Anda di halaman 1dari 42

FILSAFAT HUKUM

KEADILAN SEBAGAI CITA HUKUM

A. PENGERTIAN HUKUM DAN KEADILAN


1. Pengertian dan Konsep Hukum

Pada dasaranya, kita dapat mengetahui adanya hukum itu apabila kita telah
melanggarnya, yaitu pada saat kita berhadapan dengan polisi, jaksa, atau hakim
atau saat kita dikenakan sanksi atas pelanggaran yang telah kita lakukan. Walaupun
hukum itu tidak dapat kita lihat secara fisik lahiriah, hal itu sangat penting bagi
kehidupan masyarakat.
Hukum mengatur hubungan antara setiap individu dalam masyarakat sehingga
tertib, aman, dan damai. Banyak definisi atau pengertian mengenai apa itu hukum.
Selanjutnya, hukum dapat diartikan sebagai berikut :

a. Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa: perangkat peraturan


yang ditetapkan penguasa, seperti UUD dan lain-lain.

1
b. Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim: putusan-putusan yang
dikeluarkan hakim dalam menghukm sebuah perkara yang dikenal dengan
jurisprudence (yurisprudensi).
c. Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum: hukum diartikan sebagai sosok
seorang petugas hukum, seperti polisi yang sedang bertugas. Pandangan ini sering
dijumpai di dalam masyarakat tradisional.
d. Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku: sebuah perilaku yang tetap
sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan, “Setiap orang yang kos,
hukumnya hrus membayar uang kos”. Sering terdengar dalam pembicaraan
masyarakat dan bagi mereka itu adalah aturannya/hukumnya.
e. Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah: kaidah/norma adalah aturan yang
hidup di tengah masyarakat. Kaidah /norma ini dapat berupa norma kesopanan,
kesusilaan, agama, dan hukum (yang tertulis) yang berlakunya mengikat seluruh
anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi pelanggar.
f. Hukum diartikan sebagai tata hukum: berbeda dengan penjelasan angka 1, dalam
konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang berlaku (hukum
positif) dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut
kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan dengan Negara (hukum
publik). 2
Peraturan privat dan publik ini terjelma di berbagai aturan hukum
dengan tingkatan, batas kewenangan, dan kekuatan mengikat
yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum
keberadaannya digunakan untuk mengatur tata tertib masyarakat
dan berbentuk hiererkis.

g. Hukum diartikan sebagai tata nilai: hukum mengandung nilai


tentang baik-buruk, salah-benar, adil-tidak adil, dan lain-lain,
yang berlaku secara umum.
h. Hukum diartikan sebagai ilmu: hukum yang diartikan sebagai
pengetahuan yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis,
objektif, dan universal. Keempat perkara tersebut adalah syarat
ilmu pengetahuan.

3
I Hukum diartikan sebagai sisten ajaran (disiplin hukum): sebagai sistem ajaran, hukum
akan dikaji dari dimensi das-sollen dan das-sein. Sebagai das-sollen, hukum
menguraikan hukum yang dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan hukm yang
seharusnya dijalankan. Sementara itu, sisi das-sein merupakan wujud pelaksanaan
hukum pada masyarakat.
Antara das-sollen dan das-sein harus senyawa. Antara teori dan praktik harus sejalan.
Jika das-sein menyimpang dari das-sollen, akan terjadi penyimpangan pelaksanaan
hukum.
j. Hukum diartikan sebagai gejala sosial: hukum merupakan gejala yang berada di
masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertujuan untuk mengusahakan adanya
keseimbangan dari berbagai macam kepentingan seseorang dalam masyarakat
sehingga akan meminumalisasi terjadinya konflik.
Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya perlu dijaga
oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerja asama positif anggota masyarakat dapat
berjalan aman dan tertib.
Hukum secara terminologis pula masing sangat sulit untuk diberikan secara tepat dan
dapat memuaskan. Ini disebabkan hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat
banyak sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu dalam
suatu definisi. Kenyataan ini juga seperti apa yang diungkapkan Dr. W.L.G. Lemaire
dalam bukunya Het Recht in Indonesia.
4
Sebagai gambaran, Prof. Sudiman Kartohadiprodjo memberi contoh-contoh
tentang definisi hukum yang berbeda-beda sebagai berikut :
a. Aristoteles
Particular law is that which each community lays down and applies to its own
member. Universal law is the law of nature. (Hukum tertentu adalah sebuah hukum
yang setiap komunitas meletakkan ia sebagai dasar dan mengapliasikannya
kepada anggotanya sendiri. Hukum universal adalah hukum alam).
b. Grotius
Law is a rule of moral action obliging to that which is right. (Hukum adalah sebuah
aturan tindakan moral yang akan membawa kepada apa yang benar).
c. Hobbes
Where as law, properly is the word of him, that by right had command over others.
(pada dasarnya, hukum adalah sebuah kata seseorang yang dengan haknya, telah
memerintahkan pada yang lain).
d. Philip S. James
Law is body of rule for the guidance of human conduct which are imposed upon,
and enforced among the members of a given state. (Hukum adalah tubuh bagi
aturan agar menjadi petunjuk bagi kelakuan manusia yang dipaksakan padanya
dan dipaksakan terhadap ahli dari sebuah Negara)
e. Imanuel Kant
Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang
yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain,
menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
5
Walaupun tidak mungkin diadakan suatu definisi yang lengkap tentang apakah
hukum itu, Drs. E. Utrecht, SH dalam bukunya yang berjudul Pengantar dalam Hukum
Indonesia telah mencoba membuat sebuah batasan yang maksudnya sebagai pegangan
bagi orang yang sedang mempelajari ilmu hukum.
Batasan tersebut, “Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (Perintah-
perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena
itu harus ditaati oleh masyarakat itu”.

Selain dari Utrecht, sarjana hukum lainnya juga telah berusaha merumuskan
apakah hukum itu.
a. Prof. Mr. EM. Meyers dalam bukunya De Algemene begrifen van het Burgerlijk Recht
mengatakan bahwa hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan
kesusilaan. Ini ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi
pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.
b. Leon Duquit mengatakan, “Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota
masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh
suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar
menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.”
c. C. Van Vollenhoven mengatakan bahwa recht is een verschijnsel in rusteloze
wisselwerking van stuw en tegenstuw.”

6
d. SM. Amin, S.H. mengatakan, “Hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri atas
norma-norma dan sanksi-sanksi yang disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah
mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan
ketertiban terjamin.
e. MH. Tirtaamidjaja, SH mengatakan, “Hukum adalah seluruh aturan (norma) yang
harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan
ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan
membahagiakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan
kemerdekaan dan didenda”
f. Wasis Sp. Mengatakan “Hukum adalah perangkat peraturan baik yang bentuknya
tertulis maupun tidak tertulis, dibuat oleh penguasa yang berwenang, mempunyai
sifat memaksa dan atau mengatur, mengandung sanksi bagi pelangarnya, ditujukan
pada tingkah laku manusia dengan maksud agar kehidupan individu dan
masyarakat terjamin keamanan dan ketertibannya”.

2. Unsur, Ciri-ciri, dan Sifat Hukum

Setelah melihat definisi-definisi hukum tersebut, dapat diambil kesimpulan


bahwa hukum itu meliputi unsur sebagai berikut :
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan itu bersifat memaksa 7
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Selanjutnya, agar hukum itu dikenal dengan baik, haruslah mengetahui ciri-ciri
hukum. Menurut C.S.T. Kansil, SH, ciri-ciri hukum sebagai berikut :
a. Terdapat perintah dan/atau larangan
b. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang
Setiap orang berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat
sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, hukum meliputi belbagai peraturan yang menentukan dan
mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lainnya, yakni peraturan-peraturan
hidup bermasyarakat yang dinamakan dengan kaidah hukum. Barang siapa yang dengan
sengaja melanggar satu kaidah hukum akan dikenai sanksi (sebagai akibat pelanggaran
kaidah hukum) yang berupa “hukuman”.

Pada dasarnya, hukuman atau pidana itu berbagai jenis bentuknya. Akan
tetapi, sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), hukuman atau pidana sebagai berikut :
a. Pidana pokok:
1) Pidana mati;
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda;
5) Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan:
6) Pencabutan hak-hak tertentu; 8
7) Perampasan barang-barang tertentu;
8) Pengumuman putusan hakim.
Sementara itu, sifat bagi hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia
merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang
supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas
(berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan
bagi sebuah hukum agar kaidah-kaidah hukum itu dapat ditaati karena tidak semua
orang hendak mentaati kaidah-kaidah hukum itu.

3. Fungsi dan Tujuan Hukum


Keterangan yang telah dikemukakan memiliki sebuah kesimpulan, yaitu hukum
selalu melekat pada manusia bermasyarakat. Dengan berbagai peran hukum, hukum
memiliki fungsi berikut. “Menertibkan dan mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat
serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul”. Lebih perincinya, fungsi hukum
dalam perkembangan masyarakat dapat terdiri atas hal berikut :
a. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti hukum berfungsi
menunjukkan manusia mana yang baik dan mana yang buruk sehingga segala
sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.
b. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: karena hukum
memiliki sifat dan ciri-ciri yang telah disebutkan, hukum dapat memberi keadilan,
dalam arti dapat menentukan siapa saja yang salah dan siapa yang benar dapat
memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya

9
c. Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa
dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan
pembangunan. Di sini, hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat
ke arah yang lebih maju.
d. Sebagai penentutan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh
melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus mentaatinya,
serta siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil, seperti konsep
hukum konstitusi Negara.
e. Sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti contoh persengketaan harta
waris dapat segera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah
diatur dalam hukum perdata.
f. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali
hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.

10
Dari keseluruhan, mulai dari perngertian, unsur, ciri-ciri, sifat, dan fungsi hukum,
tujuan dari perwujudan hukum itu haruslan ada. Sesuai dengan banyaknya pendaat
tentang penegrtian hukum, tujuan hukum juga memiliki perbedaan penadpat antara
satu ahli dan ahli yang lain. Berikut ini beberapa pendapat ahli tentang tujuan
hukum.
a. Prof. Lj. Van Apeldorn
Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan
adil. Demi mencapai kedamaian hukum, harus diciptakan masyarakat yang adil
dengan mengadakan pertimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu
sama lain dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang
menjadi haknya.
Pendapat Apeldorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara dua teori tujuan
hukum: teori etis dan utilitis.
b. Aristoteles
Tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari hukum ditentukan
oleh kesadaran etis menganai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.
c. Prof. Soebekti
Tujuan hukum adalah melayani kehendak Negara, yakni mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Dalam melayani tujuan Negara,
hukum akam memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya.
11
d. Geny (teori ethic)
Menurut Geny dengan teori etisnya, tujuan hukum adalah keadilan yang semata-
mata. Tujuan hukum ditentukan oleh unsur keyakinan seseorang yang dinilai etis.
Adil atau tidak, benar atau tidak, berada pada sisi batin seseorang, menjadi
tumpuan dari teori ini. Kesadaran etis yang berada pada tiap-tiap batin orang
menjadi ukuran untuk menentukan warna keadilan dan kebenaran.
e. Jeremy Bentham (teori utility)
Menurut Bentham dengan teori utilitasnya, hukum bertujuan semata-mata apa
yang berfaedah bagi orang. Pendapat ini dititikberatkan pada hal-hal yang
berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal
keadilan. Maka itu, teori ini menetapkan bahwa tujuan hukum ialah memberikan
faedah sebanyak-banyaknya.
f. J.H.P. Bellefroid
Bellefroid menggabungkan dua pandangan ektrem tersebut. Menurut Bellefroid, isi
hukum harus ditentukan menurut dua asas, yaitu asas keadilan dan faedah.
g. Prof. J. Van Kan
Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-
kepentingannya tidak dapat diganggu. Dengan tujuan ini, akan dicegah terjadinya
perilaku main hakim sendiri terhadap orang lain karena tindakan itu dicegah oleh
hukum.
12
B. PENGERTIAN DAN KONSEP KEADILAN

Keadilan adalah suatu keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut


hak dan menjalankan kewajiban. Apabila manusia telah mampu memahami dan
menghayati konsep keadilan, ia dapat dikatakan sebagai makhluk yang
homohumanus. Keadilan merupakan kebutuhan mutlak setiap manusia.
Keadilan, menurut beberapa pakar, di antaranya :
menurut Aristoteles,
adalah “kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai
titik tengah di antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu
sedikit”(Theo Huijbers, 1995: 36).
Menurut Plato,
“keadilan diproyeksikan pada orang. Orang yang adil adalah orang yang
mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal”.
Menurut Socreates,
“keadilan diproyeksikan pada pemerintahan, keadilan tercipta apabila
setiap warga sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan
tugasnya dengan baik”.

13
Keadilan dapat dibagi menjadi bermacam-macam sebagai berikut :
1. Menurut sumbernya
a. Keadilan individual adalah keadilan yang bergantung pada kehendak baik
atau kehendak buruk masing-masing individu
b. Keadilan sosial adalah keadilan yang pelaksanaannya bergantung pada
struktur-struktur tersebut, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan ideologi.
2. Menurut jenisnya
c. Keadilan legal (keadilan moral) terwujud apabila setiap anggota dalam
masyarakat melakukan fungsinya dengan baik menurut kemampuannya.
d. Keadilan distributif terwujud apabila hal-hal yang sama diperlakukan
secara sama dan hal-hal yang tidak sama pun diperlakukan secara tidak
sama.
e. Keadilan kumulatif terwujud apabila tindakannya tidak bercorak ekstrem
sehingga merusak atau menghancurkan pertalian di dalam masyarakat
sehingga masyarakat menjadi tidak tertib.

Ciri – ciri nilai keadilan:


f. Tidak memihak,
g. Sama hak,
h. Sah menurut hukum.
i. Layak dan wajar. 14
j. Benar secara moral
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat
Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat
etik, filosofis, hukum, sampai keadilan sosial.
Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada
kekuatan dan kekuatan yang dimiliki untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, tetapi
tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah justice yang berasal dari bahasa
Latin iustitia. Kata justice memiliki tiga macam makna yang berbeda, yaitu :
(1)secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya
justness),
(2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang
menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinomimnya judicature), serta
(3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum
suatu perkara dibawa ke pengadilan (sinomimnya judge, jurist, dan magistrate).

Sementara itu, kata “adil” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al’adl
yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak
seseorang, dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Untuk menggambarkan
keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim), seperti qisth, hukm, dan
sebagainya.
Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan merupakan
kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan aturan hukum
positif, bagaimana suatu tindakan harus di lakukan dan pendistribusian menegakkan 15
keadilan serta bagimana memajukan keadilan. Namun, tentu tidak demikian halnya jika
ingin memainkan peran menegakkan keadilan (Darji dan Shidarta, 1995: 137).
C. HUBUNGAN HUKUM DAN KEADILAN

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak


dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum
bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.
Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya.
Putusan hakim, misalnya, sedapat mungkin merupakan resultant dari
ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat bahwa di antara
ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan tujuan hukum yang paling
penting, bahkan ada yang berpendaat bahwa keadilan adalah tujuan hukum
satu-satunya.

Ulpianus (200 M) menggambarkan keadilan sebagai justitia constans et


perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi (keadilan adalah kehendak yang
terus-menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang
menjadi haknya) atau tribuere cuique suum – to give everybody his own,
keadilan memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya. Perumusan
ini dengan tegas mengkui hak masing-masing person terhadap lainnya serta
apa yang seharusnya menjadi bagiannya, demikian pula sebaliknya.
16
Keadilan sudah dibicarakan sejak zaman dulu kala. Dalam hubungan antara
keadilan dengan Negara, Plato (428 – 349 SM) mengatakan, neara ideal didasarkan
atas keadilan dan keadilan baginya adalah keseimbangan dan harmoni. Harmoni di sini
artinya warga hidup sejalan dan serasi dengan tujuan Negara (polis), yaitu masing-
masing warga Negara menjalani hidup secara baik sesuai dengan kodrat dan posisi
sosialnya masing-masing.

Aristoteles (384 – 322 SM) dalam karyanya Nichomachen Ethies


mengaungkapkan bahwa keadilan mengandung arti berbuat kebajikan. Dengan kata
lain, keadilan adalah kebijakan yang utama.
Menurut Aristoteles, justice consists in treating equals equality and un-equals
un-equality, in proportion to their inequality. Prinsip ini beranjak dari asumsi bahwa
untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan yang tidak sama juga
diperlakukan tidak sama, secara proporsional.

Perkembangan lebih lanjut tentang keadilan, Thomas Aquinas (1225 – 1274)


mengajukan tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu:
a) hubungan antar individu (ordo partium ad partes);
b) hubungan antar masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (ordo totius
ad partes); dan
c) hubungan antar individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium 17
ad totum).
Menurut Thomas Aquinas, keadilan distributif pada dasarnya merupakan
penghormatan terhadap person manusia dan keluhurannya. Dalam konteks keadilan
distributif, keadilan dan kepatuhan (equity) tidak tercapai semata-mata dengan
penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal
dengan hal lainnya. Ada dua bentuk kesamaan, yaitu:
a) kesamaan proporsional dan
b) kesamaan kuantitas atau jumlah.

Friedman manyatakan, formulasi keadilan Aristoteles merupakan suatu


kontribusi terbesarnya bagi filsafat hukum. Di samping itu, ia juga membedakan
keadilan menurut hukum dan keadilan menurut alam.
Keadilan alamiah adalah keadilan yang daya berlakunya tidak dipengaruhi oleh
ruang dan waktu serta keberadaannya bukan hasil pemikiran masyarakat. Keadilan
hukum adalah keadilan yang pada asalnya tidak berbeda, tetapi apabila telah dijadikan
landasan, ia menjadi berlainan.

Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan


umum (iustitia generalis) dan keadilan khusus (iustitia specialis). Kedailan umum
adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi
kepentingan umum. Selanjutnya, keadilan khusus ini dibedakan menjadi :
1) keadilan distributif (iustitia distributiva),
18
2) keadilan komutatif (iustitia commutative),
3) keadilan vindikatif (iustitia vindicativa).
Keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam
lapangan hukum publik secara umum. Sebagai contoh, Negara hanya akan
mengangkat seorang menjadi hakim apabila orang itu memiliki kecakapan menjadi
hakim.
Keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan
kontraprestasi. Keadilan vidikatif adalah keadilan dalam tindak pidana. Seorang
dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan basarnya hukuman
yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

Pemikiran kritis memandang bahwa keadilan tidak lain sebuah fatamorgana,


seperti orang melihat langit yang seolah-oleh kelihatan, tetapi tidak pernah
menjangkaunya, bahkan juga tidak pernah mendekatinya.
Walaupun demikian, haruslah diakui bahwa hukum tanpa keadilan akan terjadi
kesewenang-wenangan. Sebenarnya, keadilan dan kebenaran merupakan nilai
kebajikan yang paling utama sehingga nilai-nilai ini tidak bisa ditukar dengan nilaiapa
pun.
Sisi teori etis ini lebih mengutamakan keadilan hukum dengan mengurangi isi
kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, seperti sebuah bandul (pendulum) jam.
Mengutamakan hukum saja akan berdampak pada kurangnya kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum, demikian juga sebaliknya.
19
Abdul Ghofur menyatakan bahwa tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena
itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan
sebuah sistem hukum yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus
terjalin erat dengan keadilan. Hukum adalah undang-undang yang adil.
Apabila suatu hukum konkret, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-
prinsip keadilan, hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai
hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum apabila memenuhi prinsip-prinsip
keadilan. Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang
hukum (Huijbers, 1995: 70).

Lebih lanjut Abdul Ghofur menyatakan bahwa sifat adil dianggap sebagai bagian
konstitutif hukum karena hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di
dunia ini. Artinya, manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan
mengaturnya secara adil. Dengan kata lain, kesadaran manusia yang timbul dari hati
nurani tentang tugas sesuai pengemban misi keadilan secara spontan adalah penyebab
mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum.
Huijbers menambahkan alasan penunjang mengapa keadilan menjadi unsur
konstitutif hukum sebaai berikut :
1. Pemerintah Negara mana pun selalu membela tindakan dengan memperlihatkan
keadilan yang nyata di dalamnya.
2. Undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan sering kali
dianggap sebagai undang-undang yang telah usang dan tidak berlaku lagi.
3. Dengan bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenarnya bertindak di luar 20
wewenangnya yang tidak sah secara hukum.
Konsekuensi pandangan kontinental sistem tentang nilai keadilan hukum adalah
undang-undang yang adil. Adil merupakan unsur konstitutif dari segala pengertian hukum,
hanya peraturan yang adil yang disebut hukum seperti berikut ini :
1. Hukum melebihi Negara. Negara (pemerintah) tidak boleh membentuk hukum yang
tidak adil. Lebih percaya pada prinsip-prinsip moral yang dianut dalam undang-undang
daripada kebijaksanaan manusia dalam bentuk putusan-outusan hakim.
2. Sikap kebanyakan orang terhadap hukum mencerminkan pengertian hukum ini, yaitu
hukum sebagai moral hidup (norma ideal).
3. Prinsip-prinsip pembentukan hukum (prinsip-prinsip keadilan) bersifat etis. Hukum
sebagai keseluruhan mewajibkan secara batiniah.

Dalam bidang hukum, keadilan menjadi tugas hukum atau merupakan kegunaan
hukum. Keadilan yang menjadi tugas hukum merupakan hasil penyerasian atau
keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Secara ideal,
kepastian hkum merupakan pencerminan asas tidak merugikan orang lain, sedangkan
kesebandingan hukum merupakan pencerminan asas bertindak sebanding.
Oleh karena keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum
merupakaninti penegakan hukum, penegakan hukum sesungguhnya diperngaruhi oleh :
1. Hukum itu sendiri,
2. Kepribadian penegak hukum,
3. Fasilitas kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat,
21
4. Taraf kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat,
5. Kebudayaan yang dianut masyarakat (Soekanto, 1988: 29).
Penegakan hukum bukan tujuan alhir dari proses hukum karena keadilan belum
tentu tercapai dengan penegakan hukum. Padahal, tujuan akhirnya adalah keadilan.
Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat
tidak mungkin seragam.
Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses yang bergerak di antara dua
kutub citra keadilan. Naminem laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula
suum cuique tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan di
antara dua kutub tersebut.

Pada suatu ketika, keadilan lebih dekat pada satu kutub dan pada saat yang
lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutub
naminem laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang
kehidupan yang bersifat netral.
Akan tetapi, jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau
sensitif, yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub suum cuique tribuere.
Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang
adil orang-orang dapat hidup dengan dama menuju suatu kesejahteraan jasmani
ataupun rohani

22
Abdul Ghofur dalam bukunya Filsafat Hukum, Aliran, dan Sejarah menyatakan
bahwa para sarjana Inggris dan Amerika dalam memegang prinsip keadilan lebih
benyak diwarnai dengan filsafat empirisme dan pragmatisme. Pada intinya, pandangan
ini beranggapan bahwa kebenaran berasal dari pengalaman dan praktik hidup.

Karena itu, yang diutamakan dalam menangani hukum adalah hubungan dengan
realitas hidup, bukan dengan prinsip-prinsip abstrak tentang keadilan. Oleh karena itu,
adil dan tidak adil tidak terpengaruh oleh pengertian tentang hukum, tetapi lebih banyak
diwarnai oleh realitas pragmatis. Konsekuensi pandangan ini sebagai berikut :

1. Pada prinsipnya, hukum tidak melebihi Negara (yang dianggap sama dengan
rakyat). Hukum adalah sarana pemerintah untuk mengatur masyarakat secara adil,
tidak ada instansi yang lebih tingi dari hukum.
Karena kemungkinan dari ketidakadilan tetap ada, diharapkan bahwa dalam praktik
hukum keyakinan-keyakinan rakyat dan kebijaksanaan para hakim menghindari
penyimpangan yang terlalu besar.
2. Hukum adalah apa yang berlaku de facto. Itulah akhirnya tidak lain dari keputusan
hakim dan juri rakyat. Sementara itu, rakyat juga menyadari bahwa hukum tak lain
dari apa yang telah ditentukan.
3. Menurut aliran empirisme, hukum sebagai sistem tidak mewajibkan secara batiniah
sebab tidak dipandang sebagai bagian tugas etis manusia. Hukum harus ditaati
sebab ada sanksi bagi pelanggar berupa hukuman, sedangkan ketaatan secara
batiniah lebih banyak disebabkan oleh keyakinan agama (Huijbers, 1995: 70)
23
D. KEADILAN SEBAGAI SALAH SATU CITA HUKUM (RECHT EDEE)

Pada awalnya, hukum hanya digunakan untuk mengatur tingkah laku dan
mempertahankan pola-pola kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kecenderungan hukum pun turut berkembang
kearah penggunaannya sebagai alat penyusun bangunan berkehidupan yang nyaris
bersinggungan dengan segala aspek bermasyarakat.
Konsep hukum seperti ini merupakan konsep hukum sebagai alat yang
berkaitan dengan perkembangan masyarakat berdasarkan pada perencanaan guna
mencapai tujuan yang diharapkan.

Berbicara mengenai konsep hukum sebagai alat secara tidak langsung juga
mengantarkan pada pembahasan mengenai hukum sebagai konsep yang modern.
Hukum dalam hal ini merupakan kebutuhan masyarakat dan mencerminkan kehendak
tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina serta ke mana semestinya
terarahkan.

Selanjutnya peran hukum sebagai alat yang juga berarti hukum sebagai konsep
modern memunculkan beberapa tantangan konseptual seperti di bawah ini :
1. Apa yang sebenarnya menjadi orientasi hukum ?
2. Meliputi fungsi apa sajakah hukum tertuang dalam perlakuannya sebagai alat
penyusun bangunan berkehidupan ?
24
3. Dalam keterkaitannya dengan sistem norma, sejauh mana fungsi hukum dapat
dijalankan ?
Secara umum, hukum dapat diartikan sebagai keseluruhan kaidah
atau peraturan tentang tingkah laku yang menetap dalam suatu
kahidupan bermasyarakat dan bersifat memaksa dalam ranah
pelaksanaan dengan dituangkan melalui penetapan sanksi.
Perlu disadari bahwa sebenarnya hingga saat ini belum ada
pengertian hukum yang dapat mengakomodasi kenyataan yang hidup di
masyarakat.. disebabkan hukum mengakomodasi banyak aspek dan
bentuk (multidimensi) sehingga sulit untuk membuat suatu definisi
hukum yang memadai.
Akan tetapi, setidaknya dalam pelaksanaan hukumharus dipandang
secara keseluruhan/holistik yang meliputi tiga hal berikut ini :
1. Hukum sebagai kumpulan ide tau nilai abstrak.
2. Hukum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, yaitu
menitikberatkan pada hukumsebagai lembaga yang otonom.
3. Hukum sebagai alat atau saranan yang berfungsi mengatur
masyarakat.

25
Berdasarkan ketiga unsur di atas, diharapkan pelaksanaan hukum nantinya
akan dapat mencapai tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat. Adapun tujuan
hukum secara garis besar adalah mencapai masyarakat yang tertib dan damai serta
terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Berkaitan dengan hal ini, terdapat tiga teori tentang tujuan hukum berikut :

1. Teori etis: hukum ditujukan semata-mata untuk menemukan keadilan sehingga


esensi hukum ditentukan oleh keyakinan etis tentang apa yang adil dan tidak adil.
Pada hakikatnya, keadilan yang ideal itu adalah keadilan yang dinilai setidaknya
dari dua pihak, baik pihak yang mnemberi perlakuan maupun yang menerima
perlakuan. Jadi, tidak hanya dilihat dari satu pihak.
Namun, pada praktiknya, keadilan cenderung hanya dinilai dari satu pihak, yaitu
pihak yang menerima perlakuan.
2. Teori utilitas: hukum bertujuan menjamin kebahagiaan/kesenangan yang terbesar
bagi manusia untuk jumlah yang sebanyak-banyaknya.
3. Teori campuran: tujuan pokok hukum adalah mencapai ketertiban demi
terciptanya masyarakat yangteratur. Selain itu, hukum juga bertujuan mencapai
keadilan secara relatif menurut perkembangan masyarakat dan zamannya.
26
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, hukum tentu memiliki fungsi-fungsi
yang harus dijalankan. Adapun fungsi hukum pada umumnya, yaitu sebagai kontrol
sosial, dalam pemaknaan hukum menghendaki masyarakat agar bertingkah laku
sesuai dengan harapan masyarakat itu sendiri.

Menurut Hoebel, hukum itu mempunyai empat fungsi dasar sebagai berikut :

1. Menetapkan hubungan-hubungan di antara anggota masyarakat, yaitu dengan


menunjukkan tingkah laku apa saja yang diperkenankan dan yang dilarang.
2. Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang boleh
melakukannya serta yang harus mentaatinya sekaligus menetapkan sanksi-
sanksinya.
3. Menyelesaikan sengketa
4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
kehidupan yang berubah.

Guna mencapai tujuan yang dikehendaki dalam menjalankan fungsi-fungsi


tersebut, hukum harus dilihat sebagai subsistem dari sistem masyarakat. Hal ini sejalan
dengan pandangan Lawrence M. Friedman yang memandang hukum sebagai sistem
norma terdiri atas tiga komponen utama berikut :

27
1. Komponen struktur berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan
berbagai fungsi untuk mendukung kinerja sistem tersebut.
2. Komponen substantif, yaitu sebagai output dari sistem hukum berupa peraturan-
peraturan serta keputusan-keputusan yang digunakan oleh pihak yang diatur maupun
yang mengatur.
3. Komponen kultur berupa sikap-sikap, nilai-nilai, kebiasaan, persepsi, dan opini yang
mempengaruhi kinerja hukum.

Berkaitan dengan hal tersebut, Hans Kelsen mengemukakan bahwa untuk


mengatakan hukum itu merupakan sistem norma, ia menghendaki agar objek hukum
bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis. Kemudian, melalui grundnorm (norma
dasar), semua peraturan hukum disusun secara hirarkis dalam satu kesatuan hingga
menjadi suatu sistem.
Grund norm inilah yang merupakan sumber nilai dari adanya sistem hukum,
sedangkan hukum positif hanyalah perwujudan dari adanya norma-norma hukum. Oleh
karena itu, dalam susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara
norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya.

Selanjutnya, dalam rangka pembangunan hukum yang demokratis di Negara yang


sedang berkembang, seperti Indoensia, cita hukum memiliki fungsi yang sangat penting
untuk mengakomodasikan seluruh dinamika masyarakat yang serba komkpleks.

28
Adapun tujuan dari pembangunan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia
pada era Orde Baru telah tercantum di dalam Pembukaan Undand-Undang Dasar
1945 yang diwujudkan melalui penetapam GBHN dan Repelita.
Jika dilihat perkembangannya, hukum juga ikut berkembang sebagai suatu
konsep yang modern sehingga saat ini hukum tidak bisa dilihat sebagai sarana
kontrol sosial saja, tetapi justru sebagai sarana untuk melakukan perubahan-
perubahan dalam wujud pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan perkembangan zaman.

Menurut Burkhardt Krems,


pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang
berhubungan dengan isi/substansi peraturan. Dia kemudian menjelaskan lebih lanjut
bahwa pembentukan, peraturan perundang-undangan bukan merupakan kegiatan
yuridis semata, melainkan kegiatan yang bersifat interdisipliner.
Artinya, setiap kegiatan dalam pembentukan peraturan membutuhkan bantuan
ilmu-ilmu sosial lain agar produk hukum yang dihasilkan dapat diterima dan diakui
oleh masyarakat.

29
Berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan ini, proses
pembentukannya biasa dikenal dengan istilah legal drafting. Ada dua hal pokok
yang berlu diperhatikan dalam legal drafting seperti berikut :
1. Kejelasan konsep yang diperlukan untuk membentu dan menuntun proses
perancangan suatu produk hukum.
2. Pemilihan dan penggunaan bahasa, terutama untuk mencari kata-kata yang
tepat.

Konsekuensi dari ketidakjelasan atau bahkana ketiadaan kedua unsur tersebut


dapat mengakibatkan produk hukum yang disusun akan cepat menjadi usang.
Pembentukan hukum di Indonesia hingga saat ini belum ada sistem hukum yang
ideal sesuai dengan cita dan tujuan Negara ini, yaitu sistem hukum Pancasila.
Sebenarnya, cita hukum Indonesia yang berupa Pancasila telah dirumuskan
secara tegas dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu cita hukum ini memiliki arti penting sebagai dasar sekaligus pengikat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga setiap peraturan yang akan
dibuat haruslah mencereminkan nailai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai
cita hukum bangsa Indonesia.

30
Adapun proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang demokratis
terdiri atas 3 (tiga) tahap secara berurutan sebagai berikut :
1. Tahap sosiologis, yaitu proses penyusunan suatu produk hukum berlangsung dalam
masyarakat itu sendiri dan ditentukan oleh tersedianya bahan-bahan di dalamnya. Ini
berarti dalam tahap sosiologis faktor masyarakat merupakan tempat timbulnya suatu
permasalahan atau tujuan sosial.
2. Tahap politis, yaitu dalam tahap ini permasalahan sosial yang timbul tadi dimasukkan
dalam agenda pemerintah untuk selanjutnya diidentifikasi dan dirumuskan secara lebih
perinci. Adapun permasalahan sosial yang dapat masuk ke agenda pemerintah harus
memenuhi empat kriteria berikut ini :
a. Aspek peristiwanya;
b. Siapakah yang terkena peristiwa itu;
c. Apakah mereka yang terkena peristiwa itu terwakili oleh mereka yang memiliki
posisi sebagai pembuat keputusan;
d. Apakah jenis hubungan antara pengaruh kebijaksanaan tersebut.
Kemudian dalam tahap ini, juga dilakukan proses pengolahan faktor lingkungan sosial,
ekonomi, politik, budaya, keamanan, geografi, dan sebagainya sebagai input bagi
sistem politik diubah menjadi output. Proses ini oleh David Easton disebut dengan
istilah the black box (transformasi sosial dalam pembentukan produk hukum).

31
3. Tahap yuridis: dalam tahap ini lebih difokuskan pada penyusunan dan
pengorganaiasasian masalah-masalah yang diatur dalam rumusan-rumusan hukum.
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan, yaitu consistency, sound arrangement, dan
normal usage.
Adapun proses dalam tahap ini harus selalu meliputi sub-susistem non yuridis, seperti
sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.
Mengenai hal tersebut, Herry C Bredemeier menyatakan sebagai berikut:
a. Sistem hukum yang mendapatkan input dari subsisten ekonomi akan menghasilkan
output berupa penataan kembali produksi dalam masyarakat.
b. Sistem hukum yang mendapatkan input dari subsisten politik akam menghasilkan
output berupa legitimasi dan konkretisasi tujuan-tujuan.
c. Sistem hukum yang mendapatkan input dari susbsistem budaya akan
menghasilkan output berupa keadilan.

Jika kita flashback melihat sejarah pembangunan di bidang hukum yang ada
di Indonesia, ternyata cenderung berkiblat pada paradigma kekuasaan. Hal ini
terlihat jelas terutama pada masa Orde Baru.
Rezim Orde Baru pada awalnya bertujuan menata kembali kehidupan politik
yang demokratis untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan masyarakat.
Namun, dalam perjalanannya, terjadi pergeserah dari politik yang demokratis
kearah demokrasi yang otoriter. 32
Konsidi tersebut diperparah dengan adanya konstitusi ataupun format politik
yang menobatkan presiden sebagai pemegang kekuasaan politik yang terbesar
sehingga kunci penentu setiap kebijaksanaan/keputusan politik pada masa itu
adalah presiden, sedangkan rakyat terpaksa menerimanya, tanpa diberi
kesempatan untuk bersuara karena dianggap pasif, apatis, dan minim informasi.
Ini juga berarti hukum merupakan apa yang dikehendaki oleh kekuasaan politik
dan penguasa demi kepentingan yang diinginkannya. Akibatnya, pembangunan
hukum pada masa Orde Baru menjadi sarat dengan paradigma kekuasaan yang
kemudian melahirkan hukum yang otoriter.

Realitas yang terjadi di Indonesia sebagaimana yang telah diuraikan di atas,


tanpa disadari, telah mengubah Negara kita dari Negara hukum menjadi negara
kekuasaan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Kaidah dasar hukumnya berupa rumusan pikiran totaliter
2. Supermasi dari kaidah dasar berada di atas konstitusi
3. Hukum memiliki sifat membudak sehingga kaidah politik menjadi lebih tinggi
daripada hukum
4. Birokrasi totalitarian untuk kaum elite yang berkuasa
5. Trias politica proforma
6. Kepatuhan terpaksa (dead and legitimacy)
7. Tipe rekayasa merusak (dark social engineering). 33
Selain berhadapan dengan pembangunan hukum yang sarat akan paradigma
kekuasaan, saat ini Indonesia juga sedang dihadapkan pada masalah transformasi
global.
Indonesia dalam bidang pembangunan hukum nasional di era globaliasasi
seperti saat ini mengalami tekanan-tekanan globalisasi perdagangan bebas,
misalnya ekspansi pasar ke Negara-negara sedang berkembang, seperti AFTA,
NAFTA, dan APEC yang menunjukkan adanya globalisasi ekonomi.
Hal ini mendorong orang untuk semakin konsumtif sehinga meruntuhkan
norma-norma lokal/tradisional, sedangkan masyarakat belum memiliki norma-norma
untuk menghadapi tantangan globaliasasi.
Sejak beberapa dekade terakhir ini, harus diakui bahwa Indonesia semakin
memasuki era globalisasi sekaligus menjadi bagian di dalamnya, terutama dalam hal
proses restrukturisasi ekonomi global. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam
menghadapi globalaiasasi tersebut:
1. Masalah hubungan antara warga Negara dengan hukum;
2. Masalah kemampuan hukum dan sistem politik dalam memenuhi tuntutan rakyat
tentang keadilan.

Dengan demikian, sangat diperlukan penataan kembali secara simultan di


bidang pembangunan ekonomi, politik, dan budaya hukum yang dilandasi oleh
nilai-nilai dasar bangsa Indonesia yang dirumuskan secara normatif. 34
Pada dasarnya, manusia menghendaki keadilan. Manusia memiliki tanggaung
jawab besar terhadap hidupnya karena hati nurani manusia berfungsi sebagai index,
ludex dan vindex (Poerwadarminta, 1978: 12).
Proses reformasi menunjukkan bahwa hukum harus ditegakkan demi
terwujudnya supermasi hukum dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan
sesuai dengan tujuan hukum: ketertiban, keamanan, ketenteraman, kedamaian,
kesejahteraan, kebenaran dan keadilan.
Pemikiran filosofis keadilan yang berkaitan dengan filsafat hukum berkaitan erat
dengan pemikiran John Rawls yang mengungkapkan tiga faktor utama:
1. Perimbangan tentang keadilan (gerechtigkeit)
2. Kepastian hukum (rechtessisherkeit)
3. Kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit) (Soetadyo, 2002: 18)

Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban. Hak yang
bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya, yaitu hak
yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat digangu gugat. Keadilan
merupakan salah satu tujuan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.
35
Keadilan adalah kehendak yang ajek, tetap untuk memberikan kepada siapa pun
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman.
Korelasi antara filsafat, hukum, dan keadilan sangat erat karena terjadi tali-temali
antara kearifan, norma, serta keseimbangan hak dan kewajiban.
Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat dan Negara, materi hukum
digali, dibuat dari nilai-nilai yang terkandung dalam bumi pertiwi yang berupa
kesadaran dan cita hukum (rechtidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa,
perikemanusiaan, perdamaian, cita politik, dan tujuan Negara.
Hukum mencerminkan nilai hidup yang ada dalam masyarakat yang mempunyai
kekuatan yang berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Hukum yang hidup pada masyarakat bersumber pada hukum positif:
1. Undang-undang (constitutional)
2. Hukum kebiasaan (adat law)
3. Perjanjian internasional (international treaty)
4. Keputusan hakim (jurisprudence)
5. Doktrin (doctrine)
6. Perjanjian (treaty)
7. Kesadaran hukum (consciousness of law) (Sudikno M. 1988: 28)

36
Tata rakit antara filsafat, hukum, dan keadilan dengan filsafat sebagai induk ilmu
(mother of science) adalah mencara jalan keluar dari belenggu kehidupan secara rasional
dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam hidupnya.
Peranan filsafat tak pernah selesai.
Tidak pernah berakhir karena filsafat tidak menyelidiki satu segi, tetapi tidak terbatas
objeknya. Namun, filsafat tetap setiap kepada metodenya sendiri dengan menyatakan
semua di dunia ini tidak ada yang abadi, yang tetap hanya berubahan, jadi benar filsafat
ilmu tanpa batas. Filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika yang bersifat universal.

Filsafat memiliki cabang umum dan khusus serta beberapa aliran di dalamnya,
terkait dengan persoalan hukum yang selalu mencari keadilan. Hukum dan keadilan
tidak semata-mata ditentukan oleh manusia, tetapi alam dan Tuhan ikut menentukan.
Alam akan memberikan hukum dan keadilan lebih karena alam mempunyai sifat
keselarasan, keseimbangan, keajekan, dan keharmonisan terahdap segalanya.
Alam lebih bijaksana dari segalanya. Manusia terlibat dalam alam semesta
sehingga manusia tunduk dan taat pada alam semesta walaupun hukum alam dapat
disimpangi oleh akal manusia, tetapi tidak semuanya, hanya hal-hal yang khusus
terjadi.
Kebenaran hukum sangat diharapkan untuk mendukung tegaknya keadilan.
Manusia dan hukum terlibat dalam pikiran dan tindakannya karena hati nurani manusia
berfungsi sebagai index, ludex, dan index pada setiap persoalan yang dihadapi
manusia.
37
Filsafat hukum memfokskan pada segi filosofisnya hukum yang berorientasi pada
masalah-masalah fungsi dan filsafat hukum itu sendiri, yaitu melakukan penertiban
hukum, penyelesaian pertiakaian, pertahanan dan pemeliharaan tata tertib, pengadaan
perubahan, serta pengaturan tata tertib demi terwujudnya rasa keadilan berdasarkan
kaiadah hukum abstrak dan konkret.

Pemikiran filsafat hukum berdampak positif sebab melakukan analisis yang tidak
dangkal, tetapi mendalam dan setiap persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat
atau perkembangan ilmu hukum itu sendiri secara teoritis, cakrawalanya berkembang
luas dan komprehensif.
Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dengan filasafat hukum adalah politik
hukum sebab politik hukum lebih praktis dan fungsional dengan cara menguraikan
pemikiran teleologis konstruktif yang dilakukan dalam hubungannya dengan
pembentukan hukum dan penemuan hukum yang merupakan kaidah abstrak yang
berlaku umum. Sementara itu, penemuan hukum merupakan penemuan kaidah konkret
yang berlaku secara khusus.

Dalam memahami adanya hubungan ilmu hukum dengan hukum positif,


menyangkut hukum normatif, diperlukan telaah terhadap unsur-unsur hukum. unsur
hukum mencakup unsur ideal dan rasional.
Unsur ideal mencakup hasrat susila dan rasio manusia yang menghasilkan asas-
asas hukum, unsur riil mencakup kebudayaan, dan lingkungan alam yang
38
menghasilkan tata hukum.
Unsur ideal menghasilkan kaidah-kaidah hukum melalui filsafat hukum. unsur riil
menghasilkan tata hukum yang dalam hal ini dipengaruhi asas-asas hukum yang
bertitik tolak dari bidang-bidang tata hukum tertentu dengan cara mengadakan
identifikasi kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan dalam perundang-undangan
tertentu (Soerjono Soekanto, 1986: 16).

Penerapan filsafat hukum dalam kehidupan bernegara mempunyai variasi yang


beraneka ragam, tergantung pada filsafat hidup bangsa (wealtanchauung) masing-
masing.
Dalam kenyataannya, suatu Negara jika tanpa ideologi tidak mungkin mampu
mencapai sasaran tujuan nasionalnya sebab Negara tanpa ideologi adalah gagal.
Negara akan kandas di tengah perjalanan. Filsafat hidup bangsa (wealtanchauung)
yang lazim menjadi filsafat atau ideologi Negara dan berfungsi sebagai norma dasar
(groundnorm) (Hans Kelsen, 1998: 118).

Indonesia sebagai Negara hukum (rechtsstaat) pada prinsipnya bertujuan


untuk menegakkan perlindungann hukum (iustitia protectiva). Hukum dan cita
hukum (recht idée) sebagai perwujudan budaya. Perwujudan budaya dan
peradaban manusia tegak berkat sistem hukum, tujuan hukum, dan cita hukum
(recht idée).
Hal tersebut yang ditegakkan dalam keadilan yang menampilkan citra moral
dan kebajikan adalah fenomena budaya dan peradaban. Menusia senantiasa 39
berjuang menuntut dan membela kebenaran, kebaikan, dan kebajikan menjadi
cita dan citra moral kemanusiaan dan citra moral pribadi manusia.
Keadilan senantiasa terpadu dengan asas kepastian hukum (rechtssicherkeit) dan
kedayagunaan hukum (zeweckmassigkeit). Tiap makna dan jenis keadilan merujuk
nilai dan tujuan apa dan bagaimana keadilan komutatif, distributif, ataupun keadilan
protektif demi terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin warga Negara yang pada
hakikatnya demi harkat dan martabat manusia.
Hukum dan keadilan sungguh-sunguh merupakan dunia dari transempirical setiap
pribadi manusia.

Cita hukum (recht idee) mempunyai fungsi konstitutif memberi makna pada hukum
dalam arti padatan makna yang bersifat konkret umum dan mendahului semua hukum
serta berfungsi membatasi apa yang dapat dipersatukan.
Pengertian, fungsi, dan perwujudan cita hukum (recht idee) menunjukkan betapa
fundamental dan peranan cita-cita hukum adalah sumber genetik dari tata hukum
(rechts order). Oleh karena itu, cita hukum (recht idee) hendaknya diwujudkan sebagai
suatu realita.
Maknanya bahwa filsafat hukum menjadi dasar dan acuan pembangunan
kehidupan suatu bangsa serta acuan bagi pembangunan hukum dalam bidang-bidang
lainnya. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional.
40
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal, damai, dan tertib. Hukum yang
telah dilanggar harus ditegakkan melalui penegakan hukum. penegakan hukum
menghendaki kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable
terhadap tindakan sewenang-wenang.
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya
kepastian hukum masyarakat akan tertib, aman, dan damai. Masyarakat
mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum. Hukum itu untuk
manusia maka pelaksanaan hukum harus memberi manfaat dan kegunaan bagi
masyarakat. Jangan sampai hukum yang dilaksanakan menimbulkan keresahan dalam
masyarakat.
Masyarakat yang mendapatkan perlakuan yang baik dan benar akan mewujudkan
keadaan yang tata tentrem raharja. Hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap
individu dalam kenyataan yang senyatanya. Dengan perlindungan hukum yang kokoh,
akan terwujud tujuan hukum secara umum: ketertiban, keamanan, ketenteraman,
kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan (Soejadi, 2003: 5).

Rasa keadilan yang dirumuskan hakim mengacu pada pengertian-pengertian aturan


baku yang dapat dipahami masyarakat dan berpeluang untuk dapat dihayati karena rasa
keadilan merupakan soko guru dari konsep-konsep the rule of law.
Hakim merupakan lambang dan benteng dari hukum jika terjadi kesenjangan rasa
keadilan. Jika rasa keadilan hakim dan rasa keadilan masyarakat tidak terjadi,
semakin besar ketidakpeduliannya aterhadap hukum karena pelaksanaan hukum
menghendaki anarki.
41
Penegakan hukum tetap dikaitkan dengan fungsi hukum, filsafat hukum, dan
ideologi Negara karena ketiganya berperan dalam pembangunan suatu bangsa.
Filsafat hidup bangsa (weltanscauung) lazimnya menjadi filasaft Negara atau
ideologi Negara sebagai norma dasar (ground norm). Norma dasar ini menjadi sumber
cita dan moral bangsa karena nilai ini menjadi cita hukum (recht idee) dan paradigm
keadilan suatu bangsa sesuai dengan hukum yang berlaku (hukum positif).
Penjabaran fungsi filsafat hukum terhadap permasalahan keadilan merupakan hal
yanga sangat fundamental karena keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum
yang diterapkan pada hukum positif.
Hukum merupakan alat untuk mengelola masyarakat (law as a tool of sicoal
engineering, menurut Roscoe Pound), pembangunan, penyempurnaan kehidupan
bangsa, Negara, dan masyarakat demi terwujudnya rasa keadilan bagi setiap individu
yang berdampak positif bagi terwujudnya “kesadarn hukum”.

42

Anda mungkin juga menyukai