PENDAHULUAN
Hukum yang mengikuti masyarakat tentu harus terus berkembang sesuai dengan apa
yang dibutuhkan oleh masyarakat, melihat aliran Positivisme yang menyatakan bahwa hukum
adalah apa yang tertulis dalam perundang-undangan membuat hukum sulit berkembang
(kaku).Masyarakat harus mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh penguasa walaupun dalam
perundang-undangan yang berlaku bertentangan dengan masyarakat, tentu hal ini akan
menghilangkan hakikat hukum yang ingin menyelesaikan masalah masyarakat. Karena itu
maka munculah aliran Freirechlehre untuk mengatasi hal tersebut.
Aliran ini merupakan sintesis dari proses dialektika antara ilmu hukum analitis dan
hukum sosiologis.1 Adapun yang dimaksud dengan ilmu hukum analitis oleh Friedmann
adalah aliran yang dibawakan antara Austin, dan ilmu hukum sosiologis adalah aliran dari
Ehrlich dan Pound. Dari sekilas sejarah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa aliran
hukum bebas ini adalah aliran yang melihat hukum secara bebas dengan melihat unsur
analitis dan sosiologisnya.
Unsur analitis yang dibawakan olch Austin adalah aliran legisme yang memandang
bahwa hukum adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aliran ini sangat kaku
dalam memahami hukum, mengenai isi atau materi hukum bukan soal yang penting karena
hal tersebut menjadi kajian bidang kajian ilmu lain dan bukan wilayah kajian hukum. Ilmu
hukum hanya berurusan pada fakta bahwa ada tata hukum yang dibuat negara dan karenanya
harus dipatuhi. Jika hukum tidak dipatuhi maka akan ada sanksi. Hukum bukan persoalan adil
atau tidak adil dan juga bukan soal relevan atau tidak dengan pergumulan dunia riil. Satu-
satunya yang relevan jika berbicara tentang hukum adalah ia ada dan sah secara yuridis.
Maka menurut aliran ini hukum hanya sekedar kumpulan aturan formal yang dirumuskan
oleh negara.
Oleh sebab itu bagi Austin tata hukum itu nyata dan berlaku, bukan karena
mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (kontra Comte dan Spencer), bukan pula karena
hukum itu bersumber pada jiwa bangsa (Von Savigny), bukan pula karena cermin keadilan
(Socrates),tetapi karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang.
Untuk disebut hukum menurut Austin diperlukanunsur-unsur berikut:2
1. Adanya seorang penguasa dalam artian pemerintah
2. Adanya perintah dari penguasa
3. Kewajiban masyarakat untuk mentaati
4. Sanksi bagi mereka yang tidak taat
1
Sukarno Aburaera, Filsafat Hukum Teori dan Praktek, (Jakarta: Kencana 2013), hlm 147
2
Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,(Yogyakarta: Genta
Publishing, 2013),hlm 109
Lalu unsur sosiologis yang dibawa oleh Eugen Ehrlich adalah mengenai hukum yang
hidup didalam suatu masyarakat. Pertama-tama Ehrlich berpendapat bahwa hukum bukanlah
sebuah konsep intelektual, hukum adalah interaksi antar manusia karena itu hukum bukan
sesuatu yang formal.
Norma-norma hukum berasal dari kenyataan sosial yang demikian adanya, kenyataan-
kenyataan tersebut melahirkan hukum, menyangkut hidup bermasyarakat, hidup sosial. 3
Kesadaran manusia dalam memenuhi kebutuhannya menyebabkan timbulnya hukum secara
langsung, hukum ini lah yang disebut dengan “hukum yang hidup” (living law). Living law
adalah hukum yang berasal dan hidup didalam masyarakat tanpa ditambahkan sesuatu dari
luar secara historis yang dengan kata lain hukum yang asli dari masyarkat itu sendiri dan
hukum tersebut diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri.
PEMBAHASAN
Ajaran Hukum Bebas (Freirechtslehre) merupakan penentang paling keras positivisme
hukum,4 aliran ini sejalan dengan kaum realis di Amerika yang dimana didalam aliran Realis
di Amerika dalam menentukan hukum bersumber pada putusan hakim. Reaksi yang tajam
terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman. Reaksi itu dimulai oleh Kantorowicz
(1877-1940) yang dengan nama samaran Gnacus Flavius dalam tahun 1906 menulis “Der
Kamph um die Rechtswissenschaft”. Aliran baru ini disebutnya “Freirechtllich”(bebas) dan
dari situlah timbul istilah “Freirechtbewegung" atau "Freirechtslehre".5
Aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa
diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu kompleks dan dinamis. Dan kebenaran
yang riil bukanlah terletak pada peraturan perundang-undangan melainkan pada kenyataan
hidup yang riil. Hukum yang termuat pada aturan-aturan hanyalah suatu generalisasi
mengenai dunia yang diidealkan oleh masyarakat.
Sering ada banyak kebenaran yang seolah meminta kepastian mana yang lebih baik
dalam konteks tertentu. Salah satu diantaranya adalah kebenaran versi aturan hukum. Tidak
jarang bahkan sering kebenaran-kebenaran lain lebih unggul dari yang disodorkan aturan
formal. Mereka lebih relevan, lebih tepat, dan bahkan lebih bermanfaat untuk suatu konteks
riil,ketimbang kebenaran yang ditawarkan oleh aturan legal. Dalam hal ini seorang hakim
harus mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia harus memenangkan kebenaran yang
menurutnya lebih unggul meski dengan resiko mengalahkan aturan resmi atau legal.
Di mata Holmes6, aturan-aturan hukum hanya menjadi salah satu faktor yang patut
dipertimbangkan dalam keputusan yang berkualitas. Faktor moral, soal kemanfaatan, dan
keutamaan kepentingan sosial, misalnya menjadi factor yang tidak kalah penting dalam
mengambil keputusan yang berisi.
Seperti halnya Holmes, Jerome Frank memiliki pandangan yang sama. Menurutnya,
kebenaran tidak bisa disamakan dengan suatu aturan hukum. Boleh saja aturan mengandaikan
putusan-putusan hakim dapat diturunkan secara otomatis sesuai aturan. Boleh juga
mengandaikan bahwa isi aturan selalu benar dan baik, sehingga otomatis menjamin
3
Ibid, hlm 128
4
Op.Cit, hlm 147
5
http://logikahukum.wordpress.com/tag/aliran-aliran-penemuan-hukum/ diunduh pada 8 September 2023
6
Op.Cit, hlm 151
kepastian,keamanaan, dan harmoni dalam hidup bersama. Tapi itu tidak berlaku bagi seorang
yang berpikiran modern. Boleh jadi, itu hanya ilusi. Karena Faktanya seorang hakim dapat
mengambil keputusan lain di luar scenario aturan yang dari sisi keutamaan jauh lebih terpuji
dari yang ada dalam aturan. Memang kaidah-kaidah yang berlaku mempengaruhi putusan
seorang hakim. Tapi itu hanya salah satu unsur pertimbangan saja. Di samping itu,prasangka
politik, ekonomi, dan moral ikut pula menentukan putusan seorang hakim. Bahkan pula
simpati dan pribadi berperan dalam putusan para hakim tersebut.
Selain itu Cardozo memperingatkan subjektivisme pada teori diatas. Benar bahwa ada
ruang kebebabsan untuk hakim membuat putusan tapi hakim tidak boleh melupakan aspek
normative dari hukum yaitu melayani kepentingan umum dengan keadilan. Hakim dalam
membuat putusan tidak boleh berkembang secara bebas tanpa batas.7
Aliran ini menentang pendapat bahwa kodifikasi itu lengkap dan bahwa hakim dalam
proses penemuan hukum tidak mempunyai sumbangan kreatif. Tidak seluruh hukum terdapat
dalam undang-undang. Di samping undang-undang masih terdapat sumber-sumber lain yang
dapat digunakan oleh hakim untuk menemukan hukumnya. Mereka menganggap titik tolak
Montesquieu bahwa hakim tidak lebih dari corong undang-undang secara tegas merupakan
fiksi. Menurut mereka hakim tidak hanya mengabdi pada fungsi kepastian hukum, tetapi
mempunyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Pengertian-pengertian yang umum, luas
dan oleh karena itu kabur atau samar-samar seperti misalnya pengertian “itikad
baik",“ketertiban umum”, “kepentingan umum”, yang digunakan oleh pembentuk undang-
undang,dalam peristiwa konkrit tiap kali masih harus diisi atau dilengkapi. Putusan hakim
tidak selalu dapat dijabarkan dari undang-undang, karena setiap peristiwa itu sifatnya khusus
dan tidak benar kalau hakim selalu dapat menerapkan peraturan undang-undang yang umum
sifatnya pada situasi konkrit. Hakim tidak hanya wajib menerapkan atau melaksanakan
undang-undang,tetapi juga menghubungkan semua sifat-sifat yang khusus dari sengketa,
yang diajukan kepadanya, dalam putusannya.
Menurut Sudikno Mertokusumo,8 penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang
tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja, undang-undang bukan merupakan peranan
utama, tetapi sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut
hukum,dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang. Aliran hukum
bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum
yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, melainkan menciptakan
penyelesaian yang tepat untuk peristiwa yang konkret, sehingga persitiwa-peristiwa
berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.
Tidak mustahil penggunaan metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak
cara pendekatan problematic. Seorang yang menggunakan penemuan hukum bebas tidak
akan berpendirian: “Saya harus memutuskan demikian karena bunyi undang-undang
demikian".Ia harus mendasarkan pada berbagai argumen, antara lain undang-undang.°
Tujuan dari Freie Rechtslehre sendiri adalah sebagai berikut:9
a. Memberikan peradilan sebaik-baiknya dengan cara memberi kebebasan kepada hakim
tanpa terikat Undang-undang, tetapi menghayati tata kehidupan sehari-hari.
7
Ibid, hlm 151
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Ke-3, Yogyakarta: Liberty,1991.hlm.158
9
Farkhani, Filsafat Hukum, Solo: Kafilah Publishing; 2018, hlm 73
b. Membuktikan bahwa dalam Undang-undang terdapat kekurangan-kekurangan dan
kekurangan itu perlu dilengkapi.
c. Mengharapkan agar hakim memutuskan perkara didasarkan kepada ide (cita keadilan)
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Sukarno Aburaera, Filsafat Hukum Teori dan Praktek, (Jakarta: Kencana 2013),
Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2013),
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Ke-3,
Yogyakarta: Liberty,1991.
Farkhani, Filsafat Hukum, Solo: Kafilah Publishing; 2018
http://logikahukum.wordpress.com/tag/aliran-aliran-penemuan-hukum/
10
http://logikahukum.wordpress.com/tag/aliran-aliran-penemuan-hukum/ diunduh pada 8 September 2023