Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HUKUM ADAT

“PERKEMBANGAN DI INDONESIA”

Oleh :

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM
2023

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang

Pada umumnya di dalam sistem hukum Indonesia tradisional terdapat hukum


yang tidak tertulis serta hukum yang tidak dikodifikasikan di dalam suatu kitab
undang-undang Hukum yang tidak tertulis ini dinamakan “Hukum Adat” yang
merupakan sinonim dari pengertian Hukum Kebiasaan. Apabila kita jumpai hal-hal
yang tertulis, hal ini merupakan Hukum Adat yang tercatat (Beschetegen Adat Recht)
dan Hukum Adat didokumentasikan (Documentereerd Adat Recht).
Pada umumnya Hukum Adat yang tercatat merupakan hasil-hasil penelitian
para ahli yang kemudian dibukukan dalam bentuk monografi-monografi. Sedangkan
Hukum Adat yang didokumentasikan merupakan pencatatan Hukum Adat yang
dilakukan oleh fungsionarisfungsionaris atau pejabat-pejabat. Contoh : Awig-Awig,
dikalangan masyarakat Adat di Bali. Apabila dilihat dari sudut pandangan seorang
ahli hukum yang sangat terkesan oleh Unifikasi dan atau Kodifikasi maka
keseluruhan Hukum Adat Indonesia tidaklah teratur, tidak sempurna, tidak tegas dan
mungkin tidak pasti. Dengan demikian kemungkinannya adalah besar sekali bahwa
seorang ahli hukum yang baru pertama kali mempelajari Hukum Adat Indonesia akan
berhadapan dengan hal-hal atau gejala-gejala yang sulit sekali untuk dapat dipahami
secara kongkrit atas dasar latar belakang teoritis yang dimilikinya. Bahkan pada masa
dahulu ada yang pernah menyatakan bahwa Hukum Adat seolah-olah hanyalah
merupakan aturan-aturan ajaib, yang sebagian besar bersifat simpang siur dan
membingungkan. (Van Vollenhoven I, 1925
Rumusan masalah
1. Jelaskan Sejarah Singkat Hukum Adat
2. Jelasakan tentang Pengertian dan Istilah Hukum Adat.
3. Jelaskan tentang Sejarah Perkembangan Hukum Adat di Indonesia.
BAB 11
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Hukum Adat


Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck
Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum
Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam
bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-
1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven,
seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru
Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht dalam
bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia
Belanda) pada tahun 1901-1933.Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi
mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan
Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada
pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.
Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal
adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah
teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan
dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku
dalam masyarakat Indonesiayang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem
keilmuan. Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan
yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan
sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe
Penghoeloesebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai lanjutan kesempuranaan
hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang
dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah
dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu
tahun masehi. kemuProf. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya
mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah kemudian dipergunakan seorang
Ulama Aceh yang bernama  Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin
Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630. Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku
tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai
tinggi dalam bidang hukum yang baik.

B.     Pengertian dan Istilah Hukum Adat.


1. Pengertian dan Istilah Adat
Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam
Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal
dan menggunakan istilah tersebut. Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai
berikut :
“Tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan
diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama”.
Dengan demikian unsur-unsur terciptanya adat adalah :
1. Adanya tingkah laku seseorang
2. Dilakukan terus-menerus
3. Adanya dimensi waktu.
4. Diikuti oleh orang lain/ masyarakat.
Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang
diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan
begitu luasnya pengertian adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa
dan Negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya
pasti tidak sama. Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau
bangsa dan merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat
peradaban, cara hidup yang modern sesorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku
atau adat-istiadat yang hidup dan berakar dalam masyarakat.
Adat selalu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga adat
itu tetap kekal, karena adat selalu menyesuaikan diri dengan kemajuan masyarakat
dan kehendak zaman. Adat-istiadat yang hidup didalam masyarakat erat sekali
kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat dan ini merupakan sumber pokok dari pada
hukum adat. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, mengatakan bahwa adat adalah
tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang tebal dan ada yang
tipis dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku didalam
masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan merupakan aturan hukum.
2. Istilah Hukum Adat
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian
Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh),
yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang
berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka
Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 meulai menggunakan secara
resmi dalam peraturan perundangundangan Belanda. Istilah hukum adat sebenarnya
tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau
kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan
menjadi Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan
sebagai terjemahan dari adat recht untuk menggantikan hukum adata dengan alasan :
“ Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk
menggantikan hukum adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah
kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah
demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga
timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh
masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan
itu berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan
masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum
adat pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat
mencakup konsep yang luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat
harus dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat, walaupun
keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena keduanya erat sekali kaitannya.
3. Pengertian Hukum Adat
Hukum adat di Indonesia adalah suatu kompleks norma-norma yang
bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi
peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat,
karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Hukum adat pada umumnya belum atau
tidak tertulis. Oleh karena itu, dilihat dari perspektif ahli hukum yang memegang
teguh kitab undang-undang, seorang sarjana hukum yang berprespektif berdasar
Kitab Undang-Undang, memang hukum keseluruhannya di Indonesia di Indonesia ini
tidak teratur dan tidak tegas. Bagi seorang ahli hukum asing yang baru mempelajari
hukum adat pada umumnya tidak dapat mengerti. Mereka tidak mengerti mengenai
asal muasal peraturan hukum adat tersebut. Akan tetapi apabila para ahli hukum asing
tersebut bersedia mempelajari hukum adat kita ini secara sungguh-sungguh, serta
menjelajahi dan meneliti hukum adat kita dengan rasio dan penuh perasaan. Maka
mereka akan mengetahui sumber hukum adat yang mengagumkan yaitu adat-istiadat
yang hidup dan terus berkembang dan berhubungan dengan tradisi kebiasaan rakyat.
Tetapi tidak semua adat adalah hukum. Menurut Ter Haar untuk melihat
apakah sesuatu adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka kita wajib
melihat sikap penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan terhadap si pelanggar
peraturan adat-istiadat yang bersangkutan. Jika penguasa menjatuhkan hukuman pada
si pelanggar , maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat. Hukum adat
berurat-akar pada kebuyaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup
karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata. Karena hukum adat
menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata, untuk itu hukum adat terus-menerus
dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Peraturan hukum adat yang terus berkembang inilah
membuat hukum adat selalu mengakami perunahan. Tiap peraturan hukum adat
adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru,
sedang peraturan baru itu berkembang juga, akan tetapi kemudian akan lenyap
dengan perubahan perasaan keadilanyang hidup dalam hati nurani rakyat yang
menimbulkan perubahan peraturan. Hal ini berlaku secara terus menerus seperti yang
diungkapkan Prof. Soepomo yang condong pada pendapat Ter Haar di mana sikap
petugas hukum haruslah bertindak untuk mempertahankannya. 
Oleh karena sifat hukum adat yang tidak statis atau dengan kata lain fleksibel,
maka di dalam peraturan hukum adat perlu disepakati suatu penetapan agar menjadi
hukum positif. Hal ini sudah barang tentu bertujuan untuk mempertahankan
eksisensinya sekaligus menjadikan peraturan tersebut menjadi peraturan hukum yang
tertulis dan memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu
kita telaah beberapa pendapat sebagai berikut :
1.      Prof. Mr. B. Terhaar Bzn: Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang
menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara
spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa
untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka
perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan
adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar
maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
2.      Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven: Hukum adat adalah keseluruhan aturan
tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum
dikodifikasikan.
3.      Dr. Sukanto, S.H : Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya
tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi
mempunyai akibat hukum.
4.      Prof. Dr. Soepomo, S.H : Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam
peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan
atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan
hukum.
Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-unsur dari pada
hukum adat sebagai berikut :
a.       Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat.
b.      Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis.
c.       Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral.
d.      Adanya keputusan kepala adat
e.       Adanya sanksi/ akibat hukum
f.       Tidak tertulis
g.      Ditaati dalam masyarakat
h.      Pendapat L. Pospisil :
Untuk membedakan antara adat dengan hukm adat maka harus dilihat dari atribut-
atribut hukumnya yaitu :
a.       Atribut authority, yaitu adanya keputusan dari penguasa masyarakat dan mereka
yang berpengaruh dalam masyarakat.
b.      Intention of Universal Application :Bahwa putusan-putusan kepala adat mempunyai
jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga dikemudian hari terhadap
suatu peristiwa yang sama.
c.       Obligation (rumusan hak dan kewajiban) :Yaitu dan rumusan hak-hak dan
kewajiban dari kedua belah pihak yang masih hidup. Dan apabila salah satu pihak
sudah meninggal dunia missal nenek moyangnya, maka hanyalah putusan yang
merumuskan mengeani kewajiban saja yang bersifat keagamaan.
d.      Adanya sanksi/ imbalan :Putusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan
sanksi/imbalan yang berupa sanksi jasmani maupun sanksi rohani berupa rasa takut,
rasa malu, rasa benci dn sebagainya.
e.       Adat/ kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum adat hanyalah
sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum adat.
f.       Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkan adat tidak
mempunyai nilai/ biasa.

C.    Sejarah Perkembangan Hukum Adat di Indonesia.


Peraturan adat istiadat kita ini merupakan adat-adat melayu-polinesia yang
sudah terdapat pada zaman pra-hindu. Lambat laun terjadi akulturasi antara kultur
hindu, islam dan Kristen yang kemudian mempengaruhi kultur asli tersebut. Saat ini
menurut kenyataan hukum adat yang hidup pada rakyat adalah merupakan peraturan-
peraturan adat-istiadat yang ada pada zaman pra-hindu dan hasil akulturasi antar
agama tersebut.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau
“Inladsrecht” menurut Van Vaollenhoven di jelaskan bahwa hukum adat terdiri atas
dua bagian yaitu :
a.       hukum yang tidak tertulis ( jus non scriptum ) : merupakan bagian yang terbesar
yang bersumber pada hukum asli penduduk.
b.       hukum yang di tulis ( jus scriptum ) : merupakan bagian kecil saja yang bersumber
dari ketentuan hukum agama.
Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari yang tidak dikenal hingga
dikenal dalam ilmu pengetahuan dapat di bagi atas empat periodesasi waktu di
antaranya adalah ;
a.       Sebelum Zaman kompeni.
b.      Pada zaman kompeni (1602-1800).
c.       Pada zaman Daendels (1808- 1811).
d.      Pada zaman Raffles (1811-1816).
Dalam empat tahapan waktu mengenai proses sejarah hukum adat hingga
sampai mulai dikenal dalam ilmu pengetahuan, pada mulanya melalui proses yang
panjang. Pada zaman sebelum kompeni yaitu sebelum tahun 1602 bangsa asing
belum menaruh perhatian kepada hukum adat. Barulah pada zaman kompeni bangsa
asing mulai menaruh perhatian terhadap adat-istiadat kita baik atas inisiatif sendiri
maupun perintah tugas dari penguasa kolonial pada masa itu. Barulah pada zaman
kompeni tepatnya pada tahun 1602-1800 hukum adat akan tetap dibiarkan dan tetap
berlaku di masyarakat. Namun jika kepentingan kompeni terganggu seperti dalam
kepentingan badan perniagaan VOC atau untuk keperluan tertentu, maka kompeni
akan bertindak opportunitelt terhadap hukum adat tersebut. Sebelum datang VOC dan
belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa VOC menggunakan politik
oppurtinity nya, maka pejabat Belanda yang mengurus Negara jajahan
mengintruksikan kepada jendral pemimpin daerah jajahan masing-masing untuk
menerapkan hukum Belanda di Indonesia yaitu pada tnggal 1 Maret 1621 yang baru
dilaksanakan pada pemerintahan De Carventer yang telah melekukakn penelitian dan
menyimpulkan bahwa hukum adat Indonesia masih hidup. Oleh karena itu, Carventer
memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga perlu 4 kodifikasi
hukum adat yaitu :
1.      Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang dengan kitab hukum
“MOGHARRAR” yang mengatur khusu pidana adat (menurut Van Vollenhoven
kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2.      Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM”
(pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck mengenai
Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan Goa.
3.      COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak,
dan warisan.
4.      HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para hakim
di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.
Jaman Daendels (1808-1811) Beranggapan bahwa memang ada hukum yang
hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari hukum eropa, jadi
tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum eropa tidak akan mengalami
perubahan karenanya. Jaman Raffles (1811-1816) Pada zaman ini Gubernur Jenderal
dari Inggris membentuk komisi MACKENZIE atau suatu panitia yang tugasnya
mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di masyarakat, untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan yang dipimpinnya.
Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini yaitu pada tanggal 11 Pebruari 1814
dibuat peraturan yaitu regulation for the more effectual Administration of justice in
the provincial court of Java yang isinya :
a.       Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
b.      Susunan pengadilan terdiri dari :
1.      Residen’s court
2.      Bupati’s court
3.      Division court
c.       Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling
d.      Yang berlaku adalah native law dan unchain costum untuk Bupati’s court dan untuk
Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.
Sejarah politik hukum adat dalam perundang-undangan di Indonesia terbagi
dalam tiga periode yaitu ;
a.    Masa menjelang tahun 1848.
Pada masa kompeni hukum adat dibiarkan saja seperti sediakala hidup berlaku
untuk bangsa Indonesia.  Untuk pertama kali hukum adat mendapat sorotan
pemerintah Belanda adalah pada masa pengangkatan Hageman sebagai ketua
mahkamah agung Belanda pada tanggal 30 juli 1830. Pada waktu itu Hageman
melakukan pemeriksaan tugas istimewa yang bertujuan agar di Indonesia bisa di
lakukan persamaan hukum dengan hukum eropa. Hageman beranggapan agar adanya
kodifikasi hukum sipil yang berbahasa Indonesia yang berlaku bagi bangsa Indonesia
dan eropa. Namun hal ini tak dapat terealisasikan karena tempo penugasan telah
selesai dan Hageman tak mampu menyelesaikannya.
Dengan segala usaha yang dilakukan pemerintah Belanda untuk
memberlakukan hukum Belanda di Indonesia yaitu melalui panitia yang diketuai
Scholten ( ketua mahkamah agung Hindia Belanda dahulu) , beranggapan bahwa
Indonesia terhindar dari asas persamaan hukum pemerintah belanda. Hal tersebut juga
diperkuat oleh J. Van Der Vinne yaitu seorang ahli jajahan Belanda yang
beranggapan bahwa hukum Belanda tidak bisa diberlakukan di Indonesia karena
masyarakatnya pluralis. Sehingga jika tetap diberlakukan menurut J. Van Der Vinne
hal ini melanggar hak-hak adat istiadat dan akann memecah banyak sendi-sendi
hukum. Kupasan Van der Vinne inilah yang dijadikan pedoman pemerintah Belanda
dan ikut mempengaruhi kedudukan hukum adat.
b.    Masa Pada tahun 1848 dan Seterusnya.
Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia
Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau hukum yang berlaku di Belanda
menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi.
Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah colonial, sampai dimana
hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-
kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan
dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak
masuk perhitungan pemerintah colonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-
usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah colonial
yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan
menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat seterusnya didalam system
perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
a.       Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki apakah
hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat.
b.      Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan
penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan
agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
c.       Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi local
untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah, daerah yang penduduknya
telah memeluk agama Kristen.Usaha ini belum terlaksana
d.      Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undangundang untuk
menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki
supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini
gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van
Idsinga.
e.       Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen
Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di
Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.
f.       Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat
rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda
sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van
Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan
pelaksanaan kitab undang-undang kesatuan itu tidak mungkin. Dalam tahun 1927
Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum
(unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum
adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.
g.      Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda
akan memberlakukan hukum eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi
hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi.
Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah colonial, sampai
dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-
kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan
dalam rangka politik Belanda. 7.      Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung,
ditugaskan untuk menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti
dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal.
h.      Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan
penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan
agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
i.        Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi local
untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah, daerah yang penduduknya
telah memeluk agama Kristen.Usaha ini belum terlaksana.
j.        Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undangundang untuk
menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki
supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini
gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van
Idsinga.
k.      Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen
Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di
Indonesia.
l.        Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat
rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda
sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van
Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan
pelaksanaan kitab undangundang kesatuan itu tidak mungkin. Dalam tahun 1927
Pemerintahan Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum
(unifikasi). Sejak tahun 1927.

                                                              
  
BAB III
PENUTUP

   Kesimpulan

 Dalam masyarakat Indonesia istilah hukum adat tidak dikenal


adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah
teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan
dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku
dalam masyarakat Indonesiayang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem
keilmuan. Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan
yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan
sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang
ketiga hal ini mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi “, dan apabila kebiasaan ini
ditiru oleh orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya
sampai kebiaasaan itu menjadi adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang
harus dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Suatu hal yang rasional
apabila interaksi sosial mengambil peran yang penting dalam kelompok
masyarakat.  Hukum adat di Indonesia adalah suatu kompleks norma-norma yang
bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi
peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat,
karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari yang tidak dikenal hingga
dikenal dalam ilmu pengetahuan dapat di bagi atas empat periodesasi waktu di
antaranya adalah Sebelum Zaman kompeni, Pada zaman kompeni (1602-1800), Pada
zaman Daendels (1808- 1811), Pada zaman Raffles (1811-1816).

DAFTAR PUSTAKA

HUKUM ADAT | Perkembangan di indonesia


(universalhukumtadulako.blogspot.com)

(http://blokgurubelajar.blogspot.co.id/2013/11/makalah-sejarah-hukum-adat-
di-indonesia.html)
(Carventer Seminar Hukum Adat Dan Pembinaan Hukum
Nasional. Yogyakarta: Binacipta. Hal. 64.
Hadikusuma, hilman. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia.
Bandung: Mandar Maju. Hal. 78
Pengantar dan Asas – asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung dan Badan
Pembinaan Hukum Nasional. 1976.
Rato, dominikus.  Pengantar Hukum Adat.. (Laksbang :1993). Hal. 107
Supomo. 1993.Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta:Pradnya Pramita
Wignjodipuro,Surojo. 1984.)

Anda mungkin juga menyukai