Anda di halaman 1dari 9

1.

Ada tiga (3) pendekatan yang dapat digunakan  dalam mempelajari hukum diantaranya
yaitu :
1.      Pendekatan Normatif ( Positivistik )
Pendekatan Normatif atau pendekatan “Jurisprudential” memfokuskan kajiannya dengan
memandang hukum sebagai suatu sistem  yang utuh mencakupi seperangkat asas-asas
hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum baik itu tertulis maupun tidak
tertulis.
Sebagaimana telah diketahui bahwa unsur-unsur hukum adalah asas-asas hukum, norma-
norma hukum, dan aturan-aturan hukum. Dimana dari sebuah asas akan melahirkan norma-
norma hukum, dan dari norma tersebut kemudian melahirkan aturan-aturan. Contohnya : asas
pengakuan hak milik individu, melahirkan norma dilarang mengganggu hak milik seseorang,
yang kemudian melahirkan aturan – aturan hukum antara lain Pasal 362 KUH Pidana.
Penting juga diketahui bahwa satu asas bisa saja melahirkan beberapa norma, dan
dari satu norma bisa melahirkan beberapa aturan – aturan hukum.
2.      Pendekatan Empiris ( Legal Empirical )
Pendekatan empiris atau legal empirical memfokuskan kajiannya dengan memandang
hukum sebagai seperangkat perilaku ( behavior ), seperangkat tindakan ( action ), dan
seperangkat realitas ( reality ).  Pendekatan ini masih dibedakan ke dalam beberapa kajian –
kajian. Berikut kajian-kajian pendekatan ini, yaitu :
a. Sosiologi hukum;
b. Antropologi hukum;
c. Psikologi hukum;
d. Hukum dan ekonomi;
e. Hukum dan pembangunan;
f. Hukum dan struktur sosial;
g. Kajian hukum kritis.
3.      Pendekatan Filosofis
      Pendekatan ini memfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai seperangkat
nilai – nilai moral serta ide – ide yang abstrak, diantaranya kajian tentang moral keadilan.
Pendekatan filsufis ini dipelajari dalam mata kuliah Filsafat hukum, logika hukum, dan teori
hukum.
      Sehubungan dengan tiga pendekatan ilmu hukum itu, hukum umumnya dapat dibedakan
ke dalam :
a. Ius constituendum : hukum ideal yang diharapkan berlaku, dibidang ini didekati
dengan pendekatan filsufis;
b. Ius constitutum : hukum positif, yaitu hukum yang yang diberlakukan oleh suatu
negara tertentu, untuk suatu waktu tertentu, akan tetapi dalam realitasnya betul – betul
berlaku.
c. Ius Operatum : Hukum yang dalam realitasnya betul – betul berlaku.
 Beberapa pakar hukum membedakan ilmu hukum menjadi dua yaitu ilmu hukum
semu (ilmu hukum positif atau perundang-undangan) dan ilmu hukum yang
sesungguhnya ( kajian empiris, dan kajian filosofis terhadap hokum).

Perbedaan dari ketiga ilmu hukum tersebut adalah terdapat pada fokus kajiannya, yaitu
Pendekatan Normatif atau pendekatan “Jurisprudential” memfokuskan kajiannya dengan
memandang hukum sebagai suatu sistem  yang utuh mencakupi seperangkat asas-asas
hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum baik itu tertulis maupun tidak
tertulis. Pendekatan empiris atau legal empirical memfokuskan kajiannya dengan
memandang hukum sebagai seperangkat perilaku (behavior), seperangkat tindakan (action),
dan seperangkat realitas (reality). Pendekatan ini masih dibedakan ke dalam beberapa
kajian–kajian. Pendekatan ini memfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai
seperangkat nilai – nilai moral serta ide – ide yang abstrak, diantaranya kajian tentang moral
keadilan.

2. Dalam mengkaji tentang perubahan hukum, maka ada beberapa teori yang berkaitan atau
berhubungan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Teori Utilitarianisme (Jeremy Betham);
Hukum yang efisien dan efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya
untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada jumlah terbanyak (the greates happines
for the greats people).
b. Teori Sosiological Juriprudence (Eugen Ehrlich);
Harus ada keseimbangan antara keinginan untuk melakukan pembaharuan hukum
melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memerhatikan kenyataan yang hidup
dalam masyarakat (living law just law).
c. -        Teori Pragmatic Legal Realism (Roscoe Pound);
Hukum dapat meminpin perubahan dalam masyarakat, karena fungsi hukum itu
sebagai alat rekayasa sosial (law as atool of social engineering).

3. Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas
hukum. Dengan perkataan lain, kesadaran hukum menyangkut apakah ketentuan
hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Budaya hukum
sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum di dalam
masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi prilaku masyarakat
kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang atau rambu-
rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup
berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah
masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi
hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam
menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama. Namun kalau dilihat
secara materiil, sungguh sulit membangun budaya hukum di negeri ini. Sesungguhnya
kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini,
karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk
prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara
rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum
yang berlaku. Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang
berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut.
Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun
budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu ?. Perlu Penulis
tegaskan lagi, bahwa kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesetiaan
masyarakat atau subyek hukum itu terhadap hukum yang kesetiaan tersebut diwujudkan
dalam bentuk prilaku yang nyata patuh pada hukum. Secara a contra-rio masyarakat tidak
patuh pada hukum karena masyarakat tersebut dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan
dimana antara kesetiaan yang satu bertentangan dengan kesetiaan lainnya. Misalnya
masyarakat tersebut dihadapkan pada kesetiaan terhadap hukum atau kesetiaan terhadap
“kepentingan pribadinya” yang bertentangan dengan hukum, seperti banyaknya
pelanggaran lalu-lintas, korupsi, perbuatan anarkisme, dll. Apalagi masyarakat menjadi
berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum tidak mempunyai
kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi
menjadi penegak hukum yang baik. Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap
kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak
patuh pada hukum. Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan
masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus
membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat
masyarakat patuh pada hukum. Jika kita sudah konsisten membangun negara ini menjadi
negara hukum, siapapun harus tunduk kepada hukum. Hukum tidak dapat diberlakukan
secara diskriminatif, tidak memihak kepada siapapun dan apapun, kecuali kepada
kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak keadilan hukum. Namun jika hukum
diberlakukan diskriminatif, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak
dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya
melalui hukum rimba atau kekerasan fisik. Oleh karenanya hukum harus memiliki
kewibawaannya dalam menegakkan supremasi hukum agar masyarakat dapat
menghormatinya dalam wujud kepatuhannya terhadap hukum itu sendiri. Dengan demikian
perlunya membangun budaya hukum merupakan suatu hal yang hakiki dalam negara
hukum, dimana hukum harus dapat merubah masyarakat untuk menjadi lebih baik, lebih
teratur, lebih bisa dipercaya untuk memperjuangkan hak dan keadilan, lebih bisa
menciptakan rasa aman.

4. Hukum progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof.
Satjipto Rahardjo, berpandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia
untuk hukum. Dasar pemikiran beliau bahwa kajian hukum saat ini telah mencapai ekologi
dalam yang mendasar pada pemikiran antroposentrisme. Suatu faham yang berpusat pada
manusia sehingga manusia dianggap memiliki kemampuan cipta, rasa, bahasa, karya, dan
karsa sebatas diizinkan oleh Sang Kholiq. Sehingga hukum tidak memutus maunya sendiri
tanpa belajar dari lingkungan hidup. Pandangan manusia sebagai Kholifah fil ardh menjadi
dasar bahwa Tuhan sangat memuliakan ciptaan-Nya dengan kemuliaan dan hormat.
Sehingga hukum buatan manusia seharusnya tidak mereduksi kemuliaan dan hormat
sebatas yang dikatakan dalam undang-undang. Hukum progresif memahami konsep
keadilan sebagai hukum yang benar-benar memperhatikan sumber-sumber hukum yang
baru untuk tercapainya keadilan. Sehingga tidak lagi mendasar bahwa wanita dan anak
adalah subyek hukum yang paling lemah. Konteks produk perundang-undangan yang perlu
diperhatikan bahwa tidak dilihat sebagai hasil kerja profesional, namun sebagai objek ilmu.
Perkembangan bantuan hukum probono bagi si miskin dirumuskan sejak era 80-an
mendasari ICCPR sebagai landasan perlindungan hak asasi manusia. Probono bagi si
miskin menjadi persoalan apakah diskriminatif atau suatu kesetiaan hukum. Yang sejatinya
tidak diperuntukan bagi seluruh warga Indonesia. Hukum progresif mengarah pada aspek
moral, sehingga dalam pembentukan hukum berinkorporasi dengan nilai dasar/prinsip
moral. Maka probono bagi si miskin sering kali dianggap sebagai langkah progresif
sebagai kewajiban pemerintah melindungi segenap bangsa dalam merengkuh keadilan di
hadapan hukum. Membaca hukum adalah menafsirkan hukum, karenanya penafsiran
hukum merupakan jantung hukum. Sehingga hukum yang sudah berwujud lex scripta harus
menjaga kepastian hukum, bagi para penegak hukum harus berpandangan bahwa hukum
bukan sebatas gugusan norma dan logika. Tapi memandang hati nurani melalui empati,
kejujuran, dan keberanian. Sehingga prophetic Intelegence merupakan pilar progresif
dengan kemampuan manusia mentransformasikan diri dalam interaksi, sosialisasi, dan
adaptasi.

5. “Teori hukum-sosial realistis”, “positivisme hukum-sosial”, dan “realisme berimbang”


adalah satu kesatuan proyek pemikiran Tamanaha yang berhasil membuktikan bahwa
menyeimbangkan mazhab hukum dimungklnkan secm konseptual dan mengunmngkan
secara praktls. Ketiganya tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling memengaruhi.
Konsep 'realisme berimbang" dipengaruhi oleh fdsafat pragmatisme. Artinya, benar/salah
atau baik/buruk sebuah tindakan/pengetahuan bukan ditentukan oleh metode herpikimya,
melainkan ditentukan oleh manfaatnya, baik bagi subjek pengetahuan maupun manfaat
bagi penyelesaian pemoalan tertentu. Dalam konteks putusan hakim, benar/ salah atau
baik/buruknya putusan ditentukan oleh manfaatnya, baik hakim (sebagai subjek pembuat
putusan), para pihak yang bersengketa (sebagai objek penerima putusan) maupun
perkembangan dunia pengadilan. Konsep 'realisme berimbang” juga dipengaruhi oleh cara
pandang bahwa gejala hukum bisa didekati dengan ilmu sosial, baik ilmu politik maupun
ilmu sosial lain. Pendekatan ilmu sosial terhadap gejala hukum bisa dilakukan tanpa
menegasikan atau meragukan pendekatan ilmu hukum murni. Konsep "realisme
berimbang" dipengaruhi oleh pendekatan konvensionalisme dan fungsionalisme dalam
mendetinisikan hukum. Pendekatan konvensionalisme berarti mengakui bahwa hukum
bukan hanya hukum negara. melainkan semua pranata sosial yang disebut hukum.
Pendekatan fungsionaiisme berarti hubungan hukum dan moral bersifat relatif, yaitu tidak
pasti bemoral. Kata “moral“ bisa diganti dengan ”fungsi hukum", yaitu meniaga
keteraturan dan mencerminkan kondisi masyarakat. Pendekatan konvensionalisme dan
fungsionalisme digunakan untuk mengimbangi pendekatan esensialisme yang hanya
mengedepankan hukum negara. Dengan dua pendekatan tersebut, hukum negara dan
pranata-pranata sosial lainnya sama-sama diakui keberadaannya secara setara dan
kegunaannya untuk mencapai cita-cita bersama.

6. Talcott Parson melahirhakn teori fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya, Parson
menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada
mahluk hidup. Komponen utama pemikiran Parson adalah adanya proses diferensiasi.
Parson berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang
berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi
masyarakat yang lebih luas.
Teori fungsionalisme structural Parson mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis
terhadap perubahan dan kelangsungan suatu sistem. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Gouldner “untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki
batas-batas strukturalna, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parson adalah tidak
bertentangan dengan pengalaman kolektik dengan realitas personal kehidupan sehari-hari
yang sama-sama kita miliki.
Teori Fungsionalisme Struktural menekankan kepada keteraturan (order) dan
mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah
fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Menurut teori ini
masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang
saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada
suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain.
Perubahan dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik,
penganut teori Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah
bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan. Robert
K. Merton sebagai penganut teori ini berpendapat bahwa objek analisa sosiologi adalah fakta
sosial seperti peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok
pengendalian sosial.
Hal penting yang dapat disimpulkan bahwa masyarakat menurut kacamata teori
fungsional senantiasa berada dalam keadaaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap
memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi
sistem sosial itu.Demikian pula dengan institusi yang ada, diperlukan oleh sistem sosial itu,
bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi
dinamika dalam keseimbangan.
Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan
kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung
seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Yang menjadi perhatian teori
ini adalah struktur sosial sertai berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dri
dalam maupun dari luar sistem sosial.
Menurut Parson, teori fungsionalisme structural diawali dengan empat skema penting
mengenai fungsi untuk semua sistem tindakan. Skema tersebut dikenal dengan sebutan
skema AGIL, yaitu adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal attainment (G), integrasi (i),
dan latensi (L). Integration adalah kordinasi atau kesesuaian bagian-bagian dari sistem
sehingga seluruhnya menjadi fungsional. Goal attainment adalah masalah pemenuhan tujuan
itu tergantung pada prasyarat yang dimiliki. Adaptation menunjuk pada kemampuan sistem
dalam menjamin apa yang dibutuhkannya dari lingkungan, serta mendistribusikan sumber-
sumber tersebut kedalam sistem. Dengan pernyataan lain, prasyarat fungsional itu antara
lain:
1. Adaptation suatu sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat
juga harus menyesuaikan dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan
kebutuhan atau keperluan baik yang sederhana maupun rumit harus mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan baik fisik maupun non fisik dan social
2. Goal attainment suatu sistem harus bisa menjelaskan dan mencapai tujuan utamanya.
Setiap tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu. Akan tetapi tujuan
individual seringkali bertentangan dengan tujuan-tujuan lingkungan sosial yang lebih
besar dari sekedar kepentingan individu.
3. Integration Setiap sistem harus mempertahankan kordinasi internal dari bagian-
bagian dan membangun komunikasi dengan setiap devisi atau harus
mempertahankan kesatuannya.
4. Latent maintenance Setiap sistem harus dapat menyeimbangkan keadaan sebisa
mungkin. Saling menjaga memelihara dan memperbaiki baik motivasi individual
maupun pola-pola cultural yang menciptakan dan menopang motivasi Dengan
menciptakan actor sebagai penyeimbang.
Dalam pandangannya, masyarakat merupakan bagian dari keseluruhan sistem
kehidupan. Menurutnya, teori fungsional organisasi masyarakat berdasarkan pada manusia
sebagai aktor yang membuat keputusan dan dibatasi oleh normatif dan situasional.
Berdasarkan pengembangan dari teori Talcot Parson, Bredemeir mengungkapkan suatu
analisis terhadap fungsi hukum dan hubungannya dengan sub sitem fungsional lain dari
masyarakat. Bredemeir yang memandang “a law as an intergrative mechanism”. Ia
membangun analisisnya tentang fungsi hukum sebagai mekanisme pengintegrasi atau
integrator dalam kerangka, yaitu adanya empat fungsional utama yang diobservasi didalam
suatu sistem sosia masing-masing, yaitu :
a. Adaptasi
b. Pencapaian tujuan
c. Mempertahankan pola
d. Integrasi
Bredemeir mengemukakan bahwa sistem hukum (badan pengadilan), merupakan
mekanisme yang berfungsi menciptakan integrasi yang menghasilkan kordinasi dalam
masyarakat. Didalam fungsinya menciptakan integrasi efeketivitasnya tergantung dari
berhasilnya sistem hukum menciptakan derajat stabilitas tertentu dalam proses hubungan
antar hukum dengan sektor lainnya.
Hukum disini ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik yang timbul
dalam masyarakat, saat terjadi sengketa dalam masyarakat. diperlukan tindakan agar
sengketa itu diselesaikan. Menyelesaikan sengketa-sengketa yang dihadapkan kepadanya
melalui pengadilan. Rakyat harus dapat dimotivasi untuk menggunakan institusi hukum
sebagai sarana penyelesaian konflik-konfliknya sehingga dari pengadilan itulah keadilan
dapat diberikan kepada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai