Anda di halaman 1dari 36

Problematika Hukum Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Beserta Hak-Hak

Tradisionalnya Dalam Kajian Pluralisme Hukum

MAKALAH 

DOSEN PENGAMPU: 

Dr. M. Hatta Roma Tampubolon, SH., MH. 

Makalah ini disusun untuk memenuhi penugasan Mata Kuliah


Sosiologi Hukum pada Semester Ganjil TA. 2021/2022
Program Magister Hukum Fakultas Hukum 

Oleh :  

RENALDI KUAMAS
NIM: D 102 21 081 

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM 


UNIVERSITAS TADULAKO 
PALU 
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur tak henti – hentinya penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, Tuhan
Yang Maha Esa Atas berkat rahmatnya penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Melalui makalah ini penulis membahas mengenai “problematika hukum perlindungan
masyarakat hukum adat beserta hak-haknya tradisional dalam kajian pluralisme
hukum ”.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan makalah ini tidaklah terlepas dari pihak –
pihak terkait. Atas segala bantuan dan yang diberikan penyusunan mengucapkan terima kasih
yang sebesar – besarnya. Penulis menyadari bahwa ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena, itu penulis mengharapkan masukan dan kritik yang  membangun dari dosen yang
membaca makalah ini. Penulis berharap hasil dari makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa
pun yang membutuhkannya. Semoga makalah ini dapat meningkatkan  pemahaman kita di
masa  yang akan datang. Amin.

Palu,   November  2021

            
  Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang Masalah...................................................................... 3

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 12

1.3 Tujuan Penulisan................................................................................ 12

1.4. Manfaat Penulisan............................................................................. 12

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pluralisme Hukum Di Indonesia........................................................... 12

2.2. problematika hukum perlindungan masyarakat hukum adat beserta hak-

haknya tradisional dalam kajian pluralisme hukum........................... 22

BAB IV PENUTUP

3.1 Kesimpulan.............................................................................................33

3.2 Saran.......................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................35

3
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam salah satu perspektif ilmu hukum dikatakan bahwa hukum yang baik

adalah hukum yang diciptakan berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat (living

law) hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh on Savigny dengan mahzab

sejarahnya,bahwa hukum merupakan fenomena historis,sehingga keberadaan setiap

hukum adalah berbeda,bergantung kepada tempat dan waktu berlakunya hukum,serta

hukum harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa.

Mahzab ini diperkuat oleh mahzab sociological jurisprudence yang mengetengahkan

tentang pentingnya living law. Maka dalam hal ini hukum adat yang dikenal di

Indonesia merupakan pengaruh pandangan mahzab ini. Yang dilanjutkan oleh para

pemikir-pemikir Belanda yang mengemukakan tentang teori-teori hukum adat seperti

halnya Van Vollenhoven,Ter Haar,Holleman dan lainnya.1

Jauh hari sebelum berbagai macam hukum yang masuk di kepulauan

Nusantara, masyarakat Adat yang hidup dibutiran kepuluan Nusantara dipercaya

sudah memiliki norma hukum yang berasal dari chthonic (Hukum Adat).

Keterbukaan masyarakat pribumi terhadap masyarakat luar (asing), membuka pintu

akulturasi kebudayaan antara budaya lokal dengan budaya asing. Masuknya

peradaban asing, seperti Asia dan Eropa ke Nusantara, memicu keberagaman norma

hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Peradaban India

1
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2008), Hlm

4
memperkenalkan atau menyebarkan ajaran Buddha dan Hindu kepada masyarakat

Nusantara, peradaban Arab memperkenalkan ajaran Islam dan sistem hukumnya

kepada masyarakat Nusantara, dan peradaban Eropa memperkenalkan sistem hukum

civil law4 kepada masyarakat Nusantara melalui misi kolonnialismenya.

Di Indonesia telah ditegaskan dalam konstitusi terkait pengakuan keberadaan

masyarakat hukum adat yaitu dalam pasal 18 B Undang-Undang Dasar NRI Tahun

1945 yang menyebutkan bahwa

“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang hidup dan sesuai dengan

perkembangan bangsa, masyarakat, dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”

Menurut penulis bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

dihornati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Iinikemudian juga

dituangkan dalam naskah hasil perubahan ke empat UUD 1945 pasal 3 ayat (1)

bahwa

“ Bahwa Negara memajukan kebudayaann nasioanal indonesia di tenagah

peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam

memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”

Olehnya negara perlu mengelolah kemajuan masyarakat agar menjadi potensi

dalam pembangunan, bukan menjadi penyebab konflik. Fakta tentang terjadinya

5
konflik disebabkan oleh kurang profesionalnya pemerintah dalam menata norma

hukum sehingga menyebabkan terjadinya konflik dalam pengelolaan sumber daya

alam di beberapa kawasan di Indonesia.

Selain konflik normative antara hukum adat dengan hukum Negara, juga

mengenai penguasaan,pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam yang menjadi

pendukung kehidupan manusia,ekspansi batas wilayah kehidupan suatu

kelompok,kegiatan ekonomi masyarakat dan kepadatan penduduk. Oleh sebab itu

hendaknya pemerintah merespon dan mengakomodasi prinsip-prinsip hukum loKAL

ke dalam tatanan hukum nasional,sebagaimana dimaksud oleh Philips Nonnet dan

Selznick,dengan merespon prinsip-prinsip hukum adat yang diformulasikan dan

dikemas dalam hukum nasional.

Konsepsi Negara Hukum Indonesia menganut sistem pluralisme hukum yaitu

diberlakukan hukum hukum barat, hukum agama Islam dan hukum adat. Dalam

masa penjajahan, hukum adat MHA yang merupakan hukum asli bangsa Indonesia

mengalami tarik ulur apakah diakui atau tidak. Hukum pada era kolonial mempunyai

sifat dualisme yaitu dengan berlakunya hukum adat disamping hukum yang

didasarkan hukum barat. Hal demikian tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat

asli sebab yang didahulukan adalah hukum barat sedangkan hukum adat

dikesampingkan. Selain itu, penerapan hukum barat mengandung unsur eksploitasi

dan pemerasan terhadap hak rakyat Indonesia, contohnya dalam “agrarische wet”

6
yang memberikan hak erpfacht, dan domeinverklaring. Tetapi dengan

ditaungkannya hak hak masyarakat adat dalam undang-undang dasar NRI Tahun

1945 maka dengan begitu juga bisa memberikan kepastian hukum bagi masyarakat

yang menganut hukum adat.

Keragaman hukum di Indonesia khususnya hukum adat, tidak bisa dilepas dari

sikap keterbukaan masyarakat Keragaman hukum di Indonesia khususnya hukum

adat, tidak bisa dilepas dari sikap keterbukaan masyarakat itu sendiri, yang di dalam

kebudayaan itu terdapat beberapa norma hukum. Penerimaan kebudayaan asing ini

kemudian yang secara oromatis akan mendorong hidupnya norma lokal dan norma

asing di masyarakat Nusantara. Dipraktikkannya lebih dari satu hukum oleh

masyarakat Indonesia (hukum Adat, Agama, dan Barat) inilah yang oleh para ahli

hukum disebut sebagai Pluralisme Hukum.

Pluralisme hukum adalah munculnya suatu ketentuan atau sebuah aturan

hukum yang lebih dari satu di dalam kehidupan sosial. Kemunculan dan lahirnya

pluralisme hukum di indonesia di sebabkan karena faktor historis bangsa indonesia

yang mempunyai perbedaan suku, bahasa, budaya, agama dan ras. Tetapi secara

etimologis bahwa pluralisme memiliki banyak arti, namun pada dasarnya memiliki

persamaan yang sama yaitu mengakui semua perbedaan-perbedaan sebagai

kenyataan. Dan di dalam tujuan pluralisme hukum yang terdapat di indonesia

memiliki satu cita-cita yang sama yaitu keadilan dan kemaslahatan bangsa.

7
Indonesia menganut tiga sistem hukum yakni sistem hukum Adat, sistem hukum

Islam dan hukum Barat, ketiga hukum tersebut saling berkesinambungan antara satu

dengan yang lain mereka saling beriringan menggapai tujuan yang sama, namun di

dalam perjalananya mereka mengikuti aturan yang terdapat di dalam hukum

tersebut. Tetapi bila di kaji secara logika masing-masing hukum tersebut, memiliki

kesamaan di dalamnya. Mau tidak mau bahwa sistem pluralisme hukum di indonesia

telah melekat dan menjadi darah daging bagi masyarakat kita. Dan kita tidak bisa

mengelak bahwa hukum pluralisme tersebut berkembang di indonesia.

Konsep pluralisme hukum bangsa Indonesia menegaskan bahwa masyarakat

memiliki cara berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan

mereka dalam mengatur relasi-relasi sosialnya, pluralnya hukum yang berada pada

indonesia, hukum akan terpakai sendiri dengan keinginan atau kebutuhan

masyarakat tersebut. Perkembangan hukum nasional di indonesia berlangsung

berseiring dengan perkembangan kekuasaan negara-negara bangsa. Tak dapat

dipungkiri lagi kenyataannya memang demikian, karena apa yang disebut hukum

nasional itu pada hakekatnya adalah hukum yang pengesahan pembentukan dan

pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara. ketika

kehidupan berkembang ke dalam menjadi lebih luas, dari lingkar-lingkar kehidupan

komunitas lokal ke lingkar-lingkar besar yang bersifat translokal pada tataran

kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai suatu komunitas politik yang disebut

8
negara bangsa yang modern, kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu dan

pasti amatlah terasa. Maka gerakan ke arah unifikasi dan kodifikasi hukum terlihat

marak di sini, seolah menjadi bagian intheren dari proses nasionalisasi dan

negaranisasi serta modernisasi yang amat mengesankan telah terjadinya

pengingkaran eksistensi apapun yang berbau lokal dan tradisional.

Sejatinya, konsep pluralisme hukum merupakan kondisi manakala terdapat

dua atau lebih sistem hukum yang sedang berjalan dan hidup berdampingan pada

dimensi sosial yang sama pula. Teori tersebut menegaskan bahwa norma adat/norma

sosial, norma negara (hukum negara), dan hukum agama/etika dapat dijalankan

bersama-sama;2 yang bertujuan secara optimal untuk menjalin interaksi satu sama

lain diantara ketiga norma tersebut.3 Pluralisme hukum adalah serangan terhadap

sentralisme hukum;4 yakni gagasan bahwa hukum adalah satu-satunya lembaga

formal negara. Adapula anggapan; bahwa pluralisme hukum adalah cara untuk

mengkritik kekuasaan negara dan bahkan terkadang merayakan perlawanan terhadap

hegemoni negara.5

Konsep di atas dikukuhkan oleh Werner Menski atas kajian strategis

tentang perbedaan dan komparasi antara keberadaan hukum di negara Asia


2
edro Naso, Erwin Bulte, dan Tim Swanson, “Pluralisme Hukum di Sierra Pasca-Konflik Leone,” Jurnal
Ekonomi Politik Eropa 61 (Januari 2020): 1–21
3
Werner F. Menski, Comparative Law in a Global Context: The Legal Systems of Asia and Africa,
Comparative Law in a Global Context: The Legal Systems of Asi a and Africa, Second Edition, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006)
4
Tomáš Ledvinka, “The Disenchantment of the Lore of Law: Jacob Grimm’s Legal Anthropology
Before Anthropology,” The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law 52, no. 2 (May 3, 2020): 203-26
5
eorges Gharios, “Legal Pluralism and UnmOfficial Law in Lebanon: Evolution and Sustainable
Development of Water,” Water Policy 22, no. 3 (June 1, 2020): 348 –64

9
dan Afrika dengan hukum di wilayah Eropa. Tatanan hukum di wilayah

eropa cenderung bersifat rasionalislogis; 6 yang melepaskan faset agama dan

moralitas di dalam norma maupun penegakan hukum. Fakta tersebut berbeda

dengan keberadaan hukum dalam lingkaran masyarakat yang pluralistik seperti

halnya di mAsia maupun Afrika; 7 yang lebih mengutamakan aspek perasaan

manusia sebagai pengaruh dari moralitas, agama, dan etika. Dengan demikian,

garis demarkasi hukum antara kedua benua tersebut Sangat wajar apabila

terjadi; mengingat karakter hukum seti ap negara atau wilayah memiliki esensi

tersendiri.

Meskipun demikian, konsep pluraslime hukum didefinisikan ulang oleh

masing masing negara. Mengapa demikian? Karena setiap negara sungguh tidak

mungkin dapat membangun segala aspek kebaharuan termasuk pembangunan

hukum secara mandiri tanpa adanya pengaruh baik disengaja maupun tidak era

modernisasi hukum sebagai implikasi adanya globalisasi.8

Era modernisasi hukum merupakan kondisi manakala perkembangan

teknologi dan informasi memberikan implikasi pada kuantitas dan kualitas hukum

adat,9 sehingga aspek kehidupan manusia menjadi pasti dan mekanis, tidak
6
Yuval Sinai and Benjamin Shmueli, Maimonides and Contemporary Tort Theory: Law, Religion,
Economics, and Morality ( Cambridge: Cambridge University Press, 2020)
7
Neilesh Bose and Victor V. Ramraj, “Lex Mercatoria, Legal Pluralism, and the Modern \State through the
Lens of the East India Company, 1600-1757,” Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle
East 40, no. 2 (August 1, 2020): 277-90
8
Catharina Dewi Wulansari and Yenny Yorisca, “Persoalan-Persoalan Kontemporer Dalam Ilmu Hukum,”
Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 1 (2020): 83–98

9
Miguel De Lemos, “Legal Pluralism And International Development: Introductory Notes On The Dialogue
Between The Two Concepts.,” Humanities And Rights | Global Network Journal 2, no. 1 (June 24, 2020): 190–

10
terkecuali hukum adat.10 Fenomena modernisasi hukum dimaknai sebatas

dokumen legal formal yang bersifat tertulis dan bersifat memaksa. Padahal

maksim certum est quod is committit in lege, qui legis verbum complectens, contra.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah uraiakan maka penulis mempunya rumusan

masalah yaitu : bagaimana problematika hukum perlindungan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya dalam kajian pluralisme Hukum?

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui problematika hukum perlindungan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya dalam kajian pluralisme Hukum

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat Teoritis

Meningkatkan pengetahuan bagi pembaca agar dapat memahami betapa

pentingnya melindungai masyarakat hukum adat beserta hak-hanya. Penulisan

karya tulis ini juga berfungsi untuk mengetahui antara teori dan kasus nyata

yang terjadi dilapangan sinkron atau tidak, karena dalam teori yang sudah ada

tidak selalu sama dengan kasus yang terjadi. Sehingga disusunlah karya tulis

ilmiah ini.

233.
10
Fradhana Putra Disantara, Konsep Pluralisme hukum khas Indonesia sebagai strategi menghadapi Era
Modern, Jurnal Al-adalah; Jurnal Hukum dan Politik, vol 6, No 1 Januari 2021, 1-36

11
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pluralisme Hukum di Indonesia

12
Pluralisme hukum memiliki karakter yang berbeda, yakni dengan cara

menggabungkan yuridis atau hukum negara (state law) dengan unsur-unsur

metayuridis unsur eksternal hukum) seperti kemanusiaan, moral, agama, etik, dan

pertimbangan sosial. John Griffiths mendefinisikan pluralisme hukum sebagai suatu

situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam

suatu bidang kehidupan sosial yang sama.11 Hooker menegaskan, dalam pluralisme

hukum harus ada interaksi antara berbagai hukum yang beragam itu. Yang

menjadikan pluralisme hukum penting untuk dikaji, bukanlah karena keragaman

sistem hukum itu, melainkan karena fakta dan potensinya untuk saling berkompetisi

hingga menciptakan ketidakpastian.12

Konsepsi pluralisme hukum menghendaki pendekatan keberagaman dalam

hukum karena konteks pluralitas masyarakat dalam bentuk suku bangsa, budaya, ras,

agama, kelas dan jenis kelamin. Pluralisme hukum dipahami sebagai inter-relasi,

interaksi, saling pengaruh dan saling adopsi antara berbagai sistem hukum negara,

adat, agama dan kebiasaan-kebiasaan lain yang dianggap sebagai hukum. Konsepsi

pluralisme hukum menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara berhukumnya sendiri

yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam mengatur relasi-relasi

sosialnya. Pluralisme hukum berbeda dengan pendekatan hierarki hukum yang

11
Puslitbang Hukum dan peradilan Ditjen Badan Peradilan Militer Dan Tata usaha negara, Pluralisme Hukum
Indonesia Bagi Hakim Tata Usaha Negara: Antara Tantangan Dan Peluang,Jurnal Volume 3 Nomor 1 Februari
2020,
12
Ibid

13
menjadi ciri khas dari positivisme hukum dan sentralisme hukum. Pluralisme hukum

memandang bahwa semua hukum adalah sama dan harus diberlakukan sederajat.13

2.1.1 Konsep Pluralisme Hukum Klasik

Bila pada pertengahan abad ke-19 keanekaragaman sistem hukum yang

dianut oleh masyarakat di berbagai belahan dunia ini ditanggapi sebagai gejala

evolusi hukum, maka pada abad ke-20 keanekaragaman tersebut ditanggapi

sebagai gejala pluralisme hukum. Kebutuhan untuk menjelaskan gejala ini

muncul terutama ketika banyak negara memerdekakan diri dari penjajahan,

dan meninggalkan sistem hukum Eropa di negara-negara tersebut.14

Para legal pluralist pada masa permulaan (1970-an) mengajukan

konsep pluralisme hukum yang meskipun agak bervariasi, namun pada

dasarnya mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara

bersama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama. Dalam arena

pluralisme hukum itu terdapat hukum negara di satu sisi, dan di sisi lain adalah

hukum rakyat yang pada prinsipnya tidak berasal dari negara, yang terdiri dari

hukum adat, agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi-konvensi sosial lain

yang dipandang sebagai hukum.15 Pandangan pluralisme hukum dapat

menjelaskan bagaimanakah hukum yang beranekaragam secara bersama-sama

mengatur suatu perkara. Melalui pandangan tersebut dapat diamati


13
ibid
14
Sulistyowati Irianto, “Sejarah Dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum Dan Konsekuensi
Metodologisnya,” Jurnal. Jurnal Hukum dan Pembangunan 33, no. 4 (2003): 490–491.
15
Ibid,

14
bagaimanakah semua sistem hukum tersebut “beroperasi” bersama-sama

dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, dalam konteks apa orang memilih

(kombinasi) aturan hukum tertentu, dan dalam konteks apa ia memilih aturan

dan sistem peradilan yang lain.16

Griffith membedakan adanya dua macam pluralisme hukum, yaitu:

weak legal pluralism dan strong legal pluralism. Pluralisme hukum yang

lemah itu adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun

mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang

sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hierarki

di bawah hukum negara (inferior). Sementara itu, konsep pluralisme hukum

yang kuat merupakan produk dari ilmuwan sosial, adalah pengamatan ilmiah

mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua

kelompok masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama

kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarki yang menunjukkan

sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. Griffith memasukkan

pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat seperti teori

living law yaitu aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif, yang

dikontraskan dengan hukum negara.17

16
ibid
17
Ibid hlm 492

15
Kemudian berkembang konsep pluralisme hukum yang tidak lagi

menonjolkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem

hukum rakyat di sisi yang lain. Franz von Benda Beckmann mengatakan

bahwa tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial

tertentu terdapat keanekaragaman hukum, namun yang lebih penting adalah

apakah yang terkandung dalam keanekaragaman tersebut, bagaimana sistem-

sistem hukum saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan

bagaimana dari sistem-sistem hukum yang beragam itu secara bersamasama

dalam suatu lapangan kajian tertentu.18 Sulistyowati Irianto berpendapat

bahwa pluralisme hukum juga terdapat dalam sistem hukum rakyat (folk law),

seperti hukum agama, adat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang saling

“bersaing”. Sementara itu sistem hukum negara juga plural sifatnya.

Pluralisme dalam hukum negara tidak saja berasal dari pembagian jurisdiksi

normatif secara formal, tetapi juga dalam banyak situasi dapat dijumpai

19
adanya choice of law, bahkan conflict of law. Eksistensi dari pluralisme

hukum akan nampak jika kita melihatnya dari perspektif individual yang

menjadi subjek hukum. Pluralisme hukum baru dikatakan ada bila terdapat

seseorang yang menjadi subjek lebih dari satu sistem hukum. Contoh yang

paling nyata dalam hal ini adalah ketika seseorang menghadapi suatu

18
Ibid Hlm 493-494
19
Ibid, Hlm, 494

16
sengketa. Ia akan berhadapan dengan berbagai pilihan hukum dan institusi

peradilan.11

2.1.2 Konsep Pluralisme Hukum

Baru Perkembangan konsep pluralisme hukum menunjukkan

terjadinya saling ketergantungan atau saling pengaruh (interdependensi,

interfaces) antara berbagai sistem hukum. Interdependensi tersebut terutama

antara hukum internasional, nasional, dan hukum lokal. Misalnya bagaimana

kebijakan dan kesepakatan internasional memberi pengaruh atau

bersinggungan dengan sistem hukum dan kebijakan di tingkat nasional, dan

selanjutnya memberi imbas kepada sistem hukum dan kebijakan di tingkat

lokal.20

Mengingat kondisi interdependensi yang demikian, sehingga sulit

merumuskan definisi pluralisme hukum yang sesuai dengan kondisi terkini.

Seiring perkembangan, muncul kembali konsepsi bahwa hukum terdiri atas

komponen-komponen, bagianbagian atau kluster. Kluster, komponen atau

bagian-bagian dari hukum inilah yang saling berpengaruh dan berinteraksi

membentuk konfigurasi pluralisme hukum. Keberadaan sistem hukum secara

bersama-sama itu menunjukkan adanya saling difusi, kompetisi, dan

perubahan sepanjang waktu. Kluster atau bagian-bagian dari sistemsistem

hukum itu saling berkaitan, menjadi saling bersentuhan, lebur, memberi

20
Peratun Op.cit hlm 23

17
respons satu sama lain, dan berkombinasi sepanjang waktu. Apa akibatnya?

Sebelumnya orang dapat dengan jelas mendefinisikan hukum sebagai hukum

adat, hukum agama, atau hukum negara. Menjelang tahun 1980-an, di wilayah

urban di negara-negara berkembang, berkembang bentuk-bentuk hukum baru

yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum

agama sehingga disebut sebagai hybrid law atau unnamed law. Batas antara

hukum yang satu dan yang lain menjadi kabur, dan hal ini merupakan proses

yang dinamis.13 Selanjutnya Sulistyowati Irianto berkesimpulan bahwasannya

perkembangan terakhir wacana pluralisme hukum, hendaknya perlu lebih

berhati-hati untuk menarik garis secara tegas antara hukum negara dan hukum

yang tidak berasal dari negara. Dalam kenyataan beroperasinya berbagai

sistem hukum secara bersama-sama, sistemsistem hukum itu saling

berkompetisi dan sekaligus saling menyesuaikan dan mengadopsi.

2.1.3. Konsep Pluralisme Hukum Pancasila

Dalam konteks ke-Indonesia-an, Indonesia saat ini menganut politik

hukum yang plural. Kebhinekaan masyarakat mencerminkan pluralitas

Indonesia. Kondisi tersebut telah menempatkan Pancasila pada posisi yang

sentral dalam pembangunan hukum. Sistem hukum Pancasila memberikan

karakteristik tertentu terhadap pluralisme hukum, seperti:

18
a. Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang

Maha Esa, yang menghormati ketertiban hidup beragama, rasa

keagamaan dan agama sebagai kepentingan yang besar;

b. Menghormati nilai-nilai hak asasi manusia, baik hak-hak sipil dan

politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dan dalam

kerangka hubungan antar bangsa harus menghormati the rights to

development;

c. Harus mendasarkan persatuan nasional pada penghargaan terhadap

konsep civic nationalism, yang mengapresiasi pluralisme;

d. Harus menghormati core values of democracy sebagai alat audit

demokrasi;

e. Harus menempatkan legal justice dalam kerangka social justice dan

dalam hubungan antar bangsa berupa prinsip-prinsip global justice.

Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa berfungsi

mengharmonisasikan nilai-nilai pluralisme dengan muatan tatanan nilai-nilai

yang ada dalam Pancasila. Untuk itu, dalam pembangunan hukum nasional

berdasar Pancasila tersebut perlu tetap berpijak ada nilai-nilai kearifan lokal

sebagai nilai-nilai unggulan dan mengakomodasi pluralisme yang ada di

Indonesia.

19
Di Indonesia, dimana Pancasila menjadi pandangan hidup, maka yang

hendak dikembangkan adalah sistem hukum Pancasila. Hukum Pancasila

sebagai hukum positif tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat

Indonesia untuk mengatur dan mewujudkan ketertiban yang adil dalam

kehidupan kemasyarakatan di Indonesia. Karena itu, hukum Pancasila dapat

juga disebut hukum (nasional) Indonesia.

Ini berarti hukum adat yang tumbuh dari dan di dalam lingkungan-

lingkungan masyarakat adat Indonesia, juga merupakan penjelmaan Pancasila

pada bidang hukum. Karena itu, hukum adat adalah bagian dari hukum

(nasional) Indonesia. Pembangunan hukum dilaksanakan dengan tetap

memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh

globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan

hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan

hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan

dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta

berdaya saing global.

Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa pemakaian sistem hukum

Pancasila adalah untuk mewadahi berbagai karakter nilai yang tumbuh dan ada

di Indonesia yang nilai-nilainya sangat khas, seperti kekeluargaan, kebapakan,

keserasian, keseimbangan, dan musyawarah yang semuanya merupakan akar-

20
akar dari budaya hukum negeri ini. Karena hukum merupakan pelayan

masyarakatnya, maka pembangunan hukum disini harus sesuai dengan apa

yang menjadi akar dan tumbuh di dalam masyarakat Indonesia.

Di Indonesia, pembangunan hukum nasional tidak bisa

mengesampingkan ragam kebhinekaan sosial budaya yang ada dalam

masyarakat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pluralisme hukum

Indonesia harus dipahami dalam konteks pembangunan hukum Pancasila

sebagai pandangan hidup bangsa. Pembangunan hukum Pancasila harus

mampu menyerap aspirasi yang tumbuh di dalam masyarakat, bertumpu pada

pengakuan pluralitas sesuai dengan asas Bhineka Tunggal Ika. Hukum

nasional ditempatkan dalam nuansa kebhinekaan dengan mentransformasikan

nilai-nilai lokal yang menghormati hak-hak rakyat

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa; yang melahirkan

local genius.21 Hal tersebut merupakan konsekuensi atas kemajemukan adat

22
yang hidup dan berkembang dalam berbagai ragam tradisi dan budaya.

Bukan hanya itu, Indonesia adalah negara yang majemuk secara hukum.

23
Tidak hanya karena Indonesia menampung berbagai kelompok suku yang

21
Rr Catharina Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia - Suatu Pengantar, 4th ed. (Bandung: PT Refika
Aditama, 2016).
22
RR. Catharina Dewi Wulansari, “The Role of The Government in The Recognition of Customary Rights to
Achieve Economic Development of Customary Law Communities,” Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) 1,
no. 1 (October 15, 2020): 109–45.
23
Mulyono Mulyono, Dewi Setyowati, and Kamarudin Kamarudin, “Tanggung Jawab Hukum Atas Pasien
Gangguan Jiwa Yang Melarikan Diri Dari Ruang Rawat Inap Rumah Sakit,” AlAdalah: Jurnal Hukum Dan
Politik Islam 3, no. 1 (July 3, 2019): 56–65.

21
memiliki berbagai tatanan normatif yang hidup berdampingan, tetapi juga

karena negara tersebut telah memiliki sistem hukum nasional; 24 yang disetujui

secara konstitusional (UUD NRI 1945) yang berdampingan dengan tatanan

normatif lainnya. Implikasinya, terjadi perubahan sosial yang

mengkonstruksikan suatu tatanan organisasi sosial dalam bentuk hukum adat;

25
sebagai bentuk perlindungan hidup bagi masyarakat adat. Tentunya, masing-

masing masyarakat adat tentu memiliki hukum adat yang berbeda satu sama

lain. Maka dari itu, prinsip consuetudo pro lege servatur mendasari manifestasi

local genius dalam bentuk hukum adat. Seiring berjalannya waktu, keberadaan

hukum adat sedikit demi sedikit dipengaruhi secara internal maupun eksternal;

tak terkecuali oleh hukum luar -hukum nasional-. Oleh karenanya, lahir

konsep legal pluralism guna menjaga hakikat dari 'hukum' itu sendiri.

2.2 Problematika Hukum Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Beserta Hak-Haknya

Tradisional Dalam Kajian Pluralisme Hukum

Secara terminologis, ”pengakuan” berarti proses,cara, perbuatan mengaku atau

mengakui,sedangkan kata “mengakui” berarti menyatakan berhak. Pengakuan dalam

konteks ilmu hukum internasional,misalnya terhadap keberadaan suatu

Negara/pemerintahan biasanya mengarah pada istilah pengakuan de facto dan de yure.

Pengakuan yang secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan
24
Fradhana Putra Disantara, “The Large Scale Social Restrictions Policy For Handling The COVID-19
Pandemic,” Jurnal Pembaharuan Hukum 7, no. 2 (2020): 128–41
25
Wayan P. Windia et al., “Bunga Rampai APHA Indonesia: Melihat Covid-19 Dari Perspektif Hukum Adat,”
Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) 1, no. 1 (2020): 373.

22
efektif pada suatu wilayah disebut dengan pengakuan de facto.Pengakuan de facto adalah

pengakuan yang bersifat sementara,karena pengakuan ini ditunjukkan kepada kenyataan-

kenyataan mengenai kedudukan pemerintahan yang baru,apakah ia didukung oleh

rakyatnya dan apakah pemerintahannya efektif yang menyebabkan kedudukannya stabil.

Jika kemudian bias dipertahankan terus dan makin bertambah maju,maka pengakuan de

facto akan berubah dengan sendirinya menjadi pengakuan de jure.

Pengakuan de jure bersifat tetap yang diikuti dengan tindakan tindakan hukum

lainnya. sedangkan pengakuan secara hukum (de jure) adalah pengakuan suatu Negara

terhadap Negara lain yang diikuti dengan tindakan-tindakan hukum tertentu,misalnya

pembukaan hubungan diplomatic dan pembuatan perjanjian antarkedua Negara. Dalam

buku General Theory of Law and State, Hans Kelsen menguraikan terminology

“pengakuan” dalam kaitannya dengan keberadaan suatu Negara sebagai berikut:

Terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan

hukum.

Tindakan politik mengakui suatu Negara berarti Negara mengakui

berkehendak untuk mengadakan hubungan-hubungan politik dan hubungan-hubungan

lain dengan masyarakat yang diakuinya. Sedangkan tindakan hukum adalah prosedur

yang dikemukakan diatas yang ditetapkan oleh hukum internasional untuk

menetapkan fakta Negara (masyarakat adat) dalam suatu kasus kongrit. Berdasarkan

rujukan diatas,dalam kaitannya dengan pengertian pengakuan dan perlindungan

23
terhadap masyarakat hukum adat atas hak ,pengakuan terhadap masyarakat hukum

adat mengarah pada penegrtian pengakuan dari Negara/pemerintah baik secara politik

maupun secara hukum, melalui pengaturan hak dan kewajiban pemerintah dalan

memberikan penghormatan,kesempatan dan perlindungan bagi berkembangnya

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimiliki dalam bingkai

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengakuan tersebut menunjukkan bahwa Negara/pemerintah telah

mengakui,menyatakan sah/benar atau menyatakan masyarakat hukum adat berhak atas

sumberdaya alam yang dimiliki dan mewajibkan pemerintah untuk melinduingi hak-

hak tersebut dari ancaman/gangguan pihak lain. Pengakuan tersebut merupakan

pengakuan yang diformulasikan dalam bentuk hukum Negara terhadap hak

masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya.

Pengakuan melalui hukum Negara (hukum positif, menurut Austin diartikan

sebagai hukum yang dibuat oleh orang atau lembaga lembaga yang memiliki

kedaulatan, dan pengakuan tersebut diberlakukan terhadap anggota-anggota

masyarakat politik yag merdeka (independet political society). Anggota masyarakat

tersebut mengakui kedaulatan atau supremitas yang dimiliki orang atau lembaga-

lembaga pembuat hukum yang bersangkutan. Denga demikian,kebiasaan

menurutnya hanya akan berlaku sebagai hukum jika undang-undang menghendaki

atau menyatakan dengan tegas atas keberlakuan kebiasaan tersebut.

24
Konsepsi Austin tentang penetapan melalui hukum Negara sebagai satu-

satunya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat,tersebut dikritik oelh para

pengikut mazhab sejarah yang meyakini bahwa setiap masyarakat memiliki cirri

khas masing- masing tergantung pada riwayat hidup dan struktur social yang hidup

dan berkembang untuk mengatur kepentingan-kepentingan mereka.

Menurut Friedrich Carl von Savigny (sebagai tokoh utama mazhab sejarah)

bahwa hukum merupakan salah satu factor dalam kehidupan bersama suatu bangsa

seperti bahasa,adat,moral,tatanegara. Oleh karena itu,hukum adalah sesuatu yang

bersifat supra individual,suatu gejala masyarakat. Tetapi suatu masyarakat lahir

dalam sejarah,berkembang dengan sejarah dan lenyap dalam sejarah.lepas dari

perkembangan masyrakat tidak terdapat hukum sama sekali. Friedrich Carl Von

Savugny melihat hukum sebagai fenomena historis,sehingga keberadaan setiap

hukum adalah berbeda,bergantung kepada tempat dan waktu berlakunya hukum.

Hukum harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa

(volksgeist).

Konsep hukum yang hidup di dalam jiwa masyarakat (volksgeist) dari

Friedrich Carl Von Savigny,dipertegas oleh penggagas sosiologi hukum Eugene

Ehrlich yang menyebutkan dengan fakta-fakta hukum (fact of law) dan hukum yang

hidup dalam masyarakat (living law of people). Untuk itu,teori living law dari

Eugene Ehrlich menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum

25
yang hidup (living law). Semua hukum dianggap sebagai hukum social,dalam arti

bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh factor-faktor social ekonomi.

Kenyataan hukum social yang melahirkan hukum,termasuk dunia pengalamn

manusia,dan dengan demikian ditanggapi sebagai ide normative. Terdapat empat

jalan agar kenyataan-kenyataan yang anormatif menjadi normative yakni:

1. Kebiasaan

2. Kekuasaan efektif

3. Milik efektif

4. Pernyataan kehendak pribadi.

Kenyataan social lebih dilihat dari aspek ekonomi,dimana ekonomi

merupakan basis seluruh kehidupan manusia, maka ekonomi bersifat menentukan

bagi aturan kehidupan. Dari kebutuhan ekonomi manusia menjadi sadar, lalu timbul

hukum secara langsung,itulah hukum yang hidup (living law),sebab hukum tidak

merupakan suatu aturan diatas anggota-anggota masyarakat,melainkan diwujudkan

dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri.

Ini merupakan teori Sociologikcal Jurisprudence,selain dipelopori oleh

Eugen Ehhrlich juga oleh beberapa ahli yakni Roscoe Pound,Benyamin

Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti pemikiran mahzab ini yang

berkembang di Amerika ; “hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan

hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Artinya bahwa hukum itu mencerminkan

26
nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Mahzab ini mengetengahkan tentang

pentingnya Living –Law-hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dan

kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari

thesenya,yaitu positivism hukum anthithesenya mazhab sejarah.

Jadi pengakuan hak masyarakat hukum adat tidak hanya terbatas pada

bentuk pengakuan dalam hukum Negara, tetapi karena secara factual masyarakat

Indonesia bersifat majemuk (plura.l).maka pengakuan juga dapat diperoleh melalui

hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum adat. Hal ini selaras dengan

pendapat Van Vollenhoven bahwa system pemberlakuan hukum adat tidak

didasarkan pada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau alat

kekuasaan lainnya,yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan

Belanda,melainkan pada tindakan-tindakan yang oleh adat dan oleh masyarakat

dianggap patut dan mengikat, disamping itu penduduk memiliki keyakinan yang

sama menyatakan bahwa aturan-aturan adat harus dipertahankan oleh kepala adat

dan petugas-petugas lainnya dan memiliki sanksi.

Hal ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh soedikno yaitu :

1. Teori kekuatan (machtstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku

secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh

penguasa,terlepas dari diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.

27
2. Teori Pengakuan (anerkennungstheorie) hukum mempunyai

kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga

masyarakat.17

Pengakuan tersebut ditetapkan juga dalam konstitusi Negara Indonesia

yaitu dalam Pasal 18 B Undang-undang 1945 bahwa Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

diatur dalam undang-undang, dan selanjutnya dalam Pasal 28 I ayat (3) UUD

1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras

dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dan pada perubahan keempat

UUD 1945 ditetapkan juga di dalam Pasal 32 ayat (1) bahwa Negara

memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan

menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan

nilai-nilai budayanya. Selain yang tertuang dalam peraturan perundang-

undangan nasional, pengakuan hak-hak masyarakat adat secara Internnasional

akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat.

Salah satu puncak penghormatan terhadap keberadaan masyarakat

hukum adat pada tahuun 1993 Tahunh Masyarakat Adat oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB), yang merupakan tindak lanjut dari rangkaian

28
kesepakatan konvensikonvensi dunia yang menekankan pentingnya

pemerintah Negara-negara anggota PBB untuk segera melaksanakan

pemebrdayaan masyarakat hukum adat.

Bukan hanya peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur

mengenai pengakuan akan hak-hak masyarakat adat,tetapi juga pengakuan dan

dukungan dari masyarakat internasional. Ada sejumlah perjanjian

internasional baik yang sifatnya mengikat maupun tidak yang mengaturnya.

Sampai saat ini minimal ada 19 jenis dukungan internasional terhadap

komunitas adat melalui perjanjian perjanjian internasional diantaranya,

perlindungan terhadap hak-hak azasi, hak untuk berkumpul,hak ats atanah dan

territorial,kebebasan beragama,kepemilikan intelektual, hak kepemilikan adat,

pengakuan tat ruang adat dan lain sebagainya

perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan perubahan hukum

muncul melalui advokasi-advokasi terhadap masyarakat adat. Dalam konteks

ini, pluralisme hukum dipakai untuk membela tanah-tanah masyarakat yang

diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta (Simarmata, 2005). Hukum adat

ditampilkan sebagai lawan dari hukum negara yang memberi keabsahan

perampasan-perampasan tanah adat. Lagi pula, dalam UUPA ada peluang

melalui aturan yang mengakui keberadaan tanah-tanah adat (ulayat).

Singkatnya, konsep pluralisme hukum dipakai untuk mengangkat kembali

29
keberadaan hukum adat, dalam upaya untuk melindungi sumber daya alam

yang dimiliki masyarakat adat dari perampasan-perampasan yang diabsahkan

hukum negara. Lebih jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong

pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh negara.

Salah satu keberhasilan gerakan ini adalah menggolkan aturan

mengenai pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat hak-hak tradisionalnya dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen

kedua tahun 2000. Selain itu, kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang

Pembaharuan Agraria, yang di dalamnya diatur juga tentang masyarakat adat,

juga tidak terlepas dari pengaruh pluralisme hukum. Sejak munculnya aturan

ini, hampir semua produk hukum negara yang berkaitan dengan sumber daya

alam memuat aturan mengenai masyarakat adat ini. Di tataran praktis, gerakan

untuk mendorong pengakuan masyarakat adat semakin masih dilakukan

aktivis-aktivis pro-masyarakat adat.

Di antaranya dengan melakukan pemetaan wilayah-wilayah adat di

sejumlah tempat dan pendokumentasian hukum-hukum adat. Karena, dua. hal

inilah yang menjadi syarat utama untuk diakuinya keberadaan masyarakat

adat. Selain itu, gerakan ini juga mendorong pemerintahpemerintah daerah

mengakui masyarakat adat melalui pembentukan sejumlah regulasi daerah. Di

30
sisi lain, pemberlakuan otonomi daerah juga semakin memberi angin segar

untuk gerakan ini.

Lebih jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba

merambah ranah penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya

pengakuan terhadap lembaga-lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan

adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu jawaban terhadap situasi lembaga

penyelesaian sengketa negara (pengadilan) yang bobrok, yang dinilai tidak

dapat memberikan keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan untuk

membiarkan masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri melalui

peradilan adat tanpa melalui melibatkan pengadilan.

Gerakan perubahan hukum di Indonesia dengan menggunakan

pluralisme hukum sebagai pijakan, telah melangkah cukup jauh. Salah satunya

adalah dengan diakuinya hak-hak masyarakat adat, termasuk hukumnya,

dalam konstitusi. Masyarakat Indonesia memang merupakan masyarakat yang

majemuk, tetapi bukan berarti bahwa pluralisme hukum merupakan jawaban

atas adanya problem hukum di Indonesia. Pluralisme hukum jelas

mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah menjadi ancaman bagi

demokratisasi di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan dalam pluralisme

hukum membuat cakupan hukum dalam pengertian pluralisme hukum juga

hampir tidak mengenal batas. Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan

31
diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dikatakan sebagai hukum.

Tidak begitu penting

Gerakan perubahan hukum di Indonesia dengan menggunakan

pluralisme hukum sebagai pijakan, telah melangkah cukup jauh. Salah satunya

adalah dengan diakuinya hak-hak masyarakat adat, termasuk hukumnya,

dalam konstitusi. Masyarakat Indonesia memang merupakan masyarakat yang

majemuk, tetapi bukan berarti bahwa pluralisme hukum merupakan jawaban

atas adanya problem hukum di Indonesia. Pluralisme hukum jelas

mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah menjadi ancaman bagi

demokratisasi di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan dalam pluralisme

hukum membuat cakupan hukum dalam pengertian pluralisme hukum juga

hampir tidak mengenal batas. Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan

diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dikatakan sebagai hukum.

Tidak begitu penting

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

32
3.1.1 Konsep pluralisme hukum terus berkembang dari waktu ke waktu seiring

berkembangnya peradaban masyarakat, diawali dengan konsep pluralisme

hukum klasik kemudian lahir pula konsep pluralisme hukum baru. Dalam

konteks keIndonesia-an, dikenal konsep pluralisme hukum Pancasila yang

bertumpu pada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan asas Bhineka

Tunggal Ika.

3.1.2. Fenomena modernisasi hukum sebagai implikasi dari era globalisasi

mewujudkan karakter hukum yang legal formal prosedural serta berdimensi

pada aturan tertulis; yang menyebabkan adanya dikotomi antara hukum

nasional dan hukum adat. Bukan hanya itu, fenomena modernisasi hukum

melahirkan sistem hukum baru, yaitu hukum transnasional sebagai

konsekuensi atas terjadinya adaptasi hukum nasional serta pemenuhan

kepentingan akan kerjasama antar bangsa .

3.2 Saran

Dengan demikian, diperlukan suatu konsep kebaharuan pluralism hukum, yaitu

Indonesian legal pluralism atau pluralism hukum khas Indonesia. Konsepsi

tersebut merupakan pengembangan atas konsep legal pluralism yang dikemukaka

oleh Werner Menski. The concept of Indonesian legal pluralism menambahkan

berbagai konsep yang Bersandar pada aspek transnasional; sehingga natural law,

international law, positive law, dan social legal dapat diberlakukan secara bersama

33
sama yang didasarkan atas Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan visi misi darI Negara Kesaturan Republik

Indonesia, khususnya Alinea keempat IV.

DAFTAR PUSTAKA

34
A. BUKU

Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2008),

Catharina Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia - Suatu Pengantar, 4th ed.

(Bandung: PT Refika Aditama, 2016).

B. JURNAL
Georges Gharios, “Legal Pluralism and UnOfficial Law in Lebanon: Evolution
and Sustainable Development of Water,” Water Policy 22, no. 3 (June 1, 2020): 348
–64

Mulyono Mulyono, Dewi Setyowati, and Kamarudin Kamarudin, “Tanggung Jawab


Hukum Atas Pasien Gangguan Jiwa Yang Melarikan Diri Dari Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit,” Al Adalah: Jurnal Hukum Dan Politik Islam 3, no. 1 (July 3, 2019):
56–65.

Neilesh Bose and Victor V. Ramraj, “Lex Mercatoria, Legal Pluralism, and the
Modern \State through the Lens of the East India Company, 1600-1757,”
Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East 40, no. 2 (August 1,
2020): 277-90

Naso, Erwin Bulte, dan Tim Swanson, “Pluralisme Hukum di Sierra Pasca-Konflik
Leone,” Jurnal Ekonomi Politik Eropa 61 (Januari 2020): 1–21

Pradhana Putra Nusantara, “The Large Scale Social Restrictions Policy For Handling
The COVID-19 Pandemic,” Jurnal Pembaharuan Hukum 7, no. 2 (2020): 128–41

Puslitbang Hukum dan peradilan Ditjen Badan Peradilan Militer Dan Tata usaha
negara, Pluralisme Hukum Indonesia Bagi Hakim Tata Usaha Negara: Antara
Tantangan Dan Peluang,Jurnal Volume 3 Nomor 1 Februari 2020
RR. Catharina Dewi Wulansari, “The Role of The Government in The Recognition of Customary
Rights to Achieve Economic Development of Customary Law Communities,” Journal of Indonesian
Adat Law (JIAL) 1, no. 1 (October 15, 2020): 109–45

Tomáš Ledvinka, “The Disenchantment of the Lore of Law: Jacob Grimm’s


Legal Anthropology Before Anthropology,” The Journal of Legal Pluralism and
Unofficial Law 52, no. 2 (May 3, 2020): 203-26

Wayan P. Windia et al., “Bunga Rampai APHA Indonesia: Melihat Covid-19 Dari
Perspektif Hukum Adat,” Journal of Indonesian Adat Law (HAL) 1, no. 1 (2020):
373.

Werner F. Menski, Comparative Law in a Global Context: The Legal Systems of Asia
and Africa, Comparative Law in a Global Context: The Legal Systems of Asia
and Africa, Second Edition, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
2006)

35
Yuval Sinai and Benjamin Shmueli, Maimonides and Contemporary Tort
Theory: Law, Religion, Economics, and Morality ( Cambridge: Cambridge
University Press, 2020)

36

Anda mungkin juga menyukai