NAMA KELOMPOK: 2
NAMA ANGGOTA:
Kurniati
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmatNya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Hukum Adat.
Makalah ini ditulis oleh penulis yang bersumber dari Buku dan Jurnal sebagai
refrensi. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada rekan rekan mahasiswa yang tealah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
bagi kita semua. Makalah ini secara fisik dan substansinya diusahakan relevan dengan
pengangkatan judul makalah yang ada, Keterbatasan waktu dan kesempatan sehingga
makalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang tentunya masih perlu perbaikan dan
penyempurnaan maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan
menuju ke arah yang lebih baik.
Demikian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya,
sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang bab ini. Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN:
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 2
C. Tujuan...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN:
B. Saran ....................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum Adat, jika kita mendengar kata itu yang terlintas di fikiran kita mungkin adalah
suatu Corak kedaerahan yang begitu kental didalamnya. Karena sifatnya yang tidak tertulis,
majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka sangat perlu dikaji
perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup , apakah
sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.
1
Di era Modern ini terkadang kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang kita
kenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara asia asia lainnya
seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang
dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini
tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan
diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan
Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum
adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat“.[1]Bagaimana
tempat dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung
1
Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam:
Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal 21
kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi,
hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Hukum Adat?
2. Bagaimana Sejarah penemuan Hukum Adat?
3. Apa Ciri-ciri Hukum Adat?
4. Apa Sumber-sumber Hukum Adat?
5. Apa Asas-asas Hukum Adat?
6. Bagaimana Sistem Hukum Adat?
7. Apa Corak dan Sifat Hukum Adat?
8. Bagaimana Lingkungan dan Masyarakat hukum adat?
9. Bagaimana Kedudukan Hukum Adat?
C. TUJUAN
1. Agar pembaca mengetahui dan memahami sejarah penemuan hukum adat sehingga
pembaca dapat melestarikan hukum adat di Indonesia ini pada era Modern.
2. Agar pembaca memahami bagaimana kedudukan Hukum Adat di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN
Dengan adanya istilah ini, maka pemerintah kolonial Belanda pada akhir tahun 1929
mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundangan Belanda.[3] Hukum adat
pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat istiadat mencakup
konsep yang sangat luas.
Hukum Adat adalah Hukum N2on Statuir yang berarti Hukum Adat pada umumnya
memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat dari mata seorang ahli hukum
memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga dengan perasaan pula. Jika
dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan peraturan-peraturan dalam hukum adat
yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar
maka akan dapat dituntut dan kemudian dihukum.
Definisi dari hukum adat sendiri adalah suatu hukum yang hidup karena dia
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum
adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.[4]
2
Bushar Muhammad.Asas-Asas Hukum Adat (suatu pengantar). (Jakarta; Pradnya Paramitha,1981) hlm.60
3
Ibid. hlm.61
4
Soepomo. Hukum Adat. (Jakarta;PT Pradnya Paramita1993) hlm 3
Prof. Mr. B. TerHaar BZN menyebutkan bahwa hukum adat ialah keseluruhan aturan yang
menjelma dalam keputusan para fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa dan pengaruh
dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara spontan dan dipatuhi dengan sepenuh hati.
Prof. Dr. Mr. Sukanto menyatakan bahwa hukum adat adalah komplek adat-istiadat yang
kebanyakan tidak dikodifikasikan dan bersifat memaksa, mempunyai sanksi atau akibat
hukum.
Prof. Dr. Mr. R. Supomo, Hukum adat adalah hukum yang non statuter, yang sebagian besar
adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum islam.
Prof. Mr. Kusumadi Pujosewoyo, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang
“adat” dan sekaligus “hukum” pula.[5]
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah 3 laku
positip yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasi (adat).[6]
Dari beberapa pendapat para ahli hukum mengenai pengertian Hukum Adat, dapat
disimpulkan bahwa Hukum Adat ialah Norma-norma yang bersumber pada perasaan
peradilan rakyat yang meliputi aturan tingkah laku dan perbuatan manusia dalam kehidupan
sehari-hari, yang sebagian besar tidak tertulis, tetapi senantiasa ditaati dan dihormati oleh
rakyat, karena mempunyai sanksi atau akibat tertentu.[7]
Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yang terjadi, bila meminjam istilah Spradley
dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the
law of other cultures through theconcepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal
ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan eksistensi dari
hukum pada pelbagai masyarakat; dan b) cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat
sebagai dasar dari penelaahan dan penyusunan kebijakan.
35
Prof. H.A.M. Effendy, S.H, Pengantar Tata Hukum Indonesia,(Mahdi Offset,1994)hal 115-116
6
Id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat
7
Prof. H.A.M. Effendy, S.H, Pengantar Tata Hukum Indonesia,(Mahdi Offset,1994)hal 116
Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William Marsden (1783),
orang Irlandia yang melakukan penelitian di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian
diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck
Hourgronye, yang pertama kali menggunakan 4istilah “adatrecht” (hukum adat), dan ia
sebagai peletak teori Receptie, ia memandang hukum adat identik dengan hukum kebiasaan.
Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck
Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang mempunyai
konsekwensi hukum[8].
Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai acuan
berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1).
memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2)kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan
keajekannya (regelmaat), berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-
sekarang) ke dalam 19 lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering
disebut Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti: masyarakat
hukum atau persekutuan hu5kum (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau pertuanan
(beschikings-rechts), lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Untuk memperoleh suatu pengertian tentang hukum adat itu, dapat di kemukakan
beberapa pertanyaan seperti di bawah ini.
c. sejak kapan orang mulai meninjau dan memeriksa hukum adat di lapangan?
Apa gunanya pertanyaan-pertanyaan tersebut? Bukankah kita ini bangsa indonesia yang
hidup dalam hukum adat kita sendiri? Apakah hukum adat kita harus di ketemukan?
Memang, kita adalah orang indonesia yang hidup dalam suasana adat kita sendiri, akan tetapi
adat ini harus di ungkapkan, di ketahui, dan dimengerti untuk menyadari bahwa, hukum adat
kita adalah hukum yang tidak dapat di abaikan begitu saja. Hukum ini harus di temukan
48
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998, 38
59
Prof .MR.DR.Soekanto: Meninjau Hukum Adat Indonesoia,CV.Rajawali, Jakarta,1981, hal 20
supaya mendapat penghargaan yang selayaknya, bukan oleh kita sendiriakan tetapi juga oleh
bangsa lain.[9]
Snouck Hurgronje adalah sarjana sastra yang menjadi politikus. Dia mendapat gelar
doktor dalam bahasa semit ( rumpun bahasa yang meliputi bahasa yahudi dan arab). Karya
utamanya yaitu de atjehers yang terkonsentrasi pada satu lingkungan hukum.[10]
3. Bercorak Demokrasi
Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil
musyawarah dan lain sebagainya.
4. Bercorak Kontan
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang
bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini
dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.
5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam
setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang
berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata,
tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.
Yang dimaksud dengan sumber hukum adat disini adalah sumber mengenal hukum adat, atau
sumber dari mana hukum adat kita ketahui, atau sumber dimana asas-asas hukum adat
menyatakan dirinya dalam masyarakat, sehingga dengan mudah dapat kita ketahui. Sumber-
sumber itu adalah :
Sumber ini merupakan bagian yang paling besar yang timbul dan tumbuh dalam
masyarakat yang berupa norma-norma aturan tingkah laku yang sudah ada sejak dahulu. Adat
kebiasaan ini meskipun tidak tertulis tetapi selalu dihormati dan ditaati oleh warga
masyarakat, sebagai aturan hidup manusia dalam hubungannya dengan manusia lain. Oleh
karena itu tidak tertulis, maka adat kebiasaan ini hanya dapat dicari dalam kehidupan
masyarakat yang bersangkutan, atau dalam berbagai peribahasa, Pepatah, kata-kata mutiara
atau dalam perbuatan simbolik yang penuh dengan arti kiasan.
Hukum adat juga dapat diketahui dari berbagai macam keputusan para petugas
hukum adat, seperti Kepala Adat, Kepala Suku, Hakim Adat, rapat Desa (rembug Desa) dan
sebagainya.
3. Hukum Islam
Norma hukum islam atau yang lebih dikenal dengan istilah Hukum FIQH, juga
merupakan sumber hukum adat, terutama mengenai ajaran hukum Islam yang sudah meresap
dalam kesadaran hukum masyarakat yang sebagian besar beragama Islam. Misalnya
mengenai perkawinan, warisan, wakaf dsb.
Hukum Adat Indonesia sekarang ini ada juga yang bersumber pada hukum tertulis
dalam Piagam dan Pranatan Raja-raja dahulu seperti : Pranatan Bekel dari Kraton
Yogyakarta, Angger-angger Arubiru dari Surakarta, kitab hukum kertagama dari Majapahit,
kitab hukum Kutaramanawa dari Bali dsb.
Buku-buku mengenai hukum adat, terutama yang merupakan hasil penelitian dan
pengamatan para sarjana hukum adat yang terkenal, merupakan sumber adat yang penting,
terutama bagi para pelajar dan mahasiswa yang sedang mempelajari hukum adat, seperti
misalnya: Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht susunan Ter Haar, Het Adatrecht van
Nederlansch Indie susunan van Vollen Hoven, Het Adatsprivaat recht van Middel java
susunan Joyodiguno dan Tirawinata. Het Adatsprivaat recht van West Java susunan Soepomo
dan sebagainya.
Didalam hukum pidana ini terdapat beberapa Asas-asas yang memiliki kompleksitas
antara satu dengan yang lain, dalam makalah ini kami akan menybutkan beberapa asas-asas
Hukum Adat, yang diantaranya adalah:[11]
Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam fikiran bangsa Indonesia
yang tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat.[12] Oleh karena itu sistem hukum
adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan diantaranya :
Hukum Barat
Hukum Adat
Mengenal hak suatu barang dan hak orang seorang atas sesuatu objek yang hanya
berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu
Tidak mengenal dua pembagian hak tersebut, perlindungan hak
ditangan hakim
Mengenal Hukum Umum dan Hukum Privat
Berlainan daripada batas antara lapangan public dan lapangan privat pada Hukum
Barat
Ada Hakim Pidana dan Hakim Perdata
711
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar & Asas-asas Hukum Adat (Jakarta;CV. Haji Masagung 1967) hlm 5
Pembetulan hukum kembali kepada hakim (kepala adat) dan upaya adat (adat reaksi)
8
Hukum adat sebagai hasil budaya bangsa Indonesia bersendi pada dasar pikiran dan
kebudayaan Barat, dan oleh karena itu untuk dapat memahami hukum adat kita harus dapat
menyelami dasar alam pikiran yang hidup pada masyarakat Indonesia.
Hukum adat yang bersendi pada alam pikiran Indonesia itu mempunyai corak yang
khusus, yaitu :
Corak komunal atau kebersamaan terlihat apabila warga desa melakukan kerja bakti
ataugugur gunung, Nampak sekali adanya kebiasaan hidup bergotong-royong, tolong-
menolong atau saling bantu-membantu. Rasa solidaritas yang tinggi menyebabkan orang
selalu lebih mengutamakan kepentingan umum daripada diri sendiri.
Corak religio magis terlihat jelas sekali pada upacara-upacara adat dimana lazimnya
diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan kepada roh-roh leluhur yang ingin diminta restu
serta bantuannya. Juga selamatan pada setiap kali menghadapi peristiwa penting, seperti :
kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian, mendirikan rumah, pindah rumah, dan
sebagainya.
812
H.A.M Effendy, Pengantar Hukum Adat. (Semarang; CV Tradan Jaya,1994) hlm. 18
9
Corak visual atau kelihatan menyebabkan dalam kehidupan sehari-hari adanya
pemberian tanda-tanda yang kelihatan sebagaibukti penegasan atau peneguhan dari apa yang
telah dilakukan atau dalam waktu dekat akan dilakukan.[13]
- Disamping Coraknya yang berbeda, hukum adat juga mempunyai sifat-sifat yang
berbeda pula dengan hukum Barat, karena adanya perbedaan alam pikiran dan corak
yang mendasari hukum tersebut.
913
Ibid. hlm.22
1014
Sri Warjiyati. Memahami Hukum Adat. (Surabaya;IAIN Surabaya,2006) hlm.17
- F. D. Hollemen juga memberikan uraian yang menjelaskan tentang sifat-sifat Hukum
Adat yaitu :[15]
a. Sifat Commune, kepentingan indibvidu dalam hukum selalu diimbangi
dengan kepentingan umum.
b. Sifat Concreet, yang menjadi objek dalam hukum adat itu harus konkret atau
harus jelas
c. Sifat Constant, penyerahan masalah transaksi harus dilakukan dengan
konstan
d. Sifat Magisch, hukum adat mengandung hal-hal yang gaib yang apabila
dilanggar akan menimbulkan bencana terhadap masyarakat.
11
Ø Tapanuli Utara : Batak Pakpak (Barus), Batak Karo, Batak Simelungun, Batak
Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu).
Ø Tapanuli Selatan : Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola Mandailinag
(Sayurmatinggi).
Ø Nias (Nias Selatan).
3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Tanah
Kampar, Kerinci).
4. Mentawai (Orang Pagai)
1115
Op. Cit. Soepomo. hlm. 3
5. Sumatra Selatan
- Bengkulu (Renjang).
- Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Reban, Gedingtataan, Tulang
Bawang).
- Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
- Jambi (Orang Rimba, Batin dan Penghulu).
- Enggano.
6. Tanah Melayu (Lingga-Riau,Indragiri, Sumatra Timur, Orang Banjar)
7. Bangka dan Belitung
8. Kalimantan ( Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya,
Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim,
Lepo Timei, Long Glatt, Dayak Maayan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju,
Dayat Ot Danum, Dayak Penyambung Punan).
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo).
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi,
Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,
Makasar, Selayar, Muna).
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram,
Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar).
14. Irian
15. Kep. Timor (Kep. Timor-timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba
Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima).
16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-pagrisingan, Kastala, Karrang Asem,
Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa).
17. Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo,
Tulungagug, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18. Daerah Kerajaan (Surakarta dan Yogyakarta)
19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).
Susunan masyarakat hukum Indonesia dalam garis besarnya dapat dibedakan dalam empat
system, yaitu :
Warganegara Indonesia asli masih berelaku hukum adat. Keadaan semacam ini masih
berlaku sampai sekarang, karena adanya Pasal II Aturan UUD 1945 yang menegaskan
bahwa : Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut UUD ini.
UUD 1945 memang tidak mengatur sacara tegas bagaimana sikapnya terhadap
ketentuan hukum adat yang masih berlaku dalam masyarakat, namun pada dasarnya masih
mengakui perlunya hukum dasar yang tidak tertulis (lihat Penjelasan UUD 1945). Berbeda
halnya dengan konstitusi RIS dan UUD 1950 yang tegas-tegas mengakui berlakunya hukum
adat, seperti tercantum pada pasal 31 Konstitusi RIS (Pasal 32 UUDS) yang menegaskan
bahwa : “Setiap orang yang ada di daerah Negara hurus patuh pada undang-undang, termasuk
aturan-aturan hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa yang sah dan yang
bertindak sah”. Bahkan dalam pasal 146 Konstitusi RIS/ps. 104 UUDS ditegaskan bahwa :
“Segala keputusan kehakiman (Pengadilan) harus berisi alas an-alasan dan dalam perkara
hukuman harus menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang
dijadikan dasar hukum itu”.
Meskipun UUD 1945 tidak mengatur secara tegas tentang berlakunya hukum adat, namun
Tap.MPRS No. II/MPRS/1960 menegaskan bahwa: pembangunan hukum nasional harus di
arahkan kepada homoge nitet hukum dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang
hidup di Indonesia, harus sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat yang
tidak menghambat perkembangan masyarakat yang adil dan makmur .
Dalam GBHN 1993 [Tap. MPR No. II/MPR/1993], meskipun tidak secara tegas
menjamin berlakunya hukum adat, namun digariskan bahwa pembangunan hukum ini
dilaksanakan melalui pembaharuan hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan
tatanan hukum yang berlaku dalam masyarakat, terutama dalam lingkungan hukum adat
mereka. Sedang mengenai materi hukum yang digariskan oleh GBHN 1993 untuk ditaati oleh
masyarakat, tidak hanya materi hukum yang tertulius, melainkan juga materi hukum yang
tidak tertulis yang berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan
bermasyarakat.
Di samping kedudukan hukum adat sebagai hukum yang tak tertulis ini di sebutkan pula
dalam UU. No. 19 tahun 1964 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman (LN. 1964 No.
107) yang telah diganti dengan UU. No. 14 tahun 1970 juga tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman (LN. tahun 1970 No. 74) yang dalam pasal 23 ayat 1 menegaskan bahwa:” segala
putusan pengadilan selain memuat alas an-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus
memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Dengan adanya ketentuan tersebut diatas yang harus di taati oleh semua hakim yang
mengadili perkara pada semua lingkungan pengadilan, maka hukum adat mempunyai
kedudukan yang kuat, karena hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis itu tidak hanya
dapat dijadikan landasan untuk mengambil keputusan, melainkan juga dianggap setaraf
dengan hukum yang tertulis. Dengan menyebut istilah “atau sumber hukum yang tidak
tertulis” berarti hukum adat sendiri tanpa hukum tertulis sudah dapat menjadi landasan untuk
mengambil keputusan hakim.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang ketiga
hal ini mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi “, dan apabila kebiasaan ini ditiru oleh orang
lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiaasaan itu menjadi
adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat yang
bersangkutan.
Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan
jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena
“adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali
menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan
(tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll.
Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,
norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem
dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat, yang sebagian besar tidak tertulis, tetapi senantiasa
ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai sanksi atau akibat tertentu.
B. SARAN
Saya berharap kepada pembaca khususnya mahasiswa Fakultas Hukum bahwa kita
harus melihat Hukum Adat sebagai latar belakang Historis dari kelahiran Hukum itu sendiri
dari aspek psikologis Hukum adat tidak bisa dihilangkan dan dipisahkan dengan hukum yang
ada sekarang ini. Dan diadakannya studi khususnya mahasiswa Hukum untuk langsung turun
ke lapangan Hukum Adat yang ada dalam masyarakat agar pendatailan data dan esensi
Hukum Adat sendiri lebih nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Lukito, Ratno. 1998. Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia.
______Jakarta: INIS.