MAKALAH
DOSEN PENGAMPU:
Oleh :
RENALDI KUAMAS
NIM: D 102 21 081
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur tak henti – hentinya penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, Tuhan
Yang Maha Esa Atas berkat rahmatnya penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Melalui makalah ini penulis membahas mengenai “problematika hukum perlindungan
masyarakat hukum adat beserta hak-haknya tradisional dalam kajian pluralisme
hukum ”.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan makalah ini tidaklah terlepas dari pihak –
pihak terkait. Atas segala bantuan dan yang diberikan penyusunan mengucapkan terima kasih
yang sebesar – besarnya. Penulis menyadari bahwa ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena, itu penulis mengharapkan masukan dan kritik yang membangun dari dosen yang
membaca makalah ini. Penulis berharap hasil dari makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa
pun yang membutuhkannya. Semoga makalah ini dapat meningkatkan pemahaman kita di
masa yang akan datang. Amin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang Masalah...................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP
3.1 Kesimpulan.............................................................................................33
3.2 Saran.......................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................35
3
BAB I PENDAHULUAN
Dalam salah satu perspektif ilmu hukum dikatakan bahwa hukum yang baik
adalah hukum yang diciptakan berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat (living
law) hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh on Savigny dengan mahzab
hukum harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa.
tentang pentingnya living law. Maka dalam hal ini hukum adat yang dikenal di
Indonesia merupakan pengaruh pandangan mahzab ini. Yang dilanjutkan oleh para
sudah memiliki norma hukum yang berasal dari chthonic (Hukum Adat).
peradaban asing, seperti Asia dan Eropa ke Nusantara, memicu keberagaman norma
1
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2008), Hlm
4
memperkenalkan atau menyebarkan ajaran Buddha dan Hindu kepada masyarakat
masyarakat hukum adat yaitu dalam pasal 18 B Undang-Undang Dasar NRI Tahun
dituangkan dalam naskah hasil perubahan ke empat UUD 1945 pasal 3 ayat (1)
bahwa
5
konflik disebabkan oleh kurang profesionalnya pemerintah dalam menata norma
Selain konflik normative antara hukum adat dengan hukum Negara, juga
diberlakukan hukum hukum barat, hukum agama Islam dan hukum adat. Dalam
masa penjajahan, hukum adat MHA yang merupakan hukum asli bangsa Indonesia
mengalami tarik ulur apakah diakui atau tidak. Hukum pada era kolonial mempunyai
sifat dualisme yaitu dengan berlakunya hukum adat disamping hukum yang
didasarkan hukum barat. Hal demikian tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat
asli sebab yang didahulukan adalah hukum barat sedangkan hukum adat
dan pemerasan terhadap hak rakyat Indonesia, contohnya dalam “agrarische wet”
6
yang memberikan hak erpfacht, dan domeinverklaring. Tetapi dengan
ditaungkannya hak hak masyarakat adat dalam undang-undang dasar NRI Tahun
1945 maka dengan begitu juga bisa memberikan kepastian hukum bagi masyarakat
Keragaman hukum di Indonesia khususnya hukum adat, tidak bisa dilepas dari
adat, tidak bisa dilepas dari sikap keterbukaan masyarakat itu sendiri, yang di dalam
kebudayaan itu terdapat beberapa norma hukum. Penerimaan kebudayaan asing ini
kemudian yang secara oromatis akan mendorong hidupnya norma lokal dan norma
masyarakat Indonesia (hukum Adat, Agama, dan Barat) inilah yang oleh para ahli
hukum yang lebih dari satu di dalam kehidupan sosial. Kemunculan dan lahirnya
yang mempunyai perbedaan suku, bahasa, budaya, agama dan ras. Tetapi secara
etimologis bahwa pluralisme memiliki banyak arti, namun pada dasarnya memiliki
memiliki satu cita-cita yang sama yaitu keadilan dan kemaslahatan bangsa.
7
Indonesia menganut tiga sistem hukum yakni sistem hukum Adat, sistem hukum
Islam dan hukum Barat, ketiga hukum tersebut saling berkesinambungan antara satu
dengan yang lain mereka saling beriringan menggapai tujuan yang sama, namun di
tersebut. Tetapi bila di kaji secara logika masing-masing hukum tersebut, memiliki
kesamaan di dalamnya. Mau tidak mau bahwa sistem pluralisme hukum di indonesia
telah melekat dan menjadi darah daging bagi masyarakat kita. Dan kita tidak bisa
memiliki cara berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan
mereka dalam mengatur relasi-relasi sosialnya, pluralnya hukum yang berada pada
dipungkiri lagi kenyataannya memang demikian, karena apa yang disebut hukum
nasional itu pada hakekatnya adalah hukum yang pengesahan pembentukan dan
kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai suatu komunitas politik yang disebut
8
negara bangsa yang modern, kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu dan
pasti amatlah terasa. Maka gerakan ke arah unifikasi dan kodifikasi hukum terlihat
marak di sini, seolah menjadi bagian intheren dari proses nasionalisasi dan
dua atau lebih sistem hukum yang sedang berjalan dan hidup berdampingan pada
dimensi sosial yang sama pula. Teori tersebut menegaskan bahwa norma adat/norma
sosial, norma negara (hukum negara), dan hukum agama/etika dapat dijalankan
bersama-sama;2 yang bertujuan secara optimal untuk menjalin interaksi satu sama
lain diantara ketiga norma tersebut.3 Pluralisme hukum adalah serangan terhadap
formal negara. Adapula anggapan; bahwa pluralisme hukum adalah cara untuk
hegemoni negara.5
9
dan Afrika dengan hukum di wilayah Eropa. Tatanan hukum di wilayah
manusia sebagai pengaruh dari moralitas, agama, dan etika. Dengan demikian,
garis demarkasi hukum antara kedua benua tersebut Sangat wajar apabila
terjadi; mengingat karakter hukum seti ap negara atau wilayah memiliki esensi
tersendiri.
masing masing negara. Mengapa demikian? Karena setiap negara sungguh tidak
hukum secara mandiri tanpa adanya pengaruh baik disengaja maupun tidak era
teknologi dan informasi memberikan implikasi pada kuantitas dan kualitas hukum
adat,9 sehingga aspek kehidupan manusia menjadi pasti dan mekanis, tidak
6
Yuval Sinai and Benjamin Shmueli, Maimonides and Contemporary Tort Theory: Law, Religion,
Economics, and Morality ( Cambridge: Cambridge University Press, 2020)
7
Neilesh Bose and Victor V. Ramraj, “Lex Mercatoria, Legal Pluralism, and the Modern \State through the
Lens of the East India Company, 1600-1757,” Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle
East 40, no. 2 (August 1, 2020): 277-90
8
Catharina Dewi Wulansari and Yenny Yorisca, “Persoalan-Persoalan Kontemporer Dalam Ilmu Hukum,”
Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 1 (2020): 83–98
9
Miguel De Lemos, “Legal Pluralism And International Development: Introductory Notes On The Dialogue
Between The Two Concepts.,” Humanities And Rights | Global Network Journal 2, no. 1 (June 24, 2020): 190–
10
terkecuali hukum adat.10 Fenomena modernisasi hukum dimaknai sebatas
dokumen legal formal yang bersifat tertulis dan bersifat memaksa. Padahal
maksim certum est quod is committit in lege, qui legis verbum complectens, contra.
Berdasarkan latar belakang yang telah uraiakan maka penulis mempunya rumusan
masalah yaitu : bagaimana problematika hukum perlindungan masyarakat hukum adat beserta
karya tulis ini juga berfungsi untuk mengetahui antara teori dan kasus nyata
yang terjadi dilapangan sinkron atau tidak, karena dalam teori yang sudah ada
tidak selalu sama dengan kasus yang terjadi. Sehingga disusunlah karya tulis
ilmiah ini.
233.
10
Fradhana Putra Disantara, Konsep Pluralisme hukum khas Indonesia sebagai strategi menghadapi Era
Modern, Jurnal Al-adalah; Jurnal Hukum dan Politik, vol 6, No 1 Januari 2021, 1-36
11
BAB II PEMBAHASAN
12
Pluralisme hukum memiliki karakter yang berbeda, yakni dengan cara
metayuridis unsur eksternal hukum) seperti kemanusiaan, moral, agama, etik, dan
situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam
suatu bidang kehidupan sosial yang sama.11 Hooker menegaskan, dalam pluralisme
hukum harus ada interaksi antara berbagai hukum yang beragam itu. Yang
sistem hukum itu, melainkan karena fakta dan potensinya untuk saling berkompetisi
hukum karena konteks pluralitas masyarakat dalam bentuk suku bangsa, budaya, ras,
agama, kelas dan jenis kelamin. Pluralisme hukum dipahami sebagai inter-relasi,
interaksi, saling pengaruh dan saling adopsi antara berbagai sistem hukum negara,
adat, agama dan kebiasaan-kebiasaan lain yang dianggap sebagai hukum. Konsepsi
yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam mengatur relasi-relasi
11
Puslitbang Hukum dan peradilan Ditjen Badan Peradilan Militer Dan Tata usaha negara, Pluralisme Hukum
Indonesia Bagi Hakim Tata Usaha Negara: Antara Tantangan Dan Peluang,Jurnal Volume 3 Nomor 1 Februari
2020,
12
Ibid
13
menjadi ciri khas dari positivisme hukum dan sentralisme hukum. Pluralisme hukum
memandang bahwa semua hukum adalah sama dan harus diberlakukan sederajat.13
dianut oleh masyarakat di berbagai belahan dunia ini ditanggapi sebagai gejala
dasarnya mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara
pluralisme hukum itu terdapat hukum negara di satu sisi, dan di sisi lain adalah
hukum rakyat yang pada prinsipnya tidak berasal dari negara, yang terdiri dari
14
bagaimanakah semua sistem hukum tersebut “beroperasi” bersama-sama
(kombinasi) aturan hukum tertentu, dan dalam konteks apa ia memilih aturan
weak legal pluralism dan strong legal pluralism. Pluralisme hukum yang
lemah itu adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun
yang kuat merupakan produk dari ilmuwan sosial, adalah pengamatan ilmiah
sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. Griffith memasukkan
pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat seperti teori
living law yaitu aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif, yang
16
ibid
17
Ibid hlm 492
15
Kemudian berkembang konsep pluralisme hukum yang tidak lagi
menonjolkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem
hukum rakyat di sisi yang lain. Franz von Benda Beckmann mengatakan
bahwa pluralisme hukum juga terdapat dalam sistem hukum rakyat (folk law),
Pluralisme dalam hukum negara tidak saja berasal dari pembagian jurisdiksi
normatif secara formal, tetapi juga dalam banyak situasi dapat dijumpai
19
adanya choice of law, bahkan conflict of law. Eksistensi dari pluralisme
hukum akan nampak jika kita melihatnya dari perspektif individual yang
menjadi subjek hukum. Pluralisme hukum baru dikatakan ada bila terdapat
seseorang yang menjadi subjek lebih dari satu sistem hukum. Contoh yang
paling nyata dalam hal ini adalah ketika seseorang menghadapi suatu
18
Ibid Hlm 493-494
19
Ibid, Hlm, 494
16
sengketa. Ia akan berhadapan dengan berbagai pilihan hukum dan institusi
peradilan.11
lokal.20
20
Peratun Op.cit hlm 23
17
respons satu sama lain, dan berkombinasi sepanjang waktu. Apa akibatnya?
adat, hukum agama, atau hukum negara. Menjelang tahun 1980-an, di wilayah
yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum
agama sehingga disebut sebagai hybrid law atau unnamed law. Batas antara
hukum yang satu dan yang lain menjadi kabur, dan hal ini merupakan proses
berhati-hati untuk menarik garis secara tegas antara hukum negara dan hukum
18
a. Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang
development;
demokrasi;
yang ada dalam Pancasila. Untuk itu, dalam pembangunan hukum nasional
berdasar Pancasila tersebut perlu tetap berpijak ada nilai-nilai kearifan lokal
Indonesia.
19
Di Indonesia, dimana Pancasila menjadi pandangan hidup, maka yang
sebagai hukum positif tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat
Ini berarti hukum adat yang tumbuh dari dan di dalam lingkungan-
pada bidang hukum. Karena itu, hukum adat adalah bagian dari hukum
dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta
Pancasila adalah untuk mewadahi berbagai karakter nilai yang tumbuh dan ada
20
akar dari budaya hukum negeri ini. Karena hukum merupakan pelayan
22
yang hidup dan berkembang dalam berbagai ragam tradisi dan budaya.
Bukan hanya itu, Indonesia adalah negara yang majemuk secara hukum.
23
Tidak hanya karena Indonesia menampung berbagai kelompok suku yang
21
Rr Catharina Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia - Suatu Pengantar, 4th ed. (Bandung: PT Refika
Aditama, 2016).
22
RR. Catharina Dewi Wulansari, “The Role of The Government in The Recognition of Customary Rights to
Achieve Economic Development of Customary Law Communities,” Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) 1,
no. 1 (October 15, 2020): 109–45.
23
Mulyono Mulyono, Dewi Setyowati, and Kamarudin Kamarudin, “Tanggung Jawab Hukum Atas Pasien
Gangguan Jiwa Yang Melarikan Diri Dari Ruang Rawat Inap Rumah Sakit,” AlAdalah: Jurnal Hukum Dan
Politik Islam 3, no. 1 (July 3, 2019): 56–65.
21
memiliki berbagai tatanan normatif yang hidup berdampingan, tetapi juga
karena negara tersebut telah memiliki sistem hukum nasional; 24 yang disetujui
25
sebagai bentuk perlindungan hidup bagi masyarakat adat. Tentunya, masing-
masing masyarakat adat tentu memiliki hukum adat yang berbeda satu sama
lain. Maka dari itu, prinsip consuetudo pro lege servatur mendasari manifestasi
local genius dalam bentuk hukum adat. Seiring berjalannya waktu, keberadaan
hukum adat sedikit demi sedikit dipengaruhi secara internal maupun eksternal;
tak terkecuali oleh hukum luar -hukum nasional-. Oleh karenanya, lahir
konsep legal pluralism guna menjaga hakikat dari 'hukum' itu sendiri.
Pengakuan yang secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan
24
Fradhana Putra Disantara, “The Large Scale Social Restrictions Policy For Handling The COVID-19
Pandemic,” Jurnal Pembaharuan Hukum 7, no. 2 (2020): 128–41
25
Wayan P. Windia et al., “Bunga Rampai APHA Indonesia: Melihat Covid-19 Dari Perspektif Hukum Adat,”
Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) 1, no. 1 (2020): 373.
22
efektif pada suatu wilayah disebut dengan pengakuan de facto.Pengakuan de facto adalah
Jika kemudian bias dipertahankan terus dan makin bertambah maju,maka pengakuan de
Pengakuan de jure bersifat tetap yang diikuti dengan tindakan tindakan hukum
lainnya. sedangkan pengakuan secara hukum (de jure) adalah pengakuan suatu Negara
buku General Theory of Law and State, Hans Kelsen menguraikan terminology
Terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan
hukum.
lain dengan masyarakat yang diakuinya. Sedangkan tindakan hukum adalah prosedur
menetapkan fakta Negara (masyarakat adat) dalam suatu kasus kongrit. Berdasarkan
23
terhadap masyarakat hukum adat atas hak ,pengakuan terhadap masyarakat hukum
adat mengarah pada penegrtian pengakuan dari Negara/pemerintah baik secara politik
maupun secara hukum, melalui pengaturan hak dan kewajiban pemerintah dalan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimiliki dalam bingkai
sumberdaya alam yang dimiliki dan mewajibkan pemerintah untuk melinduingi hak-
masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya.
sebagai hukum yang dibuat oleh orang atau lembaga lembaga yang memiliki
tersebut mengakui kedaulatan atau supremitas yang dimiliki orang atau lembaga-
24
Konsepsi Austin tentang penetapan melalui hukum Negara sebagai satu-
pengikut mazhab sejarah yang meyakini bahwa setiap masyarakat memiliki cirri
khas masing- masing tergantung pada riwayat hidup dan struktur social yang hidup
Menurut Friedrich Carl von Savigny (sebagai tokoh utama mazhab sejarah)
bahwa hukum merupakan salah satu factor dalam kehidupan bersama suatu bangsa
perkembangan masyrakat tidak terdapat hukum sama sekali. Friedrich Carl Von
Hukum harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa
(volksgeist).
Ehrlich yang menyebutkan dengan fakta-fakta hukum (fact of law) dan hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law of people). Untuk itu,teori living law dari
25
yang hidup (living law). Semua hukum dianggap sebagai hukum social,dalam arti
1. Kebiasaan
2. Kekuasaan efektif
3. Milik efektif
bagi aturan kehidupan. Dari kebutuhan ekonomi manusia menjadi sadar, lalu timbul
hukum secara langsung,itulah hukum yang hidup (living law),sebab hukum tidak
Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti pemikiran mahzab ini yang
berkembang di Amerika ; “hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Artinya bahwa hukum itu mencerminkan
26
nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Mahzab ini mengetengahkan tentang
Jadi pengakuan hak masyarakat hukum adat tidak hanya terbatas pada
bentuk pengakuan dalam hukum Negara, tetapi karena secara factual masyarakat
hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum adat. Hal ini selaras dengan
dianggap patut dan mengikat, disamping itu penduduk memiliki keyakinan yang
sama menyatakan bahwa aturan-aturan adat harus dipertahankan oleh kepala adat
Hal ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh soedikno yaitu :
27
2. Teori Pengakuan (anerkennungstheorie) hukum mempunyai
masyarakat.17
diatur dalam undang-undang, dan selanjutnya dalam Pasal 28 I ayat (3) UUD
UUD 1945 ditetapkan juga di dalam Pasal 32 ayat (1) bahwa Negara
hukum adat pada tahuun 1993 Tahunh Masyarakat Adat oleh Perserikatan
28
kesepakatan konvensikonvensi dunia yang menekankan pentingnya
perlindungan terhadap hak-hak azasi, hak untuk berkumpul,hak ats atanah dan
diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta (Simarmata, 2005). Hukum adat
29
keberadaan hukum adat, dalam upaya untuk melindungi sumber daya alam
hukum negara. Lebih jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong
adat hak-hak tradisionalnya dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen
kedua tahun 2000. Selain itu, kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang
juga tidak terlepas dari pengaruh pluralisme hukum. Sejak munculnya aturan
ini, hampir semua produk hukum negara yang berkaitan dengan sumber daya
alam memuat aturan mengenai masyarakat adat ini. Di tataran praktis, gerakan
30
sisi lain, pemberlakuan otonomi daerah juga semakin memberi angin segar
adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu jawaban terhadap situasi lembaga
pluralisme hukum sebagai pijakan, telah melangkah cukup jauh. Salah satunya
31
diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dikatakan sebagai hukum.
pluralisme hukum sebagai pijakan, telah melangkah cukup jauh. Salah satunya
3.1 Kesimpulan
32
3.1.1 Konsep pluralisme hukum terus berkembang dari waktu ke waktu seiring
hukum klasik kemudian lahir pula konsep pluralisme hukum baru. Dalam
bertumpu pada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan asas Bhineka
Tunggal Ika.
nasional dan hukum adat. Bukan hanya itu, fenomena modernisasi hukum
3.2 Saran
berbagai konsep yang Bersandar pada aspek transnasional; sehingga natural law,
international law, positive law, dan social legal dapat diberlakukan secara bersama
33
sama yang didasarkan atas Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan visi misi darI Negara Kesaturan Republik
DAFTAR PUSTAKA
34
A. BUKU
Catharina Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia - Suatu Pengantar, 4th ed.
B. JURNAL
Georges Gharios, “Legal Pluralism and UnOfficial Law in Lebanon: Evolution
and Sustainable Development of Water,” Water Policy 22, no. 3 (June 1, 2020): 348
–64
Neilesh Bose and Victor V. Ramraj, “Lex Mercatoria, Legal Pluralism, and the
Modern \State through the Lens of the East India Company, 1600-1757,”
Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East 40, no. 2 (August 1,
2020): 277-90
Naso, Erwin Bulte, dan Tim Swanson, “Pluralisme Hukum di Sierra Pasca-Konflik
Leone,” Jurnal Ekonomi Politik Eropa 61 (Januari 2020): 1–21
Pradhana Putra Nusantara, “The Large Scale Social Restrictions Policy For Handling
The COVID-19 Pandemic,” Jurnal Pembaharuan Hukum 7, no. 2 (2020): 128–41
Puslitbang Hukum dan peradilan Ditjen Badan Peradilan Militer Dan Tata usaha
negara, Pluralisme Hukum Indonesia Bagi Hakim Tata Usaha Negara: Antara
Tantangan Dan Peluang,Jurnal Volume 3 Nomor 1 Februari 2020
RR. Catharina Dewi Wulansari, “The Role of The Government in The Recognition of Customary
Rights to Achieve Economic Development of Customary Law Communities,” Journal of Indonesian
Adat Law (JIAL) 1, no. 1 (October 15, 2020): 109–45
Wayan P. Windia et al., “Bunga Rampai APHA Indonesia: Melihat Covid-19 Dari
Perspektif Hukum Adat,” Journal of Indonesian Adat Law (HAL) 1, no. 1 (2020):
373.
Werner F. Menski, Comparative Law in a Global Context: The Legal Systems of Asia
and Africa, Comparative Law in a Global Context: The Legal Systems of Asia
and Africa, Second Edition, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
2006)
35
Yuval Sinai and Benjamin Shmueli, Maimonides and Contemporary Tort
Theory: Law, Religion, Economics, and Morality ( Cambridge: Cambridge
University Press, 2020)
36