Oleh
Mokhammadauliab@gmail.com
Abstrak
Pendahuluan
1
Eka Susylawati, ‘Eksistensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Di Indonesia’ (2009) IV Al-Ihkam 125.
Pembahasan
Konsep Hukum
Konsep negara hukum (Rechstaat atau rule of law) adalah konsep yang
menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam pelaksanaan kehidupan
berbangsa bernegara, bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum. Sedangkan
ciri-ciri negara hukum yaitu ketertundukan semua aturan hukum beserta segala
interpretasinya dibawah prinsip-prinsip dasar keadilan, perlindungan terhadap
hak-hak dan kebebasan individu, adanya pemajuan HAM masyarakat (social human
right). Adanya perlindungan atas hak-hak komunitas, institusi peradilan yang
merdeka, adanya keberadaan lembaga-lembaga lainnya yang bertugas menjaga
elemen-elemen negara hukum.3
2
Romli Atmasasmita, ‘Tiga Paradigma Hukum Dalam Pembangunan Nasional’ (2012) 3 Jurnal Hukum
PRIORIS 1, 1.
3
Andi Aco Agus, ‘Eksistensi Masyarakat Adat Dalam Kerangka Negara Hukum Di Indonesia’ Jurnal
Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM.
Hukum Adat
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari
berbagai macam suku bangsa. Keragaman suku bangsa ini membawa sebuah
konsekuensi kepada munculnya berbagai macam kebiasaan yang hidup di tengah
masyarakat. Berbagai kebiasaan yang ada di tengah masyarakat tersebut menjadi
sesuatu yang mengikat dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini ada yang
berimplikasi hukum dan ada juga yang tidak berimplikasi hukum. Khusus untuk
kebiasaan yang mempunyai implikasi hukum, maka kebiasaan tersebut dikenal
dengan istilah Hukum Adat. Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah bahasa
Belanda, yakni adatrecht.5
Istilah adat itu sendiri sebenarnya adalah sebuah kata yang diambil dari
bahasa Arab, yang mempunyai arti kebiasaan. Keberadaan Hukum Adat di Indonesia
mungkin sama tuanya dengan keberadaan masyarakat yang menempati kepulauan
Indonesia itu sendiri. Oleh karenanya Hukum Adat mengalami perubahan-
perubahan seiring dengan berubahnya suatu masyarakat. Di dalam adat
4
Otong Rosadi, ‘Hukum Kodrat, Pancasila Dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia’
(2010) 10 Jurnal Dinamika Hukum 282.
5
Muhammad Aiz, ‘Konstelasi Hukum Adat Dan Hukum Islam Di Masa Penjajahan’ (2010) 1 Maslahah 64.
Berbicara tentang hukum yang merupakan budaya asli bangsa sendiri tidak
akan terlepas dari hukum adat. Istilah ini diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje
pada akhir abad ke 19. Sebenarnya hukum adat hanya istilah teknis ilmiah semata
untuk membedakan antara hukum Barat dengan hukum Bumiputera, hukum Barat
yang tertulis dan hukum Bumiputera yang tidak tertulis. Kemudian oleh Van
Vollenhoven dikemukakan, " dikatakan hukum karena bersanksi, dikatakan adat
karena tidak dikodifikasi ". (Hilman Hadikusuma,1983 :14). Dari apa yang diuraikan
diatas, maka pengertian hukum adat dapat diartikan sebagai hukum yang tidak
tertulis yang terdapat di masyarakat.7
Hukum adat adalah istilah yang diberikan oleh kalangan ilmu pengetahuan
hukum pada masa silam kepada kelompok, pedoman-pedoman dan kenyataan yang
mengatur dan menertibkan kehidupan rakyat Indonesia. Kalangan ilmuwan pada
waktu itu melihat bahwa rakyat Indonesia, yang hidup di pelosok-pelosok hidup
dalamketertiban dan mereka hidup tertib dengan berpedoman pada peraturan-
peraturan yang mereka buat sendiri.8
Hukum Adat adalah suatu sistem hukum yang khas dan oleh karenanya
berbeda dengan system hukum yang lain, termasuk dengan sistem hukum barat
sebagai bagian dari konsep Negara Hukum. Sehingga, bisa dikatakan bahwa hukum
adat adalah sistem hukum yang tidak sebangun dengan konsep Negara Hukum.
Ketidaksebangunan ini antara lain bisa dilihat dari beberapa perbedaan yang cukup
kontras antara karakteristik hukum adat dengan elemen-elemen umum dalam
konsep Negara Hukum.9
6
Aiz.
7
Ratna Winahyu Lestari Dewi, ‘Peranan Hukum Adat Pembangunan Dan Pembentukan Undang-Undang
Hukum Pidana’ (2005) 10 Perspektif 265.
8
Susylawati 128.
9
Agus.
Selain itu, dari dimensi demikian terminologi hukum adat beserta masyarakat
adatnya mempunyai korelasi erat, integral dan bahkan tak terpisahkan yang lazim
diungkapkan dalam bentuk petatah petatih. Sebagai contoh, misalnya dalam
masyarakat Aceh dikenal dengan ungkapan “matee anek mepat jerat matee adat
phat tamita” yang diartikan kalau anak mati masih dapat dilihat pusaranya, akan
tetapi kalau adat dihilangkan atau mati, maka akan sulit dicari. Ungkapan lainnya,
berupa “murip i kanung edet, mate i kanung bumi” yang berarti bahwa keharusan
mengikuti aturan adat sama dengan keharusan ketika mati harus masuk ke perut
bumi.10
Diskursus tentang hukum adat dalam suatu masyarakat terus berlanjut antara
pendukung dan yang kontra. Pendukung hukum adat sering menuduh kaum muda
sebagai orang yang tidak tahu adat, bahkan lebih dari itu, kaum muda dianggap tidak
menghargai para leluhur yang telah berupaya mewariskan suatu nilai dari generasi
ke generasi. Tidaklah mengherankan jika kalangan tua konsisten memelihara dan
mempertahankan adat. Sementara kaum yang kontra dengan adat sering
mengemukakan bahwa adat harus ditinggalkan. Mempertahankan adat berarti
kolot. Hukum Adat sudah tidak relevan dengan perkembangan. Bahkan, kalau perlu
adat harus diubah dan disesuaikan dengan konteks kekinian. Terlepas dari dua
kubu yang berlawanan tentang keberadaan adat, kenyataannya dalam masyarakat
adat masih tetap diperlihara dan dipertahankan.11
10
Lilik Mulyadi, ‘Pidana Adat Di Indonesia : Pengkajian Asas , Norma , Teori , Praktik’ (2016) 17 Litigasi
3284 <http://ejournal.unpas.ac.id/index.php/litigasi>.
11
Abd Rauf, ‘Kedudukan Hukum Adat Dan Hukum Islam’ (2013) 9 Tahkim 20.
Pada tahun 1937 didirikan Hof voor Islamitische Zaken, sebagai pengadilan
banding atas keputusan pengadilan agama (Raad Agama), dengan dikeluarkannya
Ind.Stbl. 1937.nr 610.
Pada tanggal 1 Januari 1938, pada Raad van Justitie di kota Jakarta (Betawi)
didirikan adat kamer yang mengadili dalam tingkat banding mengenai perkara
hukum privat adat yang telaholeh Landraad-landraad di pulau Jawa, Bangka dan
Belitung, Kalimantan, Bali, Palembang, dan Jambi. Memasuki pecahnya Perang
Dunia II telah menutup suatu masa yang mengenal aktivitas besar yang
berhubungan dengan Hukum Adat, baik di bidang ilmu hukum maupun politik
hukum. Hal ini bisa dilihat dengan tidak dilanjutkannya penyelidikan tentang
Hukum Adat yang dilakukan oleh Mr. Kusumadi Pudjosewodjo, yang akan
menyelidiki Hukum Adat di Jawa Timur dan Mr. Chabot yang hendak menyelidiki
Hukum Adat di Sulawesi Selatan.
Seiring dengan perjalanan waktu, tatkala Jepang telah tunduk kepada tentara
sekutu, ternyata banyak diantara serdaduserdadu Jepang yang memutuskan untuk
menetap di wilayah tersebut dan bergabung dengan masyarakat setempat. Dalam
konteks Hukum Adat tentunya para bekas serdadu Jepang tersebut harus mentaati
hukum setempat. Tanpa mentaati hukum setempat maka mustahil masyarakat asli
akan menerimanya. Sebagai contoh kasus adalah yang terjadi di Bali. Di sana banyak
bekas serdadu Jepang yang memutuskan untuk tinggal dan menetap di Bali. Mereka
ikut berjuang bersama masyarakat Bali di dalam memerangi tentara NICA. Beberapa
nama tercata pernah bergabung dengan para pejuang Bali, diantaranya ialah Haraki
yang telah mengubah namanya menjadi I Made Sukri. Haraki gugur dalam
pertempuran di Puputan Margarana pada tanggal 20 September1946 bersama
dengan pahlawan nasional I Gusti Ngurah rai.9)12
Hukum Adat yang merupakan hukum tidak tertulis yang tumbuh di setiap
lingkungan masyarakat merupakan suatu pegangan bagi masyarakat di dalam
bertindak dan bergaul di antara sesama. Dengan demikian Hukum Adat sangat
dibutuhkan untuk mengatur tingkah laku manusia di lingkungannya. Hal ini telah
disadari oleh penjajah Belanda sehingga mereka menempatkan Hukum Adat
sebagai salah satu sumber hukum yang diakui. Di samping itu juga pemahaman
terhadap Hukum Adat oleh penjajah Belanda merupakan salah satu penyebab
berhasilnya Belanda menjajah Indonesia dalam jangka waktu yang lama.
12
Aiz.
Munir Fuady mengatakan, teori hukum adalah antara filsafat di satu pihak
dengan hukum positif di lain pihak, di mana hukum positif sangat dipengaruhi oleh
politik, paling tidak menurut paham positivisme dan sampai batas-batas tertentu
oleh sosiolog hukum, tempat teori hukum berada di antara disiplin filsafat di satu isi
dengan teori politik di sisi yang lain. Dalam hal ini, dalam bukunya Legal Theory, W.
Firedmann menampakkan sosoknya sebagai pengikut aliran po sitivisme dengan
menyatakan: "All systematic thinking about legal theory is linked at one end with
philoshophy, and, at the other end, with political theory. Kemudian J.J. Bruggink,
seperti dikutif Otje Salman, menjelaskan teori hukum merupakan seluruh
pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum
dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting
dipositifkan.14
13
Soewarno Darsoprajitno, ‘3,5 Abad Terhapus Reformasi 3,5 Tahun’ (2001) 27 Pikiran Rakyat.
14
Sayuti, ‘Arah Kebijakan Pembentukan Hukum Kedepan (Pendekatan Teori Hukum Pembangunan, Teori
Hukum Progresif, Dan Teori Hukum Integratif)’ (2013) 13 Al-Risalah, Jurnal Ilmu Hukum 139, 142.
Teori hokum integratif merupakan konsep hokum baru yang ditawarkan Prof.
Dr. Romli Atmasasmita, SH, LL.M. Ada beberapa inti pokok dari konsep hokum ini,
yaitu:
15
Satjipto Rahardjo, ‘Hukum Progresif: Hukum Yang Membebaskan’ (2005) 1 Jurnal Hukum Progresif 3.
Sistem hukum nasional yang representative memang belum kita miliki, namun
bukan berarti bangsa kita tidak memiliki idealitas dan tidak berupaya
mewujudkannya, pemerintah dan dunia kampus telah mengadakan ragam
perjamuan ilmiah yang berskala lokal maupun nasional guna merumuskannya, para
pakar hukum pun demikian, misalnya saja Arief Sidharta mengusulkan tatanan
hukum nasional seharusnya mengandung ciri:
Dalam beberapa hal pemerintah tak periu terlalu legalistik dalam melihat hak
asasi manusia. Pendekatan moralistik bisa pula digunakan karena pendekatan ini
akan lebih mengena dalam membangun suatu 'human rights conciousness'.
Bagaimanapun kita periu menyadari bahwa menjamurnya penggunaan kosa kata
hak asasi manusia disamping itu suatu langkah spektakuler kemajuan, tetapi juga
bisa berbahaya karena bukan saja dapat menjadi 'inflationary' namun sekaligus
dikooptasi atau dibajak oleh kekuatan-kekuatan yang dalam dirinya menolak hak
asasi manusia.17
16
M Sularno, ‘Syariat Islam Dan Upaya Pembentukan Hukum Positif Indonesia’ (2006) 16 Al-Mawarid
211, 216.
17
Todung Mulya Lubis, ‘Menegakkan Hak Asasi Manusia, Menggugat Deskriminasi’ [2009] Jurnai Hukum
dan Pembangunan Tahun ke-39 59.
18
Nyoman Serikat Putra Jaya, ‘Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional’ (2016) 45 Masalah-Masalah Hukum 123, 124.
Kesimpulan
Konsep negara hukum (Rechstaat atau rule of law) adalah konsep yang
menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam pelaksanaan kehidupan
berbangsa bernegara, bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum. Tujuan
hukum tidak lain menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat secara umum.
Kesejahteraan umum selain merupakan tujuan hukum, juga merupakan suatu
prasyarat adanya masyarakat atau negara yang memperhatikan rakyatnya.
Kesejahteraan umum itu meliputi antara lain, keadilan, perdamaian, ketentraman
hidup, keamanan, dan jaminan bagi warganya.
19
Murdan, ‘Pluralisme Hukum (Adat Dan Islam) Di Indonesia’ (2016) 1 Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum
Islam 48.
Agus AA, ‘Eksistensi Masyarakat Adat Dalam Kerangka Negara Hukum Di Indonesia’
Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM
Aiz M, ‘Konstelasi Hukum Adat Dan Hukum Islam Di Masa Penjajahan’ (2010) 1
Maslahah 64
Jaya NSP, ‘Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional’ (2016) 45 Masalah-Masalah Hukum 123
Lubis TM, ‘Menegakkan Hak Asasi Manusia, Menggugat Deskriminasi’ [2009] Jurnai
Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 59
Rosadi O, ‘Hukum Kodrat, Pancasila Dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum
Di Indonesia’ (2010) 10 Jurnal Dinamika Hukum 282