Anda di halaman 1dari 18

Pendahuluan

Manusia dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang


tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana
seharusnnya manusia itu betingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain
dan dirinya sendiri. Pedoman tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau
bersikap dalam kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada
hakekatnya merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya
dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan. Dengan
kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia,
sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan- kepentingannya. (Mertokusumo;
1999: 10).
Kaidah keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman manusia terhadap
kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama
yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari
tuhan. Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan
dengan kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan
bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat.
Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah
kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta
menyempurnakannya agar tidak berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan
kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir
pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan
menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar manusia yang
bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal. Sanksinya bersifat tak
resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan.
Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap
kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat
melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada
sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya apa yang dibatin, yang
dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum.
Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan
masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara
(Mertokusumo, 1999: 12).
Jika kaidah keagamaan, kesusilaan dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-
kewajiban (normatif) saja maka kaidah hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga
memberikan hak-hak (atributif). Menurut Satjipto Raharjo (2000: 17) kaidah hukum
merupakan resultan dari tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma
kesusilaan bersifat ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat empirik dan norma hukum
berada diantara keduanya. Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran studinya
terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum (norm
wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang
pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum
yang menghasilkan ilmu tentang kenyataan hukum (sein wissenschaft).
Aspek Ontologis dari Ilmu Hukum

Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah


atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan antara kaidah dalam arti yang
luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang
sempit, serta peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan
pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu)
tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak
diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar.
Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar
tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar
yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan
persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-
citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis.
Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau
temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri berupa
pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit
adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita
gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang
untuk dilakukan. Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen
wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan
mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu
konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari
konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan
hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban
serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian
tersebut akan membentuk ilmu hukum. Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-
kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum
baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di
masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini),
antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan
perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan
hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach).
Selain kaidah sebagai sasaran studi ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan
hukum juga menjadi sasaran yang penting untuk dikaji (Hartono, 1989: 13-20). Sistem
hukum adalah tatanan yang utuh yang didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem
yang masing-masing saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak
dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik
maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri (Mertokusumo, 1999: 115).
Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak jelas, tidak
lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan metode interpretasi atau
penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan yang tidak jelas (Loudoe; 1985: 124-
125). Ketidaklengkapan atau ketiadaan peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi
baik argumentum peranalogiam maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi
hukum (penyempitan maupun penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang
ada dianggap tiada dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada (Scholten, 1992: 67).
Proklamasi Kemerdekaan Negara RI yang dilaksanakan pada tanggal 17
Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem hukum kolonial dan menggantinya dengan
sistem hukum nasional. Terlepas pro dan kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini
kita telah memiliki sistem hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita
belum memiliki sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada ini masih
merupakan warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat
bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan aspek-aspek
kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya). Kita tidak dapat
membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena sistem hukum itu bersifat
given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang merupakan kelanjutan dari sistem
hukum kolonial secara step by step akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-
perobahan serta penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan
Grundnorm kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang
Dasar Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar
Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan dalam
hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan sebagai grundnorm.
Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang
masih berlaku karena ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945,
terutama dalam pelaksanaannya di lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah
menyesuaikan peraturan-peraturan warisan kolonial Belanda yang berjiwa materialistik,
kapitalistik dan individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas
keseimbangan).
Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan
dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di
Hindia Belanda
(sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu:
1. Hukum perdata barat (Eropa).
2. Hukum pertdata Islam.
3. Hukum perdata Adat.
Saat ini di masa kemerdekaan plularisme hukum tersebut masih merupakan
sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang
yang bercorak modern melalui peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat
maupun hukum Islam saling berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum
nasional tersebut dalam berbagai bidang melalui proses legislasi nasional.
Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis
monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada (Suriasumantri, 1990:
93) yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang
berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi
daripada roh/sukma/jiwa/spirit (Fadjar; 2007: 1-2).
Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum
nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal (Rasyid, 1991 : 6) yang meliputi
peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan
sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi
hukum yang hidup (living law) dan selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek
peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat
melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara
nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Dasar ontologis dari hukum Islam bersifat monisme yaitu idealisme atau
spiritualisme, bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal
dari roh/sukma/jiwa (Fadjar; 2007: 1-2), yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak
berbentuk dan tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada
nilai benda/materi/badan. Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan
hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang
hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme,
apalagi dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan
yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat
bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan (Fadjar, 2007: 1-
2). Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat
(Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19
daerah hukum adapt (Mertokusumo, 1999: 126), sehingga keberadaan hukum adat sendiri di
Indonesia sudah bersifat pluralistik.
Aspek Epistemologis dari Ilmu Hukum Epistemologi adalah yang terkait
dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan (Masruri dan Rosidy dalam
Fadjar, 2007: 4) (Suriasumantri, 1990: 106). Ia membahas tentang sumber, sarana dan
tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah, serta tolok ukur
bagai sebuah kebenaran dan kenyataan ilmiah. Sarana ilmiah dalam epistemologi adalah akal
atau akal budi, pengalaman atau kombinasi diantaranya, serta intuisi (Fadjar, 2007: 4). Dalam
konteks keindonesiaan dengan plularisme hukumnya, aliran epistemologi yang dianut oleh
hukum barat yang positivistik dan menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan
(Mertokusumo, 1988: 165-167) menurut hemat penulis adalah idealisme atau rasionalisme
dengan menekankan peranan akal sebagai sumber pengetahuan. Aliran epistimologi yang
dianut oleh hukum adat yang bersifat riil, terang atau jelas dan kontan, serta menitik beratkan
pada kebiasaan atau perilaku masyarakat (die normatieve kraft des factischen demikian kata
Jellineck), menurut hemat penulis adalah realisme atau empirisme dengan menekankan
peranan indra dan pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan. Adapun aliran
epistemologi dari hukum Islam menurut hemat penulis tidak dapat dikatakan idealisme atau
rasionalisme yang menekankan pada peranan akal.
Demikian pula tidak dapat dikatakan realisme atau empirisme yang
menekankan pada peranan indra dan pengalaman empirik (realitas), sebab Hukum Islam yang
berasal dari Ajaran Agama Islam bersumberkan kepada wahyu (lihat Anshari, 1987: 128-130)
sebagai sumber pengetahuan, baik yang didasarkan kepada kitab suci Al-Qur’an yang
berkedudukan sebagai wahyu primer maupun Al-hadist yang berkedudukan sebagai wahyu
sekunder. Keduanya dalam agama Islam dikenal sebagai sumber hukum atau dalil Naqli
(Khallaf, 1980: 24-50).
Disamping itu hukum Islam juga mengakui peranan akal (al-ra’yu) sebagai
sumber pengetahuan dan sekaligus sebagai sumber hukum yang dalam agama Islam disebut
sebagai sumber hukum atau dalil Aqli, tetapi kedudukanya tergantung dari sumber hukum
atau dalil Naqli, yakni untuk menjelaskan sumber hukum Naqli tersebut apabila tidak
ditemukan kejelasannya. Dengan catatan sumber hukum Aqli tersebut yang berupa ijma’
(kesepakatan para ulama) dan qias (analogi) tidak boleh menyimpang dari ketentuan sumber
hukum Naqli (Khallaf: 65-75).
Apabila dikaitkan dengan penggunaan indra atau pengalaman empirik (realitas)
sebagai sumber pengetahuan dalam hukum Islam, maka menurut hemat penulis hal itu pun
dijumpai seperti pada asas hukum (kaidah ushul fiqih) al-aadatu al- muhakkamah (kebiasaan
atau adat yang melembaga). Ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui sarana akal
atau akal budi, indra atau pengalaman empirik (realitas) dan lain sebagainya, telah
menghasilkan beberapa metode ilmu pengetahuan yaitu metode induksi, deduksi, positivisme,
kontemplatif dan dialektika (Fadjar, 2007: 5) (lihat juga Shah, 1986: 33).
Hukum sebagai ilmu pengetahuan dalam menyusun obyek atau bahan
ilmunya ke dalam struktur ilmu hukum yang konstruktif dan sistematis, juga menggunakan
metode-metode tersebut. Metode Induksi adalah metode berpikir dari yang khusus kepada
yang umum, sedangkan metode deduksi bersifat sebaliknya, yaitu metode berpikir dari yang
umum kepada yang khusus. Metode positivisme yang dipelopori oleh August Comte
berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan positif serta menolak diluar yang
positif termasuk metafisika. Sedangkan metode kontemplatif mengakui metode lain berupa
intuisi dan perenungan mengingat keterbatasan indra dan akal. Apabila ditarik ke dalam
dunia peradilan yang dikuasai oleh postulat keadilannya Aristoteles, bahwa peristiwa yang
sama diperlakukan sama (analogi) dan peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama (a
contrario), maka ada dua sistem untuk merealisir pokok pikiran tersebut yaitu sistem Anglo-
Amerika dan Sistem Eropa Kontinental. Sistem Anglo-Amerika mengikat hakim pada
precedent (The binding force of Precedent). Hakim Amerika akan berfikir secara induktif,
yaitu berfikir dari yang khusus kepada yang umum (Hukumnya dalam matematika
dirumuskan dengan dalil jika X : Y dan Y : Z, maka X : Z). Ia menemukan peraturan yang
dijadikan dasar putusannya dari deretan putusan-putusan sebelumnya (reasoning by analogy,
reasoning from case to case). Sedangkan Sistem Eropa Kontinental bertujuan mewujudkan
postulat kesamaan dengan mengikat hakim pada undang-undang, yaitu peraturan yang
sifatnya umum yang menentukan agar sekelompok peristiwa tertentu yang sama diputus
sama.
Dalam hal ini hakim terikat pada jalan pikiran deduktif, yaitu berpikir dari
yang umum kepada yang khusus. Ia harus mengkonkritisasi peraturan dan harus
mengabstraksi peristiwa. Subsumpsie dan sillogisme atau dialektika merupakan ciri khas dari
cara berfikir deduksi. Dalam sillogisme atau dialektika bunyi pasal undang-undang adalah
premis mayor atau thesenya, fakta atau peristiwa atau kasus konkritnya adalah premis minor
atau antithesenya dan bunyi putusan hakim adalah konklusi atau sinthesenya. Dengan
demikian sillogisme atau dialektika hanyalah memberi bentuk untuk membenarkan putusan,
sedangkan untuk menemukan putusannya diperlukan analogi dan acontrario (Mertokusumo,
1999: 167). Dalam bagan siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L.
Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology (Sumardjono, 1989: 3)
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan selalu berkembang karena dibantu oleh riset yang
dilakukan secara terus menerus. Riset atau penelitian tersebut memiliki dua ciri khas yaitu
penggunaan logika dan pengamatan empirik. Penggunaan logika meliputi baik logika deduksi
maupun induksi. Logika deduksi digunakan manakala hendak menyusun hipotesis, logika
induksi digunakan manakala hendak melakukan genaralisasi empirik dengan melakukan
abstraksi, sedangkan pengamatan empirik digunakan manakala hendak melakukan uji
hipotesis dengan melakukan observasi di lapangan.
Aspek Aksiologi Ilmu Hukum dalam Persoalan Euthanasia Aksiologis
merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai (value) (lihat Suriasumantri, 1990:
231) sebagai imperative dalam penerapan ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan yang
menampakkan diri dalam tiga dimensi yaitu ilmu sebagai masyarakat, ilmu sebagai proses
dan ilmu sebagai produk (Fadjar, 2004: 5). Ilmu sebagai produk adalah bebas nilai, namun
ilmu sebagai masyarakat dan sebagai proses senantiasa terikat oleh nilai sehingga harus tepat
nilai, tepat guna dan tepat sasaran. Nilai tersebut dalam konteks filsafat adalah meliputi
keindaha (estetika), kebaikan (etika), kebenaran (logika) dan bahkan kesakralan (agama)
(Supadjar dalam Fadjar, 2007:.
Dalam konteks aspek aksiologis ilmu hukum, salah satu materi kontroversial
yang paling banyak menyita perhatian kaum intelektual sejak dulu hingga kini dan dapat
dipastiakan juga untuk jangka waktu ke depan adalah masalah “euthanasia” atau hak untuk
mati. Kontroversi yang panjang tersebut melibatkan terutama kaum filosof, teolog, ahli
kedokteran dan ahli hukum. Kaum filosof dan teolog misalnya, cenderung menganggap
euthanasia sebagai pilihan manusia yang tidak dapat dibenarkan., sebaliknya para ahli
kedokteran dan hukum, paling tidak menurut pandangan yang lebih progresif relatif lebih
dapat menerimanya.Silang pendapat tersebut memperlihatkan kepada kita, betapa komplek
sesungguhnya permasalahan itu kemudian menimbulkan konflik-konflik nilai sebagai
konsekuensi dari implikasi sosial dan etika yang disandangnya.
Menyinggung soal etika, berarti kita berbicara tentang baik atau buruk, susila
dan asusila. Benar, bahwa agamapun berbicara soal yang sama, namun ukuran yang dipakai
berbeda dengan etika. Etika sebagai bagian dari filsafat menghendaki ukuran yang umum dan
universal. Kendati antara agama dan etika dapat dibedakan, namun sesungguhnya kedua
obyek tersebut tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam menyoroti permasalahan euthanasia
yang menjadi topik tulisan ini. Karena itulah membicarakan euthanasia sebagai aspek
aksiologis ilmu hukum, maka selain dimensi hukum dan etika, dimensi agama dengan nilai
kesakralannya (sekalipun hanya sekilas) tidak dapat diabaikan begitu saja. Menyadari luasnya
cakupan etika, maka dibatasi pembahasannya hanya pada etika dalam bidang kedokteran dan
hukum saja.
Bagaimanapun juga dua lapangan inilah yang paling banyak terlibat dalam
permasalahan euthanasia tersebut. Berdasarkan latar belakang itulah pembahasan selanjutnya
akan diarahkan kepada masalah pokok, yaitu bagaimana euthanasia dalam dimensi hukum
dan etika? Tentu saja dimensi hukum yang dimaksud sedikit banyak berpijak pada kundisi di
Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Terminologi Euthanasia dan Pengertiannya Istilah
“Euthanasia” secara etimologi berasal dari kata “eu” yang berarti baik tanpa derita, dan
“Thanatos” yang berarti mati, jadi secara sederhana euthanasia dapat diartikan sebagai bentuk
kematian dengan tanpa mengalami penderitaan (Martha, 1988: 1). Dalam berbagai
kepustakaan ditemukan sebutan lain untuk euthanasia seperti “mercy death”, “mercy killing”,
“hak untuk mati”, “kemerdekaan untuk mati”, “mati secara terhormat”, “hak untuk menolak
pengobatan”, “pembunuhan diri dengan bantuan” dan “bunuh sayang”.
Namun diantara sekian banyak istilah tersebut, euthanasia merupakan sebutan
yang paling mapan (Rahardjo, 1989: 1) dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current
English, euthanasia diartikan sebagai (bringing about of) easy and painless death (for persons
suffering from an incurable and painful disease). Blacks Law Dictionary mendefinisikan
euthanasia sebagai the act or practice of painlessly putting to death person suffering incurable
and distressing disease as an act of mercy. Batasan-batasan tersebut mirip dengan rumusan
dalam kode etik kedokteran (kodeki) Indonesia yang menyatakan euthanasia adalah
perbuatan untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien, yang menurut ilmu kedokteran tidak
akan sembuh lagi. (Adji, 1986: 130).
Demikian pula dengan rumusan yang diberikan oleh euthanasia studi group dari KNMG
(semacam IDI) di negeri Belanda, mengartikan euthanasia sebagai kesengajaan untuk tidak
melakukan sesuatu (nalaten) guna mememperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja
melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua
itu dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri (Ameln, 1984 : 4).
Tindakan euthanasia terjadi bilamana dokter mengambil nyawa (mematikan) si penderita
(pasien) atas permintaan yang bersangkutan, yang menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan secara medis, atau merasa sakit secara fisik akibat penyakit yang dideritanya,
yang tidak dapat disembuhkan secara medis (sahetapy, 1989: 2). Pada perkembangan
selanjutnya pengertian euthanasia mengalami modifikasi disana-sini, disertai bobot sesuai
dengan aspek tinjauannya. Dari beberapa batasan tersebut, para ahli lalu membedakan
euthanasia dalam 2 kategori. Dilihat persetujuan pihak korban, dikenal adanya euthanasia
sukarela dan tidak sukarela (Vrijwillige-Onvrijwillige Euthanasia). Euthanasia sukarela
adalah suatu penerapan euthanasia secara sungguh-sungguh (Uitdrukkelijik en ernsting)
dengan persetujuan dari pihak korban dan sebaliknya pada euthanasia tidak sukarela, adalah
yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak korban. Dari kedua kategori tersebut
yang dekat dengan rumusan pasal 344 KUHP adalah jenis pertama (Adji, 1989: 131).
Kategori berdasarkan persetujuan tersebut, masih dikenal lagi adanya euthanasia aktif
(positif) dan pasif (negatif). Kategori ini lebih banyak didasarkan pada bentuk tindakan
dokter. Euthanasia aktif adalah bila si pelaku (in casu dokter) mengusahakan agar korban
cepat menemui ajalnya dengan cara yang tidak menimbulkan sakit, sehingga orang tersebut
terbebas dari penderitaan yang berkelanjutan atau berkepanjangan, yang disebabkan oleh
penyakit yang tidak tersembuhkan lagi (Jakob, 1989: 12). Adapun teknik yang digunakan
pelaku biasanya memberikan obat-obatan atau suntikan tertentu kepada korban. Sedangkan
euthanasia pasif adalah tindakan sang pelaku dengan menghentikan segala usaha yang telah
dijalankan guna menyembuhkan korban. Dengan penghentian tersebut, diharapkan korban
lebih cepat meninggal dan berarti pendritaannya karena penyakit yang tidak sembuh-sembuh
itupun akan cepat berlalu.
Berpijak dari pembagian itu, A.M. Capron (1983) dalam Encyclopedia of Crime and Justice,
kemudian memerinci euthanasia dalam empat jenis yaitu :
1. Aktif atas pesetujuan korban (active voluntary euthanasie)
2. Pasif atas pesetujuan korban (passive voluntary euthanasie)
3. Aktif tanpa persetujuan korban (active nonvoluntary euthanasie)
4. Pasif tanpa persetujuan korban (passive nonvoluntary euthanasie)

Masalah euthanasia sebenarnya sudah dipersoalkan orang seiring dengan


berkembangnya ilmu kedokteran. Di sisi lain, euthanasia pun tidak dapat dipisahkan dengan
persoalan agama, filsafat dan hukum, khususnya dalam menyoroti esensi hidup dan
pandangan mereka terhadap perbuatan bunuh diri. Dalam sejarah agam Kristen misalnya,
dikenal adanya pembuangan bagi orang-orang yang menderita suatu penyakit tertentu seperti
lepra atau kusta, para penderitanya diasingkan secara khusus di pulau atau tempat terpencil.
Di tempat pembuangan tersebut, di tengah-tengah ketiadaan fasilitas medis, hampir
dipastikan para penderita tadi hanya menunggu saat ajal menjemput mereka. Tetapi seiring
dengan kemajuan ilmu kedokteran, pandangan agama terhadap para penderita penyakitpun
mulai berubah. Banyak penyakit yang semula dipandang incurable ternyata dapat
disembuhkan. Kemajuan ilmu kedokteran telah membawa banyak perbaikan terhadap kondisi
kesehatan manusia. Bersamaan dengan itu, kesadaran manusia untuk mempertahankan
hidupnya juga semakin tinnggi. Kendati demikian, seberapapun usaha manusia untuk
mempertahankan hidupnya agar semakin tinggi, namun kematian tetap harus dihadapi setiap
mahluk yang benyawa. Bukankah dengan arif agama mengajarkan bahwa tiap mahluk yang
bernyawa akan mati juga? Keinginan untuk mempertahankan hidup dan kenyataan bahwa
manusia harus menghadapi maut, menjadi bahan perdebatan yang sengit. Para ahli
kedokteran seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa si pasien (secara medis) tidak lagi
dapat disembuhkan, atau hanya dapat dikatakan hidup berkat bantuan alat-alat medis semata,
namun di sisi lain mereka dihadapkan pertimbangan etis apabila sengaja mengakhiri hidup
pasiennya. Di luar profesi kedokteran juga terjadi kontroversi yang tidak kalah serunya.
Berbagai kasus yang muncul di pengadilan membuktikan adanya gerakan pendulum etika
dalam menilai euthanasia ini. Menyimak pada yurisprudensi yang ada di negeri Belanda dan
Belgia, dapat diamati bahwa perkembangan euthanasia bergerak dari sikap melarang ke sikap
membolehkan. Dari putusan-putusan pengadilan yang terkumpul antara tahun 1952 hingga
tahun 1981, hampir semuanya memandang euthanasia sebagai perbuatan kriminal. Diantara
perkara euthanasia yang dibawa pengadilan dalam kurun waktu itu, hanya satu perkara
(1962) yang memberikan putusan bebas bagi terdakwanya. Pada tahun 1973, sebuah putusan
lainnya pernah membuat persyaratan bagi seorang ahli medis untuk dapat dilepaskan dari
pemidanaan karena euthanasia. Sedangkan untuk kasus Indonesia, sampai saat ini belum ada
putusan pengadilan yang secara khusus menyangkut permasalahan euthanasia. Kasus-kasus
yang bersangkutan yang berkaitan dengan dunia kedokteran biasanya lebih banyak berkenan
dengan malapraktek.
Konsep Etika
Etika yang dipungut dari bahasa yunani yaitu “Ethikos” (moral) dan “Ethos” (karakter),
mencakup pengertian sebagai upaya manusia untuk menilai, atau memutuskan suatu
perbuatan atau sikap, atau bagaimana suatu perbuataan harus dilaksanakan, yaitu perbuatan
atau sikap mana yang baik dan yang buruk (Dewabrata, 1989: 4). Sebagai ilmu, etika mencari
kebaikan. Sebagai filsafat, etika mencari keterangan (baik) yang sedalam-dalamnya, sehingga
ada yang menyebut etika itu sebagai filsafat kesusilaan (poedjawiyatno,1984 : 6). Ada juga
yang merumuskan etika sebagai a sitematic reflection upon human action, institution and
character (Krammer, 1988: 12).
Etika dengan demikian berusaha untuk memberi pentunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang
senantiasa kita ajuakan. Pertama, apakah yang harus aku/kita lakukan dalam situasi konkret
yang tengah dihadapi? Kedua, bagaimana kita akan mengatur pola koeksistensi kita dengan
orang lain? Ketiga, akan menjadi manusia apakah kita ini? Dalam konteks ini etika berfungsi
sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai
bersifat tragis. Etika berusaha mencegah tersebarnya “fracticida” yang secara legendaris dan
historis mewarnai sejarah manusia (Rahmat, 1992: 6). Sementara itu, fungsi etika dalam
perkembangan ilmu pengetahuan berwujud sebagai pengendali, penyaring, pengemudi dan
persemain ide-ide baru (Boedijah, 1992: 7). Etika berusaha dengan orthopraxis, yakni
tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu dipandang benar ditafsirkan
secara berbeda oleh aliran etika yang secara global dapat dibagi menjadi 2, yaitu aliran
deontologis (etika kewajiban), dan aliran teleologis (etika tujuan atau manfaat). Menurut
etika deontologis (dari kata deon, yang berarti kewajiban), suatu tindakan dipandang benar
bila tindakan itu sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Etika deontologis sangat
menekankan perlunya law and order dalam kancah kehidupan bermasyarakat, yang hanya
akan terjadi bila manusia mematuhi peraturan, baik aturan tuhan, alam, negara dan
seterusnya. Kesulitan yang membelit etika deontologis terletak pada pengandaiannya
(asumsi) bahwa fakta identik dengan das sollen, akibatnya etika deontologis sering memberi
kesan kaku, legalitik, dan konservatif karena melestarikan status quo. Etika teleologis (dari
kata teleos,yang berarti hasil atau tujuan), tindakan yang benar adalah tindakan yang berhasil
mencapai tujuan tertentu. Jadi dari buahnaya kita harus menilai benar tidaknya suatu
tindakan. Kesulitan yang membelit etika teleologis adalah kecenderungannya yang kuat
untuk menempuh jalan pintas, yakni tujuan menghalalkan segala cara : (Rahmat, 1992: 6-7).
Sebagaimana dipaparka sebelumnya, bahwa etika menghendaki ukuran-ukuran yang umum
(universal). Inilah yang membedakannya dengan agama, tetapi agama sendiri tidak lalu harus
dipertentangkan dengan etika. Agama menjadi salah satu sumber bagi etika disamping
sumber-sumber lain seperti adat-istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa atau negara. Bagi
bangsa Indonesia, sumber etika yang paling penting untuk diterapkan di Indonesia tentu saja
Pancasila. Dari etika yang cakupannya sangat luas tersebut, dijabarkan lagi menjadi bagian-
bagian yang lebih spesifik dan sektoral. Karena itulah, kemudian kita mengenal istilah seperti
etika kedokteran, etika jurnalistik, etika bisnis dlsb. Etika tersebut ada yang masih berupa
norma-norma sosial yang tidak mengikat, tetapi ada pula yang sudah dirumuskan dalam
bentuk kode etik. Dengan demikian kita lalu mengenal pula banyak kode etik seperti kode
etik kedokteran (kodeki), yang dijadikan sebagai a systematic reflection upon human action,
institution and characternya kaum ahli di bidang kedokteran, demikian juga kode etik ahli
hukum seperti kode etik advokat, kode etik hakim, kode etik jaksa dan kode etik notaris, serta
lainnya. Etika, seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak saja berfungsi sebagai pengendali
dan penyaring, tetapi juga sebagai sumber persemaian ide-ide baru. Dalam pembahasan
selanjutnya akan diuraikan bahwa dalam kaitannya dengan euthanasia, etika memegang
peranan penting maupun sebagai persemaian ide-ide baru yang dimaksud. Euthanasia dalam
Perspektif Etika dan Hukum Etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, atau yang
susila dan asusila serta dalam kerangka itulah euthanasia akan dinilai dalam perspektif etika.
Etika deontologis memberi pedoman bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai
dengan norma sosial yang dijadikan sebagai acuan. Padahal norma sosial itu tidaklah tunggal.
Norma agama, norma kesusilaan., norma sopan santun dan norma hukum adalah bagian dari
norma sosial itu (Purbacaraka, 1978: 16). Dengan demikian tindakan euthanasia baru
dianggap etis apabila telah dapat diterima oleh semua norma sosial tersebut. Jika mengacu
pada konsep etika teleologis yang semata-mata mengutamakan tujuan dan kemanfaatan juga
sangat relatif sifatnya. Tujuan dan kemanfaatan menurut siapa? Apakah mengacu kepada the
greatest good for the greatest number yang terbukti berat sebelah itu? (Metokusumo, 1999:
61).
Karena sulitnya mencapai ukuran menurut dua aliran etika tersebut, maka kita sebaiknya
menghindar dari dikotomi antara etika deontologis dengan teleologis tersebut, dengan
menggali kembali situasi primordial yang telah menggodok lahirnya kepekaan dan
keprihatinan etis. Keprihatinan utama etika bukanlah melestarikan norma-norma sosial atau
merealisasikan aneka macam tujuan subyektif, melainkan melindungi kehidupan dan
menanggapi penderitaan manusia. Dengan kata lain titik tolak konkrit etika bukanlah tertib
umum yang tidak boleh diganggu gugat atau tujuan subyektif yang terasa mendesak,
melainkan protes terhadap kesengsaraan dan penindasan manusia yang selalu terjadi.
Ancaman dan pemerkosaan terhadap humanum yaitu kemanusiaan yang layak dirindukan
akan membakar kepekaan etis manusia. Dengan demikian dua prinsip utama etika adalah
prinsip benefience (berbuatlah baik terhadap sesama) dan prinsip nonmalefience (janganlah
berbuat jahat terhadap sesama), sehingga ukuran baik dan buruk suatu tindakan manusia
adalah penderitaan sesama manusia agar ia dapat menjadi penjaga dan bukannya menjagal
atas sesamanya. Manusia yang etis adalah yang dapat bertanggung jawab terhadap nasib
sesamanya. E.Levinas mengatakan respondeo ergosum (aku bertanggungjawab, jadi aku
sungguh ada). Dihadapkan pada konteks penderitaan manusia, rasa tanggung jawab untuk
berbuat baik dan mencegah kejahatan, maka tindakan yang benar (ortopraxis) didasarkan
pada dua tindakan (praxis) yaitu tindakan yang nyata guna membebaskan manusia dari situasi
hidup yang gawat dan rawan (praxis liberasi) dan tindakan yang nyata guna menciptakan
perdamaian diantara pihak yang bertentangan (praxis rekonsiliasi). Apabila kedua praxis
tersebut diterapkan terhadap kasus euthanasia, kiranya dapatlah dijawab bahwa euthanasia
dapat dipandang etis dengan beberapa persyaratan. Pertama, euthanasia harus dilandaskan
pada satu tujuan semata ialah untuk membaskan manusia dari penderitaan. Namun sebelum
tindakan diambil, terlebih dahulu harus didukung oleh suatu analisis ilmiah, khususnya dari
aspek ilmu kedokteran dan hukum. Dari ilmu kedokteran, korban euthanasia haruslah dapat
dipastikan kondisi penyakitnya memang tidak dapat disembuhkan lagi dan jika dibiarkan
korban akan jauh lebih menderita lagi keadaannya. Selain itu, harus pula dipastikan dengan
analisis ilmiah bahwa kematian yang dijalani oleh korban dilakukan dengan teknik yang
memenuhi persyaratan sebagai mercy killing. Dari aspek ilmu hukum analisis ilmiah juga
perlu dilakukan seperti betulkah kematian itu didasari alasan untuk kepentingan korban saja?.
Di Indonesia sendiri, penilaian baik dan buruk terhadap euthanasia dapat dikatakan belum
sepenuhnnya dilakukan. Mengingat Pancasila sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari
segala sumber hukum, maka sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan
euthanasia berpedoman pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan perundang-
undangan yang mengatur euthanasia masih bersumberkan kepada hukum warisan kolonial
belanda yaitu pasal 338, pasal 359 dan pasal 345 KUHP yang tidak secara langsung
menunjuk kepada euthanasia. Satu-satunya pasal yang agak dekat kaitannya adalah pasal 344
KUHP. Dalam pasal 344 KUHP dikatakan barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Redaksi pasal tersebut menunjukkan adanya
persamaan dengan jenis euthanasia aktif atas persetujuan korban adanya kesukarelaan korban
tersebut terlihat dari permintaanya sendiri yang dinyatakan dengan jelas dan sungguh-
sungguh. Larangan tersebut dapat ditafsirkan sebagai larangan terhadap euthanasia dan dalam
rancangan KUHP baru larangan tersebut masih dipertahankan (Sahetapy, 1989: 4).
Namun demikian terbukti pasal tersebut tidaki lagi ditertapkan secara kaku. Beberapa putusan
pengadilan di Belanda dan Belgia membuktikan adanya pergeseran pandangan, sedangkan
untuk Indonesia belum ada putusan mengenai euthanasia. Dari yurisprudensi tahun 1952 s/d
1981 disebutkan bahwa euthanasia dapt dikeluarkan dari pemidanaan dengan syarat-syarat
tertentu bahkan putusan pengadilan tinggi di Luik pada tahun 1962 pernah membebaskan
dokter yang melakukan euthanasia terhadap pasiennya (Adji, 1986: 132). Dalam konteks
Indonesia pergeseran pandangan tentang euthanasia dapat dilihat dari hasil penelitian Satjipto
Rahardjo dkk dari Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 1989 yang meneliti respon
dokter dan ahli hukum terhadap euthanasia yang hasilnya dari jawaban 38 responden yang
terjaring, 14 responden dokter menyatakan setuju dan sisanya dari responden sarjana hukum
menyatakan tidak setuju terhadap euthanasia. Dari 7 dokter yang terjaring 5 diantaranya
menjawab setuju, sedangkan dari 25 sarjana hukum yang terjaring 12 sarjana hukum yang
menyetujui euthanasia. Sementara itu dari 14 responden menyatakan permintaan euthanasia
sebaiknya dilakukan oleh keluarga korban (50%), permintaan oleh korban sendiri (36%)
dandan oleh kedua-duanya (70%). Juga yang menarik adalah pendapat dari 38 responden
yang menyatakan bahwa euthanasia adalah masalah kemanusiaa (8%), masalah agama (8%),
masalah kedua-duanya (84%). Terlepas dari valid tidaknya data tersebut, ilustrasi tadi
membuktikan bahwa pandangan masyarakat Indonesia yang beretika Pancasila telah bergeser
dari ketentuan yang melarang euthanasia. Bahkan para dokter yang terikat kode etik
kedokteran dan sumpah dokter yang memuat larangan melakukan euthanasia ternyata jauh
lebih permisif jika dibandingkan sarjana hukum. Adanya pergeseran sikap tersebut
menunjukkan euthanasia sebagai materi ilmu pengetahuan selalu mendapat masukan-
masukan baru (heuristik). Namun masukan-masukan hasil persemaian ide-ide baru tersebut
tidak begitu saja diterima melainkan harus dikendalikan oleh etika sebagai kosekuensi logis
dari aspek aksiologis dari ilmu hukum khususnya dalam persoalan euthanasia. Proses yang
saling mendukung dan mempengaruhi ini berlangsun dalam suatu siklus yang tidak pernah
berhenti. Kesimpulan Filsafat hukum Indonesia dan teori hukum Indonesia yang hendak
dibentuk dan digagas serta dikembangkan hingga ilmu hukum Indonesia secara sistematis
tentunya didasarkan pada nilai pandangan filsafat pancasaila yang memiliki aspek ontologi
monodualisme atau mono plularisme. Bahwa hakikat dari kenyatan yang ada sumber aslinya
berupa baik materi atau rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri serta bahkan
segala macam bentuk merupakan kenyataan. Oleh karena itulah pandangan filsafat Pancasila
yang menjadi dasar dari filsafat hukum Indonesia, teori hukum Indonesia. Demikian pula
dengan aspek epistemologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia yang hendak digagas,
dibangun dan dikembangkan tersebut, maka sebagai konsekuensi asas keseimbangan dari
nilai pandangan filsafat Pancasila tentunya sumber pengetahuan dari bangunan ilmu hukum
Indnesia tersebut akan mengakui baik idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada
peranan akal juga akan mengakui realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan
indra atau pengalaman empirik, serta mengakui pula peranan wahyu sebagai sumber
pengetahuan yang tidak kalah pentingnya. Terhadap aspek aksiologi dari bangunan ilmu
hukum Indonesia, maka tidak bebas nilai terutama jika dikaitkan dengan implementasi ilmu
hukum tersebut dimasyarakat dan sebagai proses seperti ditunjukkan dalam studi kasus
euthanasia, nampak bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum
pada khususnya, sarat dengan balutan nilai-nilai moral atau etika, terutama nilai pandangan
Pancasila tentang moral (perilaku yang baik dan yang buruk) juga nilai-nilai keagamaan yang
bersifat sakral Dalam implementasinya pandangan nilai keseimbangan dari filsafat Pancasila
tersebut saat ini telah mengalami distorsi karena perkembangan masyarakat Indonesia sendiri
yang telah mengalami trasformasi sosial budaya, yaitu yang dulunya sebagai masyarakat
agraris yang bersifat paguyuban (gemeinschaft) menuju ke arah masyarakat industri yang
bersifat patembayan (gesselschaft), serta adanya pengaruh dari globalisasi dunia yang sulit
untuk ditolak, sehingga nilai-nilai spiritualisme telah tergerus oleh nilai-nilai materialisme.

PENGERTIAN FILSAFAT ILMU


Filsafat ilmu merupakan bagian dari
Epistemology (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
(pengetahuan ilmiah). Menurut The Liang Gie (1999) filsafat ilmu adalah segenap pemikiran
reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia.
Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan
pemekarannya
bergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Obyek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan karena itu, setiap saat ilmu itu berubah
mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama.
Pengetahuan
lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru.
Oleh karena itu diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakikat dari ilmu
pengetahuan itu
bahkan hingga implikasinya ke bidang
-
bidang kajian lain seperti ilmu
-
ilmu kealaman.
Dengan
demikian setiap perenungan yang mendasar mau
-
tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke
dalam kawasan filsafat.
Dengan filsafat ilmu kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan
metodenya prasuposisi ilmunya, logika validasinya, st
ruktur pemikiran ilmiah dalam konteks
dengan realitas
in concreto
sedemikian rupa sehingga seorang ilmuan dapat terhindar dari
kecongkaan serta kerabunan intelektualnya.
Filsafat Ilmu memiliki tiga landasan pendekatan yaitu sebagai berikut:
1.
Epistemology
Epistemology
berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan, merupakan
gabungan dua kata
Episteme
: pengetahuan; dan logos
, theory. Epistemologi merupakan cabang
ilmu filsafat yang menengarai masalah
-
masalah filosofi hal yang mengitari teor
i ilmu
pengetahuan. Sebagai bagian dari filsafat yang meneliti asal
-
usul, asumsi dasar, sifat
-
sifat dan
bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah
model
filsafat. Jadi epistemologi menentukan karakter pengetahuan bahka
n menentukan “kebenaran”
macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Apabila kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi, disusun sistematis
dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah
kebenaran
fakta/kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat
diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya. Dengan memperhatikan definisi
epistemologi bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah i
lmu, makrifat
dan pengetahuan. Epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan
membahas
tentang batasan, dasar, dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas dan kebenaran
ilmu,
makrifat, dan pengetahuan manusia.
2.
Ontologi
/ Metafisis
Pendekatan metafisis membicarakan hakikat apa yang dikaji ilmu pengetahuan. Berusaha
menjawab, apakah obyek yang ditelaah adalah ilmu? Bagaimana wujud yang hakikat dari
obyek
tersebut dan juga bagaimana hubungan subyek (manusia) dengan obyek i
lmu?.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu,
membahas tentang yang ada universial, menampilkan pemikiran semesta universial, berupaya
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Objek formal ontologi ada
lah hakikat seluruh
realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, kajiannya
akan
menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran
-
aliran materialisme, idealisme,
naturalisme, atau hylomorphisme.
L
au
orens Bagus
memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu abstraksi
fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan
sifat
khas sesuatu obyek; sedangkan abstraksi bentuk mendiskripsikan sifat umum yang menjadi
ciri
semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetengahkan prinsip umum yang
menjadi
dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi
metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus dib
edakan menjadi dua yaitu
pembuktian
a priori
dan pembuktian
a posteriori.
Dengan demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji
wujud
(being)
dalam perspektif
ilmu

ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang wujud
dala
m perspektif objek materil ke
-
ilmuan, konsep
-
konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu
ditelaah secara kritis dalam ontologi ilmu. Ontologi adalah hakikat yang

Ada

(being,sein)
yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.
3.
Aksiologi
.
Aksiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai
-
nilai. Disebut teori tentang nilai sebagai
filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahuan manusia.
Aksiologi menjawab, untuk
apa pengetahuan itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut
dengan
kaidah
-
kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan
-
pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural ya
ng merupakan operasionalisasi metode
il
miah dengan norma
-
norma moral (
Jujun S. Suriasumantri
,
1985:71).
HAKIKAT KEILMUAN ILMU HUKUM
Ilmu Hukum dalam perkembangannya selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu,
baik oleh ilmuwan sosial maupun ilmuwan h
ukam sendiri. Sudah sejak lama sebuah pertanyaan
timbul dan harus dijawab secara akademis, apakah ilmu hukam itu ilmu. Dari segi kajian,
penelitian ilmu hukum pada dasarnya bukanlah untuk melakukan verifikasi atau menguji
hipotesis sebagaimana penelitian i
lmu sosial maupun penelitian ilmu alamiah. Dalam penelitian hukum
tidak dikenal istilah data.
Perbedaan metode kajian terhadap ilmu hukum pada dasarnya,
beranjak dari sifat dan karakter ilmu hukum itu sendiri.
Pandangan
epistemologi bisa merujuk p
endapat
Philipus M. Hadjon, yang mengemukakan
bahwa ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis, dan
preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif mempelajari tujuan hukum, nilai
-
nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep
-
konsep hukum dan norma
-
norma hukum. Sebagai ilmu
terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, rambu
-
rambu dalam menetapkan aturan. Ilmu
hukum dibagi menjadi tiga lapisan yaitu dogmatik hukum, teori hukum dan filafat hukum.
Ilmu
hukum dalam kenyataann
ya juga mempunyai dua aspek yaitu aspek praktis dan teoretis. Ilmu
hukum dalam aspek praktis digunakan untuk memecahkan masalah hukum. Dalam tataran
teoretis ilmu hukum digunakan untuk pengembangan ilmu melalui penelitian normatif
dengan
pendekatan undang
-
undang, pendekatan kasus, pendekatan kompara
tif dan pendekatan
konseptual (
Peter Mahmud, 2005:15).
Pandangan d
ari aspek ontologi ilmu hukum obyek kajiannya adalah hukum. Mempelajari
hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Sedangkan arti hukum sebagai
obyek
kajian ilmu hukum ada beberapa pengertian misalnya Van Kan menyatakan bahwa hukum
adalah ketent
uan hidup yang bersifat memaksa yang melindungi kepentingan orang dalam
masyarakat.
Rudolf
von Jehring
menyatakan hukum adalah keseluruhan peraturan atau ketentuan
yang bersifat memaksa yang berlaku dalam suatu negara. E
.
Utrecht menyatakan hukum adalah
hi
mpunan petunjuk hidup yang mengandung perintah dan larangan yang mengatur tingkah laku
atau ketertiban dalam masyarakat dan bagi yang melanggar akan dikenai tindakan penguasa.
Pandangan d
ari aspek aksiologi dapat diuraikan tentang kegunaan dari il
mu hukum
yaitu
sebagai berikut
:
1)
mempersiapkan putusan hukum pada tataran mikro maupun makro;
2)
menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu;
3)
mengeliminasi kontradiksi yang tampak dalam tat
a
hukum; kritik dan menyarankan
amandemen terhadap peraturan dan undang
-
unda
ng yang ada serta pembentukan peraturan
perundang
-
undangan yang baru;
4)
analsis kritis terhadap
putusan hakim untuk
pembina
an yurisprudensi (
Arif Sidharta, 2000:216).
Sementara itu tujuan ilmu hukum adalah antara lain :
1)
Memaparkan sec
ara sistematis material
hukum (
produk perundang
-
undangan, yurisprudensi,
hu
kum tidak tertulis, dan doktrin
);
2)
Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu dengan mengacu aturan hukumyang
relevan;
3)
Memberikan penjelasan historis tentang situasi tatanan hukum yang berlaku;
4)
Memberik
an kritik terhadap tatanan hukum, aturan hukum positif atau putusan hukum
berdasarkan doktrin, kebijakan dan politik hukum yang sudah disepakati dengan mengacu
cita hukum, cita negara dan tujuan negara;
5)
Merekomendasikan interpretasi terhadap aturan hukum,
jika aturan hukum itu kabur atau
tidak memberikan kepastian;
6)
Mengusulkan amandemen terhadap peraturan perundang
-
undangan yang ada atau
pembentukan undang
-
undang baru (Arief Sidharta, 2000:106).
KESIMPULAN
Baik dari aspek praktis maupun teoretis ilmu hukum juga berkaitan dengan moral, antara
moral dan hukum merupakan dua hal yang bisa dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan,
seberapapun hukum selalu mengandung nilai
-
nilai moral. Dengan demikian berdasarkan u
raian
di atas, maka tidak perlu diragukan lagi mengenai keberadaan ilmu hukum seb
DAFTAR PUSTAKA

 A.Muktie Fadjar., Aspek-Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis


Kefilsafatan Ilmu (Hand Out Mata Kuliah Filsafat Ilmu PDIH Unibraw ), Malang,
2007.
 A.B. Shah., Metodologi Ilmu Pengetahuan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986.
 A.Wahab Khallaf., Ushul al Fiqh (Edisi Bahasa Indonesia oleh Tolchah Mansoer dan
Nur Iskandar), 1980, Yogyakarta.
 Agus Rahmat., Titik Sentuh antara Etika dan Ekonomi, Pro Justitia No.2 Tahun X,
April 1992, Bandung.
 Aroma Elmina Martha., Pengkajian Hak Untuk Mati padaMasyarakat Indonesia,
Maka pada seminar regional mahasiswa hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajya
Yogyakarta pada 24-25 April 1989.
 Charles L. Krammer., Ethics and Liberation, Orbit Books, New York, 1988.
Dewabrata., Makna Kode Etik, Kompas 13 Mei 1989, Jakarta.
 Endang Saifuddin Anshari., Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu,1987,
Surabaya.Fred Ameln., Euthanasia Ditinjau dari Segi Yuridis, seminar BPHN
November 1984 di Jakarta.
 L.R. Pudjawiyatna., Etika, Filsafat Tingkah Laku, Bina Aksara, Jakarta 1984.
 John Z Loudoe., Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, PT Bina Aksara,
Jakarta, 1985.
 Jujun S Suriasumantri., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Hara
Pan, Jakarta, 1990.
 J.E. Sahetapy., Euthanasia Suatu Kajian terhadap Legalitik Positivistik, Makalah
seminar Regional mahasiswa hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya
Yogyakarta 24-25 April 1989.
 Maria SW Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, FH UGM,
Yogyakarta,1989.
 Paul Scholten., Mr.C.Assers, Hanleiding Tot De Beofening Van Het Nederlandsch
Burgerlijk Recht : Algemeen Deel (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Siti
Sumarti Hartono), Gadjah Mada University Press, Jogyakarta, 1992.
 Purnadi Purbacaraka dan Soeryono Soekanto., Perihal Kaedah
Hukum,Alumni,Bandung, 1978.
 Roihan A Rasyid., Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.
 Satjipto Raharjo., Tinjauan Sosiologis terhadap Hak untuk Mati, Makalah Seminar
Regional Mahasiswa Hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25
April 1989.——-., Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
 Siti Sumarti Hartono., Penemuan Hukum dari Montesque sampai Paul Scholten,
Majalah Mimbar Hukum FH UGM Jogyakarta No.8/I/1989 Hal. 13-21.
 Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988.
——-., MengenalHukum Suatu Pengantar, Liberty,Jogyakarta,1999. Teuku Jacob.,
Hak untuk Mati: Aspek Biomedis, Makalah Seminar Regional Maha Siswa Hukum se
DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 19889. Umar Seno Adji.,
Euthanasia (Dalam Varia Peradilan No.14 Bulan November 1986)
 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, CV.
Mandar Maju : Bandung.
 Jujun S. Suriasumantri, 1985, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
 Philipus M. Hadjon, 2005, Argumentasi Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
 Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada media Group, Jakarta
 Trianto &Titik Triwulan Tutik (Penyunting ), 2007,
 Bunga Rampai Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum ( Suatu Tinjauan dari Sudut
Pandang Filsafat Ilmu ),Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
 Yus Sudarso dkk, 2007, Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu (Dalam
Bunga Rampai Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum), Penyunting Trianto dan Titik
Triwulan Tutik , Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai