
Konstitusi RIS
• Pasal 146: Segala keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara
hukuman harus menyebut dasar hukum berupa UU dan aturan-aturan Hukum Adat yang dijadikan
hukuman itu.
Peraturan Perundang-undangan
• Tap MPRS Nomor II/MPRS/1960
Asas pembinaan hukum nasional agar sesuai dengan haluan negara dan berlakunya Hukum Adat
yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur
• UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan
Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil
• UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA
• UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
PERTEMUAN 5 | 27.09.2023
Prof Hajati
Persekutuan Hukum
Definisi Persekutuan Hukum
• Ter Haar
- Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkat rakyat jelata terdapat pergaulan hidup di dalam
golongan-golongan yang bertingkahlaku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir batin;
- Golongan-golongan itu punya tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang dalam
golongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang
sewajarnya menurut kodrat alam (masyarakat hukum/persekutuan hukum).
Faktor Genealogis
• Unilateral
- Patrilinial (pertalian darah menurut garis bapak)
a) murni b) beralih-alih: perempuan
- Matrilinial (pertalian darah menurut garis ibu)
• Bilateral/Parental (pertalian darah menurut garis bapak dan ibu)
Faktor Teritorial
• Desa • Wilayah • Perserikatan Desa
Desa
• Segolongan orang terikat pada satu tempat kediaman;
• Ada batas-batas tertentu, ada batas inti/induk dan dusun-dusun/teratak-teratak;
• Dusun-dusun tersebut tidak berdiri sendiri tapi pancaran dari desa induk, artinya kepala desa dan
pejabat-pejabat lainnya semuanya tinggal di desa induk, contohnya desa di Jawa dan Bali.
UU 6/2014 tentang Desa
• Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daerah/Wilayah
• Bila dalam daerah tertentu terletak beberapa desa yang masing-masing punya tata susunan dan
pengurus yang sejenis semuanya merupakan bawahan dari daerah.
• Dusun-dusun tersebut dan desa induk merasa tergabung dalam satu daerah persekutuan hukum
• Contohnya kuria di Angkola dan Mandailing (Tapanuli Selatan), marga di SumSel.
Perserikatan Desa
• Ada sejumlah desa yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri;
• Letak desa-desa berdekatan;
• Desa-desa itu mengadakan ikatan untuk mengurus kepentingan bersama: irigasi, peradilan,
keamanan, pertanahan;
• Contohnya perserikatan Huta-huta di tanah Batak.
Genealogis Teritorial
• Pada model ini pada sebuah daerah/wilayah hanya ditinggali oleh orang-orang yang berasal dari
satu keturunan
- Misalnya masyarakat Enggano, Buru, Flores, dan Seram
- Dalam perkembangannya, walaupun terdiri dari satu clan, tapi secara bertahap di masyarakat
pesisir mengalami percampuran.
• Daerah Tapanuli marga yang terdiri dari Huta-huta di mana masing-masing Huta mendiami
daerah-daerah. Karena perkembangan, mereka membentuk marga baru tersebut. Tidak terlepas
dari marga lama.
- Marga baru disebut marga rakyat
- Marga lama disebut marga raja, karena menguasai tanah
• Pada masyarakat Sumba Tengah dan Sumba Timur didapatkan suatu proses, bahwa klan yang
menempati sebuah daerah kmd kedatangan clan baru yang menguasai dan mengalahkan clan
lama. Karena clan lama kalah, kekuasaan beralih ke clan pendatang, namun penguasaan terhadap
tanah tetap menjadi hak clan asli (lama).
• Variasi
- Masing-masing clan, antara clan yang satu dan yang lain tidak ada hubungan famili tinggal
pada dusun yang mempunyai daerah masing-masing;
- Keluar: merupakan satu kesatuan, yaitu Nagari/marga;
- Ada pada masyarakat Minangkabau dan Rejang.
Hak dan Kewajiban Kepala Desa menurut Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) Stb. 1906 No.
83 & Stb. 1929 No. 227
• Mengurus rumah tangga desa dengan bantuan pemerintah desa;
• Menetapkan keputusan desa setelah bermbug dengan warga desa;
• Mengurus dan memelihara pekerjaan umum, seperti selokan-selokan, jorongan, jembatan, tanah-
tanah lapang, waduk air, tempat pemberhentian perahu, dan lainnya. Bangunan yang dipakai
untuk kepentingan umum;
• Mengurus, memelihara segala harta benda milik desa seperti gedung, lumbung, balai desa,
langgar atau masjid dan bangunan-bangunan lain tidak terkecuali tanah desa;
• Untuk menjalankan tugasnya tadi kepala desa berhak mengundang warga yang berkewajiban
untuk menjalankan pekerjaan yang telah ditetapkan oleh aturan desa.
• Mengurus desa, memelihara yayasan desa, misalnya sekolahan desa, lumbung, bank, tambangan,
pemandian, pasar, pasar hewan.
• Melakukan pengawasan atas segala hal, yang mengenai kepentingan desa dan mengusahakan
kepentingan desa.
• Kepala desa mewakili desanya di dalam dan di luar hukum bertanggungjawab atas kerugian yang
diderita oleh desa yang disebabkan oleh kesalahannya.
• Menjaga ketentraman, ketertiban dan keamanan dalam desa.
PERTEMUAN 6 | 04.10.2023
Prof Hajati
Hukum Tanah
Hak Ulayat Hak Purba
Hak Pertuanan Beschikkingrecht
Hak yang dipunyai oleh suku atau clan sebuah serikat desa atau biasanya oleh sebuah desa untuk
menguasai seluruh tanah seisinya dalam wilayahnya.
Perbedaan
• Izin bagi warga persekutuan untuk mengatur agar kepentingannya tidak berbenturan;
• Izin dan membayar mesi, membuktikan yang bersangkutan bukan warga persekutuan dan
membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan bukan miliknya.
Cara pembukaan tanah yang dilakukan secara bersama-sama di bawah pimpinan kepala adat:
• Mathok sirah (wong), mathok galeng: Gogol Tetap
• Mathok sirah (wong), gilir galeng: Gogol Tidak Tetap
• Bluburan
Hak Ulayat
Pasal 1 PerMen Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 —> telah dicabut dengan PerMen ATR
9/2015 dan PerMen ATR 10/2016
• Kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber
daya alam (SDA), termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan
tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.
• Salah satu lingkup hak ulayat adalah tanah, yang disebut “tanah ulayat”. Tanah ulayat menurut
Pasal 1 angka 2 Permen Agraria/Kepala BPN 5/1999, adalah “bidang tanah yang di atasnya
terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu.”
PERTEMUAN 7 | 11.10.2023
Prof Hajati
Responsi
PERTEMUAN 8 | 01.11.2023
Prof Hajati
Transaksi Tanah
Macam Transaksi Tanah:
• Perbuatan hukum sepihak: pendirian desa, dan pembukaan tanah oleh warga persekutuan
• Perbuatan hukum 2 (dua) pihak
Perbedaan antara Gadai Tanah dan Jaminan dengan objek tanah di Bank
• Pada Bank, sertifikat beralih kepada Bank, maka apabila debitur gagal membayar, akan dilakukan
eksekusi lelang terhadap tanah tersebut.
• Pada Gadai Tanah, sertifikat tetap pada Pemilik Tanah sebagai debitur, tetapi secara kenyataannya
tanah tersebut digunakan atau dimanfaatkan oleh kreditur.
Mengoperkan Gadai
• Harus seizin penjual gadai, si pembeli gadai dapat mengoperkan gadai kepada pihak ke-3 →
terjadi pergantian subjek hubungan hukum antara penjual gadai dg penggantian gadai semula,
berubah menjadi hubungan hukum antara penjual gadai dg pembeli gadai yg baru.
Menggadaikan Kembali
Tanpa sepengetahuan dan seizin Penjual Gadai, maka Pembeli Gadai menggadaikan kembali tanpa
tanah itu kepada pihak ke-3, dengan perjanjian:
• Ia sewaktu-waktu dapat menebus tanah itu dari pihak ke-3 tersebut (menganakgadaikan)
Terjadi 2 (dua) perutangan:
• Antara penjual gadai/pemilik tanah semula dengan pembeli gadai/pemilik uang semula (secara
terang-terangan)
• Antara pembeli gadai/pemilik uang semula yang menjadi penjual baru dengan pihak ke-3 yang
menjadi pembeli gadai baru (secara sembunyi)
Gadai Tanah
• Perjanjian penggarap tanah, bukan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan tanah sebagai
jaminan utang.
Gadai tanah termasuk hak-hak tanah yang bersifat sementara yang dalam waktu singkat akan
dihapus karena ada sifat pemerasan. → Pasal 56 UUPA
“Untuk mengurangi sifat pemerasan maka diatur dalam UU Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian.”
Sesudah UUPA berlaku, Gadai diatur dalam UU Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian
• Pasal 16 ayat (1) h : Hak gadai sifatnya sementara. Artinya dalam waktu yang akan datang akan
diusahakan dihapuskan.
• UU itu berisi pembatasan terhadap lamanya waktu menggadaikan tanah & bermaksud
memberantas unsur-unsur pemerasan yang terdapat dalam transaksi gadai tersebut.
• Praktek menunjukkan bahwa hasil yang dinikmati pembeli gadai setiap tahunnya ternyata jauh
lebih besar dari bunga yang pantas dari uang pembeli gadai dahulu (Iman Sudiyat)
Pasal 7 UU Nomor 56/Prp/1960
(1) Tanah yang sudah digadaikan selama 7 tahun atau lebih, harus dikembalikan kepada pemilik
tanah/penjual gadai, tanpa ada kewajiban baginya untuk membayar uang tebusan.
Pengembalian tanah itu dilakukan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang terdapat di situ
selesai panen.
(2) Mengenai gadai yg berlangsung kurang dari 7 tahun, si pemilik tanah dapat memintanya
kembali setiap waktu setelah pemetikan hasil tanaman yang ada di situ, dengan membayar uang
tebusan yg besarnya dihitung menurut rumus :
Sebelum berlaku UU Nomor 56 /Prp /1960, jika akan menebus sebelum waktunya (kurang) maka
uang tebusannya sama dengan uang gadai pada waktu pertama kali.
PERTEMUAN 9 | 08.11.2023
Bu Ellyne
Tugas
PERTEMUAN 10 | 15.11.2023
Bu Ellyne
Hukum Kekerabatan
Hukum Kekerabatan adalah:
• Hukum Kekeluargaan • Hukum Kewangsaan • Hukum Sanak Keluarga
Hukum Kekerabatan adalah Hukum Adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi
seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga), kedudukan anak dan orang tua dan sebaliknya,
kedudukan anak dan kerabat dan sebaliknya, serta masalah perwalian anak
Berhubungan dengan suatu keturunan darah, meliputi:
• Keturunan • Memelihara anak piatu
• Hubungan anak dengan orang tua • Mengangkat anak
• Hubungan anak dengan keluarga
Sistem Kekerabatan
• Patrilineal • Matrilineal • Parental
Keturunan
• Ketunggalan leluhur yaitu ada perhubungan darah antara orang yang seorang dan orang yang lain
• 2 orang/lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang
seorang dari yang lain
• Ada hubungan hukum yang didasarkan kepada hubungan kekeluargaan antara orang tua & anak-
anaknya
• Di setiap daerah tidak sama atau ada perbedaan
• Persamaannya: Keturunan merupakan unsur yang esensiil serta mutlak, bagi suatu clan/kerabat,
supaya generasinya tidak punah.
Sistematika Keturunan
• Menyamping/Bercabang: Apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan
leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau se-kakek-nenek, dan sebagainya
• Lurus: apabila orang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain, misalnya antara bapak dan
anak, kakek-bapak-anak
- Ke atas: kalau rangkaiannya dilihat dari anak-bapak-kakek
- Ke bawah: kalau rangkaiannya dilihat dari kakek-bapak-anak
Keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajat. Tiap kelahiran merupakan satu tingkatan/
derajat. Contoh:
• Seorang anak merupakan keturunan tingkat 1 dari bapaknya
• Cucu merupakan keturunan tingkat 2 dari kakeknya
• Aku dan saudaraku sekandung merupakan keturunan tingkat 2
Hubungan Anak dengan Pria yang Tidak atau Belum Kawin dengan Wanita yang Melahirkan
• Di Minahasa – biasa seperti antara anak dengan bapak
• Bapaknya lazimnya memberikan hadiah kepada si ibu anak yang bersangkutan, bila si ibu tidak
berdiam serumah dengannya, yang disebut “lilikur”
• Di daerah lain anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai bapak.
• Di Ambon, anak yang lahir di luar perkawinan, dengan kawinnya wanita dengan pria yang
bersangkutan menjadi disahkan
• Bila seorang anak selama ikatan perkawinan diturunkan oleh pria lain, bukan yang telah menikah
dengan ibunya, maka ayah si anak adalah pria yang nikah dengan ibunya, kecuali jika suami sah
ini menyangkal kebapaannya berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima; hal ini
dimungkinkan di Jawa.
Mengangkat Anak
• Suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri, sehingga antara orang
yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama
seperti antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
Dari Sudut Anak yang Dipungut
• Mengangkat anak bukan dari kalangan keluarga
• Mengangkat anak dari kalangan keluarga
• Mengangkay anak dari kalangan keponakan-keponakan
Putusan-putusan Pengadilan
• Digantungkan pada upacara adat dan pengumuman
• Anak angkat dari keluarga dekat, sah tanpa upacara
• Anak yang diambil sejak bayi, sah tanpa upacara
• Pengangkatan berdasarkan penetapan pengadilan
• Adanya anak kandung tidak mengurangi keabsahan anak angkat
PERTEMUAN 11 | 22.11.2023
Bu Ellyne
Perkawinan Adat
Mempelajari perbedaan Perkawinan dalam Hukum Barat dengan dalam Hukum Adat
Pengertian
• Soerjono Soekanto: perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa mengenai yang bersangkutan
(perempuan dan laki-laki yang kawin) saja, akan tetapi juga bagi orang tua, saudara-saudaranya
dan keluarganya.
• Van Dijk: Perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkutpaut dengan urusan famili,
keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi. Hal ini berbeda dengan perkawinan seperti pada
masyarakat Barat (Eropa) yang modern, bahwa perkawinan merupakan urusan mereka yang
kawin saja.
• Ter Haar: perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus
berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang menyebabkan
terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan itu.
• Hilman Hadikusuma: Perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga
merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi
terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-
hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak,
hak dan kewajiban orang tua, akan tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat
kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat
dan keagamaan. Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang
bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di
Indonesia.
Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka
yang masih hidup saja, tapi perkawinan juga merupakan peristiwa penting, karena perkawinan
diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.
Arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak tersebut, untuk dimintai restunya, hingga
mereka setelah melangsungkan perkawinan diharapkan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.
Pelaksanaannya disertai dengan upacara-upacara adat yang pelaksanaannya kadangkala
melibatkan kepala adat atau kepala suku hukum adat setempat.
Van Gennep
• Seorang ahli sosiologi Perancis, menamakan semua upacara-upacara itu sebagai “rites de
passage” (upacara-upacara peralihan). Upacara-upacara peralihan yang melambangkan peralihan
atau perubahan status dari masing-masing mempelai dari yang semula hidup secara terpisah,
kemudian setelah melampaui upacara-upacara adat yang disyaratkan dalam perkawinan menjadi
hidup bersama dalam suatu kehidupan suami-isteri.
• Rites de passage membagi 3 tingkatan, yaitu:
1. rites de searation (upacara perpisahan dari status semula);
2. rites de marge (upacara perjalanan ke status yang baru); dan
3. rites d’aggregation (upacara penerimaan dalam status baru)
*PERTEMUAN 12 | 29.11.2023
Bu Ellyne
Harta Perkawinan
Fungsi Harta Perkawinan
• Untuk keperluan hidup bersama yang dipergunakan oleh suami-isteri serta anak-anak dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
Pasal 35 UU Perkawinan
• Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan
dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
• Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut
diatur menurut hukumnya masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum
yang lainnya berdasarkan penjelasan Pasal 37 UU Perkawinan.
Dalam hukum waris adat, pengertian harta asal dan harta bawaan tampaknya menjadi sama
dalam arti, di sini sering kali tidak ada ketegasan mana yang termasuk harta asal dan mana yang
akan menjadi harta bawaan atau harta gawan (Jawa).
Perkataan “harta asal” pada umumnya untuk menamakan barang-barang yang diperoleh dari
orang tua dari masing-masing suami atau isteri.
“Harta bawaan” diperoleh sebelum perkawinan dengan suami atau isterinya yang
merupakan hasil dari mereka bekerja. Misalnya: A (laki-laki) sebelum kawin telah membeli sebuah
rumah yang dibawa ke dalam perkaawinan, maka ini yang dikatakan harta bawaan A.
Harta Peninggalan
• Kekerabatan Patrilineal (Bali, Batak) —> kesatuan harta, yaitu harta asal suami dan isteri, serta
harta pencaharian (harta bersama) dikuasai oleh suami, oleh karena isteri tidak berhak mewaris,
yang nantinya akan diwariskan kepada keturunan laki-laki
• Kekerabatan Matrilineal —> harta dari ibu diwariskan kepada semua anak kandung, sedangkan
harta dari ayah diwariskan kepada saudara perempuan ayah atau keponakan perempuan dari ayah
• Kekerabatan Parental
Sistem Pewarisan
• Individual: pewaris meninggal maka harta dibagi secara perorangan
• Kolektif: pewaris meninggal maka harta diwariskan secara bersama-sama (kolektif), sehingga
tidak bisa dijual dalam keadaan terpaksa, hanya digadaikan
• Mayorat: pewaris meninggal maka harta diwariskan kepada anak tertua
- Laki-laki - Perempuan
PERTEMUAN 13 | 06.12.2023
Bu Ellyne
Hukum Waris
Istlah
• Hukum Waris Adat; • Hukum Adat Waris • Hukum Pewarisan Adat
Proses peralihannya sendiri, sesungguhnya sudah dapat dimulai semasa pemilik harta
kekayaan itu sendiri masih hidup.
Serta proses itu selanjutnya berjalan terus hingga keturunannya itu masing-masing menjadi
keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri-sendiri (Jawa: mentas dan mencar) yang kelak pada
waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi yang berikutnya
(keturunannya) juga.
Menurut Soepomo, proses tersebut tidak menjadi “akuut” (mendadak) oleh sebab orang tua
meninggal dunia. Meninggalnya bapak atau ibu adalah suatuperistiwa penting bagi proses itu, akan
tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta
benda dan harta bukan benda tersebut.
Contoh Kasus
Harta Asal A Harta Asal B Harta Bersama
Rumah 100 juta (warisan orang tua) Perhiasan 150 juta (hibah) Rumah 200 juta (beli bersama)
Tanah 150 juta (hadiah dari Ayah A) Tabungan 300 juta a/n B (dapat
setelah perkawinan)
A-B: suami-isteri
C, D, E: anak A-B — C (L) dan D (L) anak kandung, E (P) anak angkat
C-F: suami-isteri
G, H: anak C-F — G (P) dan H (L)
A dan C meninggal dunia, B ingin menikah kembali dengan S
• Harta Asal A = 250 juta
• Harta Asal A dibagi dengan C dan D sebagai anak kandung, dengan masing-masing mendapat 125
juta, sedangkan E tidak mendapat karena anak angkat dan B tidak berhak mewarisi harta asal
pasangan
• Karena C telah meninggal, maka 125 juta menjadi Harta Asal C yang kemudian dibagi dengan G
dan H sehingga masing-masing mendapat 62.5 juta
• Harta Bersama = 650 juta
• Berdasarkan Putusan MA Nomor 100 K/SIP/1967, maka setengah Harta Bersama milik B sebagai
janda, lalu sisanya dibagi merata antara janda dan anak-anak yang ditinggalkan.
• Sisa Harta Bersama = 325 juta dibagi B C D E — 325/4 = 81.25 juta
• B mendapat 325 + 81.25 = 406.25 juta, sedangkan C D E masing-masing mendapat 81.25 juta
• Menjadi Harta Asal bagi B C D E dari Harta Bersama Perkawinan Pertama
Dengan pokok kasus yang sama: S adalah seorang duda dengan anak W, W (L) telah menikah
dengan I dan memiliki X (P) dan Y (P) sebagai anak, B-S memiliki anak M, lalu B-S tinggal di
rumah perkawinan pertama S-P seharga 400 juta
Harta Asal S Harta Asal B Harta Bersama
Menurut Djojodigoeno
Kedudukan janda adalah sebagai berikut:
• Seorang janda adalah ahli waris dalam almarhum suaminya;
• Seorang janda yang ditinggal suaminya tanpa meninggalkan seorang anak, tidak berhak mewaris
harta atas barang asal dari almarhum suaminya; dan
• Mengenai harta gono-gini janda berhak mewaris.
PERTEMUAN 14 | 13.12.2023
Bu Ellyne
Responsi UAS