Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum Adat, jika kita mendengar kata itu yang terlintas di fikiran kita mungkin
adalah suatu Corak kedaerahan yang begitu kental didalamnya. Karena sifatnya yang
tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka sangat
perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat
masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.
Di era Modern ini terkadang kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang kita
kenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara asia asia
lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa
Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum
adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan
Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional,
hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat“.[1]
Bagaimana tempat dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat
tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para
pengembannya- politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Hukum Adat?
2. Bagaimana Sejarah penemuan Hukum Adat?
3. Apa Ciri-ciri Hukum Adat?
4. Apa Sumber-sumber Hukum Adat?
5. Apa Asas-asas Hukum Adat?
6. Bagaimana Sistem Hukum Adat?
7.
8. Bagaimana Lingkungan dan Masyarakat hukum adat?
9. Bagaimana Kedudukan Hukum Adat?

C. TUJUAN
1. Agar pembaca mengetahui dan memahami sejarah penemuan hukum adat
sehingga pembaca dapat melestarikan hukum adat di Indonesia ini pada era
Modern.
2. Agar pembaca memahami bagaimana kedudukan Hukum Adat di Indonesia.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Istilah hukum adat dikemukakan pertama kali oleh Prof.Dr.Christian Snouck
Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Accheers”(Orang-orang Aceh), yang
kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis Van Vollen Hoven dalam bukunya yang
berjudul “Het Adat Recht Van Nederland Indie”[2]
Dengan adanya istilah ini, maka pemerintah kolonial Belanda pada akhir tahun
1929 mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundangan Belanda.[3]
Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat
istiadat mencakup konsep yang sangat luas.
Hukum Adat adalah Hukum Non Statuir yang berarti Hukum Adat pada
umumnya memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat dari mata seorang ahli
hukum memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga dengan
perasaan pula. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan peraturan-
peraturan dalam hukum adat yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang tidak
boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan kemudian
dihukum.
Definisi dari hukum adat sendiri adalah suatu hukum yang hidup karena dia
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri,
hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu
sendiri.[4]

Prof. Mr. B. TerHaar BZN menyebutkan bahwa hukum adat ialah keseluruhan aturan
yang menjelma dalam keputusan para fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa
dan pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara spontan dan dipatuhi
dengan sepenuh hati.
Prof. Dr. Mr. Sukanto menyatakan bahwa hukum adat adalah komplek adat-istiadat
yang kebanyakan tidak dikodifikasikan dan bersifat memaksa, mempunyai sanksi atau
akibat hukum.
Prof. Dr. Mr. R. Supomo, Hukum adat adalah hukum yang non statuter, yang sebagian
besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum islam.
Prof. Mr. Kusumadi Pujosewoyo, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku
yang “adat” dan sekaligus “hukum” pula.[5]
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah
laku positip yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam
keadaan tidak dikodifikasi (adat).[6]
Dari beberapa pendapat para ahli hukum mengenai pengertian Hukum Adat,
dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat ialah Norma-norma yang bersumber pada
perasaan peradilan rakyat yang meliputi aturan tingkah laku dan perbuatan manusia
dalam kehidupan sehari-hari, yang sebagian besar tidak tertulis, tetapi senantiasa ditaati
dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai sanksi atau akibat tertentu.[7]

2
B. DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT:

1.  Dasar filosofis

Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya
nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam
butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah
mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum
Adat.

      Dasar Berlakunya Hukum Adat ditinjau dari segi Filosofi Hukum  Adat yang
hidup, tumbuh dan berkembang  di  indonesia sesuai  dengan perkembangan jaman
yang berfiat  luwes,  fleksibel   sesuai  dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang tertuang
dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok pikiran
yang  meliputi  suasana kebatinan  dari UUD RI. Pokok pokok pikiran  tersebut
menjiwai cita-cita hukum  meliputi hukum negara  baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945   pokok pokok  pikiran yang menjiwai 
perwujudan cicta-cita hukum   dasar negara  adalah  Pancasila. Penegasan   Pancasila
sebagai  sumbertertib  hukum  sangat berarti bagi  hukum adat karena Hukum  Adat
berakar  pada  kebudayaan  rakyat  sehingga  dapat    menjelmakan  perasaan  hukum   
yang  nyata  dan hidup  dikalangan  rakyat  dan mencerminkan kepribadian masyarakat
dan bangsa Indonesia (Wignjodipoero,  l983:14). Dengan demikian hukum adat  secara
filosofis merupakan  hukum yang berlaku sesuai Pancasila sebagai  pandangan hidup
atau falsafah hidup bangsa Indonesia.

2. Dasar sosiologis

Hukum  yang berlaku di suatu negara merupakan  suatu  sistem artinya bahwa
hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan  yang utuh yang  terdiri dari
bagian-bagian  atau  unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya
(Mertokusumo, l986:100). Dengan  kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu
kesatuan   yang terdiri  dari  unsur-unsur  yang mempunyai  interaksi satu  sama lainnya
dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan.  Keseluruhan   tata hukum nasional yang
berlaku di  Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional. Sistem hukum
berkembang  sesuai dengan perkembangan hukum. Selain itu  sistem  hukum 
mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan  lengkap. 

Dalam  sistem hukum nasional wujud/ bentuk hukum yang  ada  dapat dibedakan
menjadi   hukum tertulis ((hukum yang  tertuang  dalan perundang-undangan)  dan
hukum yang tidak tertulis  (hukum  adat, hukum kebiasaan).

Hukum  yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan  menjadi hukum yang
benar-benar berlaku sebagai the living law (hukum yang hidup)  ada hukum yang
diberlakukan tetapi tidak berlaku  sebagai the  living  law. Sebagai contoh Hukum yang

3
berlaku  dengan  cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan cara
diundangkan dalam  lembaran negara.  Hukum tertulis dibuat ada  yang  berlaku
sebagai the living law tetapi juga ada yang tidak berlaku sebagai the  living law karena
tidak ditaati/ dilaksanakan  oleh  rakyat.

Hukum  tertulis yang diberlakukan dengan cara  diundangkan  dalamlembaran  negara


kemudian dilaksanakan dan ditaati  oleh  rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang
hidup (the living law.)

Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan  dengan cara


diundangkan dalam lembaran negara tetapi  ditinggalkan  dan tidak dilaksanakan oleh
rakyat  maka tidak dapat dikatakan  sebagai the living law. Salah satu contohnya  adalah
UU nomor 2 tahun 1960 tentang Bagi hasil.

Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak  memerlukan prosedur/
upaya seperti hukum tertulis, tetapi dapat  berlaku dalam  arti dilaksanakan oleh
masyarakat dengan sukarela   karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan
sebagai the living  law karena Hukum adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan
ditaati oleh  rakyat  tanpa  harus melalui  prosedur  pengundangan  dalam lembaran
negara.  Berbagai  istilah untuk menyebut hukum yang  tidak  tertulis sebagai  the living
law yaitu ( People law, Indegenous  law,  unwritten law, common law, customary law
dan sebagainya).

 Dasar yuridis
Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam  Berbagai
Peraturan Perundang-undangan Mempelajari segi Yuridis dasar berlakunya
Hukum Adat berarti mempelajari  dasar  hukum  berlakunya  Hukum  Adat
di  Indonesia (Saragih, l984:15). Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi
dalam dua  periode  yaitu pada jaman Kolonial (penjajahan  Belanda  dan
Jepang) dan jaman Indonesia Merdeka.

C. SEJARAH PENEMUAN HUKUM ADAT


Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yang terjadi, bila meminjam
istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal ethnocentrism, yakni:
the tendency to view the law of other cultures through theconcepts and assumptions of
Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a)
cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat; dan b)
cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan
penyusunan kebijakan.
Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William
Marsden (1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian di Bengkulu, semasa
dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara
sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama kali menggunakan istilah
“adatrecht” (hukum adat), dan ia sebagai peletak teori Receptie, ia memandang hukum

4
adat identik dengan hukum kebiasaan. Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali
digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini untuk
menunjukkan bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekwensi hukum[8].
Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan positivisme
sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat,
yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop), dan (3)
menemukan keajekannya (regelmaat), berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda
(Indonesia-sekarang) ke dalam 19 lingkungan hukum adat secara sistematik,
berdasarkan itu ia sering disebut Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum
adat, seperti: masyarakat hukum atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap), hak
ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts), lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Untuk memperoleh suatu pengertian tentang hukum adat itu, dapat di
kemukakan beberapa pertanyaan seperti di bawah ini.
a. sejak kapan di peroleh pengertian yang di kemukakan di atas itu?
b. sejak kapan timbul sedikit perhatian atas hukum adat?
c. sejak kapan orang mulai meninjau dan memeriksa hukum adat di lapangan?
d. sejak kapan hukum adat itu di dapatkan atau di ketemukan orang?
Apa gunanya pertanyaan-pertanyaan tersebut? Bukankah kita ini bangsa indonesia yang
hidup dalam hukum adat kita sendiri? Apakah hukum adat kita harus di ketemukan?
Memang, kita adalah orang indonesia yang hidup dalam suasana adat kita sendiri, akan
tetapi adat ini harus di ungkapkan, di ketahui, dan dimengerti untuk menyadari bahwa,
hukum adat kita adalah hukum yang tidak dapat di abaikan begitu saja. Hukum ini
harus di temukan supaya mendapat penghargaan yang selayaknya, bukan oleh kita
sendiriakan tetapi juga oleh bangsa lain.[9]
Tokoh-tokoh penemu hukum adat yaitu
 Wilken ,wilken adalah pangreh praja belanda, mula-mula ia di buru, kemudia di
gorontalodan minahasa barat, selanjutnya di sipirok dan mandailing. Tentang semua
daerah ituia membukukan segala sesuatu yang di lihatnya seperti tentang hak hutan di
buru, hak tanah hakullah di sipirok, tentang agraria di minahasa.
 Liefrinck menjalankan tugasnya di lapangan hukum sebagai pegawai pangreh praja
belanda di indonesia. Seperti halnya dengan wilken, ia juga memberi tempat tersendiri
kepada hukum adat. Tetapi ia lebih membatasi penyelidikanya hanya hanya pada satu
lingkungan hukum adat yaitu bali dan lombok.
 Snouck Hurgronje adalah sarjana sastra yang menjadi politikus. Dia mendapat gelar
doktor dalam bahasa semit ( rumpun bahasa yang meliputi bahasa yahudi dan arab).
Karya utamanya yaitu de atjehers yang terkonsentrasi pada satu lingkungan hukum.[10]

D. CIRI-CIRI HUKUM ADAT


1. Bercorak Relegiues- Magis :
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh
kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia
dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada

5
pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia,
alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek
moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat.
Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun
rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-
upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak
ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.
2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok,
sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup
sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan,
kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.
3. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan
bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan
asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan.
Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil
musyawarah dan lain sebagainya.
4. Bercorak Kontan
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang
bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak,
ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.
5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan
dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-
benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus
disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.

E. SUMBER-SUMBER HUKUM ADAT


Yang dimaksud dengan sumber hukum adat disini adalah sumber mengenal hukum
adat, atau sumber dari mana hukum adat kita ketahui, atau sumber dimana asas-asas
hukum adat menyatakan dirinya dalam masyarakat, sehingga dengan mudah dapat kita
ketahui. Sumber-sumber itu adalah :
1. Kebiasaan atau adat kebiasaan
Sumber ini merupakan bagian yang paling besar yang timbul dan tumbuh dalam
masyarakat yang berupa norma-norma aturan tingkah laku yang sudah ada sejak dahulu.
Adat kebiasaan ini meskipun tidak tertulis tetapi selalu dihormati dan ditaati oleh warga
masyarakat, sebagai aturan hidup manusia dalam hubungannya dengan manusia lain.
Oleh karena itu tidak tertulis, maka adat kebiasaan ini hanya dapat dicari dalam
kehidupan masyarakat yang bersangkutan, atau dalam berbagai peribahasa, Pepatah,
kata-kata mutiara atau dalam perbuatan simbolik yang penuh dengan arti kiasan.
2. Keputusan para petugas hukum

6
Hukum adat juga dapat diketahui dari berbagai macam keputusan para petugas
hukum adat, seperti Kepala Adat, Kepala Suku, Hakim Adat, rapat Desa (rembug Desa)
dan sebagainya.
3. Hukum Islam
Norma hukum islam atau yang lebih dikenal dengan istilah Hukum FIQH, juga
merupakan sumber hukum adat, terutama mengenai ajaran hukum Islam yang sudah
meresap dalam kesadaran hukum masyarakat yang sebagian besar beragama Islam.
Misalnya mengenai perkawinan, warisan, wakaf dsb.
4. Piagam Raja-raja dan kitab Hukum Adat
Hukum Adat Indonesia sekarang ini ada juga yang bersumber pada hukum
tertulis dalam Piagam dan Pranatan Raja-raja dahulu seperti : Pranatan Bekel dari
Kraton Yogyakarta, Angger-angger Arubiru dari Surakarta, kitab hukum kertagama dari
Majapahit, kitab hukum Kutaramanawa dari Bali dsb.
5. Peraturan-peraturan Perkumpulan Adat
Beberapa perhimpunan yang dibentuk oleh masyarakat juga sering membuat
ketentuan-ketentuan yang mengikat para anggotanya, awig-awig untuk para anggota
perkumpulan pengairan/subak di Bali, Perkumpulan kematian, Perkumpulan arisan dsb.
6. Buku-buku standart mengenai hukum adat
Buku-buku mengenai hukum adat, terutama yang merupakan hasil penelitian
dan pengamatan para sarjana hukum adat yang terkenal, merupakan sumber adat yang
penting, terutama bagi para pelajar dan mahasiswa yang sedang mempelajari hukum
adat, seperti misalnya: Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht susunan Ter Haar, Het
Adatrecht van Nederlansch Indie susunan van Vollen Hoven, Het Adatsprivaat recht
van Middel java susunan Joyodiguno dan Tirawinata. Het Adatsprivaat recht van West
Java susunan Soepomo dan sebagainya.

F. ASAS-ASAS HUKUM ADAT


Didalam hukum pidana ini terdapat beberapa Asas-asas yang memiliki
kompleksitas antara satu dengan yang lain, dalam makalah ini kami akan menybutkan
beberapa asas-asas Hukum Adat, yang diantaranya adalah:[11]
ü Asas Hukum Perorangan
ü Asas Hukum Kekeluargaan
ü Asas Hukum Perkawinan
ü Asas Hukum Adat Waris
ü Asas Hukum Tanah
ü Asas Hukum Hutang Piutang
ü Asas Hukum Adat Delik

G. SISTEM HUKUM ADAT


Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam fikiran bangsa
Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat.[12] Oleh karena itu
sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan diantaranya :

7
Hukum Barat
Hukum Adat
 Mengenal hak suatu barang dan hak orang seorang atas sesuatu objek yang
hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu
 Tidak mengenal dua pembagian hak tersebut, perlindungan hak
 ditangan hakim
 Mengenal Hukum Umum dan Hukum Privat
 Berlainan daripada batas antara lapangan public dan lapangan privat pada
Hukum Barat
 Ada Hakim Pidana dan Hakim Perdata
 Pembetulan hukum kembali kepada hakim (kepala adat) dan upaya adat (adat
reaksi)

H. LINGKUNGAN DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT


Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan
Hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum
adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat
tersebut di bagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum
(Rechtsgouw).
 Lingkungan hukun adat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
2. Tanah Gayo, Alas dan Batak
- Tanah Gayo (Gayo Lueus)
- Tanah Alas
- Tanah Batak (Tapanuli)

Ø Tapanuli Utara : Batak Pakpak (Barus), Batak Karo, Batak Simelungun,


Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu).
Ø Tapanuli Selatan : Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola
Mandailinag (Sayurmatinggi).
Ø Nias (Nias Selatan).
3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota,
Tanah Kampar, Kerinci).
4. Mentawai (Orang Pagai)
5. Sumatra Selatan
- Bengkulu (Renjang).
- Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Reban, Gedingtataan, Tulang
Bawang).
- Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
- Jambi (Orang Rimba, Batin dan Penghulu).
- Enggano.
6. Tanah Melayu (Lingga-Riau,Indragiri, Sumatra Timur, Orang Banjar)
7. Bangka dan Belitung

8
8. Kalimantan ( Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak,
Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan,
Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayak Maayan, Dayak Maanyan
Siung, Dayak Ngaju, Dayat Ot Danum, Dayak Penyambung Punan).
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo).
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat,
Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,
Makasar, Selayar, Muna).
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru,
Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar).
14. Irian
15. Kep. Timor (Kep. Timor-timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba
Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima).
16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-pagrisingan, Kastala, Karrang Asem,
Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa).
17. Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo,
Tulungagug, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18. Daerah Kerajaan (Surakarta dan Yogyakarta)
19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).
 Masyarakat Hukum Adat
Sebelum kita mempelajari suatu sistem hukum tertentu, perlu kita ketahui terlebih
dahulu susunan (struktur) masyarakat yang mempunyai hukum itu, karena bentuk dan
system hokum yang berlaku itu merupakan pencerminan dari masyarakat yang
menetapkan hukum tersebut.
Susunan masyarakat hukum Indonesia dalam garis besarnya dapat dibedakan dalam
empat system, yaitu :
1. Masyarakat hukum yang Genealogis (tunggal Darah), ialah suatu
masyarakat hukum yang anggota-anggotanya merasa bersatu karena adanya
persamaan asal-usul keturunan atau nenek moyangnya.

- Masyarakat genealogis ini dapat dibedakan dalam :


a. Masyarakat Patrilineal, yaitu yang pertalian kekeluargaannya dilacak
dari garis keturunan laki-laki; misalnya : Marga di Batak.
b. Masyarakat Matrilineal, yaitu yang pertalian kekeluargaannya dilacak
dari garis keturunan perempuan, misalnya Paruik di Minangkabau.
c. Masyarakat Parental, yaitu yang pertalian kekeluargaannya dilacak
dari garis keturunan laki-laki dan perempuan (kedua orang tuanya) seperti :
Pandam di Dayak (Kalimantan Tengah).
Masyarakat dalam susunan Patrilineal dan Matrilineal termasuk dalam
susunan yang Unilateral/ satu Garis, sedangkan yang Parental termasuk
susunan yang Bilateral (Dua garis)

9
2. Masyarakat hukum territorial (tunggal daerah), ialah masyarakat
hukum yang anggota-anggotanya mewrasa bersatu karena bersama-sama
menempati suatu dearah tertentu. Masyarakat yang semacam ini biasanya
disebut masyarakat Desa, yang mempunyai bentuk bermacam-macam,
Antara lain :
a. Desa Kesatan atau Persekutuan Desa, yaitu suatu tempat tinggal
bersama yang merupakan pusat dimana warga desa bersama-sama tinggal
dalam wilayahnya sendiri. Misalnya : Desa di Jawa dan Bali.
b. Desa Serikat atau Persekutuan wilayah, yaitu suatu tempat tinggal
yang terdiri dari beberapa pusat yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi
bersama-sama merupakan bagian yang tercakup dalam suatu masyarakat
territorial yang lebih besar. Misalnya : Kuria dengan huta-hutanya di
Mandailing, Marga dengan dusun-dusunnya di Sumatra Selatan.
c. Perserikatan Desa-desa (Dorpen bond), ialah perserikatan beberapa
desa yang berdiri sendiri dengan tujuan menyelenggarakan kepentingan
bersama. Misalnya : Perserikatan Desa di Bali dalam mengatur masalah
pengairan sawah-sawah dan sebagainya.
3. Masyarakat hokum yang merupakan campuran dari keduasistem
diatas; jadi mempunyai bentuk genealogis tetapi juga territorial, misalnya :
Marga di Tapanuli yang menempati suatu daerah tertentu Nagari di
Minagkabau yang di dalamnya terdapat Paruik-paruik dan Jurai yang
genealogis, Kurai dan Huta-hutanya di Batak,Dusun di daerah Rejang
(Bengkulu) dan sebagainya.
4. Masyarakat hokum yang bedasarkan pemufakatan, ialah suatu
masyarakat hukum adat yang terjadi karena adanya kehendak bersama dari
para anggotanya untuk menyelenggarakan kepentingan bersama./ misalnya
Subak di Bali, Darma Tirta di Jawa dan sebagainya.

I. KEDUDUKAN HUKUM ADAT


Warganegara Indonesia asli masih berelaku hukum adat. Keadaan semacam ini
masih berlaku sampai sekarang, karena adanya Pasal II Aturan UUD 1945 yang
menegaskan bahwa : Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.
UUD 1945 memang tidak mengatur sacara tegas bagaimana sikapnya terhadap
ketentuan hukum adat yang masih berlaku dalam masyarakat, namun pada dasarnya
masih mengakui perlunya hukum dasar yang tidak tertulis (lihat Penjelasan UUD 1945).
Berbeda halnya dengan konstitusi RIS dan UUD 1950 yang tegas-tegas mengakui
berlakunya hukum adat, seperti tercantum pada pasal 31 Konstitusi RIS (Pasal 32
UUDS) yang menegaskan bahwa : “Setiap orang yang ada di daerah Negara hurus
patuh pada undang-undang, termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis, dan kepada
penguasa-penguasa yang sah dan yang bertindak sah”. Bahkan dalam pasal 146
Konstitusi RIS/ps. 104 UUDS ditegaskan bahwa : “Segala keputusan kehakiman
(Pengadilan) harus berisi alas an-alasan dan dalam perkara hukuman harus menyebut

10
aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar
hukum itu”.
Meskipun UUD 1945 tidak mengatur secara tegas tentang berlakunya hukum adat,
namun Tap.MPRS No. II/MPRS/1960 menegaskan bahwa: pembangunan hukum
nasional harus di arahkan kepada homoge nitet hukum dengan memperhatikan
kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia, harus sesuai dengan Haluan Negara dan
berlandaskan hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat yang adil
dan makmur .
Di samping kedudukan hukum adat sebagai hukum yang tak tertulis ini di
sebutkan pula dalam UU. No. 19 tahun 1964 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman (LN. 1964 No. 107) yang telah diganti dengan UU. No. 14 tahun 1970 juga
tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman (LN. tahun 1970 No. 74) yang dalam pasal
23 ayat 1 menegaskan bahwa:” segala putusan pengadilan selain memuat alas an-alasan
dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili”.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

11
Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang
ketiga hal ini mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi “, dan apabila kebiasaan ini
ditiru oleh orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai
kebiaasaan itu menjadi adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus
dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal,
ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat
dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di
masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal
pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat
budaya, adat istiadat, dll.
Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai
budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi
suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat, yang sebagian besar tidak
tertulis, tetapi senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai sanksi
atau akibat tertentu.

B. SARAN
Saya berharap kepada pembaca khususnya mahasiswa Fakultas Hukum bahwa
kita harus melihat Hukum Adat sebagai latar belakang Historis dari kelahiran Hukum
itu sendiri dari aspek psikologis Hukum adat tidak bisa dihilangkan dan dipisahkan
dengan hukum yang ada sekarang ini. Dan diadakannya studi khususnya mahasiswa
Hukum untuk langsung turun ke lapangan Hukum Adat yang ada dalam masyarakat
agar pendatailan data dan esensi Hukum Adat sendiri lebih nyata.

DAFTAR PUSTAKA

Bushar, Muhammad. 1981. Asas-Asas Hukum Adat (suatu pengantar). Jakarta:


_______Pradnya Paramitha.

12
H.A.M. Effendy. 1994. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Mahdi Offset.
Id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat
Keebet von Benda-Beckmann. 2006. Pluraisme Hukum. Jakarta: Ford Fondation.
Lukito, Ratno. 1998.  Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia.
______Jakarta: INIS.

Soekanto. 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesoia. Jakarta: CV.Rajawali.


Soepomo. 1993. Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Sudiyat, Imam. 1978. Asas-asas Hukum Adat, sebagai Bekal Pengantar.


________Yogyakarta:  Liberty.
Wignjodipoero, Soerojo. 1967. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta:
_____________CV. Haji Masagung.
Warjiyati, Sri. 2006. Memahami Hukum Adat. Surabaya: IAIN Surabaya.

13

Anda mungkin juga menyukai