Anda di halaman 1dari 37

HUKUM ADAT A-2

PERTEMUAN 1 | 30.08.2023
Dr. Soelistyowati, S.H., M.H.

Pembukaan
Konsep dapat dilakukan dalam 1) definisi, 2) deskripsi, dan 3) klasifikasi
Definisi = pengertian dengan syarat-syarat khusus

Masyarakat hukum adat memiliki kriteria, yaitu:


• Satuan manusia yang teratur • Memiliki wilayah
• Memiliki aturan • Anggota persekutuan selalu terikat dan tidak
• Memiliki wilayah tertentu ada niat membubarkannya
• Memiliki penguasa

Faktor Keterikatan Masyarakat Hukum Adat


• Genealogis
- Patrilineal, contohnya Batak
- Matrilineal, contohnya Minang
- Parental, contohnya Jawa
• Teritorial
Perbedaan faktor memengaruhi sistem kekerabatan dan sistem pewarisan

Sistem Pewarisan
• Individual: harta warisan dibagi sejumlah pewaris -> Jawa (Parental), Batak (Patrilineal)
• Mayorat: harta warisan diberikan seluruhnya kepada pewaris tertua -> Bali (Patrilineal)
• Kolektif: harta warisan diberikan seluruhnya kepada pewaris secara bersama-sama (kolektif)

*PERTEMUAN 2 | 06.09.2023
Bu Soelistyowati

Tugas

Konsep Hukum Adat


Apakah:
• Hukum Adat = adat; • Hukum Adat = hukum kebiasaan;
• Hukum Adat = adat istiadat; • Hukum Adat = hukum agama;
• Hukum Adat = kebiasaan; • Hukum Adat = kesusilaan.

Terminologi Hukum Adat


• Istilah Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje (seorang ahli sastra
Timur dari Belanda);
• Sebelum istilah hukum adat berkembang, dulu dikenal istilah “Adat Recht”;
• Prof. Snouck Hurgrounje, dalam bukunya “de atjehers” (Aceh) tahun 1893-1894 tentang “hukum
rakyat Indonesia yg tidak dikodifikasikan adalah de atjehers”;
• Kemudian istilah “Adat Recht” digunakan oleh Prof. Van Vollenhoven, dalam bukunya “Adat
Recht van Nederlandsch Indie” (Hukum Adat Hindia Belanda) tahun 1901-1933;
• Kata Adat berasal dari kata Arab yang berarti Kebiasaan;
• Istilah “Adat Recht” populer disebut Hukum Adat;
• Hukum Adat sebagai suatu pengertian masih memerlukan ketepatan isi yang tajam

Definisi Hukum Adat


• Van Vollenhoven: aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang
Timur Asing, yang satu pihak mempunyai sanksi (maka disebut hukum) dan pihak lain tidak
dikodifikasi (maka disebut Adat). Jadi, Hukum Adat = adat atau kebiasaan yang bersanksi.
Sanksinya adalah reaksi dari masyarakat yang bersangkutan.
• Kusumasi P.: adat yang telah mendapatkan sifat hukum melalui penetapan yang dikeluarkan oleh
para petugas hukum baik di dalam maupun di luar sengketa (sama dengan Ter Haar, yaitu sama-
sama mendasarkan titik batasan antara adat dan hukum adat pada perbuatan hukum petugas
hukum). Kusumadi menyebut adanya penetapan petugas hukum ini sebagai existential moment
dari hukum adat.
• Soepomo (dalam buku “Kedudukan Hukum Adat di kemudian Hari” 1951): hukum yang tidak
tertulis (unstatutary law) di dalam peraturan legislatif yang meliputi: a) Hukum yang hidup
sebagai konvensi di badan-badan negara (parlemen, dewan propinsi, dan sebagainya); b) Hukum
yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law); dan c) Hukum yang hidup sebagai
aturan kebiasaan yang dipertahakan dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di desa-
desa (customary law).
• Bushar Muhammad: hukum tidak tertulis, yang tidak hanya meliputi hukum yang hidup dan
dipertahankan sebagai aturan adat dalam masyarakat (hukum adat dalam arti sempit/customary
law), melainkan juga kebiasaan dalam lapangan ketatanegaraan (convention) dan kehakiman atau
peradilan. Jadi, sependapat dengan Soepomo. Dalam buku “Bab-bab tentang Hukum Adat” 1952,
Hukum Adat merupakan hukum non statutair (tidak tertulis); berupa sebagian besar hukum
kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam; juga melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-
keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan di mana ia memutuskan perkara;
berurat-berakar pada kebudayaan tradisional; merupakan hukum yang hidup, karena menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat; dan hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh
dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
• Djojodigoeno: ugeran-ugeran yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang
Indonesia asli yaitu sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih (hubungan antar
sesama manusia dalam usaha memenuhi kepentingan).
• Dr. Hazairin: endapan kesusilaan dalam masyarakat, yakni hukum yang berasal dari dan memiliki
kesesuaian langsung dengan kesusilaan masyarakat. Hukum adat lebih menguatkan pemeliharaan
kaidah-kaidah kesusilaan melalui ancaman hukum/penguatan hukum.
• Mr J.H.P. Bellefroid: aturan-aturan yang hidup meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tetapi
tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat karena meyakini bahwa aturan-aturan tersebut berlaku
sebagai hukum.
• Holleman: norma-norma yang hidup yang disertai sanksi dan yang jika perlu dapat dipaksakan
oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan agar ditaati dan dihormati oleh para warga
masyarakat. Tidak merupakan masalah apakah terhadap norma-norma itu telah pernah ada atau
tidak adanya keputusan.
• BPHN: Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis di luar bentuk peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia yang di sana sini mengandung unsur agama.
Receptio in Complexu oleh Van Den Berg
• Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya ini,
karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia.
• Kalau masyarakat itu memeluk suatu agama, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan
adalah Hukum Agama yang dipeluknya itu.
• Kalau ada penyimpangan dari Hukum Agama yang bersangkutan maka hal-hal itu dianggap
sebagai perkecualian.
• Hukum Adat = hukum agama + penyimpangan
• Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje tidak setuju dengan pendapat Van den Berg.

Konsep Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-undangan


• Realisasi pemikiran penggunaan Hukum Adat sebagai landasan Hukum Nasional tercermin dalam
Pasal 5 UUPA.
• Pembentuk UUPA mengartikan Hukum Adat “sebagai hukum yang asli” yang sesuai dengan
kesadaran hukum rakyat banyak
• Konsep dasar hukum adat tidak diberikan secara jelas, pengertian dan batasan-batasannya

Perbedaan antara Kusmadi dan Ter Haar


• Perbedaan yang ada bersifat gradatif, yaitu konsep Kusumadi “memperhalus” konsep Ter Haar
• Menurut Ter Haar, jika tidak ada keputusan, maka belum bisa dikatakan sebagai hukum
• Menurut Kusumadi, ketiadaan keputusan/penetapan bukan berarti ketiadaan aturan hukum. Tetapi
baru pada saat ada penetapanlah aturan tingkah laku adat menjadi tegas berwujud dalam hukum
positif

Persamaan antara Soepomo dan Bushar Muhammad


• Memberikan pengertian yang sama bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam
hidup bermasyarakat maupun dalam lapangan ketatanegaraan.

Adat dan Hukum Adat


• Kriteria pembeda adalah sanksi;
• Menggunakan perbedaan hukum menurut pola pemikiran barat dalam memahami hukum;
• Salah satu ciri hukum menurut pemikiran barat adalah SANKSI.

Perbedaan antara Konsep Hukum menurut Pemikiran Barat dan Adat


Menurut M. Koesnoe
• Konsep hukum barat memandang bahwa individu adalah makhluk yang merdeka;
• Punya kepentingan yang harus dipenuhi secara maksimal;
• Perlu menertibkan segala usaha dalam memenuhi kepentingan tersebut;
• Perlu adanya sanksi sebagai jaminan dilaksanakannya penertiban.

Pandangan Adat
• Individu adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat;
• Individu adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai fungsi masing-masing untuk
melangsungkan dan kelangsungan masyarakat;
• Tak ada ketentuan adat yang memerlukan syarat yang menjamin berlakunya dengan
menggunakan paksaan (sanksi);
• Sebutan hukuman (sanksi) adat merupakan pandangan yang salah kaprah, karena hukuman
menurut hukum adat adalah upaya membawa kembalinya keseimbangan yang terganggu karena
adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat;
• Ukuran untuk menentukan adat dan hukum adat dengan menggunakan sanksi adalah kurang tepat.

Roeflof van Dijk


• Hukum adat adalah istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasi dalam kalangan
orang Indonesia asli dan kalangan timur asing;
• Hukum Adat Meliputi peraturan-peraturan hukum yang mengatur hidup bersama orang Indonesia;
• Kurang tepat hukum adat diartikan sbg Hukum Kebiasaan —> Hukum Kebiasaan adalah
kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya demikian lamanya orang bisa
bertingkah laku menurut cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan diinginkan
dari masyarakat.

Ter Haar
• Terkenal dengan Teori Beslissingenleer (teori Keputusan);
• Hukum Adat adalah seluruh peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat
hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara
serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka. Keputusan tersebut dapat berupa
persengketaan, tapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah;
• Hukum Adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakatnya;
• Hukum Adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan para warga masyarakat —> keputusan yang
berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat), yang membantu dalam pelasanaan perbuatan
hukum;
• Keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa berkaitan dengan hukum adat;

Argumentasi Ter Haar


• Tidak ada alasan untuk menyebut sesuatu dengan sebutan “HUKUM” selain dari apa yg telah
diputuskan sebagai hukum oleh pejabat-pejabat masyarakat yang bertugas menetapkan dalam
keputusan-keputusannya;
• Ter Haar berusaha mempositifkan Hukum Adat;
• Pendapat Ter Haar dipengaruhi oleh John Chipman Gray dari Inggris, yang terkenal dengan teori
“All the law is judge made law” (semua hukum adalah hukum keputusan)
• Jadi, besslinsingenleer —> ajaran keputusan; Hukum Adat ada karena adanya keputusan.

Holleman & Logemann


• Tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Ter Haar;
• Namun, setuju dengan pendapat Van Vollenhoven.

Unsur Berlakunya Hukum Adat


• Unsur Kenyataan: pada kenyataannya, adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh
rakyat.
• Unsur Psikologis: terdapat adanya keyakinan rakyat bahwa adat tersebut memupunyai kekuatan
hukum, sehingga menimbulkan adanya kewajiban hukum (opinio juris necessitatis).

Unsur Pembentuk Hukum Adat


• Menurut Van Den Berg — Teori Receptio in Complexu: Hukum Adat berasal dari hukum Agama
dan Penyimpangan-penyimpangannya.
• Menurut Van Vollenhoven: Hukum Adat berasal dari Hukum Tidak Tertulis (hukum asli penduduk
Melayu Polinesia), dan Hukum Tertulis (Hukum Agama).

Faktor-faktor yang memengaruhi proses perkembangan Hukum Adat


• Faktor magis dan animisme
• Faktor agama
• Faktor kekuasaan-kekauaan yang lebih tinggi dari persekutuan Hukum Adat
• Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing

PERTEMUAN 3 | 13.09.2023
Bu Soelistyowati

Corak dan Sistem Hukum Adat


Sistem Hukum Adat
Menurut Soepomo (1996)
• Sistem hukum adalah kebulatan aturan-aturan yang berdasarkan suatu kesatuan alam pikiran.
• Untuk mengetahui sistem hukum adat harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di
dalam masyarakat Indonesia.
• Karena sistem hukum adat memiliki corak yang berbeda dengan sistem hukum lain.
Menurut Subekti dalam Seminar Hukum Nasional IV Maret 1979
• Sistem: Suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-
bagian yang berkaitan satu sama lain tersusun menurut suatu rencana pola, hasil dari suatu
penulisan untuk mencapai suatu tujuan.
• Sistem Hukum Adat: sistem yang sesuai dengan karakter bangsa karena sistem hukum adat
merupakan satu kesatuan dari adat dan adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu
bangsa.
Menurut Soerojo W
• Hukum merupakansuatu sistem kompleks norma-nomanya itu merupakan suatu kebulatan sebagai
wuud pengejawantahan dari kesatuan alam pikiran yng hidup dalam masyarakat.
• Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tentu berbeda dengan
alam pikiran yang menguasai hukum barat.

Corak Hukum Adat


• Tradisional
Aturan hukum itu ada dan dipertahankan secara turun-temurun.
• Keagamaan/Religio Magis
- Mengakui ada yang lebih dari manusia;
- Keagamaan secara sederhana, yaitu kepercayaan, penunggu desa, animisme, dinamisme.
• Kebersamaan/kegotongroyongan
- Mengutamakan kepentingan bersama, atau kepentingan pribadi diliputi kepentingan
bersama;
- Menurut M. Koesnoe, dalam konsep pemikiran hukum adat, individu dipandang sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, dan fungsi dari masing-masing individu
adalah dipandang untuk melangsungkan fungsi dan kelangsungan masyarakat;
- Komunal/kebersamaan sebagai kebiasaan warga desa melakukan kerja ‘gugur gunung’
nampak pola dalam kebiasaan hidup tolong menolong, bantu membantu;
- Segala sesuatu menjadi milik dan tanggung jawab bersama;
- Jika ada seseorang yang melakukan pelanggaran, tidak cukup dengan menghukum pelaku
tetapi diperlukan pemulihan.
• Konkrit dan visual, terang dan tunai
Konkrit
- Jelas, nyata, berwujud;
- Satunya perkataan dengan perbuatan, yaitu perbuatannya adalah realisasi daripada
perkataannya;
- Perkataan ‘jual’: nyata-nyata ada tindakan pembayaran kontan dari pembeli dan
penyerahan barang dari penjual.
Visual/Kelihatan
- Adanya pemberian tanda-tanda kelihatan untuk bukti penegasan/peneguhan dari apa yang
telah dilakukan dan yang akan dilakukan;
- Misalnya pemberian peningset (Jawa), penyancang (Periangan) -> penegasan dari
pertunangan;
- Panjer pada transaksi jual-beli: penegasan terhadap kehendak membeli, penjual tidak boleh
menjual ke orang lain;
- Selain merupakan penegasan, tanda-tanda kelihatan ini digunakan sebagai pemberitahuan
untuk pihak ketiga.
• Terbuka dan sederhana
- Terbuka: dapat menerima perubahan atau masuknya unsur-unsur dari luar;
- Sederhana: bersahaja, tidak rumit.
• Dapat berubah dan menyesuaikan diri
- Hukum Adat dapat berubah menurut keadaan, waktu, dan tempat;
- Contohnya penentuan bagian anak angkat.
• Tidak dikodifikasi
Kebanyakan tidak tertulis.
• Musyawarah dan mufakat
Jika terjadi perselisihan, tidak berhadap-hadapan tapi dicari jalan keluar yang terbaik.

Sistem Hukum Adat Sistem Hukum Barat


Tidak mengenal Mengenal Hak Kebendaan (zakelijke rechten) dan Hak Perorangan
(personlijke rechten)
Tidak mengenal perbedaan Mengenal perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat
Tidak mengenal perbedaan Membedakan pelanggaran hukum pidana dan hukum perdata

Penyebab Perbedaan
• Corak dan sifat hukum adat dan hukum barat berbeda;
• Pandangan hidup yang mendukung:
- Barat, bersifat liberalistis dan rasionalistis-intelektualistis;
- Timur, bersifat pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis, tidak ada pembatasan
antara dunia lahir dan dunia gaib.

Sistem Hukum Adat


• Dibandingkan dengan Hukum Barat (Hukum Eropa), maka sistematik Hukum Adat sangat
sederhana;
• Tidak sistematis;
• Sistem Hukum Adat mendekati sistem Hukum Inggris (Common Law System).

Perbedaan terletak pada bahan


• Bahan sistem Hukum Adat: Hukum Indonesia asli;
• Bahan Common Law System: hukum memuat banyak unsur, yaitu unsur hukum Romawi kuno
yang konon katanya telah mengalami receptio in complexu;
• Di Inggirs, dikenal adanya ‘juru damai’ (justice of the peace), mirip dengan sistem peradilan adat
(peradilan desa) di Indonesia yang menyelesaikan perkara perselisihan secara damai.

Hukum Adat sebagai Aspek Kebudayaan


• Hukum yang terdapat dalam masyarakat, betapa sederhana dan kecil pun masyarakat itu menjadi
cerminnya;
• Karena tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya sendiri,
mempunyai struktur dan alam pikiran sendiri.

Von Savigny
• Hukum mengikuti ‘volkgeist’ (jiwa/semangat rakyat) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku;
• Karena ‘volkgeist’ masyarakat berlainan, maka hukum masyarakat itu berlainan pula;
• Hukum adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan
pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu
berlaku.

Corak Hukum Adat


menurut M. Koesnoe
• Corak hukum adat hanya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran hukum adat yang menjadi
jiwanya;
• Ajaran itu dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah, petitih-petitih, kata-kata berkias, riwayat;
• Bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kias
- Hukum adat lebih menyukai bentuk tidak tertulis, apa yang ditulis sebagai bentuk rumusan
dapat menimbulkan salah sangka (tugas bagi kalangan hukum adat untuk banyak
mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar tahun pelbagai kemungkinan arti kiasa yang
dimaksud);
- Hukum Adat tidak menolak bentuk simbol.
• Masyarakat sebagai keseluruhan menjadi pokok perhatiannya
- Dalam hukum adat, kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai
suatu kesatuan yang utuh;
- Yang dipandang bukan seseorang individu dalam persoalan hak-haknya, tetapi eksistensi
yang sejahtera meliputi keseluruhan;
- Hukum Adat mendasarkan pada prinsip kekeluargaan, prinsip ini berpokok pada asas
kebersamaan;
- Sistem hukum adat tidak dikenal pembagian yang tajam antara urusan pribadi dan urusan
umum (asas senasib sepenanggungan)
• Hukum Adat lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok saja
- Lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut waktu, tempat, dan keadaan di mana
segalanya diukur dengan asas pokok, yaitu kerukunan, kepatutan, dan kelarasan dalam
hidup bersama;
- Hukum adat tidak tertarik dkepada peraturan hak dan kewajiban yang merinci ketat dan
tepat dengan batasan yang mati tentang artinya;
- Pengisian lembaga dilakukan dengan memperhatikan soalnya dalam kaitannya dengan
tuntutan waktu atau masa, tmpat dan keadaan atau suasana dalam kerangka toleransi antara
ketiga asas-asas adat tersebut (desa, kala, patra);
- Hukum adat oleh pengetahuan Barat disebut sebagai hukum yang bersifat konkret.
• Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas Hukum Adat untuk
melaksanakan
- Sebagai konsekuensi watak ketiga yang hanya mencukupkan diri dengan asas-asas pokok
dan kerangka kelembagaannya saja;
- Perinciannya menuntut keahlian, kejujuran, dan wawasan kebijaksanaan yang memadai
untuk menjadi petugas hukum adat;
- Dengan kepercayaan yang begitu besar untuk menggarap asas-asas pkok, maka pribadi
petugas hukum harus memenuhi persyaratan kecakapan, kejujuran, dan kesusilaan serta
kepemimpinan yang tinggi.

Sifat Hukum Adat


menurut para pengamat Hukum Adat dari kalangan pengetahuan Hukum Barat
Konkret
• Hukum adat sangat memperhatikan setiap persoalan yang dihadapkan kepadanya secara khusus
dengan pendirian bahwa setiap soal tidak sama dengan soal yang lainnya sekalipun serupa.
Supel
• Hukum adat dibangun dengan asas-asas pokk saja;
• Dalam praktek hukum adat, tidak ada suatu soal yang tidak dapat dicari penyelesaiannya;
• Yang dipentingkan adalah asas, desa, kala, patra (tempat, waktu, dan keadaan) dari suatu
persoalan.
Dinamis
• Hukum adat prinsipnya adalah hukum rakyat yang tidak ada pembuatnya secara pasti ditetapkan
untuk membuat peraturan baru pada setiap ada perubahan keadaan dan perubahan kebutuhan
hukum;
• Sebagai hukum rakyat yang mengatur kehidupan yang terus menerus berubah dan berkembang,
pembuatnya adalah rakyat sendiri;
• Hukum adat menjalani perubahan-perubahan yang terus menerus melalui keputusan-keputusan
atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan
temu pikir melalui permusyawaratan;
• Hal-hal lama yang tidak lagi dapat dipergunakan atau dipakai secara tidak mencolok diubah atau
ditinggalkan.

Hukum sebagai Aspek Kebudayaan


menurut Soerjono Soekanto (1981)
1) Cara (usage) -> sumber: kesusilaan 4) Adat istiadat (custom)
perorangan 5) Hukum adat
2) Kebiasaan (folkways) 6) Lembaga sosial
3) Tata kelakuan (mores) -> sumber: 7) Budaya -> mendapat penjiwaan
kesusilaan umum
• Hukum adat merupakan penjelmaan struktur alam pikiran masyarakat, yang merupakan bagian
dari kebudayaan masyarakat tersebut;
• Hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup
yang keseluruhannya merupakan kebudayaan tempat hukum itu berlaku (Soerojo, 1979);
• Hukum adat adalah aspek kebudayaan;
• Hal ini sesuai dengan ajaran Von Savigny bahwa “Hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat
(volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.”

*PERTEMUAN 4 | 20.09.2023
Bu Soelistyowati

Dasar Berlakunya Hukum Adat


Keberlakuan Kaidah Hukum — segi dasar berlakunya (keberlakuan) hukum
• Keberlakuan Faktual/Empiris — sosiologis (keberlakuan hukum = efektivitas hukum);
• Keberlakuan Formal/Normatif — yuridis (keberlakuan hukum = kaidah berlandaskan kaidah yang
lebih tinggi);
• Keberlakuan Evaluatif — filosofis (keberlakuan hukum = isinya bernilai).

Dasar Berlakunya Hukum Adat secara Sosiologis


• Hukum adat dikatakan sebagai the living law karena Hukum Adat berlaku di masyarakat,
dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur pengundangan dalam lembaran
negara;
• Secara sosiologis, dasar berlakunya Hukum Adat di Indonesia dapat dilihat dari kenyataan di
masyarakat, yaitu apakah Hukum Adat benar-benar berlaku dan ditaati oleh para warga
masyarakat atau tidak?

Sudut Pandang Keberlakuan Hukum Adat


• Secara internal — ilmu dan sistem hukum adat
• Secara eksternal — ilmu dan sistem hukum di luar hukum adat

Secara Internal
• Keberlakuan Secara Faktual
Unsur dalam keberlakuan Hukum Adat (Soerojo, 1979)
- kenyataan: patuh atau tidak?
- psikologis: konsep Hukum Adat menurut Bellefroid
• Keberlakuan Secara Filosofis
Hukum Adat bersumber langsung dari nilai-nilai dan pandangan hidup masyarakats

Secara Eksternal
• Selain secara faktual dan filosofis, keberlakuan hukum adat juga harus ditopang atau dipayungi
oleh suatu hukum positip (legalisasi keberlakuan hukum adat dlm suatu peraturan per-UU-an);
• Melahirkan Keberlakuan Secara Yuridis.

Keberlakuan hukum Adat Secara Yuridis-Formal


• Pengakuan eksistensi Hukum Adat dan penerapannya melalui sistem hukum negara
• Dapat ditinjau dalam lintasan sejarah:
1) Zaman Penjajahan
2) Era Kemerdekaan

Era Pemerintahan Kolonial Belanda


• Adanya semangat liberalisme — semangat bewuste rechtpolitiek;
• Pembentukan peraturan perundang-undangan di tanah jajahan -> A.B
Pengaturan tentang Hukum Adat
• Pasal 11 A.B —> Pasal 75 R.R 1854 (lama) —> Pasal 75 R.R 1854 (baru) —> Pasal 131 ayat 2
sub b I.S

Era Kemerdekaan
• UUD 1945: Pasal II AP —> Pasal 131 I.S
• Konstitusi RIS: Pasal 164 ayat (1); Pasal 192 ayat (1) —> Pasal 131 I.S
• UUDS 1950: Pasal 104 ayat (1); Pasal 142 —> Pasal 131 I.S
• Dekrit 5 Juli 1959
- UUD 1945: Pasal II AP —> Pasal 131 I.S
- UUD 1945 Amandemen: Pasal I AP —> Pasal 131 I.S; Pasal 18B ayat (2)

Pengaturan tentang Hukum Adat di Peraturan Perundang-undangan Lain


• Pasal 146 ayat (1) Konstitusi RIS —> Pasal 104 ayat (1) UUDS 1950
• UU Kekuasaan Kehakiman: Pasal 17 UU 19/1964 jo. Pasal 23 ayat (1) UU 14/1970 jo. Pasal 25
ayat (1) UU 4/2004

Dasar Berlakunya Hukum Adat secara Filosofis


• Hukum Adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sesuai dengan perkembangan
zaman, yang bersifat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai yang tertuang dalam pembukaan
UUD 1945
• Penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum sangat berarti bagi Hukum Adat karena Hukum
Adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat menjelmakan perasaan keadilan yang nyata
dan hidup di kalangan rakyat dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia
• Hukum Adat secara Filosofis merupakan hukum yang berlaku sesuai Pancasila sebagai
pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.
• Jadi secara Filosofis dasar berlakunya Hukum Adat di Indonesia dilakukan dengan cara
mengaitkan sifat, ciri atau corak Hukum Adat dengan nilai-nilai luhur pandangan hidup bangsa
Indonesia yaitu Pancasila.

Dasar Berlakunya Hukum Adat secara Sosiologis


• Hukum Adat dikatakan sebagai the living law karena Hukum Adat berlaku di masyarakat,
dilaksanakan & ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur pengundangan dalam lembaran
negara.
• Secara Sosiologis dasar berlakunya Hukum Adat di Indonesia dapat dilihat dari kenyataan di
masyarakat yaitu apakah Hukum Adat benar-benar berlaku dan ditaati oleh para warga
masyarakat atau tidak.
• Dengan kata lain Hukum Adat benar-benar hidup sebagai The Living Law.

Dasar Berlakunya Hukum Adat secara Yuridis


• Dasar berlakunya Hukum Adat di Indonesia dari segi Yuridis dapat dilihat dari berbagai peraturan
perundang-undangan sejak zaman penjajahan Belanda sampai Indonesia merdeka.

Zaman Kolonial
• Pada Zaman penjajahan Jepang ada peraturan Dai Nippon, yaitu Osamu Sirei.
• Pasal 3 menentukan bahwa peraturan sebelumnya juga masih berlaku (ketentuan Pasal 75 RR).
• Zaman penjajahan Belanda : Pasal 131 & 163 IS tentang Pembagian Hukum dan Penggolongan
Penduduk.
Zaman Kemerdekaan
• Ketentuan UUD 1945, menurut Iman Sudiyat: “dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang
memuat secara tegas mengenai dasar berlakunya Hukum Adat”.
• UUD 1945 hanya menciptakan pokok pikiran suasana kebatinan dari UUD RI. Pokok pikiran
tersebut. Menjiwai cita-cita hukum negara baik tertulis maupun tidak tertulis.

Ketentuan UUDS
• Pasal 32 UUDS: Tiap-tiap orang yang ada di lingkungan wilayah Indonesia harus tunduk pada
aturan hukum tertulis maupun tidak tertulis.
• Pasal 32-104 bahwa di Indonesia berlaku Hukum Adat.

Konstitusi RIS
• Pasal 146: Segala keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara
hukuman harus menyebut dasar hukum berupa UU dan aturan-aturan Hukum Adat yang dijadikan
hukuman itu.

Peraturan Perundang-undangan
• Tap MPRS Nomor II/MPRS/1960
Asas pembinaan hukum nasional agar sesuai dengan haluan negara dan berlakunya Hukum Adat
yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur
• UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan
Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil
• UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA
• UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

PERTEMUAN 5 | 27.09.2023
Prof Hajati

Persekutuan Hukum
Definisi Persekutuan Hukum
• Ter Haar
- Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkat rakyat jelata terdapat pergaulan hidup di dalam
golongan-golongan yang bertingkahlaku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir batin;
- Golongan-golongan itu punya tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang dalam
golongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang
sewajarnya menurut kodrat alam (masyarakat hukum/persekutuan hukum).

Masyarakat Hukum/Persekutuan Hukum


• Kesatuan manusia yang teratur; • Menetap di suatu daerah;
• Mempunyai aturan-aturan tertentu; • Mempunyai penguasa;
• Mempunyai kekayaan, berwujud atau tidak berwujud;
• Setiap anggota persekutuan tidak akan meninggalkan atau melepaskan diri dari ikatan itu, apalagi
membubarkan persekutuan.

Pasal 1 ayat (3) PerMen Agraria 5/1999 -> sudah dicabut


“Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat tatatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.”

Pasal 1 angka 1 PerMen Agraria dan ATR 18/2019


“Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) adalah sekelompok orang yang memiliki identitas
budaya yang sama, hidup secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan
asal-usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat
milik bersama serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat sepanjang
masih hidup sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Faktor Persekutuan Hukum terbagi dalam:


• Faktor Genealogis • Faktor Genealogis-Teritorial
• Faktor Teritorial

Faktor Genealogis
• Unilateral
- Patrilinial (pertalian darah menurut garis bapak)
a) murni b) beralih-alih: perempuan
- Matrilinial (pertalian darah menurut garis ibu)
• Bilateral/Parental (pertalian darah menurut garis bapak dan ibu)

Faktor Teritorial
• Desa • Wilayah • Perserikatan Desa

Desa
• Segolongan orang terikat pada satu tempat kediaman;
• Ada batas-batas tertentu, ada batas inti/induk dan dusun-dusun/teratak-teratak;
• Dusun-dusun tersebut tidak berdiri sendiri tapi pancaran dari desa induk, artinya kepala desa dan
pejabat-pejabat lainnya semuanya tinggal di desa induk, contohnya desa di Jawa dan Bali.
UU 6/2014 tentang Desa
• Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daerah/Wilayah
• Bila dalam daerah tertentu terletak beberapa desa yang masing-masing punya tata susunan dan
pengurus yang sejenis semuanya merupakan bawahan dari daerah.
• Dusun-dusun tersebut dan desa induk merasa tergabung dalam satu daerah persekutuan hukum
• Contohnya kuria di Angkola dan Mandailing (Tapanuli Selatan), marga di SumSel.

Perserikatan Desa
• Ada sejumlah desa yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri;
• Letak desa-desa berdekatan;
• Desa-desa itu mengadakan ikatan untuk mengurus kepentingan bersama: irigasi, peradilan,
keamanan, pertanahan;
• Contohnya perserikatan Huta-huta di tanah Batak.

Genealogis Teritorial
• Pada model ini pada sebuah daerah/wilayah hanya ditinggali oleh orang-orang yang berasal dari
satu keturunan
- Misalnya masyarakat Enggano, Buru, Flores, dan Seram
- Dalam perkembangannya, walaupun terdiri dari satu clan, tapi secara bertahap di masyarakat
pesisir mengalami percampuran.
• Daerah Tapanuli marga yang terdiri dari Huta-huta di mana masing-masing Huta mendiami
daerah-daerah. Karena perkembangan, mereka membentuk marga baru tersebut. Tidak terlepas
dari marga lama.
- Marga baru disebut marga rakyat
- Marga lama disebut marga raja, karena menguasai tanah
• Pada masyarakat Sumba Tengah dan Sumba Timur didapatkan suatu proses, bahwa klan yang
menempati sebuah daerah kmd kedatangan clan baru yang menguasai dan mengalahkan clan
lama. Karena clan lama kalah, kekuasaan beralih ke clan pendatang, namun penguasaan terhadap
tanah tetap menjadi hak clan asli (lama).
• Variasi
- Masing-masing clan, antara clan yang satu dan yang lain tidak ada hubungan famili tinggal
pada dusun yang mempunyai daerah masing-masing;
- Keluar: merupakan satu kesatuan, yaitu Nagari/marga;
- Ada pada masyarakat Minangkabau dan Rejang.

Susunan Persekutuan-persekutuan Hukum


• Ada perbedaan susunan persekutuan-persekutuan hukum di berbagai daerah di Indonesia;
• Sehingga ada perbedaan aturan adat yang berlaku di berbagai daerah;
• Suatu daerah yang garis-garis besar, corak, dan sifat hukum adat seragam — Van Vollenhoven
menyebut rechtskringen (19 lingkaran hukum)
Aktivitas Kepala Rakyat
• Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian yang erat antara
tanah dan persekutuan yang menguasai tanah itu;
• Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum, supaya
hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya (pembinaan secara preventif);
• Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu dilanggar (pembinaan
secara represif).

Tugas Pemeliharaan dan Penyelenggaraan Hukum


• Di Jawa, desa mengenal pembagian warga desa dalam golgol: sikep, gogol, kuli gandok;
• Dalam urusan tanah, bantuan kepala rakyat adalah mutlak. Dalam hal jual lepas, sende, sewa
tanah, bantuan Kepala Rakyat adalah mutlak;
• Membagi warisan di desa biasanya berlaku di bawah pimpinan kepala desa;
• Kepala rakyat campur tangan dalam perkawinan.

Hak dan Kewajiban Kepala Desa menurut Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) Stb. 1906 No.
83 & Stb. 1929 No. 227
• Mengurus rumah tangga desa dengan bantuan pemerintah desa;
• Menetapkan keputusan desa setelah bermbug dengan warga desa;
• Mengurus dan memelihara pekerjaan umum, seperti selokan-selokan, jorongan, jembatan, tanah-
tanah lapang, waduk air, tempat pemberhentian perahu, dan lainnya. Bangunan yang dipakai
untuk kepentingan umum;
• Mengurus, memelihara segala harta benda milik desa seperti gedung, lumbung, balai desa,
langgar atau masjid dan bangunan-bangunan lain tidak terkecuali tanah desa;
• Untuk menjalankan tugasnya tadi kepala desa berhak mengundang warga yang berkewajiban
untuk menjalankan pekerjaan yang telah ditetapkan oleh aturan desa.
• Mengurus desa, memelihara yayasan desa, misalnya sekolahan desa, lumbung, bank, tambangan,
pemandian, pasar, pasar hewan.
• Melakukan pengawasan atas segala hal, yang mengenai kepentingan desa dan mengusahakan
kepentingan desa.
• Kepala desa mewakili desanya di dalam dan di luar hukum bertanggungjawab atas kerugian yang
diderita oleh desa yang disebabkan oleh kesalahannya.
• Menjaga ketentraman, ketertiban dan keamanan dalam desa.

Suasana Tradisional Masyarakat Desa


• Religius • Kemasyarakatan/komunal • Demokratis

Istilah Persekutuan Hukum Adat


• Nagari: terdiri dari beberapa suku yang dipimpin kepala suku + pemufakatan penghulu Andiko
• Famili: penghulu Andiko
• Jurai: rumah

PERTEMUAN 6 | 04.10.2023
Prof Hajati

Hukum Tanah
Hak Ulayat Hak Purba
Hak Pertuanan Beschikkingrecht
Hak yang dipunyai oleh suku atau clan sebuah serikat desa atau biasanya oleh sebuah desa untuk
menguasai seluruh tanah seisinya dalam wilayahnya.

Berlakunya Hak Ulayat


Ke Dalam
• Memberikan izin kepada warga persekutuan untuk mengambil hasil hutan dan membuka tanah
• Izin kepada penguasa diperlukan untuk kepentingan persekutuan
Ke Luar
• Pada dasarnya, orang di luar persekutuan tidak boleh membuka tanah di dalam persekutuan, tetapi
harus izin dan membayar uang pemasukan/mesi/rekognisi -> hak membuka tanah (Hak atas
Tanah) — ada batas waktunya, membayar menandakan bahwa tanah tersebut bukan miliknya

Perbedaan
• Izin bagi warga persekutuan untuk mengatur agar kepentingannya tidak berbenturan;
• Izin dan membayar mesi, membuktikan yang bersangkutan bukan warga persekutuan dan
membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan bukan miliknya.

Berlakunya Hak Ulayat ke Dalam


Warga masyarakat Hukum Adat mempunyai hak terhadap tanah wilayahnya (hak ulayat), yaitu:
• Membuka tanah;
• Hak untuk memungut hasil hutan.
vide Pasal 16 UUPA, sebenarnya bukan Hak atas tanah, tetapi karena UUPA didasarkan pada
Hukum Adat, kedua hak tersebut masuk sebagai Hak atas Tanah.

Pembukaan tanah dapat dilakukan:


• Warga masyarakat hukum adat secara bersama-sama di bawah pimpinan kepala adat;
• Warga masyarakat hukum adat secara perorangan.

Cara pembukaan tanah yang dilakukan secara bersama-sama di bawah pimpinan kepala adat:
• Mathok sirah (wong), mathok galeng: Gogol Tetap
• Mathok sirah (wong), gilir galeng: Gogol Tidak Tetap
• Bluburan

Pembedaan Tanah Gogolan


• Tanah Gogol Tetap: tingkat tanahnya subur
• Tanah Gogol Tidak tetap: tingkat kesuburannya kurang
Sejak 24 September 1960, berdasarkan Pasal 7 Aturan Konversi, Tanah Gogol Tetap dikonversi
menjadi Hak Milik, sedangkan Tanah Gogol Tidak Tetap dikonversi menjadi Hak Pakai.
Apabila suatu tanah ditelantarkan, dulu akan kembali menjadi milik Persekutuan Hukum,
sedangkan sekarang menjadi milik Negara.

Hubungan Hak Ulayat dengan Hak Perorangan


• Semakin maju dan bebas penduduk dalam usaha-usaha pertaniannya, semakin lemahlah hak
ulayat itu dengan sendirinya;
• Hak ulayat dan hak perorangan itu bersangkut paut dalam hubungan kempis mengembang, desak
mendesak, batas-membatasi, mulur mungkret tiada henti;
• Bila tanah ditelantarkan maka tanah itu kembali menjadi wilayah persekutuan sehingga sifatnya
elastis tergantung pada hak perseorangan
• Bila hak perseorangan menguat, hak ulayat melemah dan sebaliknya

Kedudukan Hak Ulayat pada Masa Penjajahan Belanda


• Domein Verklaring;
• Tanah yang tidak dapat dibuktikan pemiliknya merupakan tanah Negara;
• Diberikan kepada investor asing — hak domein verklaring;
• Hak Ulayat disebut beschikkingsrecht, ada pengakuan terhadap persekutuan hukum, jadi pada
masa penjajahan Belanda jelas diatur.

Pengaturan Hak Ulayat


• Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945
• Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA
• Penjelasan Umum Angka II Nomor 3 UUPA
• PerMen Agraria/Kepala BPN 5/1999 tentang penyelesaian sengketa hak ulayat-> telah dicabut
• Keppres 34/2003 dan Perpres 36/2005
• PerMen ATR 9/2015 -> dicabut degan PerMen ATR 10/2016 (Hak Komunal) -> telah dicabut
• PerMen ATR 18/2019

Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118 — Domein Verklaring


Pasal 1
• Semua tanah (di Indonesia) yang tidak dapat dibuktikan bahwa tanah tersebut adalah tanah
dengan hak eigendom adalah domein Negara.
Bedanya dengan UUPA, Negara memiliki Hak Menguasai Negara, bukan Hak Milik Negara

Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA


• Pasal 3 dan Pasal 5
• Eksistensi hak ulayat masih diakui
• Sepanjang masih ada, tidak boleh dimunculkan hak ulayat lagi
• Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, tidak ada batasan yang jelas
• Pasal 3 dan Pasal 5 tidak ditindaklanjuti dengan pasal-pasal yang lain atau berdiri sendiri
• UUPA seolah-olah tidak mengatur tentang hak atas tanah masyarakat Hukum Adat
• UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat

Pengakuan Hak Ulayat


• PerMen Agraria/Kepala BPN 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat
• Tujuan: untuk melaksanakan urusan pertanahan dalam kaitannya dengan hak ulayat yang masih
ada di daerah tersebut

Kriteria Penentu Adanya Hak Ulayat


Pasal 2 PerMen Agraria/Kepala BPN 5/1999
• Adanya masyarakat hukum adat tertentu
• Adanya hak ulayat yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup
masyarakat hukum adat
• Adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat
yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat
Kriteria di atas bersifat kumulatif
Menurut Pasal 1 PerMen Agraria/Kepala BPN 5/1999
• Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu
atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat
dari SDA, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,
yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus
antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.

Hak Ulayat
Pasal 1 PerMen Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 —> telah dicabut dengan PerMen ATR
9/2015 dan PerMen ATR 10/2016
• Kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber
daya alam (SDA), termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan
tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.
• Salah satu lingkup hak ulayat adalah tanah, yang disebut “tanah ulayat”. Tanah ulayat menurut
Pasal 1 angka 2 Permen Agraria/Kepala BPN 5/1999, adalah “bidang tanah yang di atasnya
terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu.”

PerMen ATR 9/2015 dan PerMen ATR 10/2016


• Hak Ulayat diganti dengan Hak Komunal;
• Hak Komunal atas Tanah (Hak Komunal) adalah hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat
hukum adat, atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada
dalam kawasan tertentu (Pasal 1 angka 1 PerMen ATR 10/2016).

PerMen ATR 18/2019


• Mencabut PerMen ATR 10/2016
• Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atau yang serupa itu adalah hak kesatuan
masyarakat hukum adat yang bersifat komunal untuk menguasai, mengelola, dan/atau
memanfaatkan, serta melestarikan wilayah adatnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat yang
berlaku
• Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah tanah persekutuan yang berada di
wilayah masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada

Masyarakat Hukum Adat


Pasal 1 angka 3 PerMen Agraria/Kepala BPN 5/1999
• Sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Masyarakat Hukum Adat dianggap masih ada apabila:
• terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuanketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
• terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
• terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat
yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
(Pasal 2 ayat (2) PerMen Agraria/Kepala BPN 5/1999)
Isi Wewenang Hak Ulayat
• Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (pemukiman, bercocok tanam, dan lainnya),
dan persediaan (pembuatan pemukiman/persawahan baru, dan lainnya), dan pemeliharaan tanah;
• Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu
pada subjek tertentu)
• Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang berkenaan dengan tanah (jual-beli, warisan, dan lainnya)

Lahirnya Wewenang dan Kewajiban dalam Hak Ulayat


• Wewenang dan kewajiban dalam hak ulayat lahir dari hubungan secara lahiriah dan batiniah
secara turun menurun antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
• Hubungan itu selain merupakan hubungan lahiriah, juga batiniah yang bersifat religio-magis.
• Hubungan tersebut pada dasarnya merupakan hubungan yang bersifat abadi.

UU 41/1999 tentang Kehutanan


Pasal 1
Angka 4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Angka 5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Pasal 4
(1) Semua hutan di dalam wilayah RI. termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakayt.
(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang
kepada Pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan.
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai
bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta
mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai Kehutanan.
(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional.
Pasal 5
(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara; dan
b. hutan hak.
(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), dan
hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi,
maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pasal 67 ayat (1)
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya
berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat
adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Penjelasan Pasal 67 ayat (1)
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara
lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaat; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.

Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012


• MK menegaskan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi
Hutan Negara.
• MK menghapus kata ‘negara’ dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, sehingga menjadi “Hutan
Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
• MK menafsirkan bersyarat Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang tidak dimaknai “Hutan
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (a), tidak termasuk hutan adat”, dan
menghapus frasa “dan ayat (2) dalam Pasal 5 ayat (3)”
• Mengubah ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa Hutan Negara dapat berupa
Hutan Adat.

PERTEMUAN 7 | 11.10.2023
Prof Hajati

Responsi

PERTEMUAN 8 | 01.11.2023
Prof Hajati

Transaksi Tanah
Macam Transaksi Tanah:
• Perbuatan hukum sepihak: pendirian desa, dan pembukaan tanah oleh warga persekutuan
• Perbuatan hukum 2 (dua) pihak

Perbuatan Hukum Sepihak


Pendirian Desa
• Sekelompok orang mendiami suatu tempat
• Membuat perkampungan di atas tanah itu
• Membuka tanah pertanian
• Mengubur orang yang meninggal
• Menjadi desa
• Ada hubungan Religio magis desa & tanah
• Tumbuh hak persekutuan – Hak ulayat
Pembukaan Tanah oleh Warga Persekutuan
• A membuka tanah di wilayah persekutuan, ia menggarap tanah tersebut berarti ada hubungan
religio magis tanah dengan A.

Perbuatan Hukum 2 (dua) Pihak


• Inti transaksi adalah pengoperan/penyerahan dengan disertai pembayaran kontan dari pihak lain
pada saat itu juga.
• Penyerahan benda (sebagai prestasi)
• Perbuatan “menyerahkan” itu dinyatakan dengan “jual” (Indonesia), “Adol, sade” (Jawa).

Macam Transaksi Jual


• Menjual/Jual Gadai/Gadai Tanah
Adol Sende (Jawa), Menggadai (Minangkabau), ngajual akad/gade (Sunda), Menjual gade
(Riau/Jambi)
• Menjual/Jual Lepas
Adol plas, pati bogor, menjual lepas (Jambi/Riau)
• Menjual/Jual Tahunan
Adol Oyodan

Jual Gadai/Gadai Tanah


• Penyerahan sebidang tanah pertanian milik seseorang kepada orang lain untuk sementara waktu
yang sekaligus diikuti dengan pembayaran sejumlah uang secara tunai sebagai uang gadai dengan
ketentuan bahwa pemilik tanah baru dapat memperoleh kembali tanahnya apabila melakukan
penebusan dengan sejumlah uang yang sama kepada pemegang gadai.
• Pemberi Gadai = Pemilik Tanah/Penjual Gadai
• Pemegang Gadai = Pemilik Uang/Pembeli Gadai.
• Pemegang Gadai tidak dapat memaksa pemberi gadai untuk menebus tanahnya.
• Bila Pemegang Gadai membutuhkan uang ia diizinkan:
- Mengoperkan gadai (doorverpanden)
- Menggadakan kembali/menganak gadai (Onderverpanden)

Terjadinya Gadai Tanah


• Dalam praktek, Gadai Tanah kebanyakan dibuat secara tidak tertulis dan tidak diketahui oleh
kepala desa/kepala adat, seharusnya dibuat secara tertulis dan diketahui oleh kepala desa dan
kepala adat supaya perbuatan hukumnya menjadi terang.

Perbedaan antara Gadai Tanah dan Jaminan dengan objek tanah di Bank
• Pada Bank, sertifikat beralih kepada Bank, maka apabila debitur gagal membayar, akan dilakukan
eksekusi lelang terhadap tanah tersebut.
• Pada Gadai Tanah, sertifikat tetap pada Pemilik Tanah sebagai debitur, tetapi secara kenyataannya
tanah tersebut digunakan atau dimanfaatkan oleh kreditur.

Sifat Gadai Tanah


• Transaksi jual gadai tanah bukanlah perjanjian utang uang dg tanggungan/jaminan tanah,
sehingga pembeli gadai tidak berhak menagih uangnya dari penjual gadai.
• Penebus gadai tergantung kpd kehendak penjual gadai. Hak menebus dapat beralih kepada ahli
waris.

Mengoperkan Gadai
• Harus seizin penjual gadai, si pembeli gadai dapat mengoperkan gadai kepada pihak ke-3 →
terjadi pergantian subjek hubungan hukum antara penjual gadai dg penggantian gadai semula,
berubah menjadi hubungan hukum antara penjual gadai dg pembeli gadai yg baru.

Menggadaikan Kembali
Tanpa sepengetahuan dan seizin Penjual Gadai, maka Pembeli Gadai menggadaikan kembali tanpa
tanah itu kepada pihak ke-3, dengan perjanjian:
• Ia sewaktu-waktu dapat menebus tanah itu dari pihak ke-3 tersebut (menganakgadaikan)
Terjadi 2 (dua) perutangan:
• Antara penjual gadai/pemilik tanah semula dengan pembeli gadai/pemilik uang semula (secara
terang-terangan)
• Antara pembeli gadai/pemilik uang semula yang menjadi penjual baru dengan pihak ke-3 yang
menjadi pembeli gadai baru (secara sembunyi)

Gadai Tanah
• Perjanjian penggarap tanah, bukan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan tanah sebagai
jaminan utang.

Gadai Tanah (Hukum Adat)


• Gadai tanah tidak terdiri dari 2 (dua) perjanjian, tetapi 1 (satu) perbuatan hukum yaitu “Perjanjian
Penggarapan Tanah”
• Tidak mengenal “WANPRESTATIE”. Jadi bila janji menebus sudah terakhir tidak ditebus oleh
pemberi gadai,,sedang pemegang gadai perlu uang, maka pemegang gadai dapat diberi izin oleh
pemberi gadai untuk mengoperkan kepada orang lain (Door Verpanden).

Dalam Buku Ter Haar Bzn


• Gadai tanah dalam pandangan orang Barat disebut: “Verkoop Met Beding Van Wedering
Koop” (jual beli dengan hak untuk membeli kembali)
• Definisi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena:
- Gadai tanah terdiri dari satu perjanjian = perjanjian penggarap tanah, sedangkan “Verkoop”
terdiri dari 2 perbuatan hukum, yaitu: Perjanjian, dan Penyerahan (Levering)
- Hak menebus dalam sistem hukum adat tidak sama dengan membeli kembali dalam sistem
hukum barat (BW). Karena hak menebus tidak terikat waktu (hukum adat), sedangkan hak
membeli kembali dibatasi waktu menurut perjanjian para pihak.

Gadai tanah termasuk hak-hak tanah yang bersifat sementara yang dalam waktu singkat akan
dihapus karena ada sifat pemerasan. → Pasal 56 UUPA
“Untuk mengurangi sifat pemerasan maka diatur dalam UU Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian.”

Sesudah UUPA berlaku, Gadai diatur dalam UU Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian
• Pasal 16 ayat (1) h : Hak gadai sifatnya sementara. Artinya dalam waktu yang akan datang akan
diusahakan dihapuskan.
• UU itu berisi pembatasan terhadap lamanya waktu menggadaikan tanah & bermaksud
memberantas unsur-unsur pemerasan yang terdapat dalam transaksi gadai tersebut.
• Praktek menunjukkan bahwa hasil yang dinikmati pembeli gadai setiap tahunnya ternyata jauh
lebih besar dari bunga yang pantas dari uang pembeli gadai dahulu (Iman Sudiyat)
Pasal 7 UU Nomor 56/Prp/1960
(1) Tanah yang sudah digadaikan selama 7 tahun atau lebih, harus dikembalikan kepada pemilik
tanah/penjual gadai, tanpa ada kewajiban baginya untuk membayar uang tebusan.
Pengembalian tanah itu dilakukan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang terdapat di situ
selesai panen.
(2) Mengenai gadai yg berlangsung kurang dari 7 tahun, si pemilik tanah dapat memintanya
kembali setiap waktu setelah pemetikan hasil tanaman yang ada di situ, dengan membayar uang
tebusan yg besarnya dihitung menurut rumus :

Sebelum berlaku UU Nomor 56 /Prp /1960, jika akan menebus sebelum waktunya (kurang) maka
uang tebusannya sama dengan uang gadai pada waktu pertama kali.

Contoh Penebusan Gadai Tanah


Pada tahun 1955 Amir menggadaikan tanah pertaniannya kepada Budi dengan uang gadai sebesar
Rp7.000.000,-. Pada tahun 1961 akan ditebus.
a) Berapa besarnya uang tebusan yang harus dibayar oleh Amir kepada Budi?
b) Bagaimana jika ditebus pada tahun 1962?
c) Bagaimana jika ditebus pada tanggal 1 Januari 1960?

Putusan MA tanggal 22 Mei 1957


Pasal 4 ayat (2) PerMen Agraria & Pertanian Nomor 2/1963:
“Dalam hal ada perbedaan besar nilai uang yang beredar pada waktu sebidang tanah digadaikan
dan pada waktu akan ditebus, adalah sesuai dengan rasa keadilan apabila ke-2 belah pihak
masing-masing nemikul separo dari risiko kemungkinan berubah harga nilai uang rupiah, diukur
dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu.”

Penebusan Gadai Tanah dengan Emas


• Uang Gadai dalam rumus menggunakan nominal emas awal;
• Lalu, hasil akhir dari rumus ditambahkan dengan (selisih nominal akhir emas - nominal awal
emas)/2

Contoh Penebusan Gadai Tanah dengan Emas


Pada tahun 1955 Amir menggadaikan tanah pertanian kepada Budi dalam bentuk emas sebesar 100
gram. Harga emas per-gram pada tahun 1955 adalah 100.000,-. Pada tahun 1961 akan ditebus, harga
emas per-gram pada waktu tahun 1961 adalah Rp.200.000,-. Berapa uang tebusan yang harus
dibayar oleh Amir kepada Budi?

Persamaan Pand dan Gadai


• Perutangan yang timbul dari perjanjian timbal-balik di lapangan hukum harta kekayaan;
• Benda perjanjian harus diserahkan ke dalam kekuasaan si pemegang gadai atau pand.

Perbedaan Pand dan Gadai


Pand
• Perjanjian accesoir (tambahan) pada perjanjian utang uang selaku perjanjian prinsipalnya, dengan
benda bergerak yang berwujud sebagai tanggungan atau jaminan;
• Kekuasaan pemegang atau penerima pand tidak meliputi hak memakai, memungut hasil,
menyewakan, dan sebagainya;
• Pemberi pand harus melunasi utangnya dalam waktu yang ditetapkan, jika lalai, si pemegang
pand tidak berwenang mendaku benda jaminan. Sebagai kreditur dapat melelang benda pand atas
kekuasaan sendiri untuk memperoleh pelunasan dari piutangnya.
Gadai
• Perjanjian jual yang mandiri dengan tanah sebagai objeknya;
• Pembeli gadai berhak memanfaatkan dan memetik hasil dari benda gadainya;
• Pembeli gadai tidak dapat memaksa penjual gadai untuk menebus tanahnya, sebaliknya kapan
saja tanah itu ditebus harus dikembalikan;
• Hak menebus si penjual gadai tidak lenyap karena daluarsa.

Jual Lepas (Adol Plas)


Van Vollenhoven
• Jual lepas sebidang tanah atau perairan adalah penyerahan benda itu di hadapan orang0orang
yang ditunjuk oleh Hukum Adat dengan pembayaran sejumlah uang seketika atau kemudian;
• Penyerahan sebidang tanah milik seseorang kepada orang lain (sedesa) untuk selama-lamanya,
yang sekaligus diikuti dengan sejumlah uang secara tunai;
• Secara tunai tidak selalu diartikan lunas —> meski baru dibayar sebagian sudah dikatakan tunai.
• Misal: tanah dijual Rp5.000.000,- baru dibayar Rp1.500.000,- maka sudah dikatakan ‘tunai’
menurut Hukum Adat;
• Tapi, kalau dibayar Rp100.000,- maka disebut Uang Panjar atau Tanda Ikatan.
• Jadi, harus dibedakan antara tunai dan panjar.
• Panjar jika pembeli yang membatalkan jual-lepas, uang panjar tidak kembali, tetapi jika penjual
yang membatalkan maka uang panjar harus dikembalikan.

Unsur Jual Lepas


(dilakukan dalam 1 tahapan)
1) Unsur Perjanjian
2) Unsur Pembayaran/Tunai
3) Unsur Pengalihan Kebendaan
Ke-3 unsur ini berjalan seketika atau dilakukan dalam 1 tahap, dan semua benda langsung beralih
seketika. Unsur perjanjian —> riil, tunai, kontan (disaksikan kepada adat).

Beda dengan BW yang mengenal 2 tahapan unsur perjanjian


1) Unsur Perjanjian (bersifat obligatoir);
2) Unsur Pembayaran (tidak harus tunai)
3) Unsur Pengalihan Kebendaan (penyerahan yuridis)
Nomor 1 dan nomor 2 dilakukan dalam tahap ke-1, lalu nomor 3 dilakuakn dalam tahap ke-2.

Campur Tangan Kepala Adat dalam Jual-Lepas


• Mutlak, karena kepada adat atau kepala hak ulayat punya wewenang penuh mengatur perbuatan
hukum tentang tanah.
• Jual-lepas dilakukan pada kepala adat dengan 2 (dua) orang saksi. Di mana penjual menyatakan
menyerahkan haknya kepada pembeli yang diikuti pembayaran secara tunai.
Jual Tahunan/Jual Ayodan
• Penyerahan sebidang tanah milik seseorang kepada orang lain untuk sementara waktu (1 atau 2
kali musim panen).
• Dengan pembayaran sejumlah uang secara tunai yang dibayar di muka untuk jangka waktu
tertentu sudah berakhir, tanah dikembalikan kepada pemilik tanah.

PERTEMUAN 9 | 08.11.2023
Bu Ellyne

Tugas

PERTEMUAN 10 | 15.11.2023
Bu Ellyne

Hukum Kekerabatan
Hukum Kekerabatan adalah:
• Hukum Kekeluargaan • Hukum Kewangsaan • Hukum Sanak Keluarga

Hukum Kekerabatan adalah Hukum Adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi
seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga), kedudukan anak dan orang tua dan sebaliknya,
kedudukan anak dan kerabat dan sebaliknya, serta masalah perwalian anak
Berhubungan dengan suatu keturunan darah, meliputi:
• Keturunan • Memelihara anak piatu
• Hubungan anak dengan orang tua • Mengangkat anak
• Hubungan anak dengan keluarga

Sistem Kekerabatan
• Patrilineal • Matrilineal • Parental

Keturunan
• Ketunggalan leluhur yaitu ada perhubungan darah antara orang yang seorang dan orang yang lain
• 2 orang/lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang
seorang dari yang lain
• Ada hubungan hukum yang didasarkan kepada hubungan kekeluargaan antara orang tua & anak-
anaknya
• Di setiap daerah tidak sama atau ada perbedaan
• Persamaannya: Keturunan merupakan unsur yang esensiil serta mutlak, bagi suatu clan/kerabat,
supaya generasinya tidak punah.

Sistematika Keturunan
• Menyamping/Bercabang: Apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan
leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau se-kakek-nenek, dan sebagainya
• Lurus: apabila orang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain, misalnya antara bapak dan
anak, kakek-bapak-anak
- Ke atas: kalau rangkaiannya dilihat dari anak-bapak-kakek
- Ke bawah: kalau rangkaiannya dilihat dari kakek-bapak-anak
Keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajat. Tiap kelahiran merupakan satu tingkatan/
derajat. Contoh:
• Seorang anak merupakan keturunan tingkat 1 dari bapaknya
• Cucu merupakan keturunan tingkat 2 dari kakeknya
• Aku dan saudaraku sekandung merupakan keturunan tingkat 2

Keturunan Sangat Penting


• Berhubungan dengan masalah perkawinan: untuk meyakinkan apakah ada hubungan
kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami-isteri, misalnya terlalu dekat, adik-
kakak sekandung, dan lainnya
• Berhubungan dengan masalah pewarisan atau hukum waris: hubungan kekeluargaan (keturunan)
merupakan dasar pemabgian harta peninggalan

Hubungan Anak dan Orang Tuanya


• Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam somah masyarakat adat
• Dianggap sebagai generasi penerus
• Anak yang lahir dalam perkawinan sah antara seorang pria dan seorang wanita, mempunyai
sebagai ibu wanita yang melahirkannya dan sebagai bapak, pria suami wanita dimaksud.

Anak lahir di luar perkawinan


• Bagaimana hubungan anak dengan wanita yang melahirkannya?
• Bagaimana dengan pria yang bersangkutan?
• Tidak semua daerah mempunyai pandangan yang sama.
• Di beberapa daerah ada yang mencela keras si ibu yang tidak kawin beserta anaknya, ada yang
dibuang dari persekutuan, ada yang dibunuh
Solusi
• Kawin paksa --- agar ibu & anaknya tidak bernasib malang, ada tindakan adat yang memaksa si
pria yang bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang melahirkan anak itu
• Nikah tambelan (Jawa)/pattongkog sirig (Bugis), yaitu dengan cara mengawinkan wanita yang
sedang hamil dengan laki-laki lain, maksudnya supaya anak dapat lahir dalam perkawinan yang
sah.
• Meskipun telah dilakukan upaya-upaya adat tersebut, tidak dapat menghilangkan perasaan dan
pandangan yang tidak baik terhadap anak yang dilahirkan itu. Di Jawa disebut “anak haram
jadah”, di Bali “astra”

Hubungan Anak dengan Pria yang Tidak atau Belum Kawin dengan Wanita yang Melahirkan
• Di Minahasa – biasa seperti antara anak dengan bapak
• Bapaknya lazimnya memberikan hadiah kepada si ibu anak yang bersangkutan, bila si ibu tidak
berdiam serumah dengannya, yang disebut “lilikur”
• Di daerah lain anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai bapak.
• Di Ambon, anak yang lahir di luar perkawinan, dengan kawinnya wanita dengan pria yang
bersangkutan menjadi disahkan
• Bila seorang anak selama ikatan perkawinan diturunkan oleh pria lain, bukan yang telah menikah
dengan ibunya, maka ayah si anak adalah pria yang nikah dengan ibunya, kecuali jika suami sah
ini menyangkal kebapaannya berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima; hal ini
dimungkinkan di Jawa.

Akibat Hukum dari Hubungan Anak-Ayah dan Anak-Ibu


• Larangan kawin antara ayah dan anaknya perempuan, antara ibu dan anaknya laki-laki di semua
wilayah;
• Kewajiban alimentasi dan hak untuk dipelihara secara timbal balik
• Jika sang ayah ada, maka ia selalu harus bertindak selaku wali dari anaknya perempuan pada
upacara akad nikah yang dilakukan secara Islam

Anak Lahir karena Hubungan Zinah


• Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain bukan
suaminya, maka menurut hukum adat suaminya itu menjadi bapak anak yang dilhirkan tersebut,
kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, dapat menolak
menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh isterinya karena zinah.

Anak Lahir setelah Perceraian


• Anak yang dilahirkann setelah bercerai, menurut Hukum Adat mempunyai bapak bekas suami
wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi masih dalam batas-batas waktu
mengandung

Hubungan Anak dengan Keluarga


• Masyarakat bilateral/parental : hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak atau pun ibu
sama eratnya
• Masyarakat matrilinial : hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak ibu jauh lebih erat dan
penting dari pada hubungan antara anak dengan keluarga bapak
• Masyarakat patrilinial : hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak bapak jauh lebih erat
dan penting dari pada hubungan antara anak dengan keluarga ibu

Memelihara Anak Piatu


• Di Masyarakat Bilateral/Parental, bila bapak atau ibu meninggal, kalau masih ada anak-anak yang
belum dewasa, maka orang tua yang masih hidup yang memelihara anak tersebut.
• Bila kedua orang tua tidak ada, maka yang memelihara anak-anak adalah salah satu dari keluarga
(ibu atau bapak)
Di Masyarakat Matrilineal
• Jika bapaknya yang meninggal dunia maka ibunya meneruskan kekuasaannya terhadap anak-
anaknya yang masih belum dewasa
• Jika ibunya yang meninggal, anak-anak tetap berada pada kerabat ibunya serta dipelihara
seterusnya oleh keluarga pihak ibu.
• Hubungan antara bapak dengan anak-anaknya dapat terus dipelihara oleh si bapak
Di Masyarakat Patrilineal
• Jika bapaknya meninggal dunia, ibunya meneruskan memelihara anak-anaknya dalam lingkungan
keluarga bapaknya.
• Jika janda itu ingin pulang ke keluarganya sendiri atau kawin lagi maka ia dapat meninggalkan
keluarga almarhum suaminya, tetapi anak-anaknya tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga
almarhum suaminya.

Mengangkat Anak
• Suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri, sehingga antara orang
yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama
seperti antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
Dari Sudut Anak yang Dipungut
• Mengangkat anak bukan dari kalangan keluarga
• Mengangkat anak dari kalangan keluarga
• Mengangkay anak dari kalangan keponakan-keponakan

Kedudukan Anak Angkat menurut Yurisprudensi


• Aspek syarat formal pengangkatan anak, bila ada sengketa yang mengandung keterlibatan anak
angkat

Keabsahan Anak Angkat


• Yurisprudensi belum mampu melahirkan suatu keseragaman landasan hukum yang berwawasan
nasional yang mampu menetralkan semua nilai-nilai lokal, ke arah hukum adat yang seragam

Putusan-putusan Pengadilan
• Digantungkan pada upacara adat dan pengumuman
• Anak angkat dari keluarga dekat, sah tanpa upacara
• Anak yang diambil sejak bayi, sah tanpa upacara
• Pengangkatan berdasarkan penetapan pengadilan
• Adanya anak kandung tidak mengurangi keabsahan anak angkat

Putusan MA Nomor 14 K/Pdt/1998


• Menentukan kedudukan anak angkat tidak semata-mata tegantung pada formalitas pengangkatan
tetapi dilihat dari kenyataan yang ada yaitu apabila dipelihara sejak bayi, dikhitankan dan
dikawinkan oleh orang tua angkat

PERTEMUAN 11 | 22.11.2023
Bu Ellyne

Perkawinan Adat
Mempelajari perbedaan Perkawinan dalam Hukum Barat dengan dalam Hukum Adat

Pengertian
• Soerjono Soekanto: perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa mengenai yang bersangkutan
(perempuan dan laki-laki yang kawin) saja, akan tetapi juga bagi orang tua, saudara-saudaranya
dan keluarganya.
• Van Dijk: Perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkutpaut dengan urusan famili,
keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi. Hal ini berbeda dengan perkawinan seperti pada
masyarakat Barat (Eropa) yang modern, bahwa perkawinan merupakan urusan mereka yang
kawin saja.
• Ter Haar: perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus
berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang menyebabkan
terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan itu.
• Hilman Hadikusuma: Perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga
merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi
terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-
hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak,
hak dan kewajiban orang tua, akan tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat
kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat
dan keagamaan. Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang
bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di
Indonesia.

Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka
yang masih hidup saja, tapi perkawinan juga merupakan peristiwa penting, karena perkawinan
diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.
Arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak tersebut, untuk dimintai restunya, hingga
mereka setelah melangsungkan perkawinan diharapkan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.
Pelaksanaannya disertai dengan upacara-upacara adat yang pelaksanaannya kadangkala
melibatkan kepala adat atau kepala suku hukum adat setempat.

Van Gennep
• Seorang ahli sosiologi Perancis, menamakan semua upacara-upacara itu sebagai “rites de
passage” (upacara-upacara peralihan). Upacara-upacara peralihan yang melambangkan peralihan
atau perubahan status dari masing-masing mempelai dari yang semula hidup secara terpisah,
kemudian setelah melampaui upacara-upacara adat yang disyaratkan dalam perkawinan menjadi
hidup bersama dalam suatu kehidupan suami-isteri.
• Rites de passage membagi 3 tingkatan, yaitu:
1. rites de searation (upacara perpisahan dari status semula);
2. rites de marge (upacara perjalanan ke status yang baru); dan
3. rites d’aggregation (upacara penerimaan dalam status baru)

Tujuan Perkawinan Adat


• Membentuk keluarga yang bahagia, kekal, untuk membangun, membina, memelihara hubungan
keluarga/kekerabatan yang rukun dan menjaga kehormatan keluarga dan kerabat maka proses
pelaksanaan perkawinan harus diatur dengan tertib adat agar dapat terhindar dari penyimpangan
dan pelanggaran yang memalukan yang akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan
keluarga dan kerabat yang bersangkutan.

Fungsi Perkawinan Adat


• Pada masyarakat hukum adat yang masih kuat mempertahankan prinsip kekerabatan berdasarkan
ikatan keturunan darah (genealogis), maka fungsi perkawinan merupakan suatu nilai-nilai yang
hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan keluarga yang
bersangkutan.
• Ada kalanya suatu perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan
kekerabatan yang telah retak dan merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar
kekerabatan dan begitu pula dengan perkawinan bersangkutpaut dengan kedudukan, harta
kekayaan dan masalah pewarisan.

Perkawinan Adat dapat dipengaruhi 3 sistem kekerabatan, yaitu:


• Sistem Kekerabatan Patrilineal
• Sistem Kekerabatan Matrilineal
• Sistem Kekerabatan Parental/Bilateral
Ketiga sistem kekerabatan yag ada, bentuk perkawinan merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan keberlangsungan sistem kekerabatan.

Hukum Perkawinan Adat pada Masyarakat Patrilineal


• Perkawinan dalam susunan kekerabatan patrilineal, misalnya Batak, Gayo, Tapanuli, Nias,
Lampung, Rejang, Palembang, Bali, Timor dan Maluku.
• Bentuk Perkawinan: Perkawinan jujur, yaitu bentuk perkawinan yang bertujuan untuk secara
konsekuen melanjutkan atau mempertahankan keturunan dari pihak laki-laki (bapak).
Menurut Bushar Muhammad
- “Perkawinan jujur” tidaklah sebagaimana dipahami oleh etnolog Barat sebagai suatu
“pembelian” tetapi sesuai dengan pengertian etnologi hukum adat yang murni, maka “jujur”
itu adalah “penggantian”, terlebih jika dipahami melalui kata-kata “tuhor”, “tukon”, “tukar”.
- Istilah bahasa Indonesia adalah “ganti”, yaitu kedudukan gadis itu dalam pengertian
religiomagis-kosmis diganti dengan suatu benda yang disebut uang jujur, sehingga tetap
terjaga kesimbangan, tidak meninggalkan kekosongan dalam arti religio-magis-kosmis pula.
• Sistem Perkawinan: Eksogami, yaitu perkawinan di luar kelompok suku atau marga, oleh karena
itu adanya larangan kawin semarga. Contoh: laki-laki Batak ada larangan kawin dengan
perempuan yang semarga (dongan sabutuha).
• Variasi Perkawinan Jujur
- Perkawinan Ganti Suami: dikarenakan suami wafat, maka isteri harus kawin dengan saudara
laki-laki suami yang telah wafat. Dalam bentuk perkawinan ini tidak diperlukan lagi memberi
uang jujur, pembayaran adat dan lain-lain, oleh karena isteri memang masih tetap berada di
rumah suami.
- Perkawinan Jujur Ganti Isteri: disebabkan isteri meninggal, maka suami kawin lagi dengan
kakak atau adik perempuan dari isteri yang telah wafat itu (“silih tikar”). Dalam
pelaksanaannya itu tidak diperlukan lagi memberi uang jujur oleh karena uang jujur telah
diberikan ketika mengambil isteri yang telah wafat (“perkawinan sororat”).
- Perkawinan Jujur Mengabdi: dikarenakan ketika diadakan pembicaraan lamaran, ternyata
pihak kerabat laki-laki tidak dapat memenuhi syarat-syarat permintaan dari pihak kerabat
perempuan. Misalnya pihak kerabat laki-laki belum mampu memberi jujur kepada pihak
kerabat perempuan, sehingga setelah perkawinan maka suami akan terus menerus bertempat
kediaman atau berkedudukan di pihak kerabat suami.
- Perkawinan Jujur Ambil Anak: perkawinan yang terjadi dikarenakan hanya mempunyai anak
perempuan (tunggal), maka anak perempuan itu mengambil laki-laki (dari anggota kerabat)
untuk menjadi suaminya dan mengikuti kerabat isteri untuk selama perkawinannya guna
menjadi penerus keturunan pihak isteri.
- Perkawinan Jujur Ambil Beri: perkawinan yang terjadi di antara kerabat yang sifatnya
simetris, di mana pada suatu masa kerabat A mengambil isteri dari kerabat B, maka di masa
yang lain kerabat B mengambil isteri dari kerabat A.

Hukum Perkawinan Adat pada Masyarakat Matrilineal


• Pada masyarakat kekerabatan matrilineal berlaku adat perkawinan “semanda”, setelah perkawinan
suami melepaskan kewargaan adatnya dan memasuki kewargaan adat isteri. Dalam hal ini
kedudukan isteri lebih tinggi daripada kedudukan suami.
• Bentuk Perkawinan
- Semenda Raja-raja: Perkawinan di mana suami dan isteri sebagai raja dan ratu yang dapat
menentukan sendiri tempat kedudukan rumah tangga mereka. Suami tidak ditetapkan untuk
berkedudukan di kekerabatan isteri. Kedudukan suami dan isteri sama berimbang, baik
terhadap jurai kerabat isteri maupun suami, begitu pula terhadap harta kekayaan yang
diperoleh selama perkawinan.
- Semenda Lepas: Istilah “semanda lepas” berasal dari daerah Lampung Pesisir. Setelah terjadi
perkawinan “semanda lepas”, maka suami melepaskan hak dan kedudukannya di pihak
kerabatnya dan masuk pada kekerabatan isteri. Bentuk perkawinan ini di Sumatera Selatan
disebut “perkawinan cambur” atau “perkawinan nangkon” yang tidak lain adalah sama dengan
“semanda ambil anak”, di mana suami tidak mempunyai kekuasaan apa-apa oleh karena
seluruh kekuasaan kekerabatan dipegang oleh pihak isteri. Jika terjadi perceraian maka si
suami dipersilahkan meninggalkan tempat kediaman dan kekerabatan isteri tanpa sesuatu hak,
baik terhadap harta pencaharian maupun anak-anak. Orang Lampung mengatakan kedudukan
suami itu “lepas batu lepas asahnya”, dan ia harus sampai mati mengabdi di pihak kerabat
isterinya.
- Semenda Tunggu: Bentuk perkawinan “semanda tunggu” yang sifatnya sementara. Setelah
perkawinan suami bertempat kedudukan di pihak kerabat isteri dengan ketentuan menunggu
sampai tugas dan pertanggungjawabnya terhadap keluarga mertua selesai diurusnya.
Pertanggungjawabannya itu termasuk memelihara mertua dan saudara-saudara isteri yang
masih kecil, membiayai kehidupan rumah tangga dan lain-lain.
- Semenda Anak Dagang: Dalam perkawinan semanda anak dagang, kedudukan suami ibarat
“burung yang terbang tertangkap dan dapat dilepas kembali begitu saja”, ia datang sebagai
orang numpang hidup saja, dan mengabdikan diri untuk kepentingan isteri dan mertuanya.
Jika sebelum perkawinan terdapat hutang yang dibuat oleh suami maka utang itu dilunasi oleh
kerabat isteri, jadi ia bekerja di tempat isteri sebagai pembayar hutang. Upacara perkawinan
cukup dilaksanakan secara sederhana. Setelah perkawinan kedatangan suami menurut waktu-
waktu tertentu saja, misalnya datang ke tempat isteri setelah waktu magrib dan pergi kembali
setelah subuh (semanda nabuh beduk- Lampung). Di Jawa disebut “perkawinan nyalidung ka
gelung” atau perkawinan “maggih kaya”.
- Semenda Ngangkit: Berlakunya perkawinan Semanda Ngangkit biasanya di kalangan
masyarakat adat yang menganut adat penguasaan atas harta kekayaan dipegang oleh anak
perempuan. Jadi apabila seseorang tidak mempunyai anak perempuan dan hanya mempunyai
anak laki-laki maka untuk dapat meneruskan kedudukan dan keturunan serta mengurus harta
kekayaan ia harus mencari perempuan untuk dikawinkan dengan anak laki-lakinya sehingga
kedua suami-istri itu nantinya akan menguasai harta kekayaan dan meneruskan keturunannya.

Hukum Perkawinan Adat pada Masyarakat Parental/Bilateral


• Pada masyarakat kekerabatan parental atau bilateral berlaku bentuk “perkawinan bebas” (Jawa:
mentas, mencar), tidak mengenal pembayaran jujur dan perkawinan semenda. Jadi setelah
perkawinan suami-isteri bebas memilih akan menetap di tempat suami atau di tempat isteri atau
membangun kehidupan baru lepas dari pengaruh orang tua masing-masing.
• Setelah perkawinan si suami menjadi anggota keluarga isterinya dan sebaliknya isteri menjadi
anggota keluarga suaminya.
• Di dalam susunan kekeluargaan parental/bilateral sebagai akibat dari perkawinan maka suami-
isteri masing-masing mempunyai dua keluarga, yaitu kerabat dari suami di satu pihak dan kerabat
isteri di lain pihak.

*PERTEMUAN 12 | 29.11.2023
Bu Ellyne

Harta Perkawinan
Fungsi Harta Perkawinan
• Untuk keperluan hidup bersama yang dipergunakan oleh suami-isteri serta anak-anak dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
Pasal 35 UU Perkawinan
• Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan
dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
• Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut
diatur menurut hukumnya masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum
yang lainnya berdasarkan penjelasan Pasal 37 UU Perkawinan.

Harta Perkawinan menurut Hukum Adat


• Semua harta yang dikuasai suami isteri selama terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta
kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah,
harta penghasilan sendiri, harta pencaharian bersama suami isteri dan barang-barang pemberian
hadiah.
• Kedudukan harta perkawinan sangat dipengaruhi oleh adanya prinsip kekerabatan yang dianut
setempat dan adanya bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami dan isteri bersangkutan.

Harta Perkawinan menurut Ter Haar


• Harta yang masing-masing diperoleh secara warisan ini, di beberapa daerah di Indonesia terdapat
beberapa nama atau istilah.
• Misalnya di Ngaju Dayak (pimbit), di Makasar (sisila), di Bali (babakan) dan di Jawa dan
Sumatera (asal asli atau pusaka) di Jawa (gonogawan)
• Di beberapa daerah, harta benda ini sangat terikat dengan sistem kekeluargaan yang berlainan
sesuai dengan kekeluargaan yang berlaku di masing-masing daerah. Jika dalam perkawinan
terjadi perceraian, maka harta itu tetap mengikuti suami atau istri yang memiliki harta benda
semula.
• Masyarakat Batak, apabila seorang isteri pada saat permulaan perkawinannya diberikannya
sebidang tanah oleh orang tuanya atau keluarganya, maka tanah itu menjadi milik suaminya dan
mungkin bersama-sama isterinya juga. Akan tetapi apabila tanah tersebut ingin dijual oleh
suaminya, maka suaminya harus berunding dengan kerabat dari isterinya.

Harta Perkawinan menurut Soerojo Wignjodipoero


Harta perkawinan dapat dibedakan dalam 4 golongan, yaitu:
• Harta suami atau isteri yang merupakan hibah atau pemberian keluarga yang dibawa ke dalam
keluarga (merupaka harta asal);
• Usaha suami atau isteri yang diperoleh sesudah perkawinan (merupakan harta bersama);
• Harta yang merupakan hadiah kepada suami-isteri dalam masa perkawinan (merupakan harta
asal);
• Harta yang merupakan usaha suami-isteri dalam masa perkawinan (merupakan harta bersama).

Harta Perkawinan menurut S.S. Hakim dalam Hadikusuma


• Harta-harta sebelum perkawinan, yaitu:
- Harta yang tiap isteri atau suami telah mempunyai sebelum perkawinan;
- Harta yang dipunyai isteri atau suami karena merupakan pemberian bagian harta yang
bertalian dengan kematian yang diperoleh dari orang tua mereka masing-masing;
- Harta yang diperoleh karena pewarisan; dan
- Harta atau barang diperoleh karena pemberian dari orang lain.
• Harta-harta selama dalam ikatan perkawinan
- Harta yang tiap isteri atau suami memperoleh karena usaha sendiri tanpa bantuan kawan nikah
yang lain; dan
- Harta yang karena pemberian bagian harta yang bertalian dengan kematian atau karena
pewarisan atau karena pemberian (hadiah) hanya jatuh kepada salah seorang suami/isteri saja.

Harta Asal menurut Hilman Hadikusuma


• Semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris sejak permulaan, baik berupa harta
peninggalan atau harta bawaan yang dibawa ke dalam perkawinan dan kemungkinan akan
bertambah selama perkawinan sampai akhir hayatnya.

Harta Perkawinan menurut Djojodiguno dan Tirtawinata


Mengadakan pemisahan harta perkawinan alam 2 golongan, yaitu:
• Harta asal atau bawaan yang dibawa dalam perkawinan;
• Barang milik bersama atau barang milik perkawinan.

Dalam hukum waris adat, pengertian harta asal dan harta bawaan tampaknya menjadi sama
dalam arti, di sini sering kali tidak ada ketegasan mana yang termasuk harta asal dan mana yang
akan menjadi harta bawaan atau harta gawan (Jawa).
Perkataan “harta asal” pada umumnya untuk menamakan barang-barang yang diperoleh dari
orang tua dari masing-masing suami atau isteri.
“Harta bawaan” diperoleh sebelum perkawinan dengan suami atau isterinya yang
merupakan hasil dari mereka bekerja. Misalnya: A (laki-laki) sebelum kawin telah membeli sebuah
rumah yang dibawa ke dalam perkaawinan, maka ini yang dikatakan harta bawaan A.

Harta Bawaan dibedakan menjadi:


• Harta Bawaan Suami;
• Harta Bawaan Isteri.

Harta Bersama/Harta Gono-Gini/Harta Pencaharian


• Harta benda kekayaan keluarga yang merupakan harta peninggalan itu terdapat harta asal dari
suami, harta asal dari istri dan harta gono-gini atau harta pencaharian.
• Perbedaan sifat daripada harta-harta tersebut sama sekali tidak berarti apabila suami-isteri yang
bersangkutan mempunyai keturunan anak, karena semua harta-harta benda (baik harta asal suami-
isteri, harta gono-gini atau harta pencaharian) akan jatuh atau di waris kepada semua
keturunannya.

Harta Peninggalan
• Kekerabatan Patrilineal (Bali, Batak) —> kesatuan harta, yaitu harta asal suami dan isteri, serta
harta pencaharian (harta bersama) dikuasai oleh suami, oleh karena isteri tidak berhak mewaris,
yang nantinya akan diwariskan kepada keturunan laki-laki
• Kekerabatan Matrilineal —> harta dari ibu diwariskan kepada semua anak kandung, sedangkan
harta dari ayah diwariskan kepada saudara perempuan ayah atau keponakan perempuan dari ayah
• Kekerabatan Parental

Harta Peninggalan = Harta Kekayaan = Harta Perkawinan


• Harta Peninggalan: yang mempunyai harta sudah meninggal dunia
• Harta Kekayaan: harta yang diperoleh saat suami-isteri masih dalam keadaan hidup
Tidak akan pernah ada apabila seseorang tidak pernah melakukan perkawinan. Harta Perkawinan
dalam Pasal 35 UU Perkawinan terdiri dari Harta Bersama dan Harta Bawaan.

Harta Matrilineal (Minangkabau)


• Harta Pusaka Tinggi
- tidak bisa dibagi-bagi kepemilikannya, hanya bisa dinikmati secara bersama-sama
- Contoh: Rumah Gadang, sawah-sawah yang merupakan Harta Pusaka Tinggi (harta asal
tinggi)
• Harta Pusaka Rendah
- bisa dibagi kepemilikannya dan dinikmati secara individu
- Contoh: warisan dan hibah suami-isteri (harta asal rendah), harta bersama

Sistem Pewarisan
• Individual: pewaris meninggal maka harta dibagi secara perorangan
• Kolektif: pewaris meninggal maka harta diwariskan secara bersama-sama (kolektif), sehingga
tidak bisa dijual dalam keadaan terpaksa, hanya digadaikan
• Mayorat: pewaris meninggal maka harta diwariskan kepada anak tertua
- Laki-laki - Perempuan

Sistem Parental (Jawa)


Harta Perkawinan/Peninggalan yang dibagi menjadi:
• Harta Asal/Bawaan: harta yang diperoleh sebelum/sesudah perkawinan, baik sebagai hibah,
warisan, maupun hadiah
- Harta Suami - Harta Isteri
• Harta Bersama/Gono-gini: harta yang diperoleh selama perkawinan
Ahli waris adalah keturunan darah atau anak kandung, baik laki-laki maupun perempuan. Apabila
tidak memiliki anak, maka diwariskan kepada keluarga dari Suami. Jadi, suami atau isteri tidak
dapat saling mewaris Harta Asal pasangannya, tetapi Harta Asal yang ditempati tetap dapat
digunakan oleh duda atau janda sampai kawin lagi atau meninggal.
Kedudukan duda atau janda dalam sistem parental sama atau seimbang.
Anak angkat hanya mendapat Harta Bersama, dengan pembagian harta yang sama dengan anak
kandung.

PERTEMUAN 13 | 06.12.2023
Bu Ellyne

Hukum Waris
Istlah
• Hukum Waris Adat; • Hukum Adat Waris • Hukum Pewarisan Adat

Pengertian Hukum Waris Adat


• Soerojo Wignjodipoero, Hukum Adat Waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan
harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immateriil dari seseorang yang dapat diserahkan
kepada keturunannya serta yang sekaligus mengatur saat, cara, dan proses peralihannya.
- materiil: tanah dan bukan tanah;
- immateriil: yang tidak kasat mata, seperti gelar kerajaan, marga, ilmu
• Soepomo: Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud benda
(immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.
• Ter Haar: Hukum Adat Waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan
proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan
pengoperan kekayaan materiil dan immateriil dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.
• Jadi, dapat disimpulkan: proses peralihan/pengoperan/penerusan, harta materiil dan immateriil,
pewaris, dan keturunan (ahli waris).

Proses peralihannya sendiri, sesungguhnya sudah dapat dimulai semasa pemilik harta
kekayaan itu sendiri masih hidup.
Serta proses itu selanjutnya berjalan terus hingga keturunannya itu masing-masing menjadi
keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri-sendiri (Jawa: mentas dan mencar) yang kelak pada
waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi yang berikutnya
(keturunannya) juga.
Menurut Soepomo, proses tersebut tidak menjadi “akuut” (mendadak) oleh sebab orang tua
meninggal dunia. Meninggalnya bapak atau ibu adalah suatuperistiwa penting bagi proses itu, akan
tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta
benda dan harta bukan benda tersebut.

Unsur Mutlak dalam Pewarisan


• Seorang peninggal waris atau pewaris yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan;
• Seorang atau beberapa ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan; dan
• Harta warisan kekayaan atau harta peninggalan
Jika tidak ada ahli waris, maka Negara yang mendapatkan warisan

Sifat Hukum Waris Adat


• Tidak mengenal legietieme portie
• Dasar persamaan hak
• Dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagiaan berjalan secara rukun dengan
memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris
• Harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi waris
• Dikenal sistem penggantian waris
• Harta peninggalan bukan merupakan satu kesatuan, tetapi wajib dibedakan menjadi hartaasal atau
harta bersama.

Sistem Pewarisan Adat


• Sistem Pewarisan individual, cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli
waris (masyarakat bilateral di Jawa).
• Sistem pewarisan kolektif, cirinya harta peninggalan diwarisi oleh sekumpulan ahli waris secara
bersama-sama (masyarakat matrilinial di Minangkabau).
• Sistem Pewarisan Mayorat, cirinya harta peninggalan diwaris keseluruhannya/sebagian besar oleh
seorang anak saja yang tertua, dibedakan mayorat laki-laki dan mayorat perempuan.

Sifat/Macam/Kedudukan Harta Peninggalan


• Harta Asal/Bawaan
- Harta Asal Suami - Harta Asal Isteri
• Harta Bersama/Gono-Gini
Para Ahli Waris
• Anak-anak kandung pewaris (keturunan lurus ke bawah) pewaris
• Orang tua pewaris
• Saudara-saudara pewaris atau keturunannya
• Orang tua dari pada orang tua pewaris atau keturunannya

Kedudukan Anak Angkat


Bergantung pada susunan kekeluargaan (masyarakat Patrilinial, Matrilinial, Parental/Bilateral)
• Pada masyarakat Patrilinial, anak angkat mewaris harta orang tua angkatnya
• Pada masyarakat Matrilinial, anak angkat tidak mewaris/mewaris harta orang tua angkatnya
• Pada masyarakat Parental/Bilateral, anak angkat dapat mewaris harta orang tua angkatnya,
sebatas harta gono-gini

Kedudukan Anak Tiri


• Anak tiri tidak berhak atas harta peninggalan orang tua tirinya
• Anak tiri hanya mewaris harta orang tua kandungnya

Pembagian Harta Peninggalan bila >1 perkawinan


• Harus dipisahkan harta bersama perkawinannya, yaitu perkawinan I, perkawinan II, dan
seterusnya
• Harta Bersama perkawinan I diwaris oleh anak-anak yang ada pada perkawinan I, harta bersama
perkawinan II diwaris oleh anak-anak yang ada pada perkawinan tersebut, demikian seterusnya

Contoh Kasus
Harta Asal A Harta Asal B Harta Bersama

Rumah 100 juta (warisan orang tua) Perhiasan 150 juta (hibah) Rumah 200 juta (beli bersama)

Tanah 150 juta (hadiah dari Ayah A) Tabungan 300 juta a/n B (dapat
setelah perkawinan)

Mobil 150 juta (beli bersama)

A-B: suami-isteri
C, D, E: anak A-B — C (L) dan D (L) anak kandung, E (P) anak angkat
C-F: suami-isteri
G, H: anak C-F — G (P) dan H (L)
A dan C meninggal dunia, B ingin menikah kembali dengan S
• Harta Asal A = 250 juta
• Harta Asal A dibagi dengan C dan D sebagai anak kandung, dengan masing-masing mendapat 125
juta, sedangkan E tidak mendapat karena anak angkat dan B tidak berhak mewarisi harta asal
pasangan
• Karena C telah meninggal, maka 125 juta menjadi Harta Asal C yang kemudian dibagi dengan G
dan H sehingga masing-masing mendapat 62.5 juta
• Harta Bersama = 650 juta
• Berdasarkan Putusan MA Nomor 100 K/SIP/1967, maka setengah Harta Bersama milik B sebagai
janda, lalu sisanya dibagi merata antara janda dan anak-anak yang ditinggalkan.
• Sisa Harta Bersama = 325 juta dibagi B C D E — 325/4 = 81.25 juta
• B mendapat 325 + 81.25 = 406.25 juta, sedangkan C D E masing-masing mendapat 81.25 juta
• Menjadi Harta Asal bagi B C D E dari Harta Bersama Perkawinan Pertama

Dengan pokok kasus yang sama: S adalah seorang duda dengan anak W, W (L) telah menikah
dengan I dan memiliki X (P) dan Y (P) sebagai anak, B-S memiliki anak M, lalu B-S tinggal di
rumah perkawinan pertama S-P seharga 400 juta
Harta Asal S Harta Asal B Harta Bersama

Rumah 400 juta (rumah dari Perhiasan 150 juta (hibah)


perkawinan pertama)

406.25 juta (harta bersama


perkawinan pertama)
Apabila B meninggal dunia, maka:
• Harta Asal B = 150 juta
• Harta Asal B dibagi dengan anak kandung B, yaitu C D M, sehingga masing-masing mendapat 50
juta, dan karena C telah meninggal dunia maka yang mendapat G H dengan masing-masing
mendapat sebesar 25 juta
• Sedangkan Harta Asal B yang berasal dari Harta Bersama perkawinan pertama hanya dibagi di
antara anak dari perkawinan pertama, yaitu C D E
• Jadi, 406.25/3 = 135.416 juta, dan karena C telah meninggal dunia maka dibagi antara G H
dengan masing-masing mendapat 67.708 juta

Kedudukan Janda dalam Hukum Adat dan dalam Yurisprudensi


Pengertian Janda menurut Ter Haar
• Oorang luar atau orang asing sehingga tidak mempunyai hak mewaris dalam harta peninggalan
suaminya, tetapi sebagai isteri ikut memiliki barang gono-gini yang dihasilkan selama
perkawinannya dengan almarhum suaminya. Kecuali di daerah-daerah di mana dalam
kekeluarganya bersifat ke-ibuan, berhak atas harta peninggalan selama hidupnya.

Menurut Djojodigoeno
Kedudukan janda adalah sebagai berikut:
• Seorang janda adalah ahli waris dalam almarhum suaminya;
• Seorang janda yang ditinggal suaminya tanpa meninggalkan seorang anak, tidak berhak mewaris
harta atas barang asal dari almarhum suaminya; dan
• Mengenai harta gono-gini janda berhak mewaris.

Menurut Bushar Muhammad


• Harta gono-gini maupun dari barang asal suaminya, agar supaya nasib janda tidak terlantar
selanjutnya sesudah suami meninggal dunia;
• Janda berhak menguasai harta peninggalan suami, untuk menarik penghasilan dari barang-barang
itu, lebih-lebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap merupakan kesatuan di bawah asuhan yang
tidak terbagi-bagi;
• Janda berhak menahan barang asal suaminya, jika barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan
olehnya untuk keperluan nafkahnya; dan
• Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak di dalam keadaan terpaksa
diadakan pembagian dengan anak misalnya janda kawin lagi. Anak minta sebagian untuk modal
usahanya.

Putusan MA Nomor 3293 K/Pdt/1986


Janda mempunyai Hak Menikmati
• Harta terperkara adalah harta gono-gini maka janda berhak menguasai dan menikmati untuk
menjamin hidupnya sampai dia (janda) meninggal dunia atau kawin lagi. Sedangkan harta gawan
diwaris oleh anak kandung.

Keputusan MA Nomor 393 K/SIP/1958


• Telah menjadi yurisprudensi tetap dari MA bahwa seorang janda mendapat separoh dari barang
gono-gini.

Keputusan MA Nomor 100 K/SIP/1967 tertanggal 14 Juni 1968


• Membenarkan pertimbangan dari Putusan Pengadilan Tinggi yang menetapkan: Dalam hal
meninggalkannya seorang suami dengan meninggalkan seorang Janda, seorang anak laki-laki dan
anak perempuan, janda berhak atas separoh dari harta gono-gini sedangkan sisanya dibagi antara
janda dan anak-anaknya.

Kedudukan Janda dalam Hukum Adat


• Janda tidak punya anak (tidak ada anak yang dilahirkan dari perkawinannya)
• Janda mempunyai anak kandung

Janda Tidak Punya Anak


• Harta asal atau harta gawan kembali keasal, janda tidak mewaris;
• Harta gono-gini dikuasai seluruhnya oleh janda selama masih hidup atau selama janda tidak
kawin lagi. Dan tidak menjadi soal harta gono-gini kecil/besar jumlahnya. Baru akan terbuka hak
waris suami untuk mewaris apabila janda meninggal atau kawin lagi. Dengan pembagian sebagai
berikut:
- harta asal atau harta bawaan kembali ke asal;
- harta gono-gini atau harta bersama dibagi menjadi:
a) ½ bagian menjadi hak mutlak janda dan jatuh menjadi harta waris saudara janda
apabila janda meninggal dunia
b) ½ bagian yang menjadi hak suami jatuh menjadi harta warisan para ahli waris
mendiang suami.

Janda Mempunyai Anak Kandung


• Harta asal atau harta gawan menjadi hak warisan dari anak-anak kandung.
• Harta gono-gini
- tetap utuh dalam kekuasaan janda selama masih hidup/belum kawin lagi.
- tetap utuh sampai anak-anak dewasa. Dan apabila anak-anak sudah dewasa baru harta gono-
gini dibagi menjadi:
a) ½ bagian menjadi menjadi hak penuh janda
b) ½ bagian menjadi menjadi hak mendiang suami menjadi harta warisan bagi anak-anak
dan janda dengan pembagian yang sama

PERTEMUAN 14 | 13.12.2023
Bu Ellyne

Responsi UAS

Anda mungkin juga menyukai