Anda di halaman 1dari 18

KONTRIBUSI HUKUM ADAT DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

Oleh

Mokhammad Aulia Barokatullah

Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Mokhammadauliab@gmail.com

Abstrak

Pembangunan hukum Indonesia merupakan suatu upaya untuk membentuk


masyarakat Indonesia yang dicita-citakan. Salah satunya melalui penataan sistem
hukum yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati Hukum
Adat. Perkembangan Hukum Adat sejak zaman kolonial Belanda dan penjajahan
Jepang telah memberikan pengaruh yang besar terhadap Hukum Adat. Begitu pula,
perkembangan Hukum Adat pada tahun 1928-1945 yang menarik dan sepatutnya
untuk dipahami sehingga dapat memberikan pengalaman wawasan dalam
pembentukan Hukum Indonesia. Pengaruh yang berdampak baik dan buruk dalam
Hukum Adat Indonesia. Cara untuk tercapainya pembangunan Hukum Adat
Indonesia yang lebih baik dapat melalui penerapan-penerapan dari teori hukum;
pembangunan, progresif dan integratif. Dalam penjabaran tentang hal-hal diatas
akan dikupas dalam artikel ini, yang diharapkan akan mempermudah dan menjadi
persoalan yang bermanfaat.

Kata Kunci; Hukum Adat, Pembangunan, Hukum Indonesia.

Pendahuluan

Sejak lahir di dunia, manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain di


dalam wadah yang disebut masyarakat. Semula hubungannya hanya terbatas
dengan orang tua, dan semakin hari pergaulannya akan semakin luas. Dengan

1 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


semakin luasnya hubungan antar manusia tersebut, kemudian dibuatlah pedoman
yang merupakan aturan bagi masyarakat tersebut. 1

Kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam mengatur


kehidupan masyarakat adalah beraneka ragam. Norma hukum merupakan norma
yang penting disamping norma agama, kesopanan dan kesusilaan. Norma
hukumpun di dalam masyarakat beraneka ragam, yang meliputi hukum tertulis dan
hukum tidak tertulis.

Setiap masyarakat di seluruh dunia mempunyai tata hukum di dalam wilayah


negaranya. Tidak ada suatu bangsa yang tidak mempunyai tata hukum nasionalnya.
Hukum nasional bangsa merupakan cerminan dari kebudayaan bangsa yang
bersangkutan. Karena hukum merupakan akal budi bangsa dan tumbuh dari
kesadaran hukum bangsa, maka hukum akan tampak dari cerminan kebudayaan
bangsa tersebut.

Di Indonesia, salah satu hukum yang merupakan pencerminan kepribadian


bangsa adalah hukum adat, yang merupakan penjelmaan jiwa bangsa tersebut dari
abad ke abad. Adat yang dimiliki oleh daerah-daerah adalah berbeda-beda,
meskipun dasar serta sifatnya satu yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena itu adat
bangsa Indonesia dikatakan merupakan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya
berbeda-beda, tetapi tetap satu. Adat tersebut selalu berkembang dan senantiasa
mengikuti perkembangan masyarakat dan erat hubungannya dengan tradisi rakyat.
Dengan demikian adat merupakan endapan (renapan) kesusilaan dalam
masyarakat, yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam
masyarakat tersebut.

Hukum adat merupakan hukum yang tumbuh dari kesadaran masyarakat,


yang merupakan pencerminan dari cita rasa dan akal budi budaya bangsa. Dalam
perkembangan dan pembangunan di bidang hukum, sering timbul pernyataan,
apakah dalam pembentukannya akan menggunakan bahan-bahan hukum adat, yang
merupakan hukum sendiri, atau malahan menggunakan hukum dari luar (asing).

1
Eka Susylawati, ‘Eksistensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Di Indonesia’ (2009) IV Al-Ihkam 125.

2 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


Suatu kemajuan ilmu pengetahuan termasuk ilmu hukum (the science of law
atau legal science) terletak pada seberapa tinggi atau rendah kredibilitas ilmu
pengetahuan, nilai akseptasi, dan espektasi yang dapat dipetik oleh dan di dalam
memajukan kehidupan suatu masyarakat dalam kurun waktutertentu. Semakin
tinggi ketiga kriteria di atas semakin tinggi nilai kelimuan tersebut begitu pula
sebaliknya. Ada konsekuensi dari tinggi dan rendahnya ketiga kriteria dari keilmuan
tersebut. Semakin tinggi ketiga kriteria nilai ilmu pengetahuan tersebut maka
semakin tinggi dan mendalam pemahaman manusia terhadap lingkungannya,
semakin rendah ketiga kriteria tersebut maka semakin rendah dan menipis
pemahaman manusia terhadap lingkungannya. Keadaantinggi dan rendahnya
pemahaman manusia terhadap lingkungannya merupakan hakikat clari ilmu
pengetahuan yang berfungsi menerangkan fenomena sosial tertentu untuk
mendukung kemajuan dan kesejahteraan dalam kehidupan umat manusia.2

Pembahasan

Konsep Hukum

Konsep negara hukum (Rechstaat atau rule of law) adalah konsep yang
menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam pelaksanaan kehidupan
berbangsa bernegara, bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum. Sedangkan
ciri-ciri negara hukum yaitu ketertundukan semua aturan hukum beserta segala
interpretasinya dibawah prinsip-prinsip dasar keadilan, perlindungan terhadap
hak-hak dan kebebasan individu, adanya pemajuan HAM masyarakat (social human
right). Adanya perlindungan atas hak-hak komunitas, institusi peradilan yang
merdeka, adanya keberadaan lembaga-lembaga lainnya yang bertugas menjaga
elemen-elemen negara hukum.3

2
Romli Atmasasmita, ‘Tiga Paradigma Hukum Dalam Pembangunan Nasional’ (2012) 3 Jurnal Hukum
PRIORIS 1, 1.
3
Andi Aco Agus, ‘Eksistensi Masyarakat Adat Dalam Kerangka Negara Hukum Di Indonesia’ Jurnal
Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM.

3 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


Thomas Aquinas merumuskan bahwa tujuan hukum tidak lain menghadirkan
kesejahteraan bagi rakyat secara umum. Rakyat dalam suatu negara haruslah
menikmati kesejahteraan umum itu. Pemerintah yang tidak menjamin rakyatnya
menikmati kesejahteraan umum adalah pemerintah yang mengkhianati mandat
yang diembannya. Pemerintah haruslah melaksanakan suatu negara demi
kesejahteraan antara lain melalui hukunya yang adil. Kesejahteraan umum selain
merupakan tujuan hukum, juga merupakan suatu prasyarat adanya masyarakat
atau negara yang memperhatikan rakyatnya. Kesejahteraan umum itu meliputi
antara lain, keadilan, perdamaian, ketentraman hidup, keamanan, dan jaminan bagi
warganya.4

Hukum Adat

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari
berbagai macam suku bangsa. Keragaman suku bangsa ini membawa sebuah
konsekuensi kepada munculnya berbagai macam kebiasaan yang hidup di tengah
masyarakat. Berbagai kebiasaan yang ada di tengah masyarakat tersebut menjadi
sesuatu yang mengikat dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini ada yang
berimplikasi hukum dan ada juga yang tidak berimplikasi hukum. Khusus untuk
kebiasaan yang mempunyai implikasi hukum, maka kebiasaan tersebut dikenal
dengan istilah Hukum Adat. Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah bahasa
Belanda, yakni adatrecht.5

Istilah adat itu sendiri sebenarnya adalah sebuah kata yang diambil dari
bahasa Arab, yang mempunyai arti kebiasaan. Keberadaan Hukum Adat di Indonesia
mungkin sama tuanya dengan keberadaan masyarakat yang menempati kepulauan
Indonesia itu sendiri. Oleh karenanya Hukum Adat mengalami perubahan-
perubahan seiring dengan berubahnya suatu masyarakat. Di dalam adat

4
Otong Rosadi, ‘Hukum Kodrat, Pancasila Dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia’
(2010) 10 Jurnal Dinamika Hukum 282.
5
Muhammad Aiz, ‘Konstelasi Hukum Adat Dan Hukum Islam Di Masa Penjajahan’ (2010) 1 Maslahah 64.

4 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


Minangkabau terdapat pepatah yang berbunyi, “sekali air gadang, sekali tapian
beranjak, sekali raja berganti, sekali adat berubah”.6

Berbicara tentang hukum yang merupakan budaya asli bangsa sendiri tidak
akan terlepas dari hukum adat. Istilah ini diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje
pada akhir abad ke 19. Sebenarnya hukum adat hanya istilah teknis ilmiah semata
untuk membedakan antara hukum Barat dengan hukum Bumiputera, hukum Barat
yang tertulis dan hukum Bumiputera yang tidak tertulis. Kemudian oleh Van
Vollenhoven dikemukakan, " dikatakan hukum karena bersanksi, dikatakan adat
karena tidak dikodifikasi ". (Hilman Hadikusuma,1983 :14). Dari apa yang diuraikan
diatas, maka pengertian hukum adat dapat diartikan sebagai hukum yang tidak
tertulis yang terdapat di masyarakat.7

Hukum adat adalah istilah yang diberikan oleh kalangan ilmu pengetahuan
hukum pada masa silam kepada kelompok, pedoman-pedoman dan kenyataan yang
mengatur dan menertibkan kehidupan rakyat Indonesia. Kalangan ilmuwan pada
waktu itu melihat bahwa rakyat Indonesia, yang hidup di pelosok-pelosok hidup
dalamketertiban dan mereka hidup tertib dengan berpedoman pada peraturan-
peraturan yang mereka buat sendiri.8

Hukum Adat adalah suatu sistem hukum yang khas dan oleh karenanya
berbeda dengan system hukum yang lain, termasuk dengan sistem hukum barat
sebagai bagian dari konsep Negara Hukum. Sehingga, bisa dikatakan bahwa hukum
adat adalah sistem hukum yang tidak sebangun dengan konsep Negara Hukum.
Ketidaksebangunan ini antara lain bisa dilihat dari beberapa perbedaan yang cukup
kontras antara karakteristik hukum adat dengan elemen-elemen umum dalam
konsep Negara Hukum.9

Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini (ius


constitutum) terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis

6
Aiz.
7
Ratna Winahyu Lestari Dewi, ‘Peranan Hukum Adat Pembangunan Dan Pembentukan Undang-Undang
Hukum Pidana’ (2005) 10 Perspektif 265.
8
Susylawati 128.
9
Agus.

5 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


dan praktik dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living
law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum
tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya.

Selain itu, dari dimensi demikian terminologi hukum adat beserta masyarakat
adatnya mempunyai korelasi erat, integral dan bahkan tak terpisahkan yang lazim
diungkapkan dalam bentuk petatah petatih. Sebagai contoh, misalnya dalam
masyarakat Aceh dikenal dengan ungkapan “matee anek mepat jerat matee adat
phat tamita” yang diartikan kalau anak mati masih dapat dilihat pusaranya, akan
tetapi kalau adat dihilangkan atau mati, maka akan sulit dicari. Ungkapan lainnya,
berupa “murip i kanung edet, mate i kanung bumi” yang berarti bahwa keharusan
mengikuti aturan adat sama dengan keharusan ketika mati harus masuk ke perut
bumi.10

Diskursus tentang hukum adat dalam suatu masyarakat terus berlanjut antara
pendukung dan yang kontra. Pendukung hukum adat sering menuduh kaum muda
sebagai orang yang tidak tahu adat, bahkan lebih dari itu, kaum muda dianggap tidak
menghargai para leluhur yang telah berupaya mewariskan suatu nilai dari generasi
ke generasi. Tidaklah mengherankan jika kalangan tua konsisten memelihara dan
mempertahankan adat. Sementara kaum yang kontra dengan adat sering
mengemukakan bahwa adat harus ditinggalkan. Mempertahankan adat berarti
kolot. Hukum Adat sudah tidak relevan dengan perkembangan. Bahkan, kalau perlu
adat harus diubah dan disesuaikan dengan konteks kekinian. Terlepas dari dua
kubu yang berlawanan tentang keberadaan adat, kenyataannya dalam masyarakat
adat masih tetap diperlihara dan dipertahankan.11

Perkembangan Hukum Adat Antara Tahun 1928 – 1945 dan Perbandingan


Kedudukan Hukum Adat di Zaman Jepang Dengan di Zaman Belanda.

10
Lilik Mulyadi, ‘Pidana Adat Di Indonesia : Pengkajian Asas , Norma , Teori , Praktik’ (2016) 17 Litigasi
3284 <http://ejournal.unpas.ac.id/index.php/litigasi>.
11
Abd Rauf, ‘Kedudukan Hukum Adat Dan Hukum Islam’ (2013) 9 Tahkim 20.

6 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


Dalam periode antara tahun 1928–1945, menjelang berakhirnya masa
penjajahan Belanda di Indonesia tahun 1942, terjadi beberapa hal yang signifikan
terhadap perkembangan Hukum Adat itu sendiri. Oleh Ter Haar dalam karangannya
Halverwege de nieuwe adatrecht politiek tahun 1939 disebutkan; Usaha untuk
memperbaiki Peradilan Agama dengan diubahnya pasal 134 IS menurut Ind.
Stbl.1929 nr 221 jo nr 487. Susunan dan kompetensi Pengadilan Agama, yang
diundangkan dalam Ind. Stbl. nr 53. Juga dengan diundangkannya Ordonansi dalam
Ind. Stbl. nr 116 pada tanggal 1 Januari 1931.

Pada tahun 1932 dibuat ordonansi tertanggal 18 Februari 1932 yang


diundangkan dalam Ind. Stbl. Nr. 80 yang berisikan tentang pemberian aturan-
aturan dasar dan peraturan penyelenggaraan yang dibuat oleh residen setempat
bagi peradilan adat yang secara langsung diperintah.

Pada tahun 1937 didirikan Hof voor Islamitische Zaken, sebagai pengadilan
banding atas keputusan pengadilan agama (Raad Agama), dengan dikeluarkannya
Ind.Stbl. 1937.nr 610.

Pada tanggal 1 Januari 1938, pada Raad van Justitie di kota Jakarta (Betawi)
didirikan adat kamer yang mengadili dalam tingkat banding mengenai perkara
hukum privat adat yang telaholeh Landraad-landraad di pulau Jawa, Bangka dan
Belitung, Kalimantan, Bali, Palembang, dan Jambi. Memasuki pecahnya Perang
Dunia II telah menutup suatu masa yang mengenal aktivitas besar yang
berhubungan dengan Hukum Adat, baik di bidang ilmu hukum maupun politik
hukum. Hal ini bisa dilihat dengan tidak dilanjutkannya penyelidikan tentang
Hukum Adat yang dilakukan oleh Mr. Kusumadi Pudjosewodjo, yang akan
menyelidiki Hukum Adat di Jawa Timur dan Mr. Chabot yang hendak menyelidiki
Hukum Adat di Sulawesi Selatan.

Dalam perkembangan sejarah Hukum Adat di zaman Jepang tidak banyak


mengalami perubahan yang berarti, sehingga secara umum tidak mengalami
perbedaan dengan zaman Belanda di bidang Hukum Adat. Tak ada satupun produk
perundangan-undangan yang dihasilkan pada masa itu. Sebagian besar produk
perundang-undangan Belanda yang terkait dengan Hukum Adat tetap

7 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


dipertahankan dan dipergunakan selama tidak bertentangan dengan kepentingan
Jepang tentunya. Sesungguhnya hal ini dapat dimengerti karena singkatnya masa
penjajahan Jepang di Indonesia dan fokus perhatian Jepang lebih terarah ke masalah
pertahanan dari ancaman serangan sekutu.

Seiring dengan perjalanan waktu, tatkala Jepang telah tunduk kepada tentara
sekutu, ternyata banyak diantara serdaduserdadu Jepang yang memutuskan untuk
menetap di wilayah tersebut dan bergabung dengan masyarakat setempat. Dalam
konteks Hukum Adat tentunya para bekas serdadu Jepang tersebut harus mentaati
hukum setempat. Tanpa mentaati hukum setempat maka mustahil masyarakat asli
akan menerimanya. Sebagai contoh kasus adalah yang terjadi di Bali. Di sana banyak
bekas serdadu Jepang yang memutuskan untuk tinggal dan menetap di Bali. Mereka
ikut berjuang bersama masyarakat Bali di dalam memerangi tentara NICA. Beberapa
nama tercata pernah bergabung dengan para pejuang Bali, diantaranya ialah Haraki
yang telah mengubah namanya menjadi I Made Sukri. Haraki gugur dalam
pertempuran di Puputan Margarana pada tanggal 20 September1946 bersama
dengan pahlawan nasional I Gusti Ngurah rai.9)12

Hukum Adat yang merupakan hukum tidak tertulis yang tumbuh di setiap
lingkungan masyarakat merupakan suatu pegangan bagi masyarakat di dalam
bertindak dan bergaul di antara sesama. Dengan demikian Hukum Adat sangat
dibutuhkan untuk mengatur tingkah laku manusia di lingkungannya. Hal ini telah
disadari oleh penjajah Belanda sehingga mereka menempatkan Hukum Adat
sebagai salah satu sumber hukum yang diakui. Di samping itu juga pemahaman
terhadap Hukum Adat oleh penjajah Belanda merupakan salah satu penyebab
berhasilnya Belanda menjajah Indonesia dalam jangka waktu yang lama.

Apabila kita bandingkan kedudukan Hukum Adat antara masa penjajahan


Belanda dengan masa penjajahan Jepang, maka akan nampak perbedaan yang jauh.
Saat penjajahan Jepang keberadaan Hukum Adat kurang mendapat perhatian dari
penguasa Jepang. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya tokoh-tokoh atau
ilmuwan Jepang yang mengekplorasi keberadaan Hukum Adat Indonesia.

12
Aiz.

8 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


Kurangnya perhjatian ini bukan disebabkan karena ketidaktertarikan Jepang atas
hukum asli yang berkembang di masyarakat Indonesia, namun alasan yang paling
utama adalah terpusatnya konsentrasi seluruh pemimpin Jepang dalam
menghadapi serangan sekutu. Hal ini juga yang menyebabkan tidak adanya
perpecahan diantara masyarakat adat karena tidak ada pihak yang memprovokasi.
Hukum Adat tidak dijadikan alat untuk memecah belah bangsa Indonesia. Bahkan
disadari atau tidak disadari Jepang lah yang telah memberikan kepercayaan diri
kepada bangsa Indonesia untuk berjuang.

Keadaan ini bertolak belakang jika dibandingkan pada saat penjajahan


Belanda dimana kita mengetahui bahwa Belanda sangatlah memperhatikan
keberadaan dan perkembangan Hukum Adat Indonesia. Sebagai contoh tentunya
kita mengenal dengan Snouck Hurgronje, Van Vollenhoven, Van Den Berg dan
sebagainya. Sebenarnya apa yang menyebabkan penjajah Belanda begitu
memperhatikan Hukum Adat di Indonesia, Menurut hemat penulis ada beberapa hal
yang menjadi penyebab hal tersebut, diantaranya ialah:

Politik penjajahan, Di sini penjajah Belanda mempunyai kepentingan yang


sangat dominan dalam upaya melanggengkan misi penjajahan mereka. Oleh sebab
itu pemerintah Kerajaan Belanda membuat kebijakan yang mana menugaskan
beberapa orang ahli atau ilmuwan untuk mempelajari secara khusus karakteristik
dan budaya masyarakat Indonesia. Dengan kebijakan tersebut pemerintahan
Belanda dapat mengetahui seluk beluk dari Hukum Adat itu sendiri, yang pada
akhirnya justru dipergunakan untuk membuat lemah masyarakat adat itu sendiri.
Adu domba antar masyarakat (politik devide et impera) merupakan salah satu hasil
dari eksplorasi yang dilakukan oleh para ahli atau ilmuwan tersebut. Selain itu adu
domba antar masyarakat, pemerintah Belanda juga menggunakan isu agama untuk
di bentrokan dengan adat. Hal ini dapat dilihat pada teori yang diungkapkan oleh
Snouck Hurgro-nje dan Van Vollenhoven yaitu teori Receptie, dimana dikatakan
bahwa yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat, Hukum Islam baru dapat
berlaku jika tidak bertentangan dengan Hukum Adat. Jelaslah bahwa dengan adanya
keragaman Hukum Adat di Indonesia selain sebagai kekayaan budaya juga sebagai

9 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


alat yang dipergunakan oleh pemerintah Belanda di dalam mempertahankan
wilayah jajahannya.

Kekayaan budaya, Sebagai sebuah negara maka Indonesia merupakan salah


satu dari sedikit negara yang mempunyai keragaman budaya. Hukum Adat sebagai
produk budaya dari setiap lingkungan masyarakat tentunya merupakan kekayaan
yang tak ternilai harganya jika dapat diekplorasi dan dieksploitasi dengan baik dan
tepat. Inilah salah satu yang menjadikan alasan juga bagi penjajah Belanda dalam
usaha untuk memahami dan menyelami keberadaan Hukum Adat.13

Teori Hukum Pembangunan, Progresif dan Integratif

Munir Fuady mengatakan, teori hukum adalah antara filsafat di satu pihak
dengan hukum positif di lain pihak, di mana hukum positif sangat dipengaruhi oleh
politik, paling tidak menurut paham positivisme dan sampai batas-batas tertentu
oleh sosiolog hukum, tempat teori hukum berada di antara disiplin filsafat di satu isi
dengan teori politik di sisi yang lain. Dalam hal ini, dalam bukunya Legal Theory, W.
Firedmann menampakkan sosoknya sebagai pengikut aliran po sitivisme dengan
menyatakan: "All systematic thinking about legal theory is linked at one end with
philoshophy, and, at the other end, with political theory. Kemudian J.J. Bruggink,
seperti dikutif Otje Salman, menjelaskan teori hukum merupakan seluruh
pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum
dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting
dipositifkan.14

Teori hokum pembangunan awalnya berangkat dari pemikiranProf. Dr.


Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL. M sekitan awal tahun 1970-an. Menurut teori ini,
arti dan fungsi hokum dalam masyarakat dapat dikembalikan pada pemahaman
akan tujuan hokum itu sendiri. Tujuan utama hokum adalah ketertiban (order).
Ketertiban merupakan syarat utama menuju masyarakat yang teratur. Dan untuk

13
Soewarno Darsoprajitno, ‘3,5 Abad Terhapus Reformasi 3,5 Tahun’ (2001) 27 Pikiran Rakyat.
14
Sayuti, ‘Arah Kebijakan Pembentukan Hukum Kedepan (Pendekatan Teori Hukum Pembangunan, Teori
Hukum Progresif, Dan Teori Hukum Integratif)’ (2013) 13 Al-Risalah, Jurnal Ilmu Hukum 139, 142.

10 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


mencapai ketertiban dalam masyarakat diperlukan adanya kepastian hokum dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Selain itu, tujuan lain daripada hokum
adalah tercapainya keadilan yang berbeda- beda isi dan ukurannya menurut
masyarakat dan zamannya. Jadi, arti dan fungsi hokum dalam masyarakat adalah
sebagai wadah untuk mewujudkan ketertiban, kepastian hokum dan keadilan.

Lahirnya hukum progresif dalam khazanah pemikiran hukum, bukanlah


sesuatu yang lahir tanpa sebab dan bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum
progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah
berhenti. Hukum progresif—dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari
jati diri—bertolak dari realitas empiris tentang bekerjanya hukum di masyarakat,
berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan
hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Hukum dengan watak progresif
ini diasumsikan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia
untuk hukum. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
sesuatu yang lebih luas dan besar. Jika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka
hukumlah yang harus diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan
ke dalam skema hukum. Hukum juga bukan institusi yang mutlak serta final, karena
hukum selalu berada dalam proses untuk terus-menerus menjadi (law as process,
law in the making).15

Teori hokum integratif merupakan konsep hokum baru yang ditawarkan Prof.
Dr. Romli Atmasasmita, SH, LL.M. Ada beberapa inti pokok dari konsep hokum ini,
yaitu:

a. Kehidupan masyarakat selalu dalam keadaan konflik kepentingan,


baik konflik berdasarkan etnis, budaya, sosial, ekonomi dan politik.
b. Fungsi hukum mengatur dan menyelesaikan konflik, selain memelihara
dan mempertahankan ketertiban.
c. Westernisasi hukum secara historis memperuncing konflik dan
mendegradasikan easternisasi hukum.

15
Satjipto Rahardjo, ‘Hukum Progresif: Hukum Yang Membebaskan’ (2005) 1 Jurnal Hukum Progresif 3.

11 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


Reorientasi Pembangunan Hukum

Sistem hukum nasional yang representative memang belum kita miliki, namun
bukan berarti bangsa kita tidak memiliki idealitas dan tidak berupaya
mewujudkannya, pemerintah dan dunia kampus telah mengadakan ragam
perjamuan ilmiah yang berskala lokal maupun nasional guna merumuskannya, para
pakar hukum pun demikian, misalnya saja Arief Sidharta mengusulkan tatanan
hukum nasional seharusnya mengandung ciri:

1. berwawasan kebangsaan dan nusantara;


2. mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan
keyakinan keagamaan;
3. sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
4. bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas;
5. kewajaran, rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
6. aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian
rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
7. responsive terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.16

Dalam beberapa hal pemerintah tak periu terlalu legalistik dalam melihat hak
asasi manusia. Pendekatan moralistik bisa pula digunakan karena pendekatan ini
akan lebih mengena dalam membangun suatu 'human rights conciousness'.
Bagaimanapun kita periu menyadari bahwa menjamurnya penggunaan kosa kata
hak asasi manusia disamping itu suatu langkah spektakuler kemajuan, tetapi juga
bisa berbahaya karena bukan saja dapat menjadi 'inflationary' namun sekaligus
dikooptasi atau dibajak oleh kekuatan-kekuatan yang dalam dirinya menolak hak
asasi manusia.17

Pembangunan secara harfiah pada hakikatnya adalah suatu kegiatan yang


bersifat mengubah keadaan dari yang lama menjadi baru, yang dilaksanakan secara
bertahap. Oleh karena itu sasaran pembangunan adalah manusia Indonesia, maka

16
M Sularno, ‘Syariat Islam Dan Upaya Pembentukan Hukum Positif Indonesia’ (2006) 16 Al-Mawarid
211, 216.
17
Todung Mulya Lubis, ‘Menegakkan Hak Asasi Manusia, Menggugat Deskriminasi’ [2009] Jurnai Hukum
dan Pembangunan Tahun ke-39 59.

12 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


perubahan yang diinginkan itu selain tertuju pada kebutuhan, juga akan mengubah
sikap dan tingkah laku manusia itu sendiri. Oleh karena itu, pelaksanaan
pembangunan perlu ditunjang oleh hukum sebagai pengarah dan sarana menuju
masyarakat Pancasila yang kita cita-citakan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan dengan itu, dalam masa
pembangunan ini, sebenarnya hukum tidak hanya diharapkan akan mampu
berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan pengayom masyarakat,
tetapi tampil di depan memberi arah pada pembentukan suatu masyarakat yang
dicita-citakan. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah menata sistem hukum
yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama
dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan
hukum nasional yang bersifat diskriminatif termasuk ketidakadilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. Salah
satu kesimpulan Konvensi Hukum Nasional yang diselenggarakan BPHN pada
tanggal 15 s/d 16 Maret 2008 tentang Grand Design dalam Perencanaan Legislasi
Nasional angka 5 ditentukan, “Pembangunan Hukum tidaklah terlepas dari sejarah,
karena itu dengan telah dimulainya reformasi tidaklah berarti kita memulai segala
sesuatunya dari nol. Semua hal yang baik yang ada dalam produk-produk hukum
positif yang sudah ada harus menjadi modal pembangunan hukum, sementara yang
tidak baik dan tidak sesuai lagi harus kita koreksi dan perbaiki.18

Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan dan tindak


Reorientasi ini meliputi, Pertama, masalah reaktualisasi sistem hukum yang bersifat
netral dan berasal dari hukum local (hukum adat) ke dalam sistem hukum nasional
danjugaterhaclap hukum lain yang bersumber pada perjanjian internasional yang
telah diakui.

Kedua, masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih


mengedepankan egoisme sektoral, miskomunikasi dan miskoordinasi antar
lembaga penegak hukum. Semua itu disebabkanmiskinnyapemahaman aparatur

18
Nyoman Serikat Putra Jaya, ‘Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional’ (2016) 45 Masalah-Masalah Hukum 123, 124.

13 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


hukum mengenai prinsip "Good Governance"; "due process of law"; "praduga tak
bersalah"; dan "the right to counsel".

Ketiga, masalah pemberdayaan masyarakat secara khusus yang


menitikberatkan pada partisipasi publik dalam pembangunan dan akses informasi
publik terhadap kinetjabirokrasi. Kedua inti dari pemberdayaan masyarakat ini
dapat dimasukkan sebagai "budaya hukum" karena tanpa kedua inti pemberdayaan
ini, hukum tidak akan dipahami secara benar atau dipahami tetapi tidak
ditempatkan pada tempat yang selayaknya dalam konteks persepsi dan pandangan
masyarakat. Hal ini telah terjadi ketika publik telah menafsirkan secara kurang tepat
mengenai asas praduga tak bersalah yang disub-stitusi dengan asas praduga
bersalah (presumption of guilt), ketika pejabat negara melakukan kesalahan, di
sisilain, mengakui pentingnya asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
sepenuhnya, ketika rakyat kecil telah melakukan kesalahan yang sama; bandingkan
kasus Misnah (pencurian dua biji kopi) dan kasus Burhanudin Abdullah, mantan
Gubemur BI. Persepsi publik sedemikian darisudut kepastian hukum, telah
melahirkan bentuk anarkisme baru yangmenimbulkan ekses pemaksaan kehendak
rakyat dan mengabaikan sistem hukum yang berlaku.

Keempat, masalah pemberdayaan birokrasi atau yang saya sebut, "bureucratic


engineering" (BE) dalam konteks fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan.
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, masalah pemberdayaan birokrasi ini
menempati posisi yang sangat strategic dan menentukan keberhasilan
pembangunan nasional karena masih merupakan titik lemah yang krusial. Model
hukum BE diharapkan dapat mengisi kelemahan model hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat yang mengedepankan peranan hukum daripada peran
birokrasi.

Setelah bertahun-tahun masyarakat Indonesia membenahi sistem ketata


negaraannya, bangsa Indonesia kemudian berhasil melakukan transformasi hukum
keluarga dari sistem hukum bercorak civil law yang diwarisi oleh kolonialisme
Belanda, menuju sistem kodifikasi dan unifikasi hukum melalui mekanisme check
and balances. Sejak inilah kemudian muncul pekerjaan rumah terbesar Negara,
yakni menciptakan undang-undang yang berpihak kepada masyarakatnya. Sehingga,

14 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


Pada tahun 1974, Negara berhasil melegalkan Undang-Undang No. 1 (satu) tentang
Perkawinan.19

Kesimpulan

Konsep negara hukum (Rechstaat atau rule of law) adalah konsep yang
menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam pelaksanaan kehidupan
berbangsa bernegara, bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum. Tujuan
hukum tidak lain menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat secara umum.
Kesejahteraan umum selain merupakan tujuan hukum, juga merupakan suatu
prasyarat adanya masyarakat atau negara yang memperhatikan rakyatnya.
Kesejahteraan umum itu meliputi antara lain, keadilan, perdamaian, ketentraman
hidup, keamanan, dan jaminan bagi warganya.

Khusus untuk kebiasaan yang mempunyai implikasi hukum, maka kebiasaan


tersebut dikenal dengan istilah Hukum Adat. Hukum Adat merupakan terjemahan
dari istilah bahasa Belanda, yakni adatrecht. Istilah ini diperkenalkan oleh Snouck
Hurgronje pada akhir abad ke 19. Sebenarnya hukum adat hanya istilah teknis
ilmiah semata untuk membedakan antara hukum Barat dengan hukum Bumiputera,
hukum Barat yang tertulis dan hukum Bumiputera yang tidak tertulis. Kemudian
oleh Van Vollenhoven dikemukakan, " dikatakan hukum karena bersanksi,
dikatakan adat karena tidak dikodifikasi ". (Hilman Hadikusuma,1983 :14).

Dalam periode antara tahun 1928–1945, menjelang berakhirnya masa


penjajahan Belanda di Indonesia tahun 1942, terjadi beberapa hal yang signifikan
terhadap perkembangan Hukum Adat itu sendiri. Pada tahun 1932 dibuat ordonansi
tertanggal 18 Februari 1932 yang diundangkan dalam Ind. Stbl. Nr. 80. Pada tahun
1937 didirikan Hof voor Islamitische Zaken. Pada tanggal 1 Januari 1938, pada Raad
van Justitie di kota Jakarta (Betawi) didirikan adat kamer yang mengadili dalam
tingkat banding. Dalam perkembangan sejarah Hukum Adat di zaman Jepang tidak

19
Murdan, ‘Pluralisme Hukum (Adat Dan Islam) Di Indonesia’ (2016) 1 Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum
Islam 48.

15 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


banyak mengalami perubahan yang berarti, sehingga secara umum tidak mengalami
perbedaan dengan zaman Belanda di bidang Hukum Adat.

Teori hukum pembangunan awalnya berangkat dari pemikiranProf. Dr.


Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL. M sekitan awal tahun 1970-an. Menurut teori ini,
arti dan fungsi hokum dalam masyarakat dapat dikembalikan pada pemahaman
akan tujuan hokum itu sendiri. Tujuan utama hokum adalah ketertiban (order).
Ketertiban merupakan syarat utama menuju masyarakat yang teratur. Dan untuk
mencapai ketertiban dalam masyarakat diperlukan adanya kepastian hokum dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Hukum progresif adalah bagian dari
proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif—dapat
dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri—bertolak dari realitas
empiris tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan
keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting
Indonesia akhir abad ke-20. Teori hokum integratif merupakan konsep hokum baru
yang ditawarkan Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LL.M. Ada beberapa inti pokok
dari konsep hokum ini, yaitu; Kehidupan masyarakat selalu dalam keadaan konflik
kepentingan, baik konflik berdasarkan etnis, budaya, sosial, ekonomi dan politik.

Pelaksanaan pembangunan perlu ditunjang oleh hukum sebagai pengarah dan


sarana menuju masyarakat Pancasila yang kita cita-citakan berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan dengan itu, dalam
masa pembangunan ini, sebenarnya hukum tidak hanya diharapkan akan mampu
berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan pengayom masyarakat,
tetapi tampil di depan memberi arah pada pembentukan suatu masyarakat yang
dicita-citakan. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah menata sistem hukum
yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama
dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan
hukum nasional yang bersifat diskriminatif termasuk ketidakadilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

16 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


Daftar Pustaka

Agus AA, ‘Eksistensi Masyarakat Adat Dalam Kerangka Negara Hukum Di Indonesia’
Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM

Aiz M, ‘Konstelasi Hukum Adat Dan Hukum Islam Di Masa Penjajahan’ (2010) 1
Maslahah 64

Atmasasmita R, ‘Tiga Paradigma Hukum Dalam Pembangunan Nasional’ (2012) 3


Jurnal Hukum PRIORIS 1

Dewi RWL, ‘Peranan Hukum Adat Pembangunan Dan Pembentukan Undang-


Undang Hukum Pidana’ (2005) 10 Perspektif 265

Jaya NSP, ‘Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional’ (2016) 45 Masalah-Masalah Hukum 123

Lubis TM, ‘Menegakkan Hak Asasi Manusia, Menggugat Deskriminasi’ [2009] Jurnai
Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 59

Mulyadi L, ‘Pidana Adat Di Indonesia : Pengkajian Asas , Norma , Teori , Praktik’


(2016) 17 Litigasi 3284 <http://ejournal.unpas.ac.id/index.php/litigasi>

Murdan, ‘Pluralisme Hukum (Adat Dan Islam) Di Indonesia’ (2016) 1 Mahkamah:


Jurnal Kajian Hukum Islam 48

Rahardjo S, ‘Hukum Progresif: Hukum Yang Membebaskan’ (2005) 1 Jurnal Hukum


Progresif

Rauf A, ‘Kedudukan Hukum Adat Dan Hukum Islam’ (2013) 9 Tahkim 20

Rosadi O, ‘Hukum Kodrat, Pancasila Dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum
Di Indonesia’ (2010) 10 Jurnal Dinamika Hukum 282

Sayuti, ‘Arah Kebijakan Pembentukan Hukum Kedepan (Pendekatan Teori Hukum


Pembangunan, Teori Hukum Progresif, Dan Teori Hukum Integratif)’ (2013)
13 Al-Risalah, Jurnal Ilmu Hukum 139

Soewarno Darsoprajitno, ‘3,5 Abad Terhapus Reformasi 3,5 Tahun’ (2001) 27


Pikiran Rakyat

17 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia


Sularno M, ‘Syariat Islam Dan Upaya Pembentukan Hukum Positif Indonesia’ (2006)
16 Al-Mawarid 211

Susylawati E, ‘Eksistensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Di Indonesia’ (2009) IV


Al-Ihkam 125

18 | Kontribusi Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai