Anda di halaman 1dari 7

1.

Perjalanan RKUHP menjadi KUHP yang baru


Seminar Hukum Nasional I yang diadakan tahun 1963 menghasilkan desakan
untuk membuat KUHP nasional yang baru dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya. Tujuan dari RKUHP untuk melakukan penataan ulang bangunan
sistem hukum pidana nasional. Pemerintah kemudian mulai merancang RKUHP
sejak 1970 untuk mengganti KUHP yang berlaku saat ini. Waktu itu, tim
perancang yang diketuai oleh Prof. Sudarto dan diperkuat beberapa Guru Besar
Hukum Pidana lain di Indonesia. Namun, upaya agar RKUHP tersebut diserahkan
kepada DPR dan dibahas masih belum menemukan titik temu karena berbagai
desakan oleh masyarakat baik yang Pro maupun Kontra. Pada tahun 2004, tim
baru pembuatan RKUHP dibentuk di bawah Prof. Dr. Muladi, S.H. RKUHP
tersebut diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada DPR untuk
dibahas delapan tahun kemudian atau pada 2012. DPR periode 2014-2019
kemudian menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat
pertama. Namun timbul berbagai rekasi gelombang protes terhadap sejumlah
pasal RKUHP dari masyarakat, pegiat hukum dan mahasiswa. Oleh karena hal
tersebut pembahasan RKUHP terus bergulir hingga saat ini.

Sumber https://nasional.kompas.com/read/2022/07/05/01500051/sejarah-kuhp-
dan-perjalananmenuju-kuhp-baru

Pertanyaan : Bagaimana analisis saudara terhadap RKUHP ini bila dikaitkan


dengan Tujuan Hukum menurut Lili Rasjidi.

Jawab :
Menurut saya dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
atau RKUHP menjadi hal urgent untuk dilakukan sebuah perbaikan. Melihat
bagaimana produk hukum pidana yang masih belum maksimal dalam pengaturan
maupun penegakkannya dilapangan, maka perbaikan-perbaikan harus dilakukan.
kaitan dan tujuan hukum bahwa studi ilmu hukum harus benar-benar didasarkan
pada subyek dan obyek serta tujuan hukum itu sendiri sebelum keluar dan
berintegrasi dengan ilmu-ilmu lain, sehingga pandangan hukum sebagai suatu
ilmu pengetahuan masih berdiri sesuai dengan koridor hukum itu sendiri. Karena
hukum bukan berarti bahwa harus menjadi beban dalam masyarakat akan tetapi
sebagai suatu seni (art of law) untuk mengatur masyarakat dan hukum bukan
sekedar suatu sanksi yang harus di taati oleh masyarakat sehingga menurut
penulis hukum pada umumnya dapat dikatakan sebagai “perwujudan dari tingkah
laku manusia secara individu dan bukan masyarakat pada umumnya”. Atau lebih
khusus hukum dapat dikatakan adalah “pengulangan dari tingkah laku manusia
yang tergabung/terintegral dengan manusia lain yang membentuk suatu
masyarakat dengan norma-norma yang secara individu telah ada, dan terbentuk
dalam satu aturan yang sakral dan ditaati dengan sanksi berupa hukuman dan
moral baik itu secara memaksa maupun tidak”

2. Hukum senantiasa mengalami perkembangan, tidak hanya dalam isinya,


melainkan juga dalam bertambahnya jenis-jenis yang ada. Perubahan,
perkembangan dan pertumbuhan tersebut pada gilirannya menyebabkan,
bahwa sistematik dan penggolongan hukum itu harus ditata kembali agar
susunan rasional dari hukum itu tetap terpelihara. Prof Satjipto Rahardjo
berpendapat bahwa apabila kita ingin membuat suatu penggolongan besar,
maka kita bisa melakukannya dalam bentuk hukum tertulis di satu pihak
dan hukum tidak tertulis di lain pihak

Pertanyaan:
a. Bagaimana analisis Saudara mengenai keberlakuan Hukum Tertulis dan
Hukum Tidak Tertulis di Indonesia.
b. Bagaimana analisis Saudara tentang Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jawab :
A. Hukum Tertulis dan Hukum tidak Tertulis
Indonesia disebut sebagai Negara Hukum berdasarkan Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang Dasar 1945. Hukum bersumber dari nilai – nilai yang
hidup di masyarakat baik yang sifatnya tertulis maupun tidak tertulis, di
mana sumber hukum yang tdak tertulis ini banyak sekali ditemui di
Indonesia. Wujud dari hukum tidak tertulis ini dapat berupa hukum adat
maupun kearifan lokal (local wisdom) yang eksistensinya tetap diakui
sebagai sebuah norma dan mempunyai daya ikat dan sanksi, Kehidupan
bermasyarakat tidak hanya diatur oleh hukum akan tetapi harus
berpedoman juga kepada agama, moral, kesopanan dan kaidah sosial
lainnya. Hukum erat hubungannya dengan kaidah sosial. Hukum sebagai
kaidah sosial tdak lepas dari nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Hukum sebagai cermin dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Hukum disebut baik apabila sesuai dengan hukum yang hidup (the living
law) dalam masyarakat.
Pada pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa
“Indonesia mengakui eksistensi hukum adat dan hak – hak tradisionalnya“.
Hakim dan hakim konsittusi wajib menggali, mengikut, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selain
itu, putusan pengadilan di samping harus memuat alasan dan dasar putusan,
juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili
Kemudian pada Pasal 8 ayat 4 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004
disebutkan bahwa jaksa senantasa bertndak berdasarkan hukum dengan
mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan serta
wajib menggali dan menjunjung tnggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup
dalam masyarakat.

B. Kekuasaan kehakiman menegaskan juga: “Hakim dan hakim konstitusi


wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Pentingnya jaminan independensi kekuasaan kehakiman dalam konstitusi
sebenarnya sudah lama didorong agar lebih kuat (KRHN dan LeIP, 1999),
apalagi merujuk pada pengalaman selama ini kekuasaan sering
mengintervensi hakim. Menjaga independensi hakim memang tidak
mudah.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka, kata Bagir Manan (2009: 83)


diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus
perkara, termasuk perkara-perkara yang langsung atau tidak langsung
melibatkan kepentingan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Pengadilan
atau hakim harus independen tidak hanya terhadap cabang kekuasaan lain,
tetapi juga dengan pihak-pihak yang berperkara.

Independensi hakim itu bisa bersifat normatif, bisa juga bersifat realita.
Kedua independensi itu tidak bisa dipisahkan (Muchsin, 2004: 10). Ada
juga yang membedakan independensi dalam arti sempit dan arti luas. Pada
dasarnya, independensi kekuasaan kehakiman tak semata independensi
kelembagaan, tetapi juga independensi personal hakim. Independensi
hakim karena itu adalah kondisi di mana para hakim bebas dari pengaruh
apalagi tekanan lingkungannya dan mengadili suatu perkara hanya
berdasarkan fakta yang terbukti di pengadilan dan berdasarkan hukum.

3. Aliran postivisme hukum sangat mengagungkan hukum yang tertulis dan


menganggap bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif.

Pertanyaan : Bagaimana analisis Saudara tentang penerapan aliran


Positivisme Hukum di Indonesia beserta ciri-cirinya.

Jawab :
Penerapan aliran positivisme Hukum di Indonesia Sesungguhnya
positivisme hukum merupakan aliran pemikiran yang memperoleh
pengaruh kuat dari ajaran positivisme (pada umumnya). Oleh karenanya,
pemahaman ajaran positivisme hukum merupakan norma positif dalam
sistem peraturan perundang-undangan. Dalam praktiknya, penggunaan
pardigma positivisme dalam hukum modern ternyata menghambat
pencarian kebenaran dan keadilan yang benar sesuai dengan hati nurani.
Dampak dari perkembangan paham positivisme tersebut terhadap
Indonesia dengan munculah kekakuan kekakuan hukum yang dianggap
bahwa hukum di Indonesia itu tidak mampu menciptakan keadilan yang
sesungguhnya .

Ajaran positivisme hukum ini kehadirannya dimulai pada abad 18 dan


menjadi semakin kuat seiring dengan kemajuan negara modern yang
ditandai dengan adanya perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat
pesat. Kelahiran negara moderen tersebut sebagai suatu organisasi
teritorial yang berdaulat, disini terkait dengan adanya latar belakang
perubahan sosial tersebut, dan akan lebih jelas lagi dalam bidang
perekonomian. Oleh sebab itu gabungan kemajuan teknologi,
industrialisasi dan kapitalisme yang bergerak begitu cepatnya.
Kehadiran negara yang menyediakan struktur yang tersentralisasi dan
didukung oleh hukum modern, maka kebutuhan industrialisasi yang lapar
akan lahan menejemen sentral menjadi teratasi. Kemudian, munculah
jargon yang terkenalnya pada abad 19 yaitu “Liberalisasi”, kemudian
hukum secara pelan-pelan berubah menjadi hukum yang liberal. Di negara
modern, ajaran positivisme hukum dan paham liberal meskipun dapat
dibedakan, namun pada dasarnya memiliki keterkaitan yang tidak dapat
dipisahkan. Bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
lain. Karakter utama hukum modern adalah sifatnya rasional. Rasionalitas
ditandai dengan sifat peraturan yang prosedural. Prosedural dengan
demikian menjadi dasar legalitas yang penting untuk menegakkan
keadilan, menjaga hak asasi manusia, bahkan akhirnya prosedur menjadi
lebih penting daripada bicara keadilan yang menjadi substansi hukum itu
sendiri

Ajaran positivisme hukum memiliki tiga cabang yakni


1) positivisme sosiologis, yang memandang hukum merupakan gejala
sosial;
2) positivisme yuridis, yang mempersoalkan arti hukum sebagai gejala
tersendiri menurut metoda ilmu hukum positif; dan
3) ajaran hukum umum yang mana bahwa kegiatan teoritis seorang sajana
hukum terbatas pada uraian arti dan prinsipprinsip hukum secara induktif
empiris. Lili Rasjidi mengatakan bahwa ada dua sun aliran positivisme
yang terkenal adalah sebagai berikut:
1 Aliran hukum positif yang analitis, pandangan John Austin;
2. Aliran positif yang murni, yang dikemukakan oleh Hans Kelsen

4. Pada Bidang hubungan industrial ketenegakerjaan (Hukum


Ketenagakerjaan) dikenal dengan adanya pekerja outsourcing.

Pertanyaan : Berikanlah analisis Saudara mengenai perbedaan pengaturan


pekerja outsourcing di dalam UU Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja
(Omnibuslaw).

Jawab :
Menurut saya Semua orang yang bekerja pastinya mengharapkan untuk
menjadi pekerja tetap. Yang bilamana nantinya selesai masa kerjanya akan
mendapatkan tunjangan pensiun. Namun didalam kenyataannya,
menujukkan bahwa tidak semua orang yang bisa menjadi pekerja tetap. Hal
ini yang dikarenakan laju pertumbuhan penduduk yang memasuki usia
kerja tidak seimbang dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang bisa
memberikan pekerjaan tetap bagi orang-orang yang membutuhkan.
Pemborongan pekerjaan (outsourcing) merupakan penyerahan sebagian
pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan ke perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis.
2. Dilihat dari bidang ketenagakerjaan, outsourcing merupakan
pemanfaatan tenaga kerja untuk dapat memproduksi atau melakukan suatu
pekerjaan yang diberikan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja
3. Atau yang secara sederhana outsourcing adalah suatu bentuk kontrak
yang terjadi ketika sebuah perusahaan melakukan kontrak komersial
dengan perusahaan lain untuk menyediakan layanan tertentu dalam jangka
waktu tertentu juga.
4. Sistem kontrak (outsourcing) yang diartikan sebagai pemborongan
pekerjaan dan penyedia jasa tenaga kerja, dijelaskan dalam Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia, tepatnya pada Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan


ini dianggap oleh kebanyakan orang, memberikan kelonggaran kepada
pengusaha untuk menggunakan pekerja outsourcing. Karena didalam pasal
tersebut diperbolehkan adanya penyerahan pekerjaan kepada perusahaan
lain sepanjang bukan pekerjaan utama. Walaupun sebenarnya didalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak
terdapat satupun istilah outsourcing. Namun didalam kenyataanya,
undang-undang tersebut menjadi dasar realita baru yang mengatur dan
melegalkan sistem outsourcing. Alasan perusahaan menggunakan pekerja
dengan sistem outsourcing dikarenakan banyak hal, salah satunya yaitu
pasang surut dunia usaha. Artinya ketika usaha sedang surut, pengguna jasa
pekerja outsourcing (user) akan menghubungi penyedia jasa pekerja
(vendor) untuk menarik pekerjanya dengan alasan tidak membutuhkan
pekerja lagi, sehingga vendor akan menarik pekerja tersebut kembali ke
vendor. Masih bagus jika pekerja tersebut akan ditempatkan di perusahaan
user yang lain.

Karena yang sering terjadi, penarikan tanpa memberikan pekerjaan


pengganti. Memang disatu sisi, orang membutuhkan pekerjaan dengan
status pekerja tetap, dikarenakan akan tetap mendapatkan perlindungan
walaupun setelah tidak lagi berkerja karena batas usia (pensiun). Akan
tetapi, disisi lain seseorang dihadapkan pada pilihan apakah memilih untuk
tidak bekerja atau memilih untuk menerima pekerjaan dengan sistem
outsourcing yang meletakkan tenaga kerja pada posisi yang lemah.
Sedangkan apabila dilihat dari sisi perusahaan atau pengusaha, sistem
outsourcing ini memberikan berbagai keuntungan karena dapat
mendukung tujuan usahanya di era perkembangan ekonomi global dan
kemajuan teknologi yang kemudian timbulnya persaingan usaha yang
begitu ketat dan terjadi disemua sektor kehidupan manusia. Ditambah
sekarang ini sudah disahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja yang mengubah sebagian ketentuan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang salah satunya
terkait ketentuan pekerja outsourcing. Maka dari itu, pekerjaan dengan
sistem outsourcing ini sangat menarik untuk dikaji dan dibahas regulasi
dan penerapannya agar dapat melindungi hak tenaga kerja.

Anda mungkin juga menyukai