Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH HUKUM ADAT

EKSISTENSI HUKUM ADAT SUKU BUTON

OLEH :

NAMA : NUR AKBAR

NIM : H1A121230

KELAS : E

MATKUL : HUKUM ADAT

DOSEN : Dr.Rulia,S.H.,M.H.

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmatNya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah hukum
adat sebagai tugas final.

Makalah ini ditulis oleh penulis yang bersumber dari Buku dana Jurnal
sebagai referensi. Tak lupa saya ucapkan kepada rekan rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.

Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua. Makalah ini secara fisik dan substansinya diusahakan relevan dengan
pengangkatan judul makalah yang ada, keterbatasan waktu dan kesempatan sehingga
makalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang tentunya mash perlu perbaikan
dan penyempurnaan maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju kearah yang lebih baik.

Demikianlah makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang
membacanya, sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang “Eksistensi
Hukum Adat Suku Buton”.

Kendari , Juli 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar ………………………………………………………………….. ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………... iii
BAB I Pendahuluan …………………………………………………………… 1

A. Latar Belakang …………………………………………………………. 1


B. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 6
C. Tujuan ………………………………………………………………….. 6
D. Manfaat ………………………………………………………………… 6

BAB II Tinjauan Pustaka ……………………………………………………... 7

A. Eksistensi ………………………………………………………………. 7
B. Hukum Adat ……………………………………………………………. 9
C. Suku Buton …………………………………………………………….. 11

BAB III Pembahasan ………………………………………………………… 14

A. Sejarah Hukum Adat Suku Buton ……………………………………. 14


B. Hukum Adat Haroa Suku Buton ………………………….. 15

BAB IV Penutup ……………………………………………………………. 19

A. Kesimpulan …………………………………………………………… 19
B. Saran ………………………………………………………………….. 19

Daftar Pustaka ………………………………………………………………… 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukan kepada


kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Akan tetapi setelah
amandemen konstitusi hukum adat di akui sebagaimana dinyatakan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 188 ayat (2) yang menyatakan : Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.1

Hukum adat, jika kata itu terlintas di fikiran kita mungkin adalah suatu corak
kedaerahan yang begitu kental didalamnya. Karena sifatnya yang tidak tertulis,
majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.

Di era Modern saat ini terkadang kita lupa akan latar belakang lahirnya
hukum yang kita kenal dalam lingkungan kehidupan sosial kita .Hukum Adat
adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah aturan-aturan hukum
tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran
hukum masyarakat. Maka hukum adat mempunyai kemampuan yang dapat
menyesuaikan diri dan elastis.2

Hukum adat merupakan salah satu bentuk hukum yang masih eksis/ada dalam
kehidupan masyarakat hukum adat di Indonesia. Perlu kita ketahui pula bahwa
Hukum Adat merupakan salah satu bentuk hukum yang berlaku dalam kehidupan
dan budaya hukum masyarakat Indonesia yang masih berlaku sampai dengan saat

1
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji. Op.Cit., Hal.12.
2
Keebet Von Benda-Beckman:Pluraisme Hukum,Sebuah Sketsa Genealogis Dan Perdebatan Teortis
Dalam: Pluraisme,Sebuah Pendekatan Interdispliner,Ford Foundation,Huma,Jakarta,2006 Hal.21.

iv
ini. Eksistensi hukum adat dapat kita lihat hingga saat ini melalui adanya
peradilan-peradilan adat serta perangkat-perangkat hukum adat yang masih
dipertahankan oleh masyarakat hukum adat di Indonesia untuk menyelesaikan
berbagai sengketa dan delik yang tidak dapat ditangani oleh lembaga kepolisian,
pengadilan, serta lembaga pemasyarakatan. Hukum adat tetap dipertahankan
hingga saat ini oleh masyarakat hukum adat sebab mereka percaya bahwa putusan
yang dikeluarkan melalui peradilan adat terhadap suatu delik yang diadili
melaluinya dapat memberikan kepuasan akan rasa keadilan, serta kembalinya
keseimbangan dalam kehidupan masyarakat adat atas kegoncangan spiritual yang
terjadi atas berlakunya delik adat tersebut

Eksistensi hukum adat sebagai salah satu bentuk hukum yang diakui
keberadaannya dalam kehidupan dan budaya hukum masyarakat Indonesia
tercantum pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 atau
untuk singkatnya UUD ’45 yaitu pada pasal 18B ayat (2) yang menentukan
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Ksatuam Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang”. Penjelasan mengenai pengakuan hukum adat oleh
Negara juga terdapat pada pasal 27 ayat (1) UUD ’45 yang menentukan “Segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”,
yang mana dari rumusan ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa baik
warga sipil maupun aparatur pemerintahan tanpa terkecuali diwajibkan untuk
menjunjung hukum yang berlaku dalam kehidupan dan budaya hukum
masyarakat Indonesia baik itu hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum
adat.

v
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia sebagai sumber hukum juga mengakui eksistensi hukum adat
sebagai salah satu bentuk hukum yang berlaku dalam kehidupan dan budaya
hukum masyarakat Indonesia, yang mana hal ini ditunjukkan dalam pasal 6 ayat
(1) Undang-Undang tersebut yang menentukan “Dalam rangka penegakan hak
asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam Masyarakat Hukum Adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa hukum adat
dipandang sebagai prasarana yang digunakan oleh Masyarakat Hukum Adat
dalam memenuhi “hak adat” mereka, sehingga hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi keberadaannya baik oleh hukum, masyarakat, maupun pemerintah
sehingga eksistensi atau keberadaan hukum adat dalam kehidupan dan budaya
hukum masyarakat Indonesia dapat terus dijaga.

Hukum adat sebagai hukum positif memiliki ciri yang khas yaitu; hukum adat
merupakan hukum yang sebagian besar bersifat tidak tertulis, namun nilai-
nilainya ada dan berlaku dalam kehidupan masyarakat adat yang memberlakukan
hukum adat tersebut. Hukum adat berlaku dalam ruang lingkup yang terbatas
yakni hanya berlaku dalam masyarakat adat dimana hukum adat tersebut hidup
atau berada, dan keadaan ini memungkinkan bahwa setiap masyarakat adat dapat
memiliki hukum adat yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Penjelasan lebih
lanjut mengenai hukum adat dapat kita temukan dalam pendapat yang
dikemukakan oleh Prof. Mr. Dr. Soekanto selaku seorang ahli hukum, dimana
beliau mendefinisikan hukum adat sebagai “kompleks adat-adat yang kebanyakan
tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sangsi,
jadi mempunyai akibat hukum.3

Salah satu sub-bagian yang terdapat dalam hukum adat ialah hukum adat delik
(adat delicten recht) atau dikenal juga sebagai hukum pidana adat. Pengertian
3
Soekanto, 1985, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Edisi Ketiga, CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 2.

vi
akan istilah hukum pidana adat dapat kita temukan lewat pendapat Hilman
Hadikusuma, S.H. yang mengemukakan bahwa Istilah hukum pidana adat adalah
terjemahan dari istilah Belanda “adat delicten recht” atau “hukum pelanggaran
adat”, dan beliau juga menyatakan bahwa istilah-istilah ini tidak dikenal
dikalangan masyarakat adat.4

Bahkan, keberadaan hukum adat makin kuat dengan adanya deklarasi PBB
tentang hak-hak masyarakat adat yang antara lain menyatakan; Mengakui dan
menegaskan kembali bahwa warga-warga masyarakat adat diakui, tanpa
perbedaan, dalam semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam hukum
internasional, dan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif yang sangat
diperlukan dalam kehidupan dan keberadaan mereka dan pembangunan yang utuh
sebagai kelompok masyarakat. Masyarakat Adat mempunyai hak untuk menjaga
dan memperkuat ciri-ciri mereka yang berbeda di bidang politik, hukum,
ekonomi, sosial dan institusi-institusi budaya, seraya tetap mempertahankan hak
mereka untuk berpartisipasi secara penuh, jika mereka menghendaki, dalam
kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya Negara. Oleh sebab itu, dalam
upaya melakukan reformasi hukum di Indonesia, tentu janganlah dilupakan,
terutama berkaitan dengan menentukan pardigma pembaharuan konsepi
pembangunan hukum ada nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat adat yang
diakui secara konstitusional dan dalam deklarasi PBB. Deklarasi PBB tersebut
tentu tidak terlepas dari adanya indikasi, bahwa di banyak bagian dunia,
masyarakat hukum adat ini tidak dapat menikmati hak-hak asasi mereka sederajat
dengan penduduk lainnya di Negara tempat mereka tinggal, dan bahwa undang-
undang, nilai-nilai, adat-istiadat, dan sudut pandang mereka sering kali telah
terkikis. Dalam konvensi masyarakat hukum adat 1989 itu dinyatakan pula,bahwa
masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai pribumi
karena mereka adalah keturunan dari penduduk yang mendiami negara yang

4
Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Pidana Adat, Cetakan Pertama, Alumni, Bandung, hlm. 17

vii
bersangkutan, atau berdasarkan wilayah geografis tempat negara yang
bersangkutan berada, pada waktu penaklukan atau penjajahan atau penetapan
batas-batas negara saat ini dan yang, tanpa memandang status hukum mereka,
tetap mempertahankan beberapa atau seluruh institusi sosial, ekonomi, budaya
dan politik mereka sendiri. artinya, dimasa depan eksistensi hukum adat tidak
hanya menjadi perhatian pembangunan hukum nasional, tetapi sekaligus akan
menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam pergaulan dunia internasional.
Khusunya dengan makin derasnya tuntutan globalisasi hukum yang terkadang,
bahkan pada saat ini, tampak lebih berkembang dalam skala kepentingan
hubungan ekonomi yang mereduksi kedaulatan hukum negara-negara nasional.
Imbasnya tentua akan lebih berat terhadap hukum adat. Karena itu di dalam
pembangunan hukum nasional, pemerintah harus memberikan tempat kepada
tumbuh dan berkembangnya hukum adat dengan baik. Dengan deklarasi
masyarakat hukum adat 1989 itu, sesungguhnya menjadi piranti bagi suatu
negara, termasuk Indonesia dalam menekan penetrasi internasional, pada saat
mana hukum nasional berkemungkinan tidak mampu melawan kuatnya tekanan
dunia internasional. Bahakn konvesi masyarakat hukum adat itu menegaskan,
pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyusun, dengan partisipasi dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, aksi yang terkoordinasi dan
sistematis untuk melindungi hak-hak dari masyarakat hukum adat ini dan untuk
menjamin dihormatinya keutuhan mereka

Kemudian dari pemahaman diatas bahwa tedapat macam suku dan hukum
adat yang berbeda-beda maka kali ini khusus pembahasan makalah ini adalah
tentang eksistensi hukum adat dari suku buton.

B. Rumusan Masalah

viii
Dari berbagai penjelasan pada latar belakang diatas dapat dimuat berbagai
persoalan ataupun rumusan masalah yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana Sejarah Hukum Adat Suku Buton?


2. Bagaimana Hukum Adat Haroa Suku Buton?

C. Tujuan

Terkait dengan rumusalan masalah diatas bisa kitu buat tujuan dari makalah ini
adalah sebagai berikut :

1. Untuk Mengetahui Sejarah Hukum Adat Suku Buton!


2. Untuk Mengetahui Hukum Adat Haro Suku Buton!

D. Manfaat

Manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan pengetahuan tentang Sejarah Hukum Adat Suku Buton.


2. Memberikan pengetahuan tentang Hukum Adat Haroa Suku Buton.

BAB II

ix
TINJAUAN PUSTAKA

A. Eksistensi

Secara etimologi, eksistensialisme berasal dari kata eksistensi, eksistensi


berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence; dari bahasa latin existere yang berarti
muncu, ada, timbul, memilih keberadaan aktual. Dari kata ex berarti keluar dan
sistere yang berarti muncul atau timbul. Beberapa pengertian secara terminologi,
yaitu pertama, apa yang ada, kedua, apa yang memiliki aktualitas (ada), dan ketiga
adalah segala sesuatu (apa saja) yang di dalam menekankan bahwa sesuatu itu ada.
Berbeda dengan esensi yang menekankan kealpaan sesuatu (apa sebenarnya
sesuatu itu seseuatu dengan kodrat inherennya)5. Sedangakan eksistensialisme
sendiri adalah gerakan filsafat yang menentang esensialisme, pusat perhatiannya
adalah situasi manusia.6

Memahami eksistensialisme, memang bukan hal yang mudah. Banyak


pendapat perihal definisi dari eksistensi. Tapi, secara garis besar, dapat ditarik
benang merah, diantara beberapa perbedaan devinisi tersebut. Bahwa, para
eksistensialis dalam mendefinisikan eksistensialisme, merujuk pada sentral
kajiannya yaitu cara wujud manusia.

Pemahaman secara umum, eksistensi berarti keberadaan. Akan tetapi,


eksistensi dalam kalangan filsafat eksistensialisme memiliki arti sebagai cara
berada manusia, bukan lagi apa yang ada, tapi, apa yang memiliki aktualisasi
(ada). Cara manusia berada di dunia berbeda dengan cara benda-benda.
Bendabenda tidak sadar akan keberadaannya, tak ada hubungan antara benda yang
satu dengan benda yang lainnya, meskipun mereka saling berdampingan.

Manusia dengan segala aktivitasnya, berani menghadapi tantangan dunia di


luar dirinya. Seperti halnya pendapat dari Heigdegger tentang Desain, bahwa
5
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 183.
6
Ibid, 185

x
manusia selalu menempatkan dirinya diatara dunia sekitarnya. Yang mana Desain
terdiri dari dua kata, da : di sana dan sein : berada, berada disana yaitu di tempat.
Manusia selalu berinteraksi dan terlibat dalam alam sekitarnya. Namun, manusia
tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, dan
memiliki keunikan tersendiri, karena manusia sadar akan keberadaan dirinya.
Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya, maka ia tak dapat dilepaskan
dari dirinya. Manusia harus menemukan diri dalam situasi dan berhadapan dengan
berbagai kemungkinan atau alternative yang dia punyai. Bagi Jasper dan
Hiedegger, situasi itu menentukan pilihan, kemudian manusia membuat pilihan
dari berbagai kemungkinan tersebut.7 Manusia itu terbuka bagi dunianya.
Kemampuan untuk berinteraksi dengan hal-hal diluar dirinya karena memiliki
seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan, dan pembicaraan. Dengan
mengerti dan memahami itulah manusia beserta kesadarannya akan berpotensi di
antara benda-benda lainya, harus berbuat sesuatu untuk mengaktualisasikan
potensi atau kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya dan memberi
manfaat pada dunianya dengan berbagai pilihan kemungkinan-kemungkinannya.

Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalakan tentang esensia dari


segala yang ada. Karena memang sudah ada, tak pernah ada persoalan. Tetapi
bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada.8 Konsep adadalam dunia
juga diperkenalkan oleh Heidegger untuk memahami gejala keberadaan manusia.
Bahwa manusia hidup dan mengungkap akan keberadaannya dengan meng-ada di
dunia. Manusia, menurut Heidegger tidak menciptakan dirinya sendiri, tetapi ia
“dilemparkan” ke dalam keberadaan. Dengan cara demikian manusia bergantung
jawab atas dirinya yang tidak diciptakan sendiri itu. Jadi, di satu pihak manusia
tidak mampu menyebabkan adanya dirinya, tetapi di lain pihak ia tetap
bertanggung jawab sebagai yg “bertugas” untuk meng-ada-kan dirinya.9

7
Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta : Pusataka Pelajar, 2002), 55.
8
Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Jakarta : Ar-Ruzz Media, 2008), 364.
9
Harun Hadiwijiono, Sari Sejarah Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1980), hal 155.

xi
B. Hukum Adat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adat adalah aturan (perbuatan) yang
lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala cara (kelakuan) yang sudah menjadi
kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai nilai budaya, norma,
hukum dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.10
Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilainilai kebudayaan, norma,
kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah.
Beberapa tokoh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian hukum adat,
antara lain: Van Vollen hoven menjelaskan bahwa Hukum adat adalah hukum
yang tidak tertulis yang tidak bersumber pada peraturan peraturan yang dibuat oleh
pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang diadakan
sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.11 Soepomo, merumuskan Hukum adat
adalah sinomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative
(statuary law),hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara
(Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan
kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di
desa-desa.12 Ter Haar menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam keputusankeputusan para fungsionaris hukum
(dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macth, authority) serta pengaruh dan
yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati.
Sukanto mendefenisikan hukum adat

sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dibukukan, tidak


dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi dan mempunyai akibat

10
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :Pustaka Pelajar, 2002), hal 56.
11
Van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat, (Jakarta : Djambatan,1987), hal 6.
12
Soepomo. Hukum Adat. (Jakarta;PT Pradnya Paramita, 1993), hal 3.

xii
hukum.13 Soeripto sebagaimana dikutip Abdurlhman Hukum adat adalah semua
aturan-aturan/ peraturan peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala
kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh
masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat
hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan
itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya
paksa atau ancaman hukuman (sanksi).14

Terbentuknya hukum adat diawali oleh perilaku pribadi anggota masyarakat.


Adanya aksi dan reaksi yang terpolarisasi dalam hubungan timbal balik antar
individu yang satu dengan individu lainnya, akan membentuk suatu interaksi
sosial. Interaksi antar sesama yang dilakukan secara berulang-ulang akan memberi
pengaruh terhadap tingkah laku bagi yang lainnya, sehingga dalam prosesnya
terjadilah sebuah hubungan sosial. Jika hubungan sosial dilakukan secara
sistematis, maka hubungan sosial tersebut akan menjadi sebuah sistem sosial.
Dengan adanya interaksi sosial, maka kebiasaan tersebut lambat laun akan menjadi
“adat” yang telah menjelmakan perasaan masyarakat itu sendiri. selanjutnya
kelompok masyarakat menjadikan adat sebagai sebuah adat yang harus berlaku
dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakatnya dan menjadikan ia “hukum
adat”. Sehingga hukum adat adalah adat yang diterima dan harus
dilaksanakan/dipatuhi oleh masyarakat yang bersangkutan.15

C. Suku Buton

13
Sukamto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mepelajari Hukum Adat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),14
14
Abdulrahman Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia, (Cendana Press,
1984), 18.
15
A. Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang, (Jakarta:Prenadamedia
Group, 2015), 3.

xiii
Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi
Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat ditemui dengan
jumlah yang signifikan di luar Sulawesi Tenggara seperti di Maluku
Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Maluku, dan Papua dikarenakan
migrasi orang Buton di akhir tahun 1920-an.

Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku


pelaut. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara
dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima
orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Jika melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan
mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-
kawannya, yang dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata
Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat
pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan
berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut
konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau
Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar akhir abad ke
13 atau setidaknya pada awal abad ke 14.16

Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman


dulu sudah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam antara lain padi ladang,
jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala
kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat


ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton,
diantaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di
dunia, Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri

16
“Suku Buton, https://id.wikipedia.org, dikunjungi pada tanggal 8 juli,2022, Pukul 21:34

xiv
kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata
uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi.

Nenek moyang suku Buton berasa dari imigran yang datang dari Johor sekitar
abad 15 dan kemudian mendirikan kerajaan Buton. Kerajaan tersebut bertahan
hingga tahun 1960 dimana sultan terakhir meninggal dunia. Sepeninggalan sultan
terakhir tersebut membuat tradisi kepulauan Buton tercerai berai.

Masyarakat Buton memiliki beragam bahasa yang begitu beragam. Hingga


sekarang dapat ditemui lebih dari tiga puluhan bahasa dengan berbagai macam
dialek. Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya
penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana
bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Buton.
Dalam perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Arab
seiring masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada abad ke-15 M, banyaknya
penggunaan bahasa Arab pada kosakata bahasa Buton menunjukkan tingginya
pengaruh Islam dalam Kesultanan Buton. Disamping itu bahasa Buton juga
menyerap unsur-unsur bahasa melayu.17

Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Buton oleh bangsa Majapahit pada abad
ke-13 dan Islam yang dibawah pada abad 15, masyarakat Buton mengenal dan
memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan
dinamisme). Masuknya agama Hindu-Islam mendorong masyarakat Buton mulai
menganut agama Hindu-Islam walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli
seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Misalnya
masyarakat nelayan Wakatobi khusunya Tomia mengenal adanya Dewa laut Wa
Ode Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi lautan
Banda yang terkenal ganas. Disamping itu masyarakat Buton juga mengenal Dewa
yang melindungi keberadaan Hutan yang dikenal dengan nama Wa Kinam (tidak
boleh disebut namanya/hanya diucapkan dengan cara berbisik).Masuknya Islam di
17
“sejarah suku buton”, http://kendari.simda.online, dikunjungi pada tanggal 09 juli 2022, pukul 00:26

xv
Buton pada abad ke-15, yang di bawah oleh Ulama dari Patani juga telah
meletakkan dasar-dasar Ilmu Fikih kepada Kesultanan dan masyarakat Buton.
Ilmu Fikih merupakan ilmu Islam yang mempelajari hukum dan peraturan yang
mengatur hak dan kewajiban umat terhadap Allah dan sesama manusia sehingga
masyarakat Buton dapat hidup sesuai dengan kaidah Islam. Dan Pada Abad ke-16
M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf di Buton, yang dibawah oleh Sufi
yang berasal dari Aceh.18

BAB III

18
“sejarah suku buton”, http://kendari.simda.online, dikunjungi pada tanggal 09 juli 2022, pukul 00:26

xvi
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Adat Suku Buton

Mengenai sejarah asal usul dari hukum adat suku buton sendiri tidak terlepas
dari pengaruh system kerajaan-kerajaan yang ada pada saat itu tentunya mengarah
pada system kerajaan kesultanan buton.

Kerajaan Buton pertama kali didirikan pada 1332 M. Namun, kala itu belum
mendapatkan pengaruh Islam. Pada awal pemerintahannya, kerajaan ini diperintah
oleh dua penguasa perempuan, yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Setelah itu,
secara berturut-turut kekuasaan dilanjutkan oleh Raja Bataraguru, Raja Tuarade,
Raja Rajamulae, dan Raja Murhum. Pada periode kekuasaan Raja Murhum inilah,
pengaruh Islam mulai masuk dan kerajaan resmi berubah menjadi Kesultanan
Buton.

Setelah masuk Islam, gelar yang diberikan kepada Raja Buton adalah Sultan
Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Kendati demikian, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan sejarawan tentang asal-usul masuknya agama Islam di
Buton. Sebagian meyakini bahwa Buton berubah menjadi kerajaan Islam setelah
mendapatkan pengaruh dari Ternate. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat
bahwa Islam datang di Buton berkat pengaruh dari Johor. Orang yang membawa
agama dan ajaran Islam dari Johor ke Buton adalah Syeikh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman al-Fathani. Sesampainya di Buton, 19

Syeikh Abdul Wahid mengislamkan raja keenam yang bernama Timbang


Timbangan atau Lakilapotan, yang lebih dikenal sebagai Raja Halu Oleo. Setelah
masuk Islam, Raja Halu Oleo bergelar Ulil Amri dan menggunakan gelar khusus,
yaitu Sultan Qaimuddin.

19
“kesultanan buton”, https://www.kompas.com, dikunjungi pada tanggal 09 juli 2022 pukul 09:13

xvii
Berbeda dari kerajaan-kerajaan di Nusantara yang menerapkan monarki
absolut, bentuk pemerintahan Kesultanan Buton adalah monarki konstitusional.
Sehingga, pada periode kerajaan berubah menjadi kesultanan, demokrasi
memegang peranan penting. Sultan bukan diwariskan berdasarkan keturunan saja,
tetapi dipilih oleh Siolimbona, yakni dewan yang terdiri dari sembilan orang
penguasa dan penjaga adat Buton. Selain itu, kesultanan ini memiliki undang-
undang sendiri, lengkap dengan badan-badan yang bertindak sebagai legislatif,
yudikatif, dan eksekutif. Bandan-bandan yang dimaksud adalah Sara Pangka
(eksekutif), Sara Gau (legislatif), dan Sara Bitara (Yudikatif). 20

Undang-undang di Kesultanan Buton disebut Murtabat Tujuh, yang


diresmikan oleh Sultan La Elangi (1597-1631) dan digunakan hingga kesultanan
dihapuskan. Uniknya, hukum di Kesultanan Buton ditegakkan bagi semua orang,
tidak hanya rakyat jelata tetapi juga pejabat istana atau bahkan sultan sekalipun.
Terbukti, selama empat abad berdiri, terdapat 12 sultan Buton yang dihukum
karena melanggar undang-undang.21 Kesultanan Buton juga memegang lima
falsafah hidup, yakni agama (Islam), Sara (pemerintah), Lipu (negara), Karo (diri
pribadi/rakyat), dan Arataa (harta benda).

B. Hukum Adat Haroa Suku Buton

Terkait Hukum adat suku buton terdapat banyak jenis hukum adatnya tentu
akan sangat menarik untuk kemudian menjadi bahan perbincangan,salah satu yang
menarik dalam hukum adat buton salah satunya adalah:”Haroa”

Haroa adalah ritual perayaan hari besar Islam. Pelaksanaannya dilaksanakan


di rumah-rumah warga yang diikuti semua anggota rumah dan tetangga yang
diundang baik yang berbeda suku maupun agama. Mereka duduk mengumpul di
satu ruangan, dan di tengahnya ada nampan yang berisikan kue-kue seperti onde-

20
Prasetyo, Deni. Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Widyatama . (2009).
21
“hukum kesultanan buton ”, https://www.kompas.com, dikunjungi pada tanggal 09 juli 2022 pukul 09:22

xviii
onde, cucur (cucuru), bolu, baruasa (kue beras), ngkaowi-owi (ubi goreng), dan
sanggara (pisang goreng). Semua kue tersebut mengelilingi piring yang berisikan
nasi dan di atasnya ada telur goreng. Usai pembacaan doa, acara selanjutnya
adalah makan-makan. Saya teringat antropolog Victor Turner yang mengatakan
bahwa makna ritual adalah memperkokoh jaringan sosial di antara seluruh anggota
masyarakat. Silaturahmi dengan tetangga, serta kian akrab dengan semua
keluarga.22

Pekandeana anana maelu, yaitu haroa yang diadakan setiap tanggal 10


Muharram. Tanggal 10 Muharram dirayakan oleh para sufi dengan tersedu-sedu.
Pada hari ini, cucu Rasulullah, Hussein bin Ali, dibantai bersama seluruh keluarga
dan pengikutnya. Makanya, di kalangan penganut ahlul bayt atau syiah, tanggal 10
Muharram senantiasa dirayakan agar menjadi pelajaran bagi generasi penerus.
Ketika Hussein wafat, maka putranya Imam Ali Zainal Abidin (atau dalam sejarah
dikenal sebagai Imam Sajjad karena saking seringnya bersujud) menjadi yatim.
Dalam bahasa Buton, yatim disebut maelu. Demi memberi kekuatan bagi Imam
Ali Zainal Abdiin agar tegar dalam meneruskan amanah Rasululah untuk
menegakkan agama Islam, orangorang Buton mengadakan haroa pekandeana
anana maelu (makan-makannya anak yatim). Pelaksanaannya adalah dengan cara
memanggil dua orang anak yatim berusia 4 sampai 7 tahun (sesuai umur Imam
Ali). Kemudian dari kalangan keluarga yang melakukan upacara, secara bergiliran
ikut menyuapi dua anak tersebut. Sesudahnya, mereka diberi uang sekedarnya.
Tradisi ini merupakan tradisi sufistik yang kuat di masyarakat Buton yang sudah
dilaksanakan sejak ratusan tahun silam.

22
La Ode Rusman Bahar, Tradisi Haroa yang Lestari,
http://timurangin.blogspot.com/2009/08/tradisi_haroa_yang_lestari.html, diunduh pada tanggal 29
September 2012, sesuai pula dengan Wawancara Om Kandang, Tokoh Agama (Sara hukumu) pada
masyarakat islam Buton yang ada di Kendari Sulawesi Tenggara.

xix
Haroana Maludu, yaitu haroa yang dilakukan pada bulan Rabiul Awal untuk
memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Lahirnya Muhammad adalah berita
gembira yang menjadi berkah bagi semesta. Muhammad adalah representasi dari
sosok yang membawa jalan terang bagi manusia. Untuk itu, kelahirannya
dirayakan dengan haroa dan membaca doa syukur bersama-sama. Menurut adat
Buton, haroa tersebut dibuka oleh sultan pada malam 12 hari bulan. Kemudian
untuk kalangan masyarakat biasa memilih salah satu waktu antara 13 hari bulan
sampai 29 hari bulan Rabiul Awal. Setelah itu ditutup oleh Haroana Hukumu pada
30 hari bulan Rabul Awal. Masyarakat menjalankannya setiap tahun dengan
membaca riwayat Nabi Muhammad. Kadangkala selesai haroa, dilanjutkan dengan
lagu-lagu Maludu sampai selesai, yang biasanya dinyanyikan dari waktu malam
sampai siang hari.

Haroana Rajabu, yaitu haroa yang dilakukan untuk memperingati para


syuhada yang gugur di medan perang dalam memperjuangkan Islam bersama-
sama Nabi Muhammad SAW. Haroana Rajabu dilakukan pada hari Jumat pertama
di bulan Rajab dengan melakukan tahlilan serta berdoa semoga para syuhada
tersebut diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah.

Malona Bangua, yaitu haroa yang dilaksanakan pada hari pertama Ramadhan.
Pada masa silam, hari pertama Ramadhan dimeriahkan dengan dentuman meriam.
Kini, dentuman meriam itu sudah tidak terdengar. Masyarakat merayakannya
dengan doa bersama di rumah serta membakar lilin di kuburan pada malam hari.

Qunua, yaitu upacara yang berkaitan dengan Nuzulul Qur’an (Qunut).


Upacara ini biasanya dilaksanakan pada pertengahan bulan suci Ramadhan atau
pada 15 malam puasa. Dulunya, masyarakat memeriahkannya dengan membawa
makanan ke masjid keraton dan dimakan secara bersama-sama menjelang waktu
sahur. Qunua dilakukan usai salat tarwih dan dirangkaian dengan sahur secara
bersama-sama di dalam masjid.

xx
Kadhiria, yaitu upacara yang berkaitan dengan turunnya Lailatul Qadr di
bulan suci Ramadhan. Upacara ini tata pelaksanannya mirip dengan Qunua, yakni
setelah salat Tarwih dirangkaikan dengan sahur secara bersama-sama di dalam
masjid. Biasanya dilaksanakan pada 27 malam Ramadhan karena diyakini pada
malam itulah turunnya Lailatul Qadr.

xxi
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mengenai sejarah asal usul dari hukum adat suku buton sendiri tidak terlepas
dari pengaruh system kerajaan-kerajaan yang ada pada saat itu tentunya
mengarah pada system kerajaan kesultanan buton.

Kerajaan Buton pertama kali didirikan pada 1332 M. Namun, kala itu belum
mendapatkan pengaruh Islam,kemudian Pada periode kekuasaan Raja
Murhum inilah, pengaruh Islam mulai masuk dan kerajaan resmi berubah
menjadi Kesultanan Buton.

2. Salah satu yang menarik pada hukum adat suku buton adalah “Haroa”

Haroa adalah ritual perayaan hari besar Islam. Pelaksanaannya dilaksanakan


di rumah-rumah warga yang diikuti semua anggota rumah dan tetangga yang
diundang baik yang berbeda suku maupun agama. Mereka duduk mengumpul
di satu ruangan, dan di tengahnya ada nampan yang berisikan kue-kue seperti
onde-onde, cucur (cucuru), bolu, baruasa (kue beras), ngkaowi-owi (ubi
goreng), dan sanggara (pisang goreng). Semua kue tersebut mengelilingi
piring yang berisikan nasi dan di atasnya ada telur goreng. Usai pembacaan
doa, acara selanjutnya adalah makan-makan. Saya teringat antropolog Victor
Turner yang mengatakan bahwa makna ritual adalah memperkokoh jaringan
sosial di antara seluruh anggota masyarakat. Silaturahmi dengan tetangga,
serta kian akrab dengan semua keluarga

B. Saran

xxii
DAFTAR PUSTAKA

Bahar, La Ode Muhammad Rusman, Tradisi Haroa yang Lestari,


http://timurangin.blogspot.com/2009/08/tradisi_haroa_yang_lestari.html.

Moersidi. 1990. Mengungkap Nilai-Nilai Kepemimpinan Buton Sebelum dan sesudah


Datangnya Agama Islam. Makalah Pada Kerukunan Mahasiswa Indonesia Buton

Abdulrahman Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia,


Cendana Press, 1984

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,(Bandung: Mandar


Maju,2014

Soepomo. Hukum Adat. Jakarta;PT Pradnya Paramita, 1993

Van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat,Jakarta : Djambatan,1987

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :Pustaka Pelajar,2002

Sukamto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mepelajari


Hukum Adat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Yogyakarta : Pusataka Pelajar, 2002

Anonim, kesultanan buton”, https://www.kompas.com


Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang,
Jakarta:Prenadamedia Group, 2015
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :Pustaka Pelajar, 2002
Anonim, sejarah suku buton”, http://kendari.simda.online

xxiii

Anda mungkin juga menyukai