Istilah hukum adat sebenarnya berasal dari bahasa arab, Hukum dan Adah yang
artinya suruhan atau ketentuan. Istilah hukum adat dalam aturan kebiasaan ini sudah lama
dikenal di Indonesia seperti di Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607-1636) istilah hukum adat ini telah digunakan, ini digunakan dalam kitab hukum
yang diberi nama Makuta Alamkemudian didalam kitab hukum Safinatul Hukkam Fi
Takhlisil Khassam yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syeh Muhammad Kamaludin. Didalam
mukadimah hukum acara tersebut dikatakan bahwa dalam memeriksa perkara seorang hakim
haruslah memperhatikan Syara, Hukum Adat, serta Adat dan Resam. Lalu ditulis oleh
Cristian Shouck Hurgronje yang menerjemahkannya dalam bahasa Belanda Adat-Recht,
untuk membedakan antara kebiasaan atau pendirian dengan adat yang memiliki sanksi
hukum. Hasil penelitian Hurgronje ini menghasilkan sebuah buku yang kemudian diberi judul
De Atjehers (Orang-orang Aceh) pada tahun 1894. Sejak itu Hurgronje menjadi orang
pertama yang menggunakan istilah adat Recht yang kemudian diterjemahkan sebagai
hukum adat.
Berbagai istilah yang mencoba menjelaskan tentang hukum adat telah dipergunakan
oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dapat ditemukan dalam peraturan perundang-
undangan pemerintah Hindia Belanda dibawah ini :
1. Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving/Ketentuan-Ketentuan Umum
Perataturan Perundang-undangan) Pasal 11 digunakan istilah Godsdienstige Wetten,
Volks Instellingen en Gebruiken (Peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga dan
Kebiasaan-kebiasaan)
2. Dalam R.R. (Regelings Reglement) 1854 Pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R. 1854,
digunakan istilah Godsdienstige Wetten, Instelingen en Gebruiken (Pereturan
Keagamaan, Lembaga-lembaga dan Kebiasaan-kebiasaan)
3. Dalam I.S. (Indische Staatsregeling = Peraturan Hukum Negara Belanda semacam
Undang-Undang Dasar bagi Pemerintah Hindia Belanda) pasal 128 ayat (4)
sebelumnya, pasal 71 ayat (2) sub b redaksi baru R.R. 1854 yang mengganti pasal 75
ayat (3) redaksi lama R.R. 1854 dipergunakan istilah Instellingen des Volks (lembaga-
lembaga dari Rakyat)
4. Dalam I.S. Pasal 131 ayat (2, sub b digunakan istilah Met Hunne Godsdiensten en
Gewoonten Samenhangen de Recht Regelen (Aturan-aturan Hukum yang berhubungan
dengan Agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka)
5. Dalam R.R. 1854 Pasal 78 ayat (2) digunakan istilah Godsdienstige Wetten en Oude
Herkomsten (Peraturan-peraturan Keagamaan dan Kebiasaan-kebiasaan Lama/kuno).
Godsdienstige Wetten en Oude Herkomsten ini oleh Ind. Stbl. 1929 nr jo nr 487 diganti
dengan istilah Adat Recht
hukum adat ini sebelum diperkenalkannya istilah Adat Recht dipergunakan berbagai
istilah dalam peraturan perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda dengan sebutan
Undang-undang Agama, Lembaga Rakyat, Kebiasaan-kebiasaan, dan Lembaga Asli.
Sedangkan Istilah adat recht sebagaimana dimaksudkan diatas baru dipergunakan
secara resmi dalam Undang-undang Pemerintah Belanda pada tahun 1920, yaitu untuk
pertama kali digunakan dalam Undang-undang Belanda mengenai Perguruan Tinggi
Negeri di Belanda, Nederlands) Stbl. 1920 nr. 105 dan dalam Academisch Statuut.
B. Pengertian Hukum Adat
Berikut pengertian Hukum Adat yang dikemukakan para ahli dan satu pengertian
dari hasil seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan
di Yogyakarta tanggal 15-17 Januari 1975 yang memberikan penjelasan yang
dimaksudkan dengan hukum adat
1. Menurut Cornelis Van Vollenhoven
Hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang
pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat
hukum), dan pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat)
2. Menurut B. Tar Haar Bzn
Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan keputusan
para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang memiliki kewibawaan serta
pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta dan ditaati dengan
sepenuh hati.
3. Menurut J.H.P. Bellefroid
Hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh
penguasa tapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan
peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
4. Menurut Hardjito Notopuro
Hukum adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan cirri khas yang
merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan
kesejahteraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan.
5. Menurut Raden Soepomo
Hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tidak tertulis didalam peraturan
legislatif, hukum yang hidup sebagai kovensi di badan-badan hukum Negara
(Parlemen, Dewan Propinsi, dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan
kebiasaan yang dipertahankan didalam pergaulan hidup, baik dikota maupun di desa-
desa.
6. Menurut Soekanto
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan memiliki sanksi (dari hukum itu)
7. Menurut Hazairin
Hukum adat adalah hukum yang dijumpai dalam adat sebagai bagian integralnya,
sebagai bagian kelengkapannya. Seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, kuria
di Tapanuli, Wanua di Sulawesi dan sebagainya.
8. Menurut Bushar Muhammad
Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalah
hubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan,
dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan
dipertahankan oleh anggota masyarakat itu.
9. Menurut M.M. Djojodigoeno
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan seperti
peraturan-peraturan desa dan peraturan-peraturan raja.
10. Menurut Soediman Kartohadiprojo
Hukum adat adalah suatu jenis hukum tidak tertulis yang tertentu yang memiliki
dasar pemikiran yang khas yang prinsipil berbeda dari hukum tertulis lainnya.
11. Munurut R.M. Soeripto
Hukum adat adalah semua aturan-aturan/peraturan-peraturan adat tingkah laku yang
bersifat hukum disegala segi kehidupan orang Indonesia, pada umumnya tidak
tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat pada anggota masyarakat
yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-
aturan/peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas
masyarakat dengan upaya pemaksa atau ancaman hukuman (sanksi)
12. Menurut Soerojo Wignjodipoero
Hukum adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan
keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak
tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena memiliki akibat hukum
(sanksi)
13. Menurut Soerjono Soekanto
Hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-
kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (sein-sollen)
14. Menurut kesimpulan hasil Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum
Nasional
Hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan Republik Indonesia yang disana sini mengandung unsure
agama.
Dengan demikian van Dijk menyatakan bahwa sebenarnya antara hukum adat dan
hukum kebiasaan terdapat perbedaan yaitu pada sumbernya, artinya bahwa hukum
kebiasaan tidak bersumber dari alat-alat perlengkapan masyarakat.
Van Dijk juga menyatakan bahwa :
Walaupun benar hukum adat tidak dikodifikasikan, namun ada sebagian yang
terdapat dalam peraturan-peraturan yang berasal dari raja-raja Indonesia dan dari
kepala-kepala desa (misalnya di Bali) dan diantaranya ada yang berupa hukum
tertulis.
Selanjutnya yang menjadi perbedaan adalah pada sifatnya, artinya bahwa hukum
kebiasaan itu sepenuhnya bersifat tidak tertulis, sedangkan hukum adat sebagian
tertulis.
Unsure hukum adat yang dapat menimbulkan adanya kewajiban hukum bagi anggota
masyarakat adat disebutkan :
Pertama, untuk kenyataan bahwa adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh
rakyat atau anggota masyarakat adat. Kedua, unsur psikologis bahwa terdapat adanya
keyakinan pada rakyat atau anggota masyakat adat, bahwa adat dimaksud memiliki
kekuatan hukum.
Orang Indonesia pada dasarnya berfikir dan merasa atau bertindak selalu didorong oleh
kepercayaan (religi) pada tenaga-tenaga gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam
semesta (dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, bintang, tumbuh-tumbuhan besar dan
kecil, benda, lebih-lebih benda yang berupa dan berbentuk luar biasa, dan semua tenaga-
tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan. Itu berwujud
dalam beberapa upacara, pantangan atau ritus.
Corak keagamaan ini juga terlihat dari suatu kebiasaan didalam masyarakat Indonesia,
apabila akan memutuskan menetapkan dan mengatur suatu karya atau menyelesaikan sesuatu
karya biasanya memohon keridhoan Yang Maha Esa.
3. Kebersamaan (bercorak komunal)
Dimaksudkan bahwa didalam hukum adat lebih di utamakan kepentingan bersama,
kepentingan pribadi diliputi oleh kepentingan bersama. Satu untuk semua dan semua untuk
satu, hubungan hukum antara anggota masyarakat adat didasarkan oleh rasa kebersamaan,
kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong.
4. Konkret dan visual
Corak hukum adat adalah konkret, artinya hukum adat ini jelas, nyata, berwujud sedangkan
corak visual di maksudkan hukum adat itu dapat di lihat, terbuka, dan tidak tersembunyi.
Sedangkan sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat terang dan tunai , tidak
samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengarkan orng lain, dan Nampak terjadi
ijab Kabul (serah terima) nya. Misalnya dalam jual beli, waktunya jatuh bersamaan antra
pembayaran harga dan penyerahan barangnya.jika barang diterima pembeli tetapi harga
belum dibayar, maka itu bukan jual beli tetapi hutang piutang.
5. Terbuka dan sederhana
Corak hukum adat itu terbuka artinya hukum adat itu dapat menerima unsur-unsur yang
datangnya dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri.
Sedangkan corak hukum adat itu sederhana artinya hukum adat itu bersahaja, tidak rumit,
tidak banyak administrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan
dilaksanakan berdasarkan saling mempercayai.
6. Dapat berubah dan menyesuaikan
Maka dapatlah dimengerti bahwa hukum adat itu merupakan hukum yang hidup dan berlaku
didalam masyarakat Indonesia sejak dulu hingga sekarang yang dalam pertumbuhannya atau
perkembangannya secara terus menerus mengalami proses perubahan, menebal dan menipis.
7. Tidak dikodifikasi
Kebanyakan hukum adat bercorak tidak dikodifikasi atau tidak tertulis, oleh karena itu
hukum adat mudah berubah dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Walau demikian adanya, juga dikenal hukum adat yang dicatat dalam aksara daerah yang
bentuknya tertulis seperti diTapanuli ruhut parsaoron di Hobatohan dan patok dohot uhum
ni halak batak. Dibali dan Lombok awig-awig, dijawa paranata desa, disurakarta dan
diyogyakarta angger-angger di aceh sarakata.
8. Musyawarah dan mufakat
Hukum adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, baik didalam
keluarga, hubungan kekerabatan, ketetanggaan, memulai sesuatu pekerjaaan maupun dalam
mengakhiri pekerjaan, apalagi yang bersifat peradilan dalam menyelesaikan perselisihan
antara yang satu dan yang lainnya, di utamakan jalan penyelesaiannya secara rukun dan
damai dengan musyawarah mufakat, dengan saling memaafkan tidak begitu saja terburu-buru
pertikaian itu langsung dibawa atau disampaikan ke pengadilan Negara.
Sistem hukum adat sebagai sumber pengenal hukum adat
Hukum adat merupakan suatu,sistem hukum yang dibentuk berdasarkan sifat, pandangan
hidup dn cara berpikir masyarakat (bangsa)
R. Soepomo menegaskan bahwa terdapat perbedaan yang fundamental (mendasar) antara
sistem hukum barat (eropa), beberapa perbedaan itu adalah sebagai berikut:
1. Hukum barat mengenal zakelijk rechten dan persoonlijk rechten. Zakelijk rechten
adalah hak-hak atas suatu barang yang bersifat zakelijk, yaitu yang berlaku pada setiap
orang. Persoonlijk rechten adalah, hak-hak orang seorang atas suatu subjek yang hanya
berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu. Hukum adat tidak mengenal
pembagian yang hakiki dalam dua golongan. Sebagai mana diatas.
2. Hukum barat mengenal perbedaan antara publiek recht (hukum umum) dan privat
recht (hukum privat) sedangkan hukum adat tidak mengenal perbedaan antara
peraturan-peraturan hukum adat yang bersifat publik dan peraturan-peraturan yang hanya
mengenai lapangan privat, maka batas-batas antara kedua lapangan itu didalam hukum
adat adalah berlainan daripada batas-batas antara lapangan publik dan lapangan privat
pada hukum barat.
3. Pelanggaran-pelanggaran hukum menurut sistem hukum barat dibagi-bagi dalam
golongan pelanggaran yang bersifat pidana dan haru diperiksa oleh hakim pidana (straf
rechter).
Menurut Hilman hadikusuma, sistematika hukum adat mendekati sistem hukum inggris
(anglo saxon) yang disebut common law yang sistematikanya berbeda dengan civil law.
Menurut M.M. Djojodigoeno dikatakan bahwa dalam Negara aglo saxon, disana sistem
common law tak lain sistem adat hanya bahannya berlainan.
Faktor ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis adalah:
1. Faktor genealogis (keturunan)
2. Faktor territorial (wilayah)
Hukum perorangan
Hukum perorangan ini yang dibicarakan adalah tentang masalah subjek hukum dalam hukum
adat dalam hukum adat, subjek hukum perorangan meliputi badan-badan hukum dan
manusia, badan-badan hukum antara lain desa, suku, nagari, dan wakaf. Setiap manusia baik
laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama sebagai subjek hukum dalam
hukum adat.
Dalam hukum adat kriterianya adalah bukan umur tetapi kenyataan-kenyataan tertentu antara
lain:
1. kuwat gawe (dapat atau mampu bekerja sendiri)
2. cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluannya sendiri
Hukum kekeluargaan
Hal keturunan
Yang dimaksud dengan hal keturunan dalam hukum kekeluargaan adat ini adalah ketunggalan
leluhur artinya terdapat hubungan darah antara orang seorang dengan orang lain, dua orang
atau lebih yang memiliki hubungan darah.
Adapun hak-hak perseorangan yang diberikan atas tanah ataupun isi tanah ulayat adalah
berupa :
1. Hak milik atas tanah
2. Hak menikmati atas tanah
3. Hak terdahulu
4. Hak terdahulu untuk dibeli
5. Hak memungut hasil karena jabatan
6. Hak pakai
7. Hak gadai dan hak sewa
3. Transaksi Tanah dalam Hukum Adat
Transaksi tanah dalam hukum adat pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu :
1. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum sepihak
2. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak
4. Transaksi-transaksi yang ada hubungannya dengan tanah
Dalam transaksi seperti ini yang menjadi obyeknya adalah bukan tanah, tetapi hanya
mempunyai hubungan dengan tanah seperti :
1. Di Minangkabau disebut memperduai, Jawa maro, Minahasa toyo, Sulawesi
Selatan tesang, Priangan nengah, Jawa mertelu, atau juga didaerah Priangan
kata lainnya disebut jejuran.
2. Sewa adalah suatu transaksi yang mengizinkan orang lain mengerjakan/mengolah
tanahnya atau untuk tinggal ditanahnya dengan membayar uang sewa yang tetap
sesudah tiap panen atau sesudah tiap bulan atau tiap tahunnya.
3. Tanggungan atau jonggolan di Jawa, makantah di Bali, tanah di Tapanuli,
transaksi ini dapat terjadi apabila seseorang yang berhutang berjanji kepada orang
yang member pinjaman, bahwa selama belum melunasi utangnya ia tidak akan
mengadakan transaksi mengenai tanahnya kecuali dengan pemberi utang.
4. Numpang atau magersari di Jawa atau di Priangan disebut lindung. Bentuk
transaksi ini terjadi jika seorang pemilik tanah yang bertempat tinggal ditanah itu
(mempunyai rumah diatas tanah itu) memberi izin kepada orang lain untuk membuat
rumah yang kemudian ditempati olehnya diatas tanah dimaksud, juga sekaligus
menimbulkan satu transaksi yang kemudian disebut numpang.
5. Memperduai atau sewa bersama-sama dengan gadai. Transaksi ini merupakan
transaksi gabungan antara transaksi tanah dengan transaksi yang berhubungan
dengan tanah.
6. Titip, transaksi seperti ini berasal dari bahasa Jawa, yang terjadi dimana suatu
transaksi seseorang member izin kepada orang lain yang tidak berhak untuk
menggunakan tanahnya, sekaligus memelihara untuknya.
Hukum Adat dalam peraturan perundang-undangan Hindia Belanda
Ketentuan pasal ini tercantum dalam Bab VII IS; IS (Indische Staatregeling) adalah singkatan
dari undang-undang yang selengkapnya disebut Wet op de Staatsinrichchiting van
Nederlands-Indie yang berlaku sejak tanggal 1 januari 1920 dan dicantumkan dalam Stb.
1925 Nomor 415 jo Nomor 577 berlaku mulai tanggal 1 januari 1926.