Anda di halaman 1dari 23

Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah Hukum Adat

Tanggal Presentasi : 16 November 2020

Oleh :
Aznina Elfizaini Hasibuan (0204182062)

Asrul Saputra Harahap (0204182076)

Aanisah Zulviah Lubis (0204182078)

Santu Gemilang Siregar (0204182121)

Dosen Pengampu : Herlina Hanum, Dr., M. Hum.

MUAMALAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Memahami Hukum Adat dimulai dari pengertian dan istilah hukum adat itu
sendiri, menurut Snouck Hurgronje Adat Recht atau Hukum Adat adalah adat-adat
yang mempunyai akibat hukum, atau dengan kata lain disebut dengan hukum adat jika
adat tersebut mempunyai akibat hukum. Diantara manfaat mempelajari hukum adat
adalah untuk memahami budaya hukum Indonesia, dengan ini kita akan lebih
mengetahui hukum adat yang mana yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan
zaman dan hukum adat mana yang dapat mendekati keseragaman yang berlaku
sebagai hukum nasional.
Lebih jauh membahas tentang Hukum Adat, suatu adat dikatakan sebagai
hukum atau singkatnya yang merupakan karakteristik hukum adat adalah hukum yang
umunya tidak ditulis, peraturan-peraturan yang ada kebanyakan merupakan petuah
yang memuat asas perkehidupan pada rasa harga diri setiap anggota masyarakat. Lalu
bagaimana dengan hukum adat yang selanjutnya ada dan dikatakan sebagai Aspek
Kebudayaan, serta letaknya dalam kerangka kebudayaan itu.
Pada dasarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia di bentuk berdasarkan
karena atas dasar epersatuan dan kesatuan masyarakat adat dimana peran serta hukum
adat sangat berpengaruh terhadap cerminan dan kepribadian dari bangsa itu sendiri,
oleh karena itu penulis mencoba menerapkan kembali tentang peran serta hukum adat
dalam perkembangan perspektif hukum nasional Indonesia, dengan judul hukum adat
sebagai kebudayaan. Dengan alasan atau dasar yuridis yang terdapat pada pasal 32
ayat 1 tahun 1945 negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan memajukan kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum adat ditempatkan sebagai aspek kebudayaan?
2. Bagaimana Peran Hukum Adat sebagai aspek kebudayaan?
3. Bagaimana cara berpikir masyarakat dan bagaimana proses terbentuknya hukum
adat?

2
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Tentang Hukum
Hukum adalah gejala masyarakat, artinya bahwa hukum itu ada apabila ada
masyarakat. Sebaiknya, apabila tidak ada masyarakat, niscaya tidak ada hukum.
Secara kodrati, manusia diciptakan untuk bermasyarakat, hidup berkelompok dan
interdependensi antara satu dengan yang lain. Tidak ada satu manusia pun yang dapat
idup menyendiri dan dapat bertahan hidup lama, apalagi sampai dapat menciptakan
sebuah peradaban. Oleh karena itu, manusia dalam hidupnya memiliki kecenderungan
untuk berkelompok . aristoteles mengemukakan bahwa manusia selalu ikut dalam
pergaulan hidup dan memiliki hasrat senantiasa berorganisasi, karena itu manusia
disebut makhluk sosial dan makhluk politik. Sejalan dengan pandangan tersebut,
Soerjono Soekanto menilai bahwa manusia memiliki naluri untuk hidup bersama
dengan manusia lainnya guna mewujudkan kehidupan yang selaras dan damai. Oleh
sebab itu, manusia juga dapat disebut sebagai manusia hukum, yaitu manusia yang
dalam hidupnya tidak bisa dilepaskan dari peranan hukum.
Sebagai langkah pertama mempelajari Hukum Adat dan ilmu hukum lainnya,
haruslah mengenal lebih dahulu definisi hukum, meskipun menurut Van Apeldorn
dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum” menerangkan bahwa definisi hukum yang
sebenarnya tepat adalah tidak ada, atau setidak-tidaknya belum menghasilkan suatu
pandangan yang tepat. 1
Adapun macam-macam norma sebagai ketentuan yang mengatur tingkah laku.
Manusia dalam kehidupan masyarakat, terdiri dari :
1. Norma Agama adalah suatu peraturan yang diberikan oleh Tuhan untuk
umatnya yang terdapat dan ditentukan dalam Kitab Suci, yaitu Alquran
dan kitab suci lainnya. Pelanggaran terhadap norma Agama mempunyai
sanksi berupa hukuman dari Tuhan.
2. Norma Kesusilaan adalah suatu peraturan yang memuat pedoman bagi
setiap orang agar dapat membeedakan hal yang baik dengan yang tidak
baik. Pelanggaran terhadap norma kesusilaan memiliki sanksi berupa rasa
penyesalan yang timbul dari diri sendiri.
1
Hilman Syahrial Haq, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Jawa Tengah: Penerbit Lakeisha, 2020), h.
1-3.

3
3. Norma kesopanan adalah suatu peraturan yang harus dilaksanakan oleh
setiap orang untuk bertingkah laku di dalam pergaulan masyarakat.
Pelanggaran terhadap norma kesopanan mempunyai sanksi yaitu
dikucilkan masyarakat sekitarnya.
4. Norma hukum adalah peraturan yang menentukan tingkah laku manusia
yang bersifat memaksa dan dibuat oleh badan yang berwenang,
pelanggaran terhadap norma Hukum mempunyai sanksi berupa paksaan
dari Negara.2
B. Istilah dan Pengertian Hukum Adat
Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu “hukum” dan
“adat” yang seluruhnya berasal dari Bahasa Arab. Hukum dari kata “hukum” yang
artinya perintah. Sedangkan adat dari kata “adah” yang berarti kebiasaan atau sesuatu
yang diulang-ulang. Jadi dapatlah dikatakan bahwa istilah hukum dan adat telah di
“resepsi” ke dalam Bahasa Indonesia dan hampir semua daerah di Indonesia
mengenalnya meskipun dengan dialek bahasa yang berbeda-beda, sebagaimana kata
adat di beberapa daerah, seperti ‘adat (Aceh), hadat (Lampung), ngadat (Jawa), ade
(Bugis), adati (Halmahera).3
Hukum adat merupakan suatu istilah di masa silam terkait pemberian ilmu
pengetahuan hukum kepada kelompok hingga beberapa peedoman serta kenyataan
yang mengatur dan menerbitkan kehidupan masyarakat Indonesia. Para ilmuwan
melihat bahwa masyarakat Indonesia hidup di berbagai daerah pelosok yang juga
menggunakan peraturan-peraturan maupun adat istiadat masing-masing.
Istilah hukum adat yang dipergunakan sekarang ini pada hakikatnya meupakan
terjemahan dari suatu istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu adatrech. Istilah
ini pada mulanya timbul di kalangan ilmu pengetahuan.
Hukum adat sebagai cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri dilahirkan oleh
alam pikiran barat jadi tidak oleh alam pikiran Indonesia sendiri. Perlu kita akui
sampek sekarang bahwa istilah hukum adat itu sendiri tidak dikenal di desa-desa, tapi
mereka hanya berbicara soal adat istiadat yang harus dipathu, yang kadang-kadang
mempunyai sanksi-sanksi tertentu terhadap pelanggarannya. Penemuan hukum adat
itu memang terpengaruh oleh faktor-faktor politik dan ekonomi struktur masyarakat
jajahan pada waktu itu. Penemuan hukum adat disebabkan desakan-desakan politik

2
Ibid, h. 8-9.
3
Ibid, h. 9.

4
hukum yang mau memaksakan rakyat Indonesia tunduk pada hukum barat.
Penundukan itu terutama berpokok pangkal pada pikiran, bahwa hukum adat sama
sekali tidak memenuhi tuntutan-tuntutan abad modern (yakni abad XX).4
Hukum adat merupkan terjemahan dari istilah Belanda yaitu “adat recht”
sebagai penamaan suatu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam
masyarakat Indonesia. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje
dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” (orang-orang Aceh), yang kemudian di
populerkan oleh Van Vollenhoven melalui bukunya yaitu “Het Adat Recht van
Nederlandsch Indie” (Hukum Adat Hindia-Belanda) sebagai yang terbaik dan
dijadikannya pusat perhatian sehingga menjadi ilmu pengetahuan hukum adat.5

C. Pengertian Kebudayaan
Budaya menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pikiran, akal budi, hasil.
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian kebudayaan diantaranya :
1. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun
dai satu generasi ke generasi kemudian.
2. Andreas Eppink mengemukakan kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religious, dan segala pernyataan intelektual dan
artistic yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
3. Edward Burnett Tylor memandang kebudayaan merupakan keseluruhan
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang di dapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
4. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Segi wujudnya kebudayaan menurut Koentjoroningrat ada 3 wujud yaitu :
1. Suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma aturan dsb
2. Kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Benda-benda hasilkarya manusia.

4
Sri Warjiyati, Ilmu Hukum Adat, (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2020), h. 2-3.
5
Hilman Syahrial Haq, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Jawa Tengah: Penerbit Lakeisha, 2020), h.
10.

5
Dari uraian di atas maka dapat diambil pengertian bahwa hukum adat sebagai
aspek kebudayaan adalah hukum adat yang dilihat dari sudut pandang nilai, norma
sosial, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur sosial religious yang didapat
seseorang dengan ekstensinya sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan dalam wujud idiil, bertugas mengarahkan dan mengatur tingkah
laku manusia dalam kehidupan masyarakat, sehingga hukum adat merupakan suatu
aspek dalam kehidupan masyarakat dalam kebudayaan bangsa Indonesia.6

D. Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan


Sebagaimana diketahui Hukum Adat lahir, tumbuh, dan berkembang dari
masyarakat Indonesia dan merupakan salah satu hukum positif cerminan dari budaya
bangsa yang bersangkutan karena hukum bagian dari kebudayaan. Dengan memahami
Hukum Adat secara keseluruhan diharapkan akan memperjelas pemahaman Hukum
Adat sebagai salah satu aspek kebudayaan bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang terdiri atas
beragam suku, agama, budaya, yang merupakan satu kesatuan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia jauh sebelum kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945
masyarakat Indonesia tersebar di berbagai kepulauan dan tunduk pada hukum adat
dan budayanya masing-masing. Van Vollenhoven dalam penelitiannya terhadap
masyarakat adat di Indonesia membagi masyarakat adat dalam sembilan belas
Lingkungan Hukum Adat yang hidup dan tumbuh di daerah-daerah di Indonesia.7
Kebudayaan adalah berasal dari kata budaya (budhayah) sedangkan kata
budaya adalah bentuk jamak dari kata “budi” atau “akal”. Jadi, budaya adalah daya
dari budi yang berupa cipta karya dan rasa; kebudayaan adalah hasil dari karya, cipta,
dan rasa manusia yang hidup bersama. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan, yang diperlukan dan dipergunakan oleh manusia untuk
menguasai alam sekitarnya. Ciptaan merupakan kemampuan mental, kemampuan
berpikir dari manusia dan yang antara lain menghasilkan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Sedangkan rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah
dan nilai-nilai kemasyarakatan yang diperlukan untuk mengatur masyarakat.
Dengan demikian, kebudayaan khususnya unsur rasa yang menghasilkan
kaidah-kaidah dari nilai-nilai itu merupakan struktur normative yang merupakan
6
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,(Jakarta :2008).
7
Marhaeni Ria Siombo, Hukum Adat Dalam Perkembangannya, (Jakarta: Penerbit Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya, 2020), h. 1.

6
“design for living” artinya kebudayaan merupakan pula suatu “blue print of
behaviour” yang memberikan pedoman dan atau patokan perikelakuan masyarakat.
Oleh karena itu tidak ada suatu masyarakat yang tanpa kebudayaan maka
setiap masyarakat betapapun sederhananya masyarakat itu, secara pasti memiliki
nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah. Salah satu norma yang ada dalam
masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang dalam pola yang sama, yang
disebut dengan norma adat dan hukum adat. Dengan demikian, norma hukum adat
merupakan bagian dari norma-norma masyarakat (norma sosial).
Koentjoronigrat (1966) menyebutkan bahwa tiap-tiap masyarakat, baik yang
amat kompleks maupun yang amat sederhana bentuknya, tentunya mempunyai
aktivitas-aktivitas yang berfungsi dalam lapangan pengendalian masyarakat atau
control sosial. (Koentjoronigra, 1966).
Oleh karena itu Bushar Muhammad (1966) menyebutkan bahwa : “Hukum
yang terdapat di dalam tiap masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecil pun
masyarakat itu menjadi cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat mempunyai
kebudayaan sendiri dengan coreak dan sifat sendiri, ‘geestesstructuur’ masyarakat
yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifat sendiri yaitu hukum masing-masing
masyarakat itu berlain-lainan. Begitu pula hal nya dengan hukum adat Indonesia,
seperti hal nya dengan semua sistem hukum lain di dunia ini, maka hukum adat
senantiasa tumbuh dan kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup, yang keseluruhannya
merupakan kebudayaan tempat hukum adat itu berlaku.
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19
lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan
sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan
hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum
(Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
2. Tanah Gayo (Gayo Lueus)
a. Tanah Gayo (Gayo Leues)
b. Tanah Alas
c. Tanah Batak (Tapanuli)
1) Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak Karo, Batak
Simalungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun
Julu)
7
2) Tapanuli Selatan; Padang Lawas ( Tano Sepanjang), Angkola,
Mandailing (Sayurmatinggi)
3) Nias (Nias Selatan)
3. Tanah minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah
Kampar, Kerinci)
4. Mentawai (Orang Pagai)
5. Sumatera Selatan
a. Bengkulu (Renjang)
b. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang
Bawang)
c. Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
d. Jambi (Batin dan Penghulu)
e. Enggano
6. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
7. Bangka dan Belitung
8. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak,
Kenya, Dayak Klemanten, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat
Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak
Penyambung Punan)
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi,
Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,
Makassar, Selayar, Muna)
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru,
Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
14. Irian
15. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba,
Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem,
Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
17. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo,
Tulungagung, Jawa timur, Surabaya, Madura)
8
18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
19. Jawab Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)8
Berbicara tentang hukum adat sebagai aspek kebudayaan maka terlebih dahulu
kita harus memahami di mana letak hukum adat di dalam suatu kerangka kebudayaan,
untuk itu pengkajian terhadap hukum adat sebagai aspek kebudayaan beranjak dari
pemahaman terhadap kebudayaan itu sendiri.
Jika kita meninjau kebudayaan itu dari segi lain, yaitu dari segi wujudnya,
maka pada hakikatnya kebudayaan itu dapat dilihat dari tiga (3) bentuk. Adapun tiga
bentuk itu menurut Prof. Koentjaranigrat adalah sebagai berikut :
1. Bentuk kultur budaya sebagai suatu kompleks dari ide, pemikiran, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Bentuk kultur budaya sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat
3. Bentuk kultur budaya sebagai benda-benda hasil karya manusia
Jika kita memperhatikan kultur budaya dari segi wujud kebudayaan sebagai
mana tersebut di atas, maka jelas bahwa hukum atau hukum adat adalah termasuk di
dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide. Di lain pihak kita harus
memahami bahwa kebudayaan dalam wujud kompleks ide ini mempunyai fungsi
untuk mengarahkan dan mengatur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, hukum adat merupakan suatu aspek dalam kehidupan masyarakat
sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.
Hukum adat merupakan hukum tradisional masyarakat atau bangsa Indonesia
adalah perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan cara dan
pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kultur budaya masyarakat
tempat hukum adat tadi berlaku. Dengan demikian hukum adat yang bersumber dalam
kebudayaan asli Indonesia pada hakikatnya tidak terlepas dari bentuk kejiwaan dan
cara berpikir masyarakat asli Indonesia yang mencerminkan suatu perbedaan dengan
kebudayaan masyarakat lain.
Menurut Prof. Soepomo dipandang dari bentuk kejiwaan dan cara berpikir
masyarakat Indonesia itu melahirkan corak-corak atau pola-pola tertentu dalam
hukum adat yaitu antara lain sebagai berikut :
1. Memiliki sifat kebersamaan (communal) yang luas artinya: manusia
menurut hukum adat merupakan makhluk dalam hubungan
8
Rosdalina, Hukum Adat, (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2017), h. 45-50.

9
kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan, meliputi segala lapangan
hukum adat.
2. Memiliki sifat religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam
pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
3. Sistem hukum adat itu diliputi oleh pikiran penataan serba konkret, artinya
hukum adat sangat memperhatikan berulang-ulangnya hidup yang konkret.
Sistem hukum adat menggunakan jenis bentuk perhubungan bentuk hukum
yang serba konkret (misalnya perhubungan perkawinan antara dua klan
yang eksogam, perhubungan jual (pemindahan) pada kesepakatan tentang
tanah dan sebagainya.
4. Hukum adat memiliki ciri yang sangat visual, artinya perhubungan-
perhubungan hukum dianggap hanya terjadi jika ditentukan dalam suatu
ikatan yang dapat dilihat.
Mengenai bentuk-bentuk hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh
Soepomo tersebut di atas hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh F.D.
Holleman mengenai sifat-sifat umum dari hukum adat Indonesia yaitu : sifat
commune, sifat concreet (visual), sifat constant dan sifat magisch.
Selanjutnya F.D. Holleman memberikan uraian-uraian yang menjelaskan
tentang sifat-sifat umum hukum adat tersebut, yaitu :
1. Sifat Commune, suatu sifat yang diartikan bahwa kebutuhan individu
dalam hukum adat selalu seimbang dengan kebutuhan umum. Hal ini
berarti bahwa hak-hak individu dalam hukum adat selalu seimbang oleh
hak umum.
2. Sifat Concreet, suatu sifat yang berarti bahwa dalam alam pikiran orang-
orang Indonesia pengertian-pengertian hukum adat itu didasarkan dari
objek-objek hukum itu, artinya yang menjadi tujuan dalam hukum adat itu
harus konkret.
3. Sifat Constant, bahwa penyerahan-penyerahan pada masalah transaksi-
transaksi, misalnya penjualan dan lain-lainnya itu harus dilakukan dengan
konstan
4. Sifat Magisch, yaitu apabila perbuatan-perbuatan dalam hukum adat itu
memuat hal-hal yang ghaib, artinya apabila dilanggar akan mengakibatkan
bencana terhadap masyarakat.

10
Selanjutnya F.D. Holleman memberikan uraian lebih lanjut dari sifat-sifat tadi
misalnya mengenai sifat Commune dalam hukum adat Indonesia itu tampaknya tidak
sama kuatnya di berbagai daerah di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang sudah
terpengaruh kehidupan modern, sifat commune berkurang dan di dalam berbagai
lapangan kehidupan masyarakat hak individu mulai menang terhadap hukum umum.
Menurut Prof. Koentjaraningrat, tentang sifat magich-religieus. Sudah anggapan
orang Indonesia itu mempunyai suatu alam pikiran yang sudah penuh sifat-sifat
magisch-religieus di mana unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1. Keyakinan pada makhluk-makhluk halus, roh-roh, dan hantu-hantu yang
mendiami seluruh alam semesta dan khusus gejala-gejala alam, tumbuh-
tumbuhan, binatang, tubuh manusia, dan benda-benda.
2. Keyakinan kepada kekuatan sakti yang mendiami dan meliputi seluruh
alam semesta dan khusus terhadap alam dalam peristiwa-peristiwa yang
luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, benda-benda yang luar
biasa, dan suara-suara yang luar biasa.
3. Menganggap bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dapat digunakan sebagai
magisch kracht dalam berbagai perbuatan-perbuatan ilmu gaib untuk
mewujudkan kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib.
4. Ada dugaan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menimbulkan
keadaan kritis, menimbulkan berbagai macam bahaya gaib, yang hanya
dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.
Terhadap adanya orang Indonesia yang dipengaruhi oleh kepercayaan religio-
magtsch ini ini, Prof. Dr. Mr. Soekanto, memberikan beberapa contoh perbuatan
dalam bidang hukum adat yang berhubungan dengan religio magisch tersebut ,
sebagai berikut :
1. Di bagian Timur Indonesia (misalnya Minahasa) ada tanda larangan yang
disebut matakao, jika tanda ini diletakkan di suatu pohon, maka mereka
yang meletakkan mempunyai hubungan hukum dengan pohon itu, apabila
orang lain memotongkan dapat dituntut, selainnya bahaya yang akan
diperoleh berdasarkan sifat religio magisch.
2. Di daerah Toraja tanda larangannya ialah berupa sepotong bambu dengan
tumbuhan menggatalkan dan berduru serta merica. Tanda-tanda ini
mempunyai sifat religio magisch. Misalnya merek : mengambil kelapa dari

11
pohon di mana nowera itu digantungkan denda oleh mardika berupa
seekor kerbau.
3. Di kalimantan di wilayah yang diduduki oleh suku-suku bangsa Londak
dan Toyan dipakai tongkat dari bambu sebagai dari tanda larangan
melanggar tidak hanya dalam keadaan bahaya akan tetap mereka harus
membayar denda berupa suatu jembatan pula.
4. Di Aceh, daun kelapa (yang magisch adalah kuat) dipakai akar pengikat
suatu pohon dengan maksud hendak melarang orang yang tidak berhak
memotong pohon itu akan mengambil buahnya. Jika ini terjadi maka yang
melanggar di anggap pencuri.
5. Di daerah Maluku (Seram Selatan) terhadap daun kelapa yang muda
(magisch) sebagai tanda larangan, mereka yang melanggar larangan ini
disebut pencuri jika perkara ini diadili, yang bersalah mendapat denda
misalnya berupa sepotong kain putih (magisch) atau uang.
Dengan demikian pandangan suatu masyarakat terkait adanya adat itu
berbeda-beda, sehingga mempengaruhi bagaimana hukum adat tersebut terbentuk.9
Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat
termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang
fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam
berkehidupan dimasyarakat,dengan demikian hukumadat merupakan aspek dalam
kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.10
Hukum adat merupakan hukum tradisional masyarakat yang merupakan
perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara
pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat
tempat hukum adat tersebut berlaku.11
Apabila kita melakukan studi tentang hukum adat maka kita harus berusaha
memahami cara hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan
refleksi dari cara berpikir dan struktur kejiwaan bangsa Indonesia.12
Maka jelas dikatakan bahwa memang hukum adat adalah sebagai aspek
kehidupan dan budaya bangsa Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berpikir
bangsa Indonesia tercermin lewat hukum adat itu sendiri.
9
Sri Warjiyati, Ilmu Hukum Adat, (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2020), h. 17-22.
10
Sri Warjiyati,Memahami Hukum Adat,(Surabaya : IAIN Surabaya, 2006), h. 15.
11
Ibid, h. 16.
12
Dewi Wulansari, Hukum Adat di Indonesia, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2010), h. 13.

12
Hukum yang berlaku pada setiap masyarakat tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan suatu masyarakat, karena
hukum itu adalah merupakan salah satu aspek dari kebuadayaan suatu masyarakat.
Kebudayaan adalah usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan dirinya dengan
alam sekelilingnya, karena kebudayaan setiap masyarakat mempunyai corak, sifat
serta struktur yang khas, maka hukum yang berlaku pada masing-masing masyarakat
juga mempunyai corak, sifat dan struktur masing-masing.
Proses perkembangan masyarakat manusia berlangsung terus menerus
sepanjang sejarah, mengikuti mobilitas dan perpindahan yang terjadi karena berbagai
sebab. Hal ini menyebabkan pula terjadinya perbedaan-perbedaan dalam hukum
mereka, sedikit atau banyak, namun secara keseluruhan akan terlihat persamaan-
persamaan pokok, baik corak, sifat maupun strukturnya, seperti juga yang terjadi
dalam perbedaan bahasa. Hukum Adat yang mengatur masyarakat harus tetap dianut
dan dipertahankan, tidak hanya berhubungan dengan pergaulan antar sesama manusia
dan alam nyata, tetapi mencakup pula kepentingan yang bersifat batiniah dan struktur
rohaniah yang berhubungan dengan kepercayaan yang mereka anut dan hormati.
Penyelidikan Van Vollen Hoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa
wilayah Hukum Adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada daerah-daerah hukum
Republik Indonesia yaitu terbatas pada daerah kepulauan Nusantara kita. Hukum Adat
Indonesia tidak hanya bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia yang menjadi
warga Negara Republik Indonesia di  segala penjuru Nusantara kita, tetapi tersebar
meluas sampai kegugusan kepulauan Philipina dan Taiwan di sebelah Utara, di pulau
Malagasi (Madagskar) dan berbatas di sebelah Timur sampai di kepulauan Paska,
dianut dan dipertahankan oleh oang Indonesia yang termasuk golongan orang
Indonesia dalam arti ethnis. Dalam wilayah yang sangat luas ini Hukum Adat tumbuh,
dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata-tertib sosial dan tata-tertib
hukum di antara manusia, yang bergaul di dalam suatu masyarakat, supaya dengan
demikian dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah
mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh Hukum Adat itu baik bersifat
batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercayai
sejak kecil sampai berkubur berkalang tanah. Di mana ada masyarakat, disitu ada
Hukum (Adat).
Hukum yang terdapat di dalam masyarakat manusia, betapa sederhana dan
kecil pun masyarakat itu, menjadi cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat,
13
mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya sendiri, mempunyai alam
dan struktur alam pikiran sendiri, maka hukum di dalam tiap masyarakat yang
bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya sendiri, yaitu: hukum dari masyarakat
masing-masing berlainan.
Von Savigny mengajarkan bahwa hukum adat mengikuti “Volksgeist” (jiwa /
semangat rakyat) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena Volksgeist
masing-masing masyarakat berlainan, maka juga hukum masyarakat itu berlainan
pula.
Begitu pula halnya Hukum Adat di Indonesia, hukum adat itu senantiasa
tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan
masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Tidak mungkin suatu hukum yang asing
bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum yang asing itu
bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan,
dalam arti bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan. Jadi kita tak
boleh meninjau Hukum Adat Indonesia terlepas dari “Volkgeist;, dari sudut alam
pikiran yang khas orang Indonesia yang terjelma dalam  Hukum Adat itu. Kita juga
tak boleh lupastruktur rohaniah masyarakat Indonesia yang bersangkutan.
Tidak semua perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan
perubahan fundamental yang melahirkan suatu jiwa dan struktur yang baru, sebab
masyarakat adalah sesuatu yang kontinu (berjalan terus/tidak berhenti). Masyarakat
berubah tetapi tidak sekaligus meninggalkan yang lama. Jadi di dalam sesuatu
masyarakat terdapatlah realitas bahwa sesuatu proses perkembangan mengatur
kembali yang lama serta menghasilkan synthese dari yang lama dan yang baru, sesuai
dengan kehendak, kebutuhan, cara hidup dan pandangan hidup sesuatu rakyat.13

E. Peran Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan


Hukum adat merupakan suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan
yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Pengawasan sosial yang dimaksudkan
meliputi :
1. Ciri Otoritas (Attribute of Authority)
Menentukan bahwa aktivitas-aktvitas kebudayaan yang disebut hukum
adalah keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi kuasa

13
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : PT. Toko Gunung Agung,
1995), h.75-76.

14
dan pengaruh dalam masyarakat, keputusan itu memberi pemecahan
terhadap keterangan sosial yang disebabkan karena :
 Serangan terhadap individu
 Serangan terhadap hak seseorang
 Serangan terhadap pihak yang berkuasa
 Serangan terhadap ketertiban umum
2. Ciri Kelembagaan (Attribute of Intention of Universal Application).
Bahwa keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan
sebagai keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan harus
dianggap berlaku terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa dalam masa
yang akan datang.
3. Ciri Kewajiban (Attribute of Obligation)
Bahwa keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung rumusan
hak dan kewajiban dari individu-individu yang hidup.
4. Ciri Penguat (Attribute of Sanction)
Bahwa keputusan dari pihak yang memegang kuasa harus dikuatkan
dengan sanksi.
Dalam melakukan sebuah studi tentang hukum adat, maka yang utama adalah
bagaimana memahami cara hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sehingga
jelas jika dikatakan bahwa hukum adat sebagai aspek kehidupan dan budaya bangsa
Indonesia merupakan refleksi kejiwaan dan citra berpikir bangsa Indonesia yang dapat
dilihat melalui hukum adat itu sendiri.
Hukum adat dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk budaya hukum oleh
masyarakatnya secara temurun digunakan untuk mengatur pedoman hidup dalam
suatu masyarakat hukum adat. Kehidupan masyarakat hukum adat terikat oleh
solidaritas akan persamaan kepentingan dan kesadaran. Sebagai budaya hukum,
hukum adat merupakan formulasi aturan yang pembentukannya tanpa melalui
legislatif, melainkan lahir dari opini-opini dan diperkuat oleh sanksi yang bersifat
kebiasaan.
Dengan terbentuknya sebagai kebiasaan itulah, maka budaya hukum yang ada
dalam suatu masyarakat hukum adat cenderung berbentuk tidak tertulis (unwritten
law). Karakter lain dari budaya hukum dalam suatu masyarakat hukum adat adalah
hukum yang berlaku senantiasa mempertimbangkan dan memerhatikan kondisi

15
psikologi anggota masyarakat, sehingga substansi fungsi dari aplikasi ketaatan akan
hukum didasari atas rasa keadilan dan rasa butuh hukum dalam masyarakat.14

F. Sifat-sifat Umum Hukum Adat


F.D. Holleman di dalam pidato inaugurasinya yang berjudul de commune trek
in het indonesische rechtsleven (corak kegotongroyongan di dalam kehidupan hukum
indonesia) menyimpulkan bahwa ada 4 sifat umum Hukum Adat Indonesia yaitu :
a. Sifat Religio-Magis
Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-
magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 
a) Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan
hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan
khusus.
b) Gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh
manusia dan benda- benda.
c) Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi
seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-
peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-
tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa,
benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa.
d) Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan
sebagai magische kracht dalam berbagai perbuatan-perbuatan
ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk
menolak bahaya gaib;
e) Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam
menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timhulnya
berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari dengan
berbagai macam pantangan. 
Prof. Bushar Muhammad mengatakan orang Indonesia pada dasarnya berpikir dan
bertindak didorong oleh kepercayaan kepada tenaga-tenaga gaib yang mengisi, menghuni
seluruh alam semesta.
b. Sifat Komunal
Merupakan salah satu segi atau corak yang khas dari suatu
masyarakat yang masih hidup terpencil dan kehidupannya sehari-hari sangat

14
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, (Jakarta: Kencana, 2017), h.
23-25.

16
tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat
semacam itu selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan dan lebih
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual.
c. Sifat Kontan
Mengandung pengertian bahwa dengan sesuatu perbuatan nyata,
suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, perbuatan/tindakan hukum
yang dimaksud telah selesai seketika itu juga. Dengan demikian segela
sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah perbuatan simbolis itu adalah di
luar akibat-akibat hukum dan dianggap tidak ada sangkut pautnya atau sebab
akibatnya menurut hukum.
d. Sifat Nyata
Untuk sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan akan
ditransformasikan atau diwujudkan dengan sesuatu benda, diberi tanda yang
kelihatan baik langsung (sesungguhnya) maupun hanya menyerupai obyek
yang dikehendaki.15

G. Proses Terbentuknya Hukum


1. Hukum Adat adalah Hukum Non Statuir
Hukum adat pada umumnya memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat
dari mata seorang ahli hukum memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran
juga dengan perasaan pula. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan
peraturan-peraturan dalam hukum adat yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang
tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan kemudian
dihukum.
2. Hukum Adat Tidak Statis
Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan
hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus
dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Van Vollen Hoven juga mengungkapkan dalam bukunya “Adatrecht” sebagai
berikut :
“Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak beda isinya, hukum adat
menunjukkan perkembangan” selanjutnya dia menambahkan “Hukum adat
berkembang dan maju terus, keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum
adat”16

15
Sri Warjiyati,Memahami Hukum Adat,(Surabaya : IAIN Surabaya, 2006), h. 17.
16
Soepomo, Hukum Adat. (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1989), h. 3.

17
H. Cara berpikir Masyarakat Indonesia
Menurut Prof. Soepomo dilihat dari aspek struktur kejiwaan dan cara berpikir
masyarakat Indonesia mewujudkan corak-corak atau pola tertentu dalam hukum adat
yaitu :
1. Mempunyai Sifat Kebersamaan (Communal)
Manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan
kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan, meliputi segala lapangan
hukum adat.
2. Mempunyai Corak Magis-Religius
Corak Magis-Religius yang berhubungan dengan aspek kehidupan
didalam masyarakat Indonesia.
3. Sistem Hukum Adat diliputi oleh Pikiran Penataan Serba Konkret
Misalnya : Perhubungan perkawinan antara dua suku yang eksogam,
perhubungan jual (pemindahan) pada perjanjian tentang tanah dan
sebagainya.
4. Hukum Adat mempunyai Sifat yang Sangat Visual
Hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dalam
ikatan yang dapat dilihat.17

I. Unsur-unsur Dalam Hukum Adat


1. Unsur Kenyataan
Adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat dan secara
berulang-ulang serta berkesinambungan dan rakyat mentaati serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Unsur Psikologis
Setelah hukum adat ini ajeg (tetap) atau berulang-ulang yang dilakukan
selanjutnya terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa adat yang dimaksud
mempunyai kekuatan hukum, dan menimbulkan kewajiban hukum (opinion yuris
necessitatis).18

J. Proses Terbentuknya Hukum


17
Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. (Jakarta : PT. Pradnya Paramita,
1996), h. 140-141.
18
Sri Warjiyati,Memahami Hukum Adat,(Surabaya : IAIN Surabaya, 2006), h. 22.

18
1. Hukum Adat adalah Hukum Non-Statuta
Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Oleh sebab itu dilihat dari
perspektif seorang ahli hukum yang memegang teguh kitab undang-undang,
seorang sarjana yang berkaca mata kitab undang-undang memang hukum
keseluruhannya di Indonesia ini tidak diatur, tidak sempurna, tidak tegas. Akan
tetapi apabila mereka sungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya mengenai
hukum adat tidak hanya dengan pikiran tetapi dengan penuh perasaan pula,
mereka melihat suatu sumber yang mengagumkan, adat istiadat dahulu dan
sekarang, adat istiadat yang hidup, adat istiadat yang berkembang, adat istiadat
yang berirama.
Jika diselidiki adat istiadat ini maka ada aturan-aturan yang besanksi yaitu
norma-norma yang jika dilanggar terdapat konsekuensinya dan mereka yang
melanggar dapat dituntut dan kemudian dihukum
Kompleks adat istiadat inilah yang kebanyakan tidak dibukukan, tidak
dikodifikasikan dan bercirikan paksaan memiliki sanksi (dari itu hukum), jadi
memiliki akibat hukum, kompleks ini disebut hukum adat.
Menurut ahli hukum asing, sebagai sumber hukum adat adalah bersumber dari
kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan berikatan dengan tradisi rakyat tetapi tidak
semua adat hukum merupakan hukum.
2. Hukum Adat Tidak Statis
Hukum adat merupakan suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum
adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu
sendiri. Juga Van Vollen Howven menegaskan hal yang demikian dalam buku
beliau adatrechts halaman 233 dan seterusnya dikatakan sebagai berikut, hukum
adat pada waktu yang telah lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukkan
perkembangan.
Kemudian pada halaman 389 pada buku beliau juga telah menegaskan dalam
pendapat sebagai berikut, hukum adat berkembang dan maju terus, keputusan-
keputusan adat menimbulkan hukum adat.
K. Timbulnya Hukum Adat
Menurut Mr. B. Ter Haar Bzn, hukum adat lahir dan dipelihara oleh putusan-
putusan para masyarakat hukum terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala
rakyat yang membantu pelaksanaan perilaku hukum itu atau dalam hal berlawanan
19
kepentingan dan putusan para hakim mengadili sengketa selama tidak berlawanan
dengan keyakinan hukum rakyat, senafas seirama dengan kesadaran tersebut diterima
atau diakui atau di toleransi. Semua aturan yang menjadi dalam putusan-putusan
fungsi hukum yang memiliki pengaruh dan yang dalam penerapannya berlaku serta-
merta dipatuhi sepenuh hati (ajaran Ter Haar ini dikenal dengan teori keputusan).19
Di dalam pemikiran, tentu timbul pertanyaan seiring dengan berkembangnya
penguasaan tentang hukum yang dipahami. Kapan sesuatu peraturan adat-istiadat
yang hidup di dalam masyarakat (menjadi tradisi) dapat diakui sebagai peraturan
hukum? Van Vollenhoven dalam bukunya “Adatrecht” menulis, bahwa dalam hal ini
orang harus tidak menggunakan sesuatu teori, tetapi harus meneliti kenyataan. Artinya
bahwa untuk membuktikan adat istiadat itu diakui sebagai hukum adat tidak boleh
hanya dengan teori tetapi harus dilakukan dengan melihat, mengamati dan meneliti
yang sebenarnya terjadi di masyarakat.
Apabila hakim menemui, bahwa ada peraturan-peraturan adat, tindakan-
tindakan (tingkah laku) yang oleh adat, tindakan-tindakan (tingkah-laku) yang oleh
masyarakat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum
yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para
Kepala Adat dan petugas hukum lain-lainnya, maka peraturan-peraturan adat itu
terang bersifat hukum.
Tiap peraturan hukum adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap
dengan lahirnya peraturan baru, sedang peraturan baru itu berkembang juga, akan
tetapi kemudian akan lenyap dengan perubahan perasaan keadilan yang hidup dalam
hati nurani rakyat yang menimbulkan perubahan peraturan. Demikian, secara praktis
terjadi seterusnya, keadaannya seperti jalannya ombak dipasir samudera.”
Prof. Kusumadi Pudjosewojo di dalam buku “Pedoman Pelajaran Tata Hukum
Indonesia”, menjelaskan arti “Adat” dan arti “Hukum” sebagai berikut: “Adat ialah
tingkah laku yang oleh dan dalam sesuatu masyarakat (sudah, sedang, akan)
diadatkan. Dan Adat itu ada yang tebal, ada yang tipis dan senantiasa menebal dan
menipis. Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud tadi adalah aturan-aturan Adat. Akan tetapi dari aturan-aturan tingkah laku
itu ada pula aturan-aturan tingkah-laku yang merupakan Aturan Hukum. Manakah
yang “Adat” dan manakah yang “hukum”?

19
Sri Warjiyati, Ilmu Hukum Adat, (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2020), h. 22-25.

20
Para anggota atau warga masyarakat dalam hidup dan tata pergaulan bersama,
berinteraksi dan berkomunikasi dalam tata hidup patembayan atau dalam tata hidup
paguyupan sehari-haru memang nyata-nyata melaksanakan aturan-aturan tingkah-laku
itu. Dari kenyataan ini sendiri belum nampak mana yang “Adat” dan mana yang
“Hukum”. Tetapi juga kelihatan bahwa di dalam masyarakat ini ada susunan badan-
badan atau orang-orang tertentu yang justru mempunyai tugas untuk menentukan,
aturan tingkah-laku tertentu, dengan cara tertentu, disertai akibat-akibat tertentu pula.
Badan-badan/orang-orang tertentu yang mempunyai tugas sedemikian itu lazim
disebut “yang berwajib” atau “penguasa”. Mereka itu tugasnya ialah menetapkan apa
yang “hukum” di dalam batas lingkungan wewenangnya masing-maing (petugas
hukum), misalnya : Pembentuk Undang-undang, Hakim, Alat-alat perlengkapan Tata
Usaha dan lain-lainnya.20

BAB III
Penutup
A. Simpulan
Hukum Adat sebagai Aspek Kebudayaan adalah Hukum Adat yang dilihat dari
sudut pandang nilai, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial
religious yang didapat seseorang dengan eksistensinya sebagai anggota masyarakat.
Hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan budaya bangsa Indonesia karena
struktur kejiwaan dan cara berfikir bangsa Indonesia tercermin lewat hukum adat itu
sendiri.
Cara Berpikir Masyarakat Indonesia :
1. Mempuyai Sifat Kebersamaan (Communal)
2. Mempunyai Corak Magis-Religius
3. Sistem Hukum Adat diliputi oleh Pikiran Penataan Serba Konkret
4. Hukum Adat mempunyai Sifat yang Sangat Visual
5. Proses Terbentuknya Hukum
20
Istijab, Hukum Adat dan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat, (Jawa Timur: CV. Penerbit
Qiara Media, 2020), h. 22-25.

21
Hukum Adat adalah Hukum Non Statuir, hukum adat juga sebagai hukum
yang berkembang dan hidup di masyarakat, sehingga unsure-unsur yang ada dalam
hukum adat dapat menjadi asumsi atas eksistensi hukum adat , hukum adat tersebut
lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para warga masyarakat hukum terutama
keputusan kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum itu atau dalam
hal bertentangan keperntingan dan keputusan para hakim mengadili sengketa
sepanjang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, senafas, seirama,
dengan kesadaran tersebut diterima atau ditoleransi.

DAFTAR PUSTAKA

Haq, Syahrial Hilman. Pengantar Hukum Adat Indonesia, Jawa Tengah :


Penerbit Lakeisha, 2016.
Warjiyati, Sri.Ilmu Hukum Adat, Yogyakarta: Penerbit Deeepublish, 2020.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, 2008.
Siombo, Marhaeni Ria. Hukum Adat Dalam Perkembangannya, Jakarta :
Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya , 2020.
Rosdalina. Hukum Adat , Yogyakarta : Penerbit Deepublish, 2017.
Warjiyati, Sri. Memahami Hukum Adat, Surabaya : IAIN Surabaya, 2006.
Wulansari, Dewi. Hukum Adat di Indonesia, Bandung : PT Refika Aditama,
2010.
Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: PT
Toko Gunung Agung, 1995.
Pide, Suriyaman Masturi. Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang, Jakarta :
Kencana, 2017.
Soepomo. Hukum Adat, Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1989.

22
Soepomo. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta : PT
Pradnya Paramita, 1996.
Istijab. Hukum Adat Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat, Jawa Timur :
CV Penerbit Qiara Media, 2020.

23

Anda mungkin juga menyukai