Anda di halaman 1dari 27

IMPLIKASI ALIRAN HUKUM ALAM DALAM UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Diajukan Sebagai Tugas Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah Filsafat Hukum

Dosen : Prof. H. Firman Hasan, SH., LL.M

Dr. Najmi, SH., MH

Oleh:

GUSTIA WULANDARI

2020112034

PROGRAM PASCA SARJANA

MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna diciptakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Manusia dikaruniai akal dan pikiran untuk berpikir,
hati untuk merasakan sesuatu, serta kemampuan berkomunikasi dan berbicara
yang membedakan manusia dengan mahluk lain yang ada di muka bumi ini.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk
lainnya bukan berarti bisa hidup sendiri dan melakukan segala sesuatu sendiri.
Meskipun merupakan makhluk yang paling sempurna, manusia pada dasarnya
juga diciptakan sebagai makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.
Manusia merupakan makhluk sosial yang secara alamiah
membutuhkan orang lain dalam hidupnya mulai dari untuk memenuhi
kebutuhannya sampai untuk meneruskan keturunannya. Adanya kebutuhan
tersebut menimbulkan ketergantungan antara satu orang dengan yang lainnya.
Ketergantungan antara satu dengan yang lain tersebut menimbulkan keinginan
manusia untuk selalu hidup bersama atau hidup berkelompok dengan orang
lain.
Aristoteles mengatakan bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon
yaitu selalu mencari manusia lainnya untuk hidup bersama dan kemudian
berorganisasi. Hidup bersama merupakan suatu gejala yang biasa bagi
seseorang manusia dan hanya manusia-manusia yang memiliki kelainan-
kelainan sajalah yang mampu hidup mengasingkan diri dari orang-orang
lainnya.1 Kebutuhan manusia untuk hidup bersama orang lain inilah yang
kemudian menjadi salah satu faktor pendorong manusia untuk melakukan
perkawinan.
Ditinjau dari segi agama pun, perkawinan dinyatakan memang sudah
menjadi kodrat manusia. Dalam agama Islam dikatakan bahwa setiap manusia
diciptakan berpasang-pasangan maka sudah kodratnya jika pria dan wanita
saling mengikatkan diri dalam suatu perkawinan. Bahkan melangsungkan
perkawinan dinilai sebagai suatu ibadah yang akan mendatangkan pahala yang

1
Lili Rasyidi, 1982, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia,
Alumni, Bandung, hlm. 1.

1
besar bukan hanya sebagai sarana untuk melampiaskan hawa nafsu seksual
saja. Akan tetapi merupakan ibadah seumur hidup yang bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Perkawinan bukan hanya merupakan masalah sosial yang memiliki
aspek sosiologis, tetapi juga terkait dengan konteks budaya dan pemahaman
agama. Oleh karena itu, pernikahan adalah suatu lembaga sosial sekaligus
lembaga keagamaan. Pernikahan merupakan sunnatullah yang mengatur tata
kehidupan manusia, baik perorangan maupun kelompok. Dilihat dari sisi
sosiologis, pernikahan adalah suatu bentuk kerjasama kehidupan antara pria
dan wanita dalam kehidupan suatu masyarakat di bawah suatu peraturan khas
(khusus) yang memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu pria bertindak sebagai suami,
dan perempuan bertindak sebagai istri, yang keduanya dalam ikatan yang sah.
Dengan pernikahan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan dipandang
terhormat sebagai manusia yang beradab.
Perkawinan tidak hanya dianggap sebagai perikatan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang bernilai ibadah namun lebih dari itu,
suatu perkawinan dianggap sebagai suatu perbuatan hukum yang untuk
pelaksanaannya terikat dengan peraturan-peraturan tertentu agar suatu
perkawinan tersebut mempunyai legitimasi menurut hukum negara sehingga
segala dampak atau akibat yang ditimbulkan dari perkawinan tersebut pun juga
bisa diakui dan dianggap sah oleh negara karena salah satu dimensi kehidupan
yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia dan selalu menimbulkan
pertanyaan yang tidak pernah ada habisnya adalah hukum sebagaimana
pepatah Ubi societas, Ibi Ius yang artinya dimana ada masyarakat, disana ada
hukum. Hukum tidak lagi bertindak hanya sebagai formalitas demi terciptanya
keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara namun hukum
telah menjadi suatu kebutuhan mendasar yang didambakan kehadirannya
sebagai alat pengatur kehidupan, baik dalam kehidupan individual, kehidupan
sosial maupun kehidupan bernegara.
Kebutuhan akan adanya suatu hukum yang mengatur inilah termasuk
didalamnya pengaturan atau pembentukan hukum yang khusus mengatur
mengenai perkawinan. Untuk menjawab kebutuhan akan adanya hukum

2
dibutuhkan peran-peran dari berbagai cabang ilmu termasuk peran salah satu
cabang filsafat yakni filsafat hukum untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
mengenai hukum seperti yang dikatakan Satjipto Rahardjo bahwa filsafat
hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari
hukum, pertanyaan tentang hakikat hukum tentang dasar-dasar bagi kekuatan
mengikat dari hukum.2 Akan tetapi dalam perkembangannya terjadi dinamika
dalam pemikiran-pemikiran para filsuf untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut sehingga menimbulkan perubahan-perubahan atau pergeseran
pandangan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Oleh karena itu
dikenallah berbagai aliran hukum dalam filsafat hukum diantaranya aliran
hukum alam, positivisme hukum, utilitarianisme, mazhab sejarah, sosiological
jurisprudence, dan realisme hukum.
Salah satu wujud hukum yang selalu berkembang dan membutuhkan
pemikiran mendasar untuk menjawab ataupun mewujudkannya adalah
peraturan perundang-undangan. Untuk membuat suatu peraturan perundang-
undangan yang baik dan bisa diterima oleh semua kalangan membutuhkan
kajian yang sangat mendalam mulai dari pengusulannya, perumusan isi
maupun bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, kemudian
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan sampai akhirnya
disahkan oleh pejabat yang berwenang dan diberlakukan di tengah-tengah
masyarakat, membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan juga membutuhkan
banyak ahli yang terlibat untuk mengkaji agar suatu aturan tersebut tidak
sekadar bisa diberlakukan menjadi hukum positif yang berlaku akan tetapi juga
tetap sesuai atau mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di
masyarakat.
Di Indonesia sendiri, perkembangan hukumnya tidak terlepas dari
sejarah yang telah berjalan cukup lama. Hukum Indonesia secara keseluruhan
masih menggunakan hukum yang berasal dari negara kolonialnya, yaitu Negara
Belanda. Bahkan sistem hukum yang diterapkan di Indonesia juga mengacu
pada sistem hukum yang juga diterapkan di negara Belanda, yakni Sistem
Hukum Eropa Kontinental. Sistem Hukum Eropa Kontinental lebih

2
Satjipto Rahardjo, 1986, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 20.

3
menekankan kepada hukum yang tertulis, dan perundang-undangan menduduki
peran penting dalam sistem hukum ini. Oleh karenanya pembangunan hukum
di Indonesia lebih dikedepankan pada pembentukan peraturan perundang-
undangan karena di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-
undangan, yurisprudensi juga berperan namun tidak seberapa.
Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya, sistem hukum
yang saat ini berlaku di Indonesia, tampak adanya perpaduan antara satu sistem
hukum dengan sistem yang lainnya. Indonesia tidak hanya menggunakan
sistem hukum eropa kontinental saja, tetapi juga telah mengalami
perkembangan dalam sistem hukumnya.3 Indonesia tidak lagi hanya
mengedepankan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum yang
berlaku tapi melakukan pembaharuan di bidang hukum dengan memperhatikan
arah bentuk atau nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Seperti layaknya
hukum yang mengatur mengenai perkawinan di Indonesia yang beberapa kali
mengalami perubahan sehingga akhirnya disahkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang
Perkawinan).
Pada awalnya, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan,
mengenai ketentuan, tatacara dan sahnya suatu perkawinan bagi orang
Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum agama dan hukum adat
masing-masing. Menurut hukum adat, perkawinan adalah suatu ikatan antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga
yang dilaksanakan secara adat dan agamanya dengan melibatkan keluarga
kedua belah pihak saudara maupun kerabat. Namun setelah berlakunya
Undang-Undang Perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam perkawinan
di Indonesia.
Sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan, perkawinan
sebenarnya telah diatur dalam suatu aturan sebagaimana terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dalam Bab IV dalam Pasal 26 sampai dengan
Pasal 289. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan terjemahan

3
Marsudi Dedi Putra, Kontribusi Aliran Sociological Jurisprudence Terhadap
Pembangunan Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Volume 16, Nomor 2, hlm. 47

4
dari peninggalan hukum yang dibentuk oleh Belanda ini sebenarnya telah
mengatur secara rinci mengenai seluk beluk perkawinan hanya saja ada
beberapa pasal yang dirasa oleh pemerintah Indonesia tidak sesuai dengan
nilai-nilai bangsa seperti dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menyatakan bahwa “Undang-undang memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata” sedangkan sebagai
negara yang memiliki ideologi Pancasila dan mempercayai Tuhan, hal ini
dirasa tidak lagi cocok dengan nilai-nilai bangsa Indonesia dimana Pasal 26
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini hanya memandang perkawinan
sebagai suatu hubungan keperdataan, tidak lebih dari itu. Sedangkan
berdasarkan ajaran agama, perkawinan dianggap sebagai suatu ikatan suci yang
tidak boleh dipermainkan.
Dalam agama Islam, perkawinan disebut sebagai sunnatullah, ibadah
seumur hidup, dan penyempurna separuh agama. Pun demikian dalam ajaran
agama kristen, perkawinan didefinisikan sebagai lembaga yang diciptakan dan
merupakan inisiatif Allah sendiri. Allah berinisiatif menjodohkan Adam dan
Hawa dan mengikatkan keduanya dalam sebuah ikatan pernikahan yang
kudus.4 Begitu juga bagi umat Hindu perkawinan tidak hanya dianggap sebagai
penyatuan antara seorang pria dan wanita dengan tujuan hidup sebagai suami
dan istri atau hanyalah hubungan antara seorang pria dan wanita yang hidup
bersama-sama, menghasilkan anak-anak dan membina keluarga. Lebih dari itu,
perkawinan merupakan ikatan yang jauh lebih dalam. Hubungan fisik
merupakan bagian penting dari perkawinan yang juga sama pentingnya adalah
ikatan emosional yang akan membawa pasangan tersebut menuju ikatan
spiritual. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat
5
Hindu karena merupakan sabda Tuhan. Hal yang sama pun diatur dalam
ajaran agama Buddha, yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah suatu
ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai
istri berlandaskan pada Cinta Kasih (Maitri), Kasih Sayang (Karuna), Rasa
Sepenanggunan (Mudita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga

4
Noeroel Moearifah dan Mukayat Al-Amin, AL-Hikmah: Jurnal Studi Agama-Agama,
Volume 1 Nomor 2 Tahun 2015, hlm. 5
5
http://digilib.uinsby.ac.id/11239/5/babii.pdf diakses tanggal 24 Januari 2021

5
(rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa dan Sang
Triratna.6
Makna perkawinan dari berbagai sudut pandang agama seperti agama
Islam, agama Kristen, agama Hindu, dan agama Buddha tersebut menunjukkan
bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan atau hubungan yang sakral antara
dua orang yang melakukannya karena merupakan kodrat manusia yang telah
diatur oleh Tuhan bukan sekadar ikatan keperdataan antar dua orang yang
sepakat melaksanakannya namun juga suatu bentuk ibadah atau ikatan
keagamaan. Oleh karena itulah, pada tahun 1974, disahkan undang-undang
baru yang mengatur mengenai perkawinan di Indonesia yakni Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dengan adanya undang-undang
tersebut, ketentuan lama yang mengatur mengenai perkawinan sebagaimana
yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dicabut dan
dinyatakan tidak lagi berlaku. Dengan demikian, semenjak berlakunya
Undang-Undang Perkawinan, perkawinan tidak lagi dianggap hanya sebagai
hubungan keperdataan saja namun mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan agama/kerohanian. Masalah perkawinan telah dianggap sebagai
perbuatan suci yang mempunyai hubungan erat sekali dengan
agama/kerohanian. Perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahiriah/jasmani
tetapi juga unsur rohani yang mempunyai peranan penting.
Disamping itu, dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan,
pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua
warga negara oleh karena itu, setiap warga negara harus patuh terhadap hukum
yang berlaku, termasuk terhadap Undang-Undang Perkawinan yang menjadi
landasan untuk menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga,
harta benda, dan akibat hukum dari suatu perkawinan.7
Perubahan terhadap aturan mengenai perkawinan di Indonesia
merupakan suatu bentuk respon terhadap suatu aturan yang dinilai tidak lagi
cocok dengan nilai-nilai dan identitas bangsa Indonesia oleh karenanya hukum
itu harus diubah. Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap perkembangan
masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau menyesuaikan diri
6
http://digilib.uinsby.ac.id/899/5/Bab%204.pdf diakses tanggal 24 Januari 2021
7
K. Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 3

6
dengan keadaan yang telah berubah, sesungguhnya terdapat dalam alam pikiran
manusia Indonesia. Karena hukum itu tidak memiliki sifat tertutup namun
sangat dipengaruhi oleh ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya. Tidak hanya
sekedar kemauan pemerintah. Suatu logika yang terbuka, perkembangan
kebutuhan masyarakat sangat mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam
masyarakat.8
Pembentukan Undang-Undang Perkawinan pada tahun 1974 oleh para
pakar-pakar hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari aliran-aliran filsafat
hukum. Dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tampak peranan aliran
hukum alam dalam ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya. Selain dengan
tegas menyatakan perkawinan sebagai ikatan lahir batin, Undang-Undang
Perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) nya juga menyatakan bahwa perkawinan
yang sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaan
masing-masing. Selain itu banyak isi pasal-pasal lain dalam Undang-Undang
Perkawinan dibuat sesuai dengan ajaran agama. Ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan mengamini ketentuan ajaran
agama yang bersumber dari Tuhan. Hal ini sesuai dengan aliran hukum alam
yang menjadikan hukum yang bersumber dari Tuhan dan akal budi manusia
sebagai hukum yang bersifat universal, kekal dan abadi yang tidak terikat oleh
waktu dan tempat sebagai hukum yang menyalurkan kebenaran dan keadilan
dalam tingkatan semutlak-mutlaknya kepada segenap umat manusia.9
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun yang menjadi rumusan
masalah adalah sebagai berikut:
1. Apa saja aliran yang ada dalam filsafat hukum?
2. Bagaimana implikasi aliran hukum alam dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan?

8
Marsudi Dedi Putra, Op.Cit., hlm. 51.
9
Lili Rasyidi, 1994, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya,
Bandung, hlm. 17

7
B. Pembahasan
1. Aliran-aliran dalam filsafat hukum
Pemikiran hukum ditandai dengan perkembangan pemikiran dalam aliran-aliran
filsafat hukum. Kemunculan suatu aliran hukum merupakan respon atau kritik terhadap
aliran hukum sebelumnya, atau ia muncul sebagai respon terhadap perkembangan sosial
masyarakat pada masa itu.
Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan
pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Perkembangan aliran
pemikiran atau mazhab-mazhab tersebut mempunyai ciri dan saling berdialektika dalam
memecahkan problematika hukum yang dihadapi pada waktu dan tempat tertentu. Jadi
filsafat tidak sekadar mempelajari hukum secara mendasar sampai kepada hakikat
hukum itu sendiri akan tetapi juga mengkaji apa peranannya sebab filsafat itu bersifat
introspektif artinya filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari
permasalahan yang dihadapi, tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari
permasalahan tersebut.10
Dipaparkannya aliran-aliran filsafat hukum ini, tidak sekedar merupakan “napak
tilas” perjalanan para ahli tersebut. Dengan mengetahui pemikiran-pemikiran tersebut,
kita akan mendapat banyak masukan yang memungkinkan kita untuk menghargai
pendapat orang lain. Sudah menjadi tradisi ilmiah bahwa suatu pemikiran pada saat
tertentu akan terasa tidak sesuai lagi zamannya, dan segera disangkal oleh pemikiran
berikutnya. Sekalipun demikian, pemikiran yang lama tetap menjadi buah karya yang
berharga untuk dikaji ulang terus-menerus, dan boleh jadi suatu saat nanti, kembali
tampil ke depan dengan bentuk baru. Aliran-aliran yang muncul dan berkembang dalam
khazanah pemikiran hukum diantaranya meliputi aliran hukum alam, positivisme
hukum (teori hukum murni), utilitarianisme, mazhab sejarah, sociological
jurisprudence, dan realisme hukum.
a. Aliran hukum alam
Aliran hukum alam merupakan aliran filsafat hukum yang paling tua dan nama
ini masih bertahan sampai sekarang. Aliran ini dimulai oleh para filosof Yunani kuno
kemudian mengalami perkembangan dan perubahan. Aliran hukum alam telah
berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun yang lalu, dan muncul dalam berbagai
bentuk pemikiran.

10
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2013, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat), Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 5

8
Dilihat dari sejarahnya, menurut Friedmann, aliran ini timbul karena kegagalan
umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum alam di sini dipandang
sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi. Bahkan Grotius mengatakan hukum
alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia, hukum
alam sangat kekal sehingga oleh Tuhan pun tidak dapat diubah. 11 Gagasan mengenai
hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat makhluk hidup
akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib
sosial serta tertib hukum eksistensi manusia.12 Menurut St. Thomas dari bukunya yang
berjudul Blackstone disebutkan bahwa : “Hukum alam ini yang seumur dengan
keberadaan umat manusia dan ditetapkan oleh Tuhan sendiri, sudah tentu memiliki
kewajiban yang lebih tinggi dari tiap hukum lain. Hukum alam berlaku di seluruh alam
semesta, di semua negara, dan di setiap waktu, hukum buatan manusi tidak boleh
bertentangan dengannya. Semua hukum buatan manusia bergantung pada landasan dari
hukum Tuhan dan hukum alam.13
Hukum alam digambarkan sebagai hukum yang berlaku abadi sebagai hukum
yang norma-normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Adil, dari alam semesta dan dari
akal budi manusia, sebagai hukum yang kekal dan abadi yang tidak terikat oleh waktu
dan tempat sebagai hukum yang menyalurkan kebenaran dan keadilan dalam tingkatan
semutlak-mutlaknya kepada segenap umat manusia. 14 Secara sederhana, menurut
sumbernya, aliran hukum alam dapat dibedakan dalam dua macam yaitu :15
 Aliran Hukum Alam Irasional yakni aliran hukum yang berpendapat bahwa hukum
yang berlaku unversal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung.
Pendukung aliran hukum alam irasional antara lain Thomas Aquinas, John Salisbury,
Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wycliffe.
 Aliran Hukum Rasional yakni aliran hukum yang berpendapat bahwa sumber hukum
yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Pandangan yang muncul setelah
zaman Renesanse (era ketika rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan)
berpendapat bahwa hukum alam tersebut muncul dari pikiran manusia sendiri
tentang apa yang baik dan buruk, yang penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan
11
W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum : Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum (Susunan I),
Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 70
12
Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta,
hlm. 5-6
13
W. Friedmann, Op.Cit.,hlm. 91
14
Lili Rasyidi, 1994, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Ibid.
15
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1999, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 102-103

9
(moral) alam. Pendukung aliran hukum alam rasional antara lain Hugo de Groot
(Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel von Pufendorf.
b. Positivisme Hukum
Aliran positivisme hukum disebut juga dengan aliran hukum positif.
Positivisme hukum merupakan suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak
mempersoalkan apakah hukum positif itu adil atau tidak adil. Positivisme hukum
memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum
yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Selain itu
dapat juga dikatakan bahwa hukum positif merupakan kebalikan hukum alam.
Dalam aliran positivisme tiada hukum lain, kecuali perintah penguasa bahkan aliran
ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang dan menyatakan satu-satunya
sumber hukum adalah undang-undang. Postivisme hukum dapat dibedakan menjadi
2 (dua corak) yakni :16
 Aliran Hukum Positif Analitis, yang berpendapat bahwa hukum adalah perintah
penguasa. Aliran ini dipelopori oleh John Austin. Austin berpendapat hakikat
hukum adalah perintah dan pihak superiorlah yang menentukan apa yang
diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat.
 Aliran Hukum Murni, dipelopori oleh Hans Kelsen yang menyatakan hukum
harus dibersihkan dari anasir-anasir nonyuridis. Hukum adalah suatu keharusan
yang mengatur tingkah laku manusia. Yang menjadi persoalan dalam hukum
adalah keharusan atau apa hukumnya bukan bagaimana hukum itu seharusnya
atau faktanya.
c. Utilitarianisme
Utilitarianisme atau utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi suatu
hukum dinilai dari apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau
tidak. Kebahagiaan itu selayaknya bisa dirasakan oleh semua orang akan tetapi jika
tidak mungkin tercapai maka diupayakan agar kebahagiaan itu dapat dirasakan oleh
sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (the greatest happiness for the
greatest number of people)17. Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham, John Stuart
Mill, dan Rudolf von Jhering.

16
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Op.Cit., hlm. 113-115
17
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Op.Cit., hlm. 116

10
Menurut teori ini, pokok moralitas dilihat sebagai kebahagiaan makhluk-
makhluk di dunia ini, dan tidak lebih dari itu. Dan manusia diperbolehkan -bahkan
dituntut- untuk melakukan apa yang perlu untuk memperoleh kebahagiaan. 18 Aliran
utilitarianisme terbagi menjadi 2 macam yaitu utilitarianisme perbuatan dan
utilitarianisme aturan. Menururt Toulmin, filsuf Inggris-Amerika, prinsip kegunaan
tidak hanya diterapkan pada salah satu perbuatan melainkan diterapkan juga pada
aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita. Dari sekian banyak
aturan moral, maka yang dipilih adalah aturan moral yang menyumbangkan paling
banyak dan paling berguna untuk kebahagiaan paling banyak orang. Hanya aturan
moral yang demikian itu yang layak dijadikan sebagai aturan moral. Dengan
demikian, utilitarianisme diterapkan pada aturan moral, tidak pada perbuatan moral
satu demi satu.19
d. Mazhab Sejarah
Aliran ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Karl von Savigny, Puchta, dan
Henry Sumner Maine. Menurut aliran ini, hukum itu merupakan pencerminan dari
jiwa rakyat atau yang oleh murid Savigny, yakni Puchta disebut sebagai Volkgeist.
Hukum adalah bagian dari jejak kehidupan dan sekaligus manifestasi karakter suatu
bangsa. Hukum itu disebut tumbuh bersama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada
akhirnya hukum itu akan mati apabila bangsa itu kehilangan kebangsaannya.
Savigny juga menegaskan bahwa hukum bukan merupakan sebuah fenomena dari
sekumpulan formula verbal yang berdiri sendiri dari sejumlah nilai-nilai ideal
universal atau sebuah proposisi natural. Savigny meyakini bahwa hukum memiliki
sejarah dan tahap-tahap pertumbuhannya sendiri. Oleh karena itu mazhab sejarah
menekankan kepada penggalian dan kajian yang mendalam mengenai asal mula
hukum dan transformasinya dikarenakan hukum adalah sesuatu yang senantiasa
berubah dan berevolusi. Apa yang benar menurut hukum juga benar menurut sejarah
hukum.20
Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah merupakan reaksi
tidak langsung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif. Hal
pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah pemikiran Montesqueu
dalam bukunya “L’ esprit des Lois” yang mengatakan tentang adanya keterkaitan
18
http://digilib.uinsby.ac.id/672/5/Bab%202.pdf diakses tanggal 24 Januari 2021
19
K. Berten, 2007, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 235
20
Atip Latipulhayat, Friedrich Karl Von Savigny, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Volume
2 Nomor 1 Tahun 2015, hlm. 202

11
antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Selain dipengaruhi oleh pemikiran
Montesque lahirnya mazhab sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat
nasionalisme Jerman yang mulai muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan
moment (semangat nasionalisme), Savigny menyarankan penolakan terhadap
gagasan Tibhaut tentang kodifikasi hukum yang tersebar dalam pamfletnya “Uber
Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur
Deutschland” (Keperluan akan adanya kodefikasi hukum perdata negara Jerman). 21
Penganut aliran sejarah percaya bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan ditemukan
dalam masyarakat. Menurut penganut mazhab sejarah ini, hukum yang benar-benar
hidup hanyalah hukum kebiasaan dan mereka tidak percaya pada pembuatan undang-
undang ataupun pada kodifikasi.
e. Sociological Jurisprudence
Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak mengatakan
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai
yang hidup di dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum
positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul
dari proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum yang memandang tiada
hukum kecuali perintah penguasa dan (antitesis) mazhab sejarah yang sebaliknya,
memandang bahwa hukum itu tidak dibuat tapi tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat. Tokoh penganut aliran ini diantaranya adalah Roscoe Podund dan
Eugen Ehrlich.22
Tokoh utama aliran Sociological Jurisprudence, Roscoe Pound menganggap
bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial dan alat kontrol masyarakat (Law as a
tool of social engineering and social control) yang bertujuan menciptakan harmoni
dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan
manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang
harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat
yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa
yang dilakukan oleh penguasa negara. Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living
law merupakan sintesis dari positivisme hukum dan mazhab sejarah. Maksudnya,
kedua aliran tersebut ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi

21
Lili Rasyidi, 1996, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 64
22
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Op.Cit. hlm. 126-127

12
ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu
hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji
oleh pengalaman. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh
akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-
undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi
politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.23
Tokoh lain aliran Sociological Jurisprudence adalah Eugen Ehrlich. Ehrlich
mengatakan hukum positif baru akan berlaku efektif apabila berisikan atau selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, , ia beranggapan bahwa hukum tunduk
pada ketentuan-ketentuan sosial tertentu. Hukum tidak mungkin efektif, oleh karena
ketertiban dalam masyarakat didasarkan pengakuan sosial terhadap hukum, dan
bukan karena penerapannya secara resmi oleh Negara. Menurut Ehrlich titik pusat
perekembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim ataupun
ilmu hukum, akan tetapi pada masyarakat itu sendiri.24
f. Realisme Hukum
Aliran ini berkembang dalam waktu yang bersamaan dengan perkembangan
aliran sosiological jurisprudence. Aliran ini disebut juga sebagai bagian dari
positivisme hukum atau neopositivisme. Aliran ini dipelopori oleh John Chipman,
Oliver Wendel Holmes, Karl Liwellyn, Jerome Frank, William James. Dalam
pandangan penganut realisme, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan
alat kontrol sosial.
Gerakan realis mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan
menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Jadi, hal
yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja
tentang hukum. Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam
undang-undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan
oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada kenyataan di
lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika menjatuhkan
putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu
sama dengan apa yang tertulis dalam undang-undang atau aturan lainnya.
Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang
merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
23
Amran Suadi, 2018, Sosiologi Hukum ( Penegakan, Realitas dan Nilai Moralitas Hukum), Kencana,
Jakarta, hlm. 69
24
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Op.Cit., hlm. 127

13
mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada hukum tertulis
yang mengaturnya.25 Ciri-ciri dari aliran ini, diantaranya: 26
 Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja
tentang hukum.
 Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan
sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme
mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada
hukum.
 Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan
yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai
harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama
penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-
keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.
 Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum,
sepanjang ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya
dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima
peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan
dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
 Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat
akibatnya.
2. Implikasi aliran hukum alam dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Sebagai negara hukum, hukum menjadi salah satu dimensi kehidupan
bangsa Indonesia yang merupakan kebutuhan mendasar yang didambakan kehadirannya
sebagai alat pengatur kehidupan, baik dalam kehidupan individual, kehidupan sosial
maupun kehidupan bernegara.
Dalam negara hukum maka negara berfungsi menegakkan keadilan,
melindungi hak-hak sosial dan politik warga negara dari pelanggaran-pelanggaran, baik
yang dilakukan oleh penguasa maupun warga negara sehingga warga negara yang ada
dapat hidup secara damai dan sejahtera. Kepentingan negara haruslah menjadi yang
paling tinggi dikarenakan negara mempunyai kepentingan nasional.
25
Amran Suadi, Op.Cit., hlm. 74
26
Zainuddin Ali, 2009, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 63

14
Hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Indonesia,
senantiasa dihadapkan pada perubahan sosial yang sedemikian dinamis seiring dengan
perubahan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks kehidupan individual, sosial
maupun politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap perkembangan
masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan
keadaan yang telah berubah, sesungguhnya terdapat dalam alam pikiran manusia
Indonesia.Karena hukum itu tidak memiliki sifat tertutup namun sangat dipengaruhi
oleh ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya. Tidak hanya sekedar kemauan
pemerintah. Suatu logika yang terbuka, perkembangan kebutuhan masyarakat sangat
mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam masyarakat.27
Pembangunan hukum di Indonesia lebih dikedepankan pada pembentukan
peraturan perundang-undangan karena di Indonesia yang paling menonjol adalah
perundang-undangan, yurisprudensi juga berperan namun tidak seberapa karena
perkembangan hukumnya tidak terlepas dari sejarah yang telah berjalan cukup lama.
Hukum Indonesia secara keseluruhan masih menggunakan hukum yang berasal dari
negara kolonialnya, yaitu Negara Belanda. Bahkan sistem hukum yang diterapkan di
Indonesia juga mengacu pada sistem hukum yang juga diterapkan di negara Belanda,
yakni Sistem Hukum Eropa Kontinental. Sistem Hukum Eropa Kontinental lebih
menekankan kepada hukum yang tertulis, dan perundang-undangan menduduki peran
penting dalam sistem hukum ini. Oleh karenanya pembangunan hukum di Indonesia
juga lebih mengutamakan pada pembentukan peraturan perundang-undangan. Hampir
semua lini kehidupan dan perbuatan diatur dalam bentuk peraturan perundang-
undangan mulai dari aturan mengenai hak asasi manusia, kebebasan berserikat
berkumpul, pendidikan, pidana, termasuk juga mengenai perkawinan yang aturan
pokoknya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan, pembentukan hukum
perkawinan di Indonesia bisa diklasifikasikan menjadi 3 periode yaitu periode pertama
dimulai dari sebelum kemerdekaan Indonesia sampai dengan tahun 1946, periode kedua
dimulai dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1973, dan periode ketiga dimulai dari
tahun 1974 sampai dengan sekarang.28 Pada kurun waktu sebelum Indonesia merdeka
sampai dengan tahun 1946 adalah masa-masa kelam dan masa-masa perjuangan untuk
27
Marsudi Dedi Putra, Op.Cit., hlm. 51.
28
Ahmad Rivai, dkk, Sejarah Undang-Undang Perkawinan Atas Pendapat Hingga Pertentangan dari
Masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1973-1974, Journal of Indonesian History Volume
4 Nomor 1 Tahun 2015, hlm. 4

15
bangsa Indonesia setelah hampir 350 tahun rakyat Indonesia dijajah oleh bangsa
Belanda. Masa penjajahan selama 350 tahun oleh bangsa Belanda tersebut memang
menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia akan tetapi pada masa itu juga Pemerintah
Kolonial Belanda banyak meninggalkan warisan bagi bangsa Indonesia tidak hanya
berupa gedung-gedung, jalan, atau infrastruktur lain akan tetapi juga berbagai aturan-
aturan hukum yang hingga sekarang juga banyak yang masih digunakan.
Pada era penjajahan sampai dengan tahun 1946 pemerintah kolonial Belanda
telah meninggalkan berbagai warisan ke bangsa ini termasuk diantaranya peraturan
yang mengatur tentang perkawinan. Secara tertulis hukum buatan asli pemerintah
kolonial Belanda untuk penduduk Indonesia pada waktu itu hanya ada 3 yaitu
Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli
yang beragama Kristen yang ditulis di Staatsblads 1933 Nomor 74, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi warga keturunan Eropa dan Cina,
kemudian peraturan perkawinan campuran yang ditulis di Staatsblads 1898 Nomor
158.29 Sampai berakhirnya masa penjajahan, Pemerintah kolonial Belanda tidak berhasil
membuat Undang-Undang yang berisi hukum material tentang perkawinan yang
berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Sedangkan peraturan hukum perkawinan bagi
umat Islam yang sempat ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda hanyalah
berupa peraturan hukum formal yang mengatur tata cara perkawinan sebagai mana
terdapat dalam kitab-kitab fikih yang dikarang oleh ulama-ulama di kalangan umat
Islam dan bukan merupakan buatan Belanda.30
Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan yang merupakan peraturan
perundang-undangan yang bersifat nasional, Pemerintah mengadopsi peraturan dari
zaman Pemerintah Hindia Belanda yang membagi masyarakat kedalam beberapa
golongan penduduk, dengan adanya golongan penduduk ini, maka perkawinan di
Indonesia diatur dalam:
1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang
telah diresipi dalam hukum adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainya berlaku hukum adat.
3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesia (HOCI) dalam Staatsblads 1933 Nomor 74.

29
Taufiqurrahman Syahuri, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm.
100
30
Ahmad Rivai, dkk, Ibid.,

16
4. Bagi orang-orang timur asing china dan warganegara Indonesia keturunan china
berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan (Burgelijk Wetboek).
5. agi orang-orang timur asing lain-lainya dan warga Negara Indonesia keturunan timur
asing lainya tersebut berlaku hukum adat mereka.
6. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan meraka berlaku kitab Undang-Undang Hukum Perdata31
Pada periode pertama pembentukan hukum perkawinan di Indonesia, golongan
kristen dan warga negara keturunan Eropa dan Cina telah memiliki kodifikasi hukum
perkawinan, maka dalam praktik saat masa penjajahan sampai dengan tahun 1946
jarang dijumpai permasalahan-permaslahan dalam pelaksanaan perkawinan mereka.
Namun tidak demikian bagi golongan Islam yang belum memiliki kondisifikasi hukum
perkawinan. Hukum perkawinan yang dipedomani oleh umat Islam masih tersebar
dalam beberapa kitab fikih Munakahat yang sering tidak seragam, sehingga muncul
berbagai permasalahan dalam perkawinan yang dilangsungkan seperti perkawinan
anak-anak, perkawinan paksa, serta penyalahgunaan hak talak dan poligami.
Selain itu, aturan yang ada dinilai tidak sesuai dengan ideologi dan nilai-nilai
bangsa Indonesia mengenai perkawinan yang memandang perkawinan sebagai ikatan
yang sakral yang tidak hanya merupakan ikatan secara lahiriah atau jasmani tapi lebih
dari itu merupakan ikatan batiniah atau rohani yang merupakan kodrat manusia dari
Tuhan Kemudian pada tahun 1946 pemerintah menyadari urgensi pembentukan
undang-undang perkawinan untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan yang
muncul. Oleh karena itu pada tanggal 26 November 1946 akhirnya pemerintah
membuat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura yang disahkan di Linggarjati oleh
presiden Soekarno, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan
berlaku juga untuk wilayah Sumatera.32 Dengan adanya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk tersebut menandai periode
kedua pembentukan hukum perkawinan di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk rupanya belum bisa menampung aspirasi kaum wanita dalam urusan berumah

31
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, hlm. 15
32
Nani Suwondo, 1992, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hlm. 96

17
tangga karena memang belum ada aturan tambahan Negara dalam urusan perkawinan
yang ada hanya pencatatan perkawinan saja. Ini terbukti dari banyaknya di tahun 1950-
1960an organisasi bentukan kaum perempuan seperti dari Gerwani, Perwari,
Bhayangkari, Persit, PGRI dan lain sebagainya yang meyuarakan berbagai pendapatnya
terutama dalam urusan poligami, pemerintah dituntut untuk secepatnya mengganti atau
membuat baru undang-undang yang lebih membela kaum perempuan dalam segala hal
berumah tangga terutama dalam urusan poligami. Terlebih dengan dibuatnya PP Nomor
19 Tahun 1952 tentang diperbolehkanya poligami tanpa syarat yang semakin membuat
kaum wanita semakin dikesampingkan dalam urusan berumah tangga. Pada akhirnya
tanggal 31 Juli 1973 Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang baru masuk di DPR
segera dibahas hingga akhirnya setelah menghabiskan waktu selama 6 bulan
pembahasan dari proses penyerahan naskah Rancangan Undang-Undang hingga
disahkan oleh Presiden, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang terdiri
dari 73 Pasal, pada bulan Januari tahun 1974 akhirnya diberlakukan bagi seluruh rakyat
Indonesia.33 Setelah itu, pada tahun 1974 sampai dengan sekarang barulah Indonesia
memasuki periode ketiga pembentukan hukum perkawinan di Indonesia.
Proses pembentukan Undang-Undang Perkawinan itu sendiri berjalan tidak
mudah. Proses penyusunannya menghabiskan waktu sampai dengan 6 (enam) bulan
lamanya dari mulai proses penyerahan naskah Rancangan Undang-Undang dari
presiden ke pimpinan DPR kemudian pimpinan DPR membagikanya ke para anggota
DPR hingga Undang-Undang tersebut. Proses dari rancangan hingga pengesahan di
DPR pada waktu itu harus melalui 4 tahapan yaitu dari tingkat I sampai dengan tingkat
IV.
Proses pertama dalam pembentukan Undang-Undang tersebut adalah:
1. Tingkat I yaitu berupa keterangan pemerintah yang disampaikan oleh menteri yang
bersangkutan di hadapan sidang pleno DPR setelah beberapa hari atau minggu
sebelumnya presiden telah menyampaikan surat dengan lampiran naskah Rancangan
Undang-Undang itu kepada pimpinan DPR dan pimpinan DPR segera
membagikanya kepada semua anggota DPR. Keterangan pemerintah pada waktu itu
diwakili oleh Menteri Kehakiman Oemar Senoadji dan Menteri Agama A. Moekti
Ali dan sampai selesainya sidang tingkat I-IV pun presiden hanya diwakili oleh
kedua menteri tersebut.

33
Ahmad Rivai, dkk, Op.Cit., hlm. 5-7

18
2. Tingkat II yaitu pidato pemandangan umum anggota-anggota DPR melalui juru
bicara fraksinya masing-masing. Masing-masing fraksi biasanya mendapatkan waktu
yang sama untuk menyampaikan pidato pemandangan umumnya itu. Pada proses ini
didengar pendapat dari keempat fraksi yang ada pada waktu itu yaitu fraksi
Persatuan, fraksi PDI, fraksi Karya dan fraksi ABRI.
3. Tingkat III yaitu rapat kerja antara komisi DPR yang bersangkutan dengan
pemerintah yang diwakili oleh menteri yang ditunjuk oleh presiden. Pada Tingkat III
inilah suatu Rancangan Undang-Undang diolah dan digodog dengan melalui dialog-
dialog langsung antara pemerintah dengan DPR yang biasanya merupakan dialog
antara pemerintah dengan fraksi-fraksi di DPR. Proses ini harus adil dan harus pas
antara satu pendapat dengan pendapat lainya karena kalau tidak akan terjadinya
skorsing hingga berhari-hari untuk mendapatkan pendapat yang sama.
4. Tingkat IV yaitu sidang pleno DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang
itu menjadi undang-undang. Maka selesailah proses pengolahan suatu Rancangan
Undang-Undang di DPR, kemudian pimpinan DPR menyerahkan kembali
Rancangan Undang-Undang yang sudah disahkan itu kepada presiden untuk di tanda
tangani dan diundangkan. Apabila keduanya ini sudah ditandatangani dan
diundangkan oleh sekertaris Negara maka berlakulah Undang-Undang tersebut. Bagi
seluruh bangsa dan negara Republik Indonesia dan seluruh rakyat wajib mentaatinya
terutama pemerintah dalam hal ini berwenang untuk melaksanakan undang-undang
tersebut, sedangkan DPR berwenang untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang
itu. 34
Saat pembuatan dan pengesahan Undang-Undang Perkawinan tersebut terjadi
pergolakan sosial dan politik dimana-mana. Gejolak sosial dimasyarakat terutama
muncul oleh organisasi-organisasi yang mengaku pembela Islam tanah air, organisasi
yang ingin Indonesia menjadi negara Islam dalam hal apapun karena mereka
menganggap Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan yang dikeluarkan oleh
pemerintah tahun 1973 dan belum saja dirapatkan di sidang Pleno Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Gejolak-gejolak sosial itu sudah timbul karena RUU Perkawinan
tersebut sudah bocor dan sudah terdengar dikalangan masyarakat yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam. Oleh karena itulah, begitu naskah RUU Perkawinan disampaikan
oleh pemerintah kepada DPR belum lagi pemerintah menyampaikan keterangan secara
resmi pada sidang Pleno DPR, reaksi terhadap RUU itu sudah tercetus dikalangan
34
Amak F.Z, 1976, Proses Undang-undang Perkawinan, Al Ma’arif, Bandung, hlm. 9

19
masyarakat langsung menggelombang, baik melalui media pers, maupun media
dakwah, khutbah-khutbah di masjid, peryataan-peryataan, delegasi-delegasi dan media
lain.35
Gejolak politik timbul karena susahnya mengesahkan Undang-Undang
Perkawinan tersebut karena para elit politik di parlemen sudah tahu bahwa Undang-
Undang Perkawinan itu meyangkut masyarakat luas dan jika Undang-Undang
Perkawinan tersebut tidak pas dan tidak koheran dengan kemajemukan bangsa ini maka
Rancangan Undang-Undang Perkawinan tersebut akan direvisi dan itu yang terjadi di
lingkungan parlemen dalam sidang Undang-Undang Perkawinan tersebut, hingga
sempat menimbulkan ketegangan antar anggota partai politik hingga sidang untuk
mencapai kesepakatan pasal-pasal yang harus direvisi menghabiskan waktu lebih dari 6
bulan. Kalau dinilai dari segi komposisi kekuatan DPR dimana fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang merupakan satu-satunya fraksi yang paling menentang
Rancangan Undang-Undang tersebut pada tingkat I, II dan III, disusul oleh fraksi lainya
yang di tingkat III dan IV yang merasa tidak puas dengan Undang-Undang tersebut.36
Pada akhirnya setelah mengalami beberapa perubahan dalam pasal-pasal yang
banyak ditentang hingga disesuaikan dengan ajaran agama dan nilai-nilai bangsa
Indonesia, pada tanggal 2 Januari 1974 Undang-Undang Perkawinan yang terdiri dari
67 Pasal berhasil disahkan oleh Presiden Soeharto. Perjuangan untuk pengesahan itu
bisa berhasil karena semua pihak baik itu pemerintah, DPR, maupun masyarakat
terutama yang awalnya menolak Undang-Undang tersebut, mempunyai jiwa Pancasila
dan mempercayai Pancasila sebagai ideologi bangsa yang merupakan salah satu sumber
hukum tertinggi dalam bernegara termasuk juga hukum agama yang merupakan
perintah Tuhan. Semua pihak saat itu merasa Undang-Undang Perkawinan telah
mencerminkan nilai-nilai dalam Pancasila dan juga telah sesuai dengan ajaran agama
yang ada Indonesia sehingga akhirnya Undang-Undang tersebut berhasil disahkan. Hal
ini sesuai dengan aliran dalam filsafat hukum yang dikenal dengan Aliran Hukum
Alam.
Dalam aliran hukum alam ini, hukum alam digambarkan sebagai hukum yang
berlaku abadi sebagai hukum yang norma-normanya berasal dari Tuhan Yang Maha
Adil, dari alam semesta dan dari akal budi manusia, sebagai hukum yang kekal dan
abadi yang tidak terikat oleh waktu dan tempat sebagai hukum yang menyalurkan

35
Amak F.Z, Op.Cit., hlm 7
36
Amak F.Z, Op.Cit., hlm 15

20
kebenaran dan keadilan dalam tingkatan semutlak-mutlaknya kepada segenap umat
manusia.
Menurut teori hukum alam, hukum dipandang sebagai teori-teori yang
menjadikan cita-cita dan nilai sebagai analisisnya. 37 St. Thomas dalam bukunya yang
berjudul Blackstone menyebutkan bahwa : “Hukum alam ini yang seumur dengan
keberadaan umat manusia dan ditetapkan oleh Tuhan sendiri, sudah tentu memiliki
kewajiban yang lebih tinggi dari tiap hukum lain. Hukum alam berlaku di seluruh alam
semesta, di semua negara, dan di setiap waktu, hukum buatan manusia tidak boleh
bertentangan dengannya. Semua hukum buatan manusia bergantung pada landasan dari
hukum Tuhan dan hukum alam.38 Hal inilah yang tergambar dalam proses pembentukan
hingga pengesahan Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan
disetujui oleh semua pihak karena telah mencerminkan cita-cita dan nilai-nilai bangsa
didalamnya, seperti halnya saja Pasal 1 yang menyatakan bahwa perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan pasal tersebut menunjukkan
bahwasanya hukum di Indonesia mengakui perkawinan tidak hanya sebagai ikatan
keperdataan yang bersifat lahiriah semata akan tetapi juga sebagai ikatan lahir batin
yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Hal tersebut menunjukkan perbedaan rumusan pasal dengan aturan yang dibuat
oleh kolonial Belanda yang awalnya juga diberlakukan di Indonesia yakni yang
terkandung dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
bahwa perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan-hubungan keperdataan.
Perbedaan ini menggambarkan juga perbedaan nilai-nilai dan cita-cita bangsa atau yang
disebut juga ideologi suatu bangsa dikarenakan ketika dibuat oleh Kolonial Belanda
maka perkawinan hanya dianggap sebagai suatu hubungan keperdataan, akan tetapi
ketika dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri, perkawinan mempunyai makna yang jauh
lebih sakral dibanding hubungan perdata saja disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut
oleh bangsa Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila dan mempercayai Tuhan,
bangsa Indonesia mempercayai perkawinan merupakan hal yang suci, sakral, tidak
boleh dipermainkan dan diharapkan berlangsung sekali seumur hidup dan kekal sampai
37
Mustafa Bola, Korelasi Putusan Hakim Tingkat Pertama, Tingkat Banding, dan Tingkat Kasasi
(Suatu Studi Tentang Aliran Pemikiran Hukum), Jurnal Hasanuddin Law Review Volume 1 Nomor 1
Tahun 2015, hlm. 31-32
38
W. Friedmann, Op.Cit.,hlm. 91

21
akhir hayat. Oleh karena itu rumusan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dirumuskan
menjadi merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu, rumusan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tersebut juga
mencerminkan pengaruh dari hukum alam yang menjadikan Tuhan dari alam semesta
dan dari akal budi manusia yang tercermin pada cita-cita dan nilai-nilai sebagai sumber
hukum tertinggi yakni rumusan pasal yang menyatakan perkawinan merupakan ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita. Rumusan tersebut dapat diartikan
bahwasanya bangsa Indonesia hanya mengakui dan menganggap sah perkawinan yang
dilakukan dua orang yang berbeda gender dan sama sekali tidak mengakui perkawinan
sejenis atau yang sekarang disebut LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender).
Maraknya fenomena LGBT di dunia bahkan beberapa negara sudah melegalkan
perkawinan sesama jenis, misalnya saja Belanda yang merupakan negara yang dulu
sempat menjajah Indonesia selama 350 tahun dan banyak meninggalkan warisan berupa
produk hukum di Indonesia, telah menjadi negara pertama di benua Eropa yang
melegalkan perkawinan sesama jenis bahkan sejak 21 April 2001. Selain Belanda, 30
negara lain juga telah melegalkan perkawinan sesama jenis tersebut seperti Argentina,
Australia, Brasil, Kanada, Swedia, Afrika Selatan, Meksiko, Taiwan, Perancis, Jerman,
dan lainnya.39 Pelegalan perkawinan sejenis tersebut dilakukan dengan dalih hak asasi
manusia. Banyak orang menganggap hubungan dan pernikahan bagi dua orang yang
berjenis kelamin sama adalah hal wajar dan normal. Karena pada dasarnya, pernikahan
sesama jenis dan orientasi seksual seseorang merupakan Hak Asasi Manusia (HAM)
yang tidak yang dibawa manusia sejak ia dilahirkan dan tidak seorang pun mempunyai
hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain, termasuk melanggar hak
seseorang.
Ditengah gempuran globalisasi dan maraknya fenomena LGBT yang mulai
dilegalkan di beberapa negara, Indonesia tetap dengan kepercayaannya dan masih
menganggap bahwa hal tersebut merupakan penyimpangan seksual dan tidak bisa
dilegalkan dikarenakan Indonesia merupakan negara yang masih kental dengan ajaran
agama, moral, dan etika yang telah berkembang dan mengakar di seluruh lapisan
masyarakatnya. Namun, meskipun demikian, Indonesia bukan berarti tidak mengakui

39
https://tirto.id/daftar-negara-yang-melegalkan-pernikahan-sesama-jenis-ekhS diakses tanggal 27
Januari 2021

22
adanya hak asasi manusia. Indonesia merupakan negara yang mengakui hak asasi
manusia sebagai sesuatu yang eksis dan harus dihormati dan dilindungi. Di Indonesia,
instrumen hukum yang berlaku serta berperspektif hak asasi manusia tidaklah sedikit.
Bahkan peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia yang menjadi acuan
peraturan-peraturan lain dibawahnya, yakni Undang-Undang Dasar Tahun 1945
memiliki 1 (satu) bab khusus yang menjabarkan mengenai hak asasi manusia yakni Bab
XA sehingga tidak akan ada peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan
dengan hak asasi manusia.40 Selain itu, Indonesia juga mempunyai undang-undang
tersendiri yang mengatur mengenai hak asasi manusia tersebut yakni Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Penolakan Indonesia terhadap perkawinan sesama jenis ataupun perilaku LGBT
dilakukan karena adanya pembatasan dalam hak asasi manusia yang intinya bahwa
setiap orang yang memiliki hak asasi manusia juga harus menghormati hak asasi orang
lain, menghormati pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang, memenuhi
persyaratan moral, etika, tata tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara,
nilai-nilai agama, serta menjaga keamanan dan ketertiban umum masyarakat
demokratis. Dalam peraturan perundang-undangan telah ditetapkan pembatasan
bahwasanya pernikahan yang diakui adalah pernikahan yang dilangsungkan secara sah
berdasarkan ketentuan agama.41 Sedangkan perilaku LGBT tidak dibenarkan oleh
masyarakat, apalagi jika ditambah dengan perilaku seksual tersebut menyimpang dari
kodrat manusia yang berdasarkan ajaran agama dilahirkan berpasang-pasangan.
Agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan perilaku seksual yang
menyimpang, sebagaimana disebutkan dalam Alquran QS. Al A’raf ayat 81 yang
menyebutkan bahwa “Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu
kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, maka kalian ini adalah kaum yang
melampaui batas”). Dalam Islam, LGBT adalah tindakan yang sangat hina, hal itu
ditunjukkan dalam sebuah surat "Luth", dalam surat tersebut, diceritakan bagaimana
Allah marah besar dan menghukum sekelompok orang yang melakukan tindakan
homoseksual. Demikian pula dalam agama Kristen, Alkitab juga menyatakan dengan
jelas bahwa Allah merancang bahwa seks dilakukan hanya antara pria dan wanita, dan
hanya dalam ikatan perkawinan (Kejadian 1:27, 28; Imamat 18:22; Amsal 5:18, 19),
40
Roby Yansyah dan Rahayu, Globalisasi Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (Lgbt):
Perspektif Ham dan Agama Dalam Lingkup Hukum Di Indonesia, Jurnal Law Reform, Volume 14
Nomor 1 Tahun 2018, hlm. 137
41
Roby Yansyah dan Rahayu, Ibid.

23
Alkitab mengutuk perzinahan, yang termasuk perilaku homoseksual serta heteroseksual
terlarang (Gal 5: 19-21). Berdasarkan pandangan agama, LGBT merupakan sebuah
penyimpangan dari kehendak Tuhan, bahwa seharusnya lelaki berpasangan dengan
wanita dan begitu juga sebaliknya.42 Oleh karena itulah, hukum perkawinan di
Indonesia menyatakan sebuah perkawinan akan dianggap sah jika mematuhi ketentuan
agama dan dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita. Hal-hal tersebutlah yang
mencerminkan pengaruh aliran hukum alam dalam Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia dimana perkawinan yang dianggap sah adalah perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan ajaran agama atau kepercayaan masing-masing sesuai dengan aliran
hukum alam yang menjadikan perintah Tuhan dan akal budi manusia yang terkandung
dalam cita-cita dan nilai-nilai menjadi hukum tertinggi yang tidak bisa diubah dan
berlaku selamanya.

42
Roby Yansyah dan Rahayu, Op.Cit., hlm. 137-139

24
C. Penutup
1. Simpulan
a. Dalam aliran filsafat hukum dikenal beberapa aliran atau mazahab yang muncul
sebagai respon atau kritik terhadap aliran hukum sebelumnya, atau respon terhadap
perkembangan sosial masyarakat pada masa itu. Tumbuhnya berbagai aliran dalam
filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran dalam lapangan ilmu hukum.
Perkembangan aliran pemikiran tersebut mempunyai ciri saling berdialektika dalam
memecahkan problematika hukum yang dihadapi pada waktu dan tempat tertentu.
Aliran-aliran filsafat hukum yang dikenal diantaranya adalah aliran hukum alam,
positivisme hukum, aliran utilitarianisme atau utilisme, aliran sejarah, sosiological
jurisprudence, dan realisme hukum.
b. Dalam aliran atau mazhab hukum alam, hukum dipandang sebagai teori-teori yang
menjadikan cita-cita dan nilai sebagai analisisnya. Hukum alam digambarkan
sebagai hukum yang berlaku abadi sebagai hukum yang norma-normanya berasal
dari Tuhan Yang Maha Adil, dari alam semesta dan dari akal budi manusia. Aliran
hukum alam ini banyak berpengaruh dalam pembentukan undang-undang di
Indonesia, termasuk diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Implikasi atau pengaruh aliran hukum alam dalam Undang-Undang
Perkawinan terlihat dalam beberapa rumusan pasalnya. Beberapa diantaranya yakni
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan
yang dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan agama atau kepercayaan. Ini
menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan mempercayai dan mengakui
ajaran agama yang merupakan aturan yang berasal dari Tuhan sebagai hukum
tertinggi yang bersifat universal. Selain itu, rumusan pengertian perkawinan yang
terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan juga menunjukkan kentalnya ajaran
agama, moral, dan etika yang telah berkembang dan mengakar di seluruh lapisan
masyarakat Indonesia. Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan diartikan
tidak hanya sebagai ikatan keperdataan yang bersifat lahiriah semata akan tetapi juga
merupakan ikatan lahir batin yang bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang
kekal dan bahagia. Selain itu rumusan pengertian perkawinan juga menafsirkan
bahwa Hukum Perkawinan di Indonesia hanya mengakui perkawinan antara pria
dengan wanita dan tidak mengakui adanya perkawinan sesama jenis atau LGBT
sesuai dengan ajaran agama-agama yang dianut di Indonesia dan ideologi bangsa
Indonesia yakni Pancasila.
25
2. Saran
a. Perlu dibahas lagi mengenai aliran-aliran dalam filsafat hukum tidak hanya sebagai
napak tilas sejarah tapi juga pengkajian ulang terhadap aliran tersebut bisa saja
menghasilkan suatu pemikiran atau pemahaman baru atau setidaknya mengajarkan
untuk menghargai pendapat orang lain.
b. Undang-Undang Perkawinan sebaiknya tetap menggunakan pendekatan hukum alam
yakni mengutamakan Tuhan dan akal budi manusia dan nilai-nilai sebagai sumber
hukumnya dikarenakan hukum dari Tuhan merupakan hukum yang bersifat universal
dan tidak mungkin salah sebab perkawinan tidak hanya merupakan ikatan yang
bersifat lahiriah semata akan tetapi juga merupakan ikatan yang bersifat batiniah
yang merupakan salah satu bentuk ibadah dan hubungan antara manusia dengan
Tuhannya dan dalam tiap ajaran agama juga telah mengatur mengenai tata cara
perkawinan oleh karena itulah tepat apabila undang-undang perkawinan dipengaruhi
oleh aliran hukum alam.

26

Anda mungkin juga menyukai