Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAMUDRA
2023
KATA PENGANTAR
Tiada kalimat yang pantas penulis ucapkan kecuali rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya makalah yang berjudul Resume materi mk hukum adat p1-7 . Tidak lupa pula dukungan baik
secara materil dan nonmateril yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena
itu, izinkan penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Ibu Zulfiani, S.H., M.H. selaku Dosen
Pengampu.
Penulis sadar bahwa makalah yang disusun ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, dengan rendah
hati penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk penyempurnaan makalah
ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum adat adalah peraturan hukum yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang secara
langsung didalam masyarakat. Hukum Adat mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dan elastis
karena peraturan peraturannya tidak tertulis. Dalam Hukum Adat dikenal juga masyarakat hukum adat
sebagai warga bersama dalam satu persekutuan hukum yang tumbuh karena dasar keturunan ataupun
kesamaan lokasi tempat tinggal. Dilam masyarakat hukum adat yang merupakan suatu bentuk kehidupan
bersama,yang warga warganya hidup bersama yang jangka waktu yang cukup lama sehingga
menghasilkan kebudayaan.
Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat merupakan pencerminan dari
kepribadian bangsa Indonesia yang berurat dan berakar dari kebudayaan bangsa. Setiap suku dan daerah
memiliki hukum adat yang berbeda,akan tetapi perbedaan tersebut justru menjadi perekat persatuan
bangsa(Bhineka Tunggal Ika).
2.Bambang Daru Nugroho,Hukum Adat,Hak Menguasi Negara Atas Sumber Daya Alam dan Kehutanan
Dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum Adat.PT Refika Aditama,Bandung, 2015, hlm 70.
1.2 Rumusan Masalah
Pertemuan 1
Ibi Sociates Ibi Ius ( Dimana ada masyarakat disitu ada hukum)
Menurut Van Vallen Hoven Hukum Adat Adalah Aturan –aturan yang berlaku bagi orang –orang
pribumi danorang – orang timur asing,yaitu disatu pihak mempunyai sanksi .
(maka dikatakan ‘HUKUM’ dan dilain pihak tidak dikodifikasi maka dikatakan ‘ADAT’)
Hukum Adat berasal dari Bahasa Arab yaitu Huk’am dan Adah zamaknya = Ahkam (ketentuan).
Hukum Adat adalah kebiasan atau tingkah laku seseorang yang terus menerus dengan cara
tertentu yang diikuti masyarakat luas. Adapun 3 pengertian Hukum Adat menurut para Ahli yaitu
sebagai berikut:
1. Prof. Soepomo
Synonim dari hukum yang tertulis didalam praturan legislative (statuary law) hukum yang
hidup sebagai konvensi dibadan hukum negara.
2. Prof. Soekanto
Komplek adat–adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan ,tidak dikodifikasikan dan
bersifat paksaan mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum komplek disebut hukum
adat.
3. Prof. Soeripto
Semua aturan peratuaran adat tingkah laku yang bersifat hukum disegala kehidupan orang
Indonesia yang pada umumnya tidak tertulis.
Istilah adatrecht (Belanda) Snouck Hurgranje orang belanda pertama memakai istilah adat recht
dipakai dalam penelitian nya di Aceh (1891-1892) dengan buku ini “De Atjehers”.
Van Vallen Hoven dijuluki sebagai ahli hukum yang menemukan hukum adat mempopulerkan
hukum adat melalui buku nya “Het Adat Recht Ven Naderlandsh Indie” Hukum adat Hindia-Belanda.
Pada tahun 1904 sebuah kabinet mengusulkan rencana UU Mengganti Hukum Adat menjadi
Hukum Eropa. 1914 pemerintah belanda menghiraukan amandemen kitab hukum perdata namun
ditentang oleh Van Vallen Hoven,pada tahun 1923 Mr.Kowan Directur departemen justri membuat
rencana KUHP dan usaha ini juga gaga ditentang Van Vallen Hoven (Zaman Kuno- prahindu).
Berikut adalah beberapa yang termasuk lingkaran hukum adat atau suku bangsa
menurut Van Valen Hoven:
• Aceh
• Gayo,Alas,Batak
• Minangkabau
• Melayu
• Sumatera Selatan
• Bangka Belitung
• Kalimantan
• Minahasa
• Gorontalo
• Sulawesi Selatan
• Ternate
• Ambon
• Timor
• Irian Jaya
• Lombok dan Bali
• Jawa
• Jogjakarta
• Jawa Barat
Dasar Filosofis
Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah nilai-nilai dan sifat Hukum
adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Dasar berlakunya
hukum adat ditinjau dari segi fiofis hukum adat yang hidup,tumbuh dan berkembang di Indonesia
sesuai dengan perkembangan zaman yang bersifat luwes,fleksibel sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Hukum adat secara filosofi merupakan hukum yang berlaku sesuai Pancasila sebagai pandangan
hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.Nilai nilai luhur yang terkandung dalam hukum adat yang
sebenarnya sangat identic dan bahkan sudah terkandung dalam butir butir Pancasila.seperti religio
magis,gotong royong,musyawarah mufakat dan keadilan .Dengan demikian Pancasila merupakan
kristalisasidari Hukum Adat.
Dasar sosiologis
Dalam sistem hukum nasional wujud atau bentuk hukum yang adat dapat dibedakan menjadikan
hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis.Hukum yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan
mejadi hukum yang benar benar berlaku sebagai the living law(hukum yang hidup)ada hukum yang
berlakukan tetapi tidak berlaku sebagai the living law,sebagai contoh Hukum yang berlaku dengan
cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan cara diundangkan dalam lembaran negara.
Hukum Adat sebagai yang tidak tertulis memerlukan prosedur atau upaya seperti hukum
tertulis,tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat,dilaksanakan dan ditaati oleh
rakyat tanpa harus melalui prosedur,pengundangan dalam lembaran negara.
Dasar Yuridis
Dasar berlakunya Hukum Adat ditinjau secara yuridis dalam berbagai peraturan perundangan
undangan mempelajari segi yuridis dasar berlakunya hukum adat berarti mempelajari dasar hukum
berlakunya hukum adat diindonesia. Aspek pokok yang menyebabkan hukum adat tetap
berlaku,diantaranya yaitu;
A.Hukum Adat menjadi Pembina dalam hukum nasional.
B.Hukum Adat sebagai sarana secara control.
C.Hukum Adat sesuai dengan fungsi hukum,yaitu sebagai alat untuk mengubah masyarakat.
Pada masyarakat dengan kebudayaan dan stuktur sosial yang sederhana,maka hukum timbul
dan tumbuh sejalan dengan pengalaman warga masyarakat di dalam proses interaksi sosial. Dengan
kata lain, hukum merupakan konsolidasi sebagai sarana sistem pengendalian sosial ,artinya hukum
merupakan sarana untuk mengusahakan komformitas warga-warga masyarakat,dan sebagai faktor
integrasi masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam UUD RI Pasal 18 B ; (2). Yang berbunyi
“Negara menghormati dan mengakui kesatun masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur
dalam Undang-undang.
Pertemuan 4
Sistem pertama kali dikenalkan oleh Ter Har murid dari Cornellis Van Vallen Hoven. Ter Har
memberikan kelompok masyarakat yang teratur dan mempunyai kebaraan baik berupa tanda=-tanda
yang terlihat maupun tak terlihat. Sifat menurut KBBI sifat yang tampak pada suatu benda,ciri khas
ntuk membedakan dari yang lain.
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius Van
Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius Van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam
tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum
adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai
kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang
tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat
sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu
mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya (Husen
Alting,2010:30).
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum itu, para anggotanya
terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan
para ahli hukum di zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau
persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota- anggota
masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai
tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur
(Hilman,2003:108).
Hukum adat memiliki sifat sebagai berikut:
1. Magis Religius
Sifat Magis Religius diartikan sebagai suatu pola pikir yang di dasarkan pada keyakinan
masyarakat tentang adanya suatu sifat saklar.
2. Kebersamaan(Komunal)
Sifat komunal (Commuun), masyarakat memiliki asumsi bahswa setiap individu, angggota
masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan.
5. Visual (Kontan/Tunai)
Sifat kontan (Kontane Handeling) mengandung arti sebagai kesertamertaan terutama dalam
pemenuhan prestasi yang diberikan seczra sertamerta/seketika.
Hukum Adat adalah terjemahan dari istilah dalam Bahasa Belanda “Adatrecht”. Snouck Hurgronje
adalah orang yang pertama memakai istilah “adatrecht” itu. Isitilah “adatrecht” kemudian dikutip dan
dipakai selanjutnya oleh Van Vallen Hoven sebagai tenhis-juridis (Bushar Muhammad, 1976:9)
Hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan
rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam
kehidupan sehari hari dalam masyarakat sebagian besar tidak tertulis senantiasa ditaati dan di hormati
oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi) (Surojo Wignjodipuro, 1982:17).
Menurut bapak hukum ada Prof.Van vallen Hoven ,yang menyebutkan sebagai ‘himpunan
peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak
mempunyai sanksi (karna bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (karna adat).
Banyak para ahli yang merumuskan mengenai corak hukum adat,antara lain corak hukum
adat,antara lain corak hukum adat yang dikemukakan oleh Moch Koesnoe yaitu:
1. Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kisaran saja.Menjadi tugas
kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengelaman
agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kisaran dimaksud:
2. Masyarakat sebagai keseluruhan selalumenjadi pokok perhatiannya.Artinyadalam hukum adat
kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok ,sebagai satu kesatuan yang utuh.
3. Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok. Artinya dalam lembanga-
lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur
dengan asas pokok, yakni:kerukunan,kepatutan,dan keselarasan dalam hidup bersama.
4. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk
melaksanakan hukum adat.
Pertemuan 5
Pembidangan Hukum Adat Dalam hukum positif, hukum adat seringkali diakui sebagai
sumber hukum yang penting. Identifikasi pembidangan hukum adat dan unsur- unsur dasarnya dapat
membantu memahami dasar-dasar hukum adat dalam konteks hukum positif. Berikut adalah hasil
dan pembahasan mengenai identifikasi pembidangan hukum adat dan unsur-unsur dasar sebagai
landasan hukum adat dalam konteks hukum positif. Dalam pembidangan hukum adat terdapat
banyak variasi yang berbeda-beda, untuk menentukan ciri-ciri hukum adat dibandingkan dengan
hukum Barat. Pembidangan hukum adat biasanya sering ditemukan dalam buku-buku standar, di
mana sistematika buku tersebut merupakan indikasi tata letak pembidangan yang telah diikuti oleh
penulis.Singkat, (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2019).
Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa pembidangan hukum adatterbagi menjadi beberapa
bagian antara lain yaitu:
Pembidangan Hukum Adat Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pelbagai
variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukumadat, apabiladibandingkan
dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanyadapat diketemukan pada buku-buku standar,
dimana sistematika buku-bukutersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan
mana yangdianut oleh penulisnya. Van Vollen Hoven berpendapat, bahka pembidangan hukum
adat,adalah sebagai berikut;
1. Hukum keluarga
2. Hukum perkawinan
3. Hukum waris
4. Hukum tanah
5. Hukum utang piutang
6. Hukum pelanggaran
1. Tata masyarakat
2. Hak-hak atas tanah
3. Transaksi –transaksi tanah
4. Transaksi –transaksi dimana tanah bersangkut
5. Hukum utang piutang
6. Lembaga /yayasan
7. Hukum pribadi
8. Hukum kekeluargaan
9. Hukum perkawinan
10. Hukum delik
11. Pengaruh lampau waktu
1. Hukum tanah
2. Transaksi tanah
3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4. Hukum perutangan
5. Status badan pribadi
6. Hukum kekerabatan
7. Hukum perkawinan
8. Hukum waris
9. Hukum delik adat.
Pertemuan 6
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi
seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya kedudukan anak
terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat kekerabatan mengatur
tentang pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (sekuturunan) pertalian perkawinan dan perkawinan
adat.(Hilman Hadikusuma;2003, hal;201)
Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal yang penting untuk
meneruskan garis keturunan (clan) baik garis keturunan lurus atau menyamping. Seperti di masyarakat
Bali dimana laki-laki nantinya akan meneruskan Pura keluarga untuk menyembah para leluhurnya. Pada
umumnya keturunan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah, antara lain
antara orangtua dengan anak-anaknya. Juga ada akibat hukum yang berhubungan dengan keturunan yang
bergandengan dengan ketunggalan leluhurnya, tetapi akibat hukum tersebut tidak semuanya sama
diseluruh daerah.
Dalam setiap masyarakat sebenarnya mempunyai tatanan berupa adat-istiadat dan aturan-aturan.
Tatanan ini muncul untuk menjaga kesatuan dalam masyarakat. Kesatuan sosial yang paling dekat dan
erat adalah kesatuan kekerabatan yang berupa keluarga inti/batih dan kaum kerabat yang lain.
Kekerabatan yang terjadi dalam masyarakat/kelompok kekerabatan didasari oleh adanya pertalian
darah dan perkawinan.
1.Dasar pertalian darah. Meliputi anak-anak yang lahir dari perkawinan dan keturunan berikutnya .
Misalnya, kakek dengan cucunya, atau paman dengan keponakannya. Sering jug disebut contoh
Sangguine,yaitu menjadi kerabat karna keturunan.
2.Dasar perkawinan.Suami dan istri merupakan dasar hubungan.Orang-orang yang berasal dari
pertalian darah suami dan orang-orang yang bersal dari pertalian darah istrimenjadi kerabat
perkawinan,seperti:ipar keponakan mertua,menantu,paman,dan sebagainya.
Dalam struktur masyarakat adat kita menganut adanya tiga macam sistem kekerabatan,yaitu:
Pertemuan 7
1. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian antara suami dan isteri
dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.
2. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri atau isteri- isteri berdasarkan ketentuan hukum
adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga, ada juga isteri yang
bukan ibu rumah tangga.
A. Prinsip-Prinsip Perkawinan Prinsip-prinsip perkawinan atau asas-asas perkawinan menurut
B. Sistem Perkawinan
1. Sistem endogamy Orang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari suku keluarganya sendiri,
seperti di Toraja, namun lambat laun akan hilang karena hubungan daerah satu dengan daerah lain kini
makin mudah, selain itu di Toraja susunan keluarganya adalah parental.
2. Sistem exogami Orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya, seperti di Gayo, Alas,
Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan. 3. Sistem eleutherogami. Sistem ini tidak mengenal larangan
seperti endogami dan exogami. Larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah bertalian dengan ikatan
kekeluargaan, yaitu karena:
a. Nasab (turunan yang dekat)= seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga denga anak
kandung, cucu, juga dengan saudara kandung. saudaranya bapak atau saudaranya ibu.
b. Musyaharah (per iparan) = seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, atau anak tiri.
Di lingkungan Batak utara yang sebagian besar menganut agama Kristen, masih tetap mempertahankan
susunan kekerabatan yang sifatnya exogami, dimana seorang pria harus mencari isteri di luar marganya
dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga. Namun sistem ini sudah mulai luntur karena pengaruh
ajaran hukum Islam.
Di beberapa daerah juga masih terdapat sistem perkawinan endogami dimana seorang pria diharuskan
mencari calon isteri dari lingkungan kerabat (suku, klen, famili) sendiri dan dilarang mencari ke luar dari
lingkungan kerabat.
Di masa sekarang nampak ada kecenderungan untuk tidak lagi mempertahankan sistem perkawinan
exogami atau endogami, walaupun keinginan golongan tua masih ingin mempertahankannya. Sistem
perkawinan dewasa ini banyak berlaku sistem eleutherogami, dimana seorang pria tidak lagi diharuskan
atau dilarang untuk mencari isteri di luar atau di dalam lingkungan kerabatnya. Sehingga kini sudah
banyak perkawinan campuran antar suku bahkan golongan penduduk.
Meskipun demikian peranan orangtua atau keluarga dalam memberi petunjuk terhadap anak-anak
mereka dalam mencari pasangan hidup masih tetap berpengaruh. Misalnya apakah bibit seseorang itu
berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat, watak, perilaku dan kesehatannya, serta keadaan orang
tuanya. Bagaimana pula bebet-nya, apakah ada harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuan.
Serta bagaimana bobot-nya, apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan, martabat yang baik.
C. Bentuk-Bentuk Perkawinan
Dikarenakan sistem kekerabatan yang berbeda, maka terdapat bentuk perkawinan yang berbeda. Di
masyarakat patrilinial, umumnya dianut bentuk perkawinan jujur. Di masyarakat matrilinial, umumnya
dianut bentuk perkawinan semenda. Di masyarakat parental, umumnya dianut bentuk perkawinan mentas.
1. Perkawinan Jujur
Perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran "jujur" dari pihak pria kepada pihak wanita. Dengan
diterimanya uang atau barang jujur, maka berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan
kedudukannya menjadi keanggotaan kerabat suami. Wanita tersebut mengikatkan diri pada perjanjian
untuk ikut di pihak suami, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat
suami, kecuali ada ketentuan lain.
Setelah isteri ada di tangan suami, maka isteri dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan
persetujuan suami atau atas nama suami atau atas persetujuan kerabat suami. Isteri tidak boleh bertindak
sendiri oleh karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam
hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan.
2. Perkawinan Semanda
Perkawinan semanda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak pria kepada
pihak wanita. Setelah perkawinan si pria harus menetap di pihak kekerabatan isteri atau
bertanggungjawab meneruskan keturunan wanita di pihak isteri. Adakalanya walaupun tidak ada
pembayaran jujur, namun pihak pria harus memenuhi permintaan uang atau barang dari pihak wanita.
Perkawinan semanda dalam arti sebenarnya.perkawinan di mana suami setelah perkawinan menetap dan
berkedudukan dipihak isteri dan melepaskan hak dan kedukannya di pihak kerabatnya sendiri. Di
Minangkabau pihak wanita yang meminang pria harus memberikan uang atau barang "panjapul yang
jumlahnya menurut tingkat kedudukan dari si pria. Kadang jumlahnya cukup tinggi dikarenakan
kedudukan pria lebih tinggi dari wanita.
3. Perkawinan Mentas
Bentuk perkawinan dimana kedudukan suami isteri dilepaskan dari tanggung jawab orang tua
keluarga kedua pihak, untuk dapat berdiri sendiri membangun keluarga rumah yang bahagia dan kekal.
Orang tua / keluarga dalam perkawinan mentas ini hanya bersifat membantu, memberikan bekal hidup
dengan pemberian harta kekayaan secara pewarisan berupa rumah atau tanah pertanian sebagai barang
bawaan kedalam perkawinan mereka.
Dalam pelaksanaan perkawinan mentas yang penting adalah adanya persetujuan ke dua orang tua
atau wali dari pria dan wanita bersangkutan, begitu pula adanya persetujuan antara pria dan wanita yang
akan melakukan perkawinan itu. Didalam persetujuan perkawinan tidak ada sangkut paut masalah
hubungan kekerabatan, bahkan jika perlu cukup dengan hubungan ketetanggan. Dalam perkawinan
mentas yang lebih menentukan. adalah harta kekayaan atau kebendaan.
4. Perkawinan Anak-Anak
Di beberapa lingkungan masyarakat adat, tidak saja pertunangan yang dapat berlaku sejak masa bayi,
tetapi dapat juga perkawinan antara pria dan wanita yang masih belum dewasa, atau antara pria yang
sudah dewasa dengan wanita yang masih anak- anak, atau sebaliknya.
Di Bali, perkawinan anak-anak merupakan perbuatan terlarang, namun di banyak daerah merupakan
perbuatan yang tidak dilarang. Misalnya di Pasundan, berlaku perkawinan anak- anak dimana gadis yang
masih anak-anak dikawinkan dengan pemuda yang sudah dewasa. Setelah perkawinan si suami menetap
di tempat isteri sebagai tenaga kerja tanpa upah, bekerja untuk kepentingan keluarga isteri sambil
menunggu waktu isteri dewasa dan dapat bercampur sebagai suami isteri.
5. Perkawinan Bermadu
Hampir disemua lingkungan masyarakat adat terdapat perkawinan bermadu, dimana seoramg
suami didalam suatu masa yang sama mempunyai beberapa istri. Dikalangan masyarakat yang
beragama islam perkwinan dengan beberapa isteri dapat dilakukan syah berdasarkan Al-Qur’an surah
An-Nisa ayat 3 yang mengatakan: “kamu boleh kawin dengan wanita yang baik,dua atau tiga atau
empat,tetapi jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap mereka,kawinilah seorang saja”.
D. Peminangan
1. Meminang
Arti Isilah "meminang" (ngelamar, Jawa, memadik, ngidih, Bali) mengandung arti "permintaan"
yang menurut hukum adat berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari atau pihak kepada
pihak lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan.
2. Rasan Sanak
a. Pertemuan Muda-Mudi
Hubungan yang terjadi antara bujang dan gadis dengan maksud untuk mengadakan hubungan
perkawinan, baik yang berlaku atas kehendak muda-mudi maupun karena adanya dorongan orang
tua/keluarga. Berlaku tatacara pertemaun muda-mudi yang antara lain sebagai berikut:
Pertemuan dapat dilakukan antara bujang dan gadis secara perorangan dengan diam-diam atau
dengan terang diketahui/didiamkan orang tua/keluarga.
Tempat pertemuan dapat dilakukan di rumah gadis, di rumah tetangga/kerabat gadis, di temapt-
tempat hajatan
Waktu pertemuan bujang gadis dapat dilakukan pada waktu siang atau malam dengan
berhadapan muka di serambi muka atau belakang rumah..
Pertemuan bujang gadis ada yang diatur dan diawasi Kepala bujang dan Kepala gadis, ada pula
yang tidak langsung diawasi Kebanyakan yang diatur dan diawasi oleh Kepala bujang dan Kepala gadis
jika pertemuan muda-mudi itu dilaksanakan pada waktu ada upacara adat.
Adanya hubungan hukum untuk maksud perkawinan di dalam "rasan sanak dapat dibuktikan
dengan adanya barang pemberian, surat-surat, pengakuan bujang dan gadis, keterangan saksi-saksi
anggota kerabat atau tetangga dan pengetahuan orang tua. Yang dimaksud "tanda mau", ialah tanda
berupa pemberian atau pertukaran barang pemberian yang dilakukan oleh bujang dan gadis tanpa
kesaksian orang tua-tua.
Hubungan yang berlaku antara bujang dan gadis dalam "rasan sanak" untuk dapat terwujdunya
ikatan perkawinan dapat ditingkatkan penyelesainnay oleh orang tua-tua dalam "rasan tuha" ("asen tual",
Rejang). Tetapi tidak selamanya rasan sanak itu dapat diterima dan disetujui orang tua salah satu pihak
atau kedua pihak. Latar belakang terjadinya belarian bujang gadis untuk maksud perkawinan antara lain
dikarenakan sebagai berikut:
1. Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan dan upacara perkawinan yang diminta pihak gadis tidak dapat
dipenuhi pihak bujang.
2. Gadis belum diizinkan orang tuanya untuk bersuami tetapi dikarenakan keadaan gadis bertindak
sendiri.
3. Orang tua atau keluarga gadis menolak lamaran pihak bujang. lalu gadis bertindak sendiri
4. Gadis telah bertunangan dengan seseorang pemuda yang tidak disukai oleh si gadis
5. Gadis dan bujang telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat dan hukum agama (gadis sudah
hamil dan lain-lain).
Latar belakang terjadinya perbuatan memaksa untuk kawin adalah antara lain dikarenakan
sebagai berikut:
1. Si gadis meminta agar bujang dan orang tuanya dating melamar, tetapi pihak bujang datang atau tidak
sanggup melamar.
2. Si gadis telah menjanjikan waktunya utnuk belarian dengan bujang bersangkutan, tetapi ternyata ia
ingkar janji.
3. Si bujang merasa tidak akan dapat mempersunting si gadis tanpa ia menempuh jalan melarikannya
4. Si bujang merasa tidak akan dapat mempersunting si gadis tanpa ia datang meminta kawin dengan
orang tuanya.
5. Si gadis merasa tidak akan dapat kawin dengan si bujang tanpaia datang meminta kawin dengan orang
tuanya.
3.Rasan Tuha
Hubungan-hubungan hukum yang berlaku di antara orang tua-tua, di antara orang tua pihak pria
dengan pihak wanita atau sebaliknya.
b. Penjajakan
Usaha penjajakan yang kebanyakan dilakukan dari pihak pria tidak saja tertuju pada gadis yang
sudah mempunyai hubungan kasih cinta dengan bujang.
c. Peminangan
Apabila dalam usaha penjajakan pihak wanita bersedia menerima kedatangan utusan resmi dari
pihak pria untuk membicarakan peminangan, maka pihak pria mengrimkan bahan hidangan.
Kedatangan utusan pria yang terdiri dari beberapa orang tua-tua pria dan wanita di bawah
pimpinan telangkai.
E. Acara Perkawinan Adat
Sistem kekerabatan patrilineal atau garis keturunan yang ditentukan dari jalur laki-laki dan tata-
aturan perkawinan pada orang Batak Karo lahir dalam alam pengetahuan masyarakat yang sederhana.
Meski sistem sosial dan tata-aturan ini tidak empiris, tidak nampak dan cukup rumit dipahami, namun
adat-istiadat itu nyata sekaligus penting dalam praktik keseharian masyarakat Batak Karo hingga kini.
Batak Karo adalah satu dari enam suku bangsa Batak, seperti Toba, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan
Mandailing. Orang asli Karo tinggal di dua kawasan berbeda di utara Danau Toba, yaitu Dataran Tinggi
Karo dan Dataran Rendah Karo, yang mereka sebut Taneh Karo.
Diketahui bahwa kelompok keturunan (descent group) dalam masyarakat Batak Karo terbagi ke
dalam lima klen (merga), yaitu merga Perangin-angin, Sembiring, Tarigan, Ginting, dan Karo-karo.
Merga ini masih dipilah lagi ke dalam sub-subklen, seperti klen Ginting mempunyai subklen Ajartambun,
Munthe, dan seterusnya.
Selain klen, orang Karo mengenal jabu (“keluarga”) untuk unit yang lebih kecil. Jabu tak hanya
mewakili keluarga batih (inti), namun juga menunjuk pada kelompok kekerabatan yang lebih besar, yaitu
sada bapa (satu kakek) dan sada nini(satu buyut). Dua kelompok ini masih dianggap sekeluarga dan
keluarga sekandung karena keturunan satu kakek.
Pernikahan pada masyarakat adat Batak Karo adalah tanggungjawab 3 dari 23 seluruhan kerabat
kedua belah pihak calon mempelai yang pelaksanaannya esuai dengan falsafah Rakut Sitelu sehingga
pernikahan adat Batak Karo mempunyai aturan yang lengkap mulai dari meminangpemberian jujur
sampai upacara perkawinan.
Salah satu ciri khas dari masyarakat adat Batak Karo adalah merantau dan tetap memegang teguh
adat istiadat dimanapun dia beradakarena umumnya masyarakat Batak mempunyai ikatan lahir dan batin
yang sangat kuat terhadap tanah leluhur Pernikahan dalam adat Batak Karo pada asasnya bertujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal untuk mendapatkan anak sebagai penerus garis
keturunannya yaitu dari anak laki-laki.
Pernikahan juga mempertahankan kehidupan persekutuan setempat masyarakat desa dan persekutuan
wilayah selaku kesatuan tata susunan rakyat Pentingnya inisiasi (masa peralihan) dan peran-peran yang
terlibatpernikahan juga menyangkut aspek ekonomi dengan segala macam kepentingan di
dalamnyatermasuk dalam hal perencanaan pesta pernikahan yang akan dilaksanakanPeranan dasar aspek
ekonomi inimisalnyatampak jelas dalam menetapkan jumlah uangpembayaranpengembalian
pembayaranharga pengantin (cinamet)pembayaran para pelayanan pengantin selama upacara pernikahan
berlangsung.
Konsep "pembayaran" dalam pernikahan adat mencakup "pembayaran" oleh pihak pengantin laki-
lakiPembayaran ini bahkan merupakan bagian utama dari pengesahan pernikahan menurut adat Batak
Karo. Bila pertukaran ini sudah terpenuhimaka pernikahan itu menjadi sah dan keluarga yang baru itu
sudah mandiri; dan bila sebaliknya yang terjadimaka pengantin pria harus membaktikan diri untuk
keluarga wanita sampai tuntutan nikah ini terpenuhi, artinya yaitu pengesahan suatu pernikahan
mencakup seluruh rangkaian "prestasi": suatu tindakan membayar apa yang dituntut adat / tuntutan adat
untuk membayar sesuatu yang berasal dari usaha atau kemampuan seseorangDalam upacara pernikahan
adat Batak Karo, hal ini dijelaskan dalam tindakan simbolik pembagian makanan, ulos, uang, dan diatas
semuanya itu ada tata cara yang dilakukan.
http://iidmarsanto.wordpress.com/2010/12/30/sangkep-sitelu-harmoni-dalam-kekerabatan-orang-batak
karo/yang diunduh pada tanggal 9 maret 2014 (pukul 23:40)
2.Tahapan Pernikahan Adat Batak Karo
Dalam pernikahan secara adat Suku Karo dikenal 3 tahapan umum yang dilakukan dalam
melaksanakannyaDidalam 3 tahapan umum ini akan dibagi lagi menjadi sub tahapan
Adapun tahapan pernikahan yang dilakukan secara adat Suku Karo secara umum adalah sebagai berikut:
Bambang Daru Nugroho,Hukum Adat,Hak Menguasi Negara Atas Sumber Daya Alam dan Kehutanan
Dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum Adat.PT Refika Aditama,Bandung, 2015, hlm 70.
https://id.scribd.com/document/326332384/Pembidangan-Hukum-Adat
Hilman Hadikusuma (2003), Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju.
http://iidmarsanto.wordpress.com/2010/12/30/sangkep-sitelu-harmoni-dalam-kekerabatan-orang-batak
karo/ yang diunduh pada tanggal 9 maret 2014 (pukul 23:40)