Hukum adalah perintah dari penguasa, hakikat hukum adalah pada perintah. Hukum
dipandang sebagai sesuatu yang tetap, lgis dan tertutup. Bahkan Austin menjelaskan pihak
superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu
memaksa orang lain untuk taat. Ia memberkukan hukum dengan cara menakut-nakuti dan
mengarahkan tingkah orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang
memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya, sehingga dibedakan menjadi 2
(dua) jenis yaitu : Hukum dari Tuhan untuk Manusia dan Hukum yang dibut oleh manusia itu
sendiri.
Hukum yang dibuat oleh manusia dibagi kembali ke dalam 2 dua hal yaitu Hukum
yang sebenarnya dan Hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang dalam arti sebenarnya
disebut hukum positif meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang dibuat
oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya secara
individu. Sementara huku yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh
penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari suatu
organisasi olah raga. Adapun hukum yang sebenarnya memiliki 4 (empat) unsur yaitu
Perintah, Sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.1
Sehingga pemikiran Sosiologi ditandai oleh karakter seperti, pertama bahwa hukum
sebagai suatu metode kontrol sosial. Kedua, disamping itu para ahli hukum sosiologu sangat
skeptis dengan aturan-aturan yang ada dalam buku hukum yang terkodifikasi, karena yang
utama adalah hukum dalam kenyataan aktualnya. Ketiga adalah para ahli hukum sosiologis
pada umumnya sepakat bahwa pentingnya memanfaatkan ilmu sosial, termasuk sosiologi.
Pada tataran teoritik terdapat istilah Sociology of Law sedangkan pada tataran filsafat
dipergunakan istilah Sosiological Jurisprudence. Meskipun secara sepintas ada kesamaan
antara Sociology of Law dengan Sociological Jurisprudence, dan keduanya memang tidak
dapat dipisahkan, tetapi keduanya harus dibedakan. Sociology of Law adalah bagian atau
cabang Ilmu Sosiologi (Ilmu-Ilmu Manusia) dengan objek studinya tentang hukum,
sedangkan Sociological Jurisprudence termasuk cabang ilmu filsafat hukum yang
mempelajari hubungan timbal balik antara pengaruh hukum dan masyarakat. Kesamaan
1
. Kamarusdiana. Filsafat Hukum. Jakarta : UIN Jakarta Press. 2018, Hlm. 69
antara Sociology of Law dan Sociological Jurisprudence terletak pada optik yang dipakai
yaitu sama-sama menggunakan perspektif sosial dalam memahami hukum.
1. Menemukan hukum;
2. Menafsirkan hukum; dan
3. Menerapkan hukum.
Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan aspek- aspek yang ada di
tengah-tengah masyarakat untuk diangkat dan diterapkan ke dalam hukum. Bagi aliran
Sociological Jurisprudence titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-
undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi terletak pada masyarakat itu sendiri. Dalam
proses mengembangkan hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai
yang dianut dalam masyarakat bersangkutan. Lebih lanjut Roscoe Pound berpendapat hukum
adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social
engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya tersebut Pound mengedepankan rasa
keadilan yang ada di masyarakat. Pandangan aliran Sociological Jurisprudence, dapat
dirumuskan sebagai berikut :
“.....Hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial untuk memuaskan kebutuhan
masyarakat, tuntutan, permintaan, dan pengharapan yang terlibat dalam kehidupan
masyarakat....".
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ekspektasi yang hidup di masyarakat termasuk di
dalamnya nilai-nilai keadilan yang ada harus dikedepankan demi terwujudnya tatanan
hukum.
2
. Aprita, Serlika dan Adhitya, Rio. Filsafat Hukum. Depok : Raja Grafindo Persada. 2020. Hlm, 116
suku dan kebutuhan hukum yang diinginkan masyarakat. Maka sudah sepantasnya,
pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan skema bottom to top
(dari masyarakat ke negara) bukan sebaliknya yaitu top to bottom (dari negara ke
masyarakat).
Para legislator dan legal drafter harus rajin turun ke mesyarakat untuk mendengarkan
apa kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang ditemuinya dalam sebuah rancangan undang-
undang yang akan dibahas. Jika ini dilakukan maka akan ada “ikatan batin” antara rakyat
dengan undang-undang yang akan mereka gunakan sehingga otomatis pelaksanaan undang-
undang akan efektif dijalankan. Tetapi sebaliknya jika para legislator dan legal drafter
menggunakan skema top to bottom, maka akan ada pemaksaan hukum dari negara kepada
masyarakat sehingga reaksi seperti penolakan dan pembangkan terhadap hukum yang tidak
memihak kepada rakyat akan terjadi. Dalam upaya negara membangun hukum nasional,
aspek sosiologis harus menjadi elemen penting yang dipertimbangkan oleh negara. Apalagi
saat ini sudah masuk di era digital. Sebagaimana diketauhi bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam beberapa dekade terakhir dan beberapa dekade ke depan
beserta penerapannya akan membawa perubahan yang besar dalam segenap kehidupan
masyarakat, cara berbisnis, dan perubahan sistem nilai, baik sistem nilai moral, etika, maupun
hukum. Oleh karena itu, hukum harus melakukan transformasi yang cepat terhadap
perkembangan teknologi tersebut. Perlu ada pengembangan hukum siber (cyber law)
terhadap praktik bisnis digital di Indonesia.
Dapus
Aprita, Serlika dan Adhitya, Rio. Filsafat Hukum. Depok : Raja Grafindo Persada. 2020
3
. Indra Rahmatullah. (2021). Filsafat Hukum Sosiologis (Sosiological Jurisprudence); Konsep dan Aktualisasinya Dalam Hukum
Indonesia. Vol. 5. Hlm, 26