Anda di halaman 1dari 9

JURNAL

KEADAAN PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM INDONESIA

Dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia dari dosen pengampu
kami yaitu:

Endang Herliah M.Pd

DI SUSUN OLEH KELOMPOK GAGAK :

1. IRSYA CHANITA FAUZIAH


2. SUSANTI TIKU LIMBONG
3. INTAN KUMALA SETIANI
4. NUR RAHMAH
5. MUHAMMAD BUDIAN NOOR
6. YUDLIL FIRDAUS
7. INRI TRIYATNI
8. NURANI MAHARANI
9. AYU SEKAR SARASWATI PUTRI

JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS


KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
2021
ABSTRAK

Pluralisme hukum dapat didefinisikan sebagai keberadaan mekanisme-mekanisme hukum yang


berbeda di dalam suatu masyarakat. Pluralisme hukum di Indonesia adalah pemahaman
mengenai keberadaan mekanisme-mekanisme hukum yang berbeda yang ada di masyarakat di
Indonesia. Pluralisme hukum muncul disaat berkembangnya pemikiran para ahli antropolog
bahwa sentralisme hukum (hukum negara) bukan satu-satu nya hukum yang mengatur kehidupan
masyarakat.

Karena pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki
kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Pluralisme hukum juga
muncul di Indonesia karena adanya kemajemukan budaya. Itu dibuktikan dengan adanya
semboyan “Bhineka Tunggal Ika, yaitu berbeda-beda tapi tetap satu”. Berbeda dalam cakupan ini
meliputi, ras, etnik, suku, agama, budaya, dan sebagainya adalah yang menjadi bukti dari
kemajemukan budaya. Secara sederhana, pluralisme hukum hadir sebagai kritikan terhadap
sentralisme dan positivisme dalam penerapan hukum kepada rakyat.

Terdapat beberapa jalan dalam memahami pluralisme hukum. Pertama, pluralisme hukum
menjelaskan relasi berbagai sistem hukum yang bekerja dalam masyarakat. Kedua, pluralisme
hukum memetakan berbagai hukum yang ada dalam suatu bidang sosial. Ketiga, menjelaskan
relasi, adaptasi, dan kompetisi antar sistem hukum. Keempat, pluralisme hukum memperlihatkan
pilihan warga memanfaatkan hukum tertentu ketika berkonflik. Namun, hal menarik tentang
pluralisme hukum bukan hanya terletak pada keanekaragaman sistem normatif tersebut,
melainkan pada fakta dan potensi untuk saling bersitegang sehingga menciptakan ketidakpastian.

Kata Kunci : Pluralisme, Sentralisme Hukum, Bhineka Tunggal Ika


A. PENDAHULUAN
Indonesia, salah satu negara yang terkenal dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia
dengan keragaman etnis, agama, dan suku bangsa, telah memilih sistem hukum campuran.
Istilah pluralisme hukum secara luas digunakan sejak awal abad 20, dalam banyak kasus
berpotensi ditafsirkan dan diterapkan secara berbeda. Sebagai suatu konsep akademik,
pengertian pluralisme hukum terus berubah dan terus dipertajam.

Karakteristik pluralisme juga terjadi dalam domain hukum. Selama berabad-abad, sistem
hukum Islam, sistem hukum Adat dan sistem hukum Barat telah mempengaruhi bangunan
sistem hukum di Indonesia. Ketiga sistem hukum tersebut, telah mempengaruhi dan
mengubah sistem hukum yang lebih plural sepanjang waktu hingga sekarang ini. Salah satu
contoh konflik hukum yang nyata dan sekaligus contoh yang berulang dikemukakan adalah
konflik hukum adat dan hukum negara. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UU Pokok
Agraria) dengan jelas memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat dalam
penguasaan tanah dan SDA, tetapi masih ada regulasi lain yang menegasikan prinsip tersebut,
UU Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999) misalnya yang mengakui keberadaan hutan adat,
akan tetapi UU tersebut menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara.

Hal ini seolah menegaskan bahwa munculnya penolakan terhadap hukum negara bukan
sekedar persoalan keterbatasan pemahaman atau ketidaksadaran hukum masyarakat, tetapi
lebih dari itu adalah karena ketidaksediaan rakyat menaati hukum yang berbeda dengan
keseharian mereka.

Secara substansi hukum negara mengakui keragaman hukum yang hidup dalam keseharian
masyarakat, dan secara strategi pembangunan hukum, negara harus menitikberatkan
pengenalan hukum pada masyarakat ketimbang memaksakan keberlakuan hukum negara
tersebut. Dalam konteks ini lah, pendekatan pluralisme hukum dalam pembentukan hukum
nasional dan pengenalan hukum menjadi amat penting.

Beranjak dari kondisi tersebut, muncul pertanyaan apakah yang dapat dilakukan untuk
mendamaikan kedua hukum tersebut atau setidaknya mempersempit kesenjangan diantara
kedua hukum itu. Menjawab pertanyaan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan bahkan
sejak masa kolonial, secara substansi hukum negara mengakui keragaman hukum yang hidup
dalam keseharian masyarakat, dan secara strategi pembangunan hukum, negara harus
menitikberatkan pengenalan hukum pada masyarakat ketimbang memaksakan keberlakuan
hukum negara tersebut. Dalam konteks ini lah, pendekatan pluralisme hukum dalam
pembentukan hukum nasional dan pengenalan hukum menjadi amat penting.
B. PEMBAHASAN

Pluralism hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat Indonesia yang
sangat plural dan beragama. Era kolonialisme corak pluralisme hukum di Indonesia lebih
didominasi oleh peran hukum Adat dan hukum Agama, namun pada era kemerdekaan Pluralisme
hukum di Indonesia lebih dipicu oleh peran Agama dan Negara, Hukum Adat pada era
kemerdekaan tidak begitu mendapatkan legalitas positifistik dari Negara, namun berbanding
terbalik dengan hukum Agama yang menjadi sentral dalam perundang-undangan perkawinan di
Indonesia. Menariknya, meskipun hukum adat tidak mendapatkan legalitas dari Negara, namun
tetap hidup atau dipraktikkan secara terusmenerus oleh masyarakat Adat di Indonesia. Secara
terminology pluralisme berasal dari bahasa Inggris: pluralism, terdiri dari dua kata plural
(beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham
untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu (bermakna lebih dari satu).

Pluralisme hukum dapat didefinisikan sebagai keberadaan mekanisme-mekanisme hukum yang


berbeda di dalam suatu masyarakat. Terdapat dua jenis pluralisme hukum. Yang pertama adalah
"pluralisme hukum negara", yaitu ketika dua sistem norma berlaku sebagai hukum negara.
Contohnya adalah hukum adat dan hukum tertulis yang berlaku sebagai hukum negara di Afrika
pada masa penjajahan. Sementara itu, jenis pluralisme hukum yang kedua adalah deep legal
pluralism, yaitu ketika terdapat tatanan norma di luar hukum negara yang berlaku di masyarakat.

Pluralisme hukum di Indonesia ini berupa hukum Keperdataan, hukum Pidana, hukum Adat,
hukum Tata Negara, hukum Administrasi Negara, hukum Internasional serta hukum-hukum
lainnya. Secara sederhana, pluralisme hukum hadir sebagai kritikan terhadap sentralisme dan
positivisme dalam penerapan hukum kepada rakyat. Pluralisme hukum muncul disaat
berkembangnya pemikiran para ahli antropolog bahwa sentralisme hukum (hukum negara) bukan
satu-satu nya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Karena pemberlakuan sentralisme
hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya
merupakan sebuah kemustahilan (Griffiths).

Pluralisme hukum juga muncul di Indonesia karena adanya kemajemukan budaya. Itu dibuktikan
dengan adanya semboyan “Bhineka Tunggal Ika, yaitu berbeda-beda tapi tetap satu”. berbeda
dalam cakupan ini meliputi, ras, etnik, suku, agama, budaya, dan sebagainya adalah yang
menjadi bukti dari kemajemukan budaya. Keragaman ini lah yang menghimpun menjadi
kesatuan bangsa Indonesia dan dilindungi dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam keberagaman ini, pasti memunculkan potensi konflik, atas pemikiran atau pandangan
yang berbeda-beda dari masyarakat Indonesia, maka di munculkan lah suatu istilah bernama
hukum untuk memberikan arahan perilaku masyarakat.
Pluralisme hukum boleh dikatakan menjadi jawaban terhadap kekurangan yang ditemui pada
cara pandang sistem hukum nasional di Indonesia yang cenderung sentralistik. Hal ini bisa
dilihat dari beberapa kebijakan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengandung
ide pluralisme hukum di dalamnya. Contoh klasik adalah UU Agraria yang secara jelas
menyebut pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat dan tanah ulayat. Pada
perkembangannya, tidak saja di tingkat nasional tetapi juga di tingkat daerah juga bermunculan
peraturan daerah yang mencoba mengakui atau mengintegrasikan keberagaman hukum di tingkat
lokal seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah dan otonomi khusus. Sebagai contoh,
maraknya pembentukan perda syariah di daerah, qanun di Aceh, dan pembentukan lembaga-
lembaga adat yang diakui sebagai media penyelesaian sengketa adat.

Pluralisme Hukum
Pluralisme Hukum Pluralisme berasal dari bahasa Inggris pluralism, terdiri dari dua kata plural
(beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham
Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu (bermakna lebih dari satu). Sedangkan pengertian
hukum adalah peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh
penguasa atau pemerintah. Jadi Pengertian Pluralisme Hukum adalah Pluralisme hukum (legal
pluralism) diartikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari
satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial.

Pluralisme Hukum Indonesia


Pada masa Nabi Muhammad, ajaran syariah yang bersumber dari al-Qur’an dijadikan sebagai
pondasi sentral untuk diterapkan kepada semua warga negara Madinah yang terdiri dari beragam
etnis, warna kulit dan suku. Masyarakat Madinah pada saat iti adalah masyarakat plural dan
hukum yang berlaku adalah hukum yang bersifat universal, seperti keadilan, persamaan,
kebebasan, dan persaudaraan. Berdasarkan catatan sejarah, konsep pluralisme hukum telah
dipraktekkan Nabi saw. sebagai penguasa masyarakat plural, masing-masing mereka melekat
hukum-hukum yang berlaku dalam tradisi Arab jahiliyah.

Pluralisme hukum tidak hanya sebatas wacana akademik dipandang sebagai sesuatu yang baru di
zaman modern, paling tidak pendekatan dan sistem sosial masyarakat turut membedakan ajaran
pluralisme hukum pada masa Nabi dengan konsep pluralisme hukum di abad modern. Fakta
sejarah membuktikan adanya sebuah dokumen resmi yang memuat ajaran pluralisme hukum
yang dijadikan pegangan dan dasar oleh Nabi untuk menggambarkan bekerjanya sistem hukum
yang hidup pada saat itu. Pada masa ini sistem hukum yang berlaku tidak terbatas pada hukum
alQur’an (Islam), akan tetapi sistem hukum agama selain Islam, termasuk hukum adat
keberadaannya diakui dan dijamin oleh Nabi sebagai kepala Negara.
Realitas sejarah lainnya menunjukkan bahwa masyarakat Madinah adalah masyarakat plural,
yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai penguasa sekaligus pemimpin warga negara
Madinah memberi kebebasan kepada warganya melaksanakan sistem nilai yang telah berjalan
dan melekat pada setiap warga. Keberhasilan Nabi menyatukan sejumlah kepentingan suku-suku
Arab, tanpa memarjinalisasikan kepentingan kelompok atau suku tertentu saja, serta melahirkan
masyarakat berperadaban atau masyarakat ideal menjadi inspirasi pemikir Barat untuk
menggagas kembali peradaban masyarakat modern, yang dikenal dengan istilah civil society.
Konsep ini selanjutnya berkembang di abad modern yang dikemas dalam bentuk pluralisme,
demokrasi, reformasi, dan penguatan masyarakat sipil.

Pluralisme hukum di Indonesia mulai disadari sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Fakta
masyarakat pribumi yang mempraktikkan beragam hukum, menuntut pemerintahan Hindia
Belanda untuk memberlakukan hukum yang sama bagi semua masyarkat Pribumi.

Gerakan Pluralisme Hukum di Indonesia


Perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan perubahan hukum muncul melalui advokasi-
advokasi terhadap masyarakat adat. Dalam konteks ini pluralisme hukum dipakai untuk membela
tanah-tanah masyarakat yang diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta (Simarmata, 2005).

Hukum adat ditampilkan sebagai lawan dari hukum negara yang memberi keabsahan
perampasan-perampasan tanah adat. Lagi pula, dalam UUPA ada peluang melalui aturan yang
mengakui keberadaan tanah-tanah adat (ulayat). Singkatnya, konsep pluralisme hukum dipakai
untuk mengangkat kembali keberadaan hukum adat, dalam upaya untuk melindungi sumber daya
alam yang dimiliki masyarakat adat dari perampasan-perampasan yang diabsahkan hukum
negara.

Lebih jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong pengakuan keberadaan masyarakat
adat oleh negara. Salah satu keberhasilan gerakan ini adalah menggolkan aturan mengenai
pengakuan dan penghormatan kesatuankesatuan masyarakat hukum adat hak-hak tradisionalnya
dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen kedua tahun 2000.

Selain itu, kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria, yang di
dalamnya diatur juga tentang masyarakat adat, juga tidak terlepas dari pengaruh pluralisme
hukum. Sejak munculnya aturan ini, hampir semua produk hukum negara yang berkaitan dengan
sumber daya alam memuat aturan mengenai masyarakat adat ini. Di tataran praktis, gerakan
untuk mendorong pengakuan masyarakat adat semakin masih dilakukan aktivis-aktivis pro-
masyarakat adat. Di antaranya dengan melakukan pemetaan wilayah-wilayah adat di sejumlah
tempat dan pendokumentasian hukum-hukum adat. Karena, dua hal inilah yang menjadi syarat
utama untuk diakuinya keberadaan masyarakat adat. Selain itu, gerakan ini juga mendorong
pemerintah-pemerintah daerah mengakui masyarakat adat melalui pembentukan sejumlah
regulasi daerah.

Di sisi lain, pemberlakuan otonomi daerah juga semakin memberi angin segar untuk gerakan ini.
Lebih jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah ranah
penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan terhadap lembaga-lembaga
penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu jawaban terhadap
situasi lembaga penyelesaian sengketa negara (pengadilan) yang bobrok, yang dinilai tidak dapat
memberikan keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan untuk membiarkan masyarakat
menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat tanpa melalui melibatkan pengadilan.

MACAM-MACAM HUKUM DI INDONESIA


1. Hukum Adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam kehidupan masyarakat. Sejak manusia
itu di turunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya dalam aturan hukum adat
yang berada di lingkunganya. Maka hukum adat itu lahir adanya suatu masyarakat yang
berada di suatu lingkungan hidupnya.

2. Hukum Islam Secara umum hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama
Islam yang berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits. Hukum Islam ini baru dikenal di
Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air, namun belum ada kesepakatan para
ahli sejarah Indonesia mengenai ketepatan masuknya Islam ke Indonesia

3. Hukum Barat merujuk kesuluruh sistem hukum yang saat ini diterapkan pada sebagian besar
negara eropa barat, amerika latin, negara negara timur dekat dan sebagian besar wilayah
afrika, indonesia dan jepang. Sistem yang dikembangkan di inggris karena didasarkan atas
hukum asli rakyat Inggris karena didasarkan atas hukum asli rakyat Inggris.

KONSEP PLURALISME HUKUM PANCASILA


Indonesia saat ini menganut politik hukum yang plural. Kebhinekaan masyarakat mencerminkan
pluralitas Indonesia. Kondisi tersebut telah menempatkan Pancasila pada posisi yang sentral
dalam pembangunan hukum. Sistem hukum Pancasila memberikan karakteristik tertentu
terhadap pluralisme hukum, seperti:

a. Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
menghormati ketertiban hidup beragama, rasa keagamaan dan agama sebagai kepentingan yang
besar;
b. Menghormati nilai-nilai hak asasi manusia, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, dan dalam kerangka hubungan antar bangsa harus menghormati the
rights to development;

c. Harus mendasarkan persatuan nasional pada penghargaan terhadap konsep civic nationalism,
yang mengapresiasi pluralisme;

d. Harus menghormati core values of democracy sebagai alat audit demokrasi;

e. Harus menempatkan legal justice dalam kerangka social justice dan dalam hubungan antar
bangsa berupa prinsip-prinsip global justice.

Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa berfungsi mengharmonisasikan nilainilai pluralisme


dengan muatan tatanan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Untuk itu, dalam pembangunan
hukum nasional berdasar Pancasila tersebut perlu tetap berpijak pada nilai-nilai kearifan lokal
sebagai nilai-nilai unggulan dan mengakomodasi pluralisme yang ada di Indonesia.
C. PENUTUP
Pluralisme hukum di Indonesia adalah pemahaman mengenai keberadaan mekanisme-
mekanisme hukum yang berbeda yang ada di masyarakat di Indonesia. Pluralisme hukum di
Indonesia ini berupa hukum Keperdataan, hukum Pidana, hukum Adat, hukum Tata Negara,
hukum Administrasi Negara, hukum Internasional serta hukum-hukum lainnya. Secara
sederhana, pluralisme hukum hadir sebagai kritikan terhadap sentralisme dan positivisme
dalam penerapan hukum kepada rakyat.

Serta pluralisme hukum munculnya suatu ketentuan atau sebuah aturan hukum yang lebih
dari satu di dalam kehidupan sosial. Kemunculan dan lahirnya pluralisme hukum di
indonesia di sebabkan karena faktor historis bangsa indonesia yang mempunyai perbedaan
suku, bahasa, budaya, agama dan ras. Tetapi secara etimologis bahwa pluralisme memiliki
banyak arti, namun pada dasarnya memiliki persamaan yang sama yaitu mengakui semua
perbedaanperbedaan sebagai kenyataan atau realitas. Dan di dalam tujuan pluralisme hukum
yang terdapat di indonesia memiliki satu cita-cita yang sama yaitu keadilan dan
kemaslahatan bangsa.

Konsep pluralisme hukum terus berkembang dari waktu ke waktu seiring berkembangnya
peradaban masyarakat, diawali dengan konsep pluralisme hukum klasik kemudian lahir pula
konsep pluralisme hukum baru. Dalam konteks keIndonesia-an, dikenal konsep pluralisme
hukum Pancasila yang bertumpu pada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan asas
Bhineka Tunggal Ika.

D. DAFTAR PUSTAKA
Sunaryo. “Globalisasi Dan Pluralisme Hukum Dalam Pembangunan Sistem Hukum
Pancasila.” Masalah-Masalah Hukum 42, no. 4 (2013): 535–541.
Nasution, Adelina. 2018. “Pluralisme Hukum Indonesia” dalam Plurisme Hukum waris di
Indonesia: Jurnal Pluralisme Hukum Indonesia (halaman 1-2).
Harianto, Heru. 23 Februari 2021. “Pluralisme hukum Indonesia” dalam Pluralisme Hukum
Indonesia.
Saputra, Angga. 2021. “Antropologi Hukum” dalam Keadaan Pluralisme Hukum di
Indonesia Jurnal Pluralisme Hukum.

Anda mungkin juga menyukai