Anda di halaman 1dari 5

1.

Berdasarkan artikel diatas disampaikan bahwa pemberlakuan PPKM yang merupakan


solusi untuk mengurangi kasus covid 19 dalam implementasinya menimbulkan beragam
persoalan, analisislah hal tersebut berdasarkan pemikiran Roscoe Pound tentang
hukum!

Dengan meningkatnya kasus Covid 19 membuat pemerintah mengambil langkah-


langkah yang dianggap efektif sabagai upaya pencegahan penularan virus Covid 19,
salah satunya dengan memberlakukan sitem PPKM pada masyarakat,dengan
berlakukanya PPKM ini merupakan langkah yang di anggap cukup efisien untuk
menekan angka penularan virus Covid 19 di masyarakat.akan tetapi pemberlakuan
sistem PPKM ini tidak serta merta menjadi solusi yang tepat di tengah wabah pandemi
ini,dengan adanya PPKM akan meninbulkan problem-problem baru di
masyarakat,dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan ini membuat perekonomian
masyarakat melambat.

Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool
of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan
keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia
dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan
tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang
bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang
dilakukan oleh penguasa negara. Dalam kasus seperti ini jika di tinjau dari pandangan
hokum menurut Roscoe Pound hukum itu alat yang bertujuan untuk menciptakan
harmoni dan keserasian yang secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan
kepentingan manusia dan tidak memihak, dari pandangan hukum menurut Roscoe
Pound ini seharusnya pemerintah harus menkaji lebih dalam lagi mengenai
pemberlakuan PPKM ini,mengingat sebagian besar masyarakat kita ini adalah buruh
harian lepas yang mana yang mengharuskan mereka mencari dan menafkahi keluarga
nya dengan berkatifitas di luar rumah dalam artian dengan di berlakukannya PPKM ini
sangat membuat masyarakat kebingungan di satu sisi aturan pemerintah di sisi lain
anak istrinya harus tetap makan.

Roscoe Pound juga berpendapat Hukum adalah pengalaman yang diatur dan
dikembangkan oleh akal, atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan
kepentingan-kepentingan (balancing
of interest, private as well as public interest). yang diumumkan dengan wibawa oleh
badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam
masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu. Dalam
hal ini pemerintah harus lebih memperhatikan kepentingan seluruh rakyatnya di dalam
membuat kebijakan atau aturan jangan sampai aturan tersebut hanya memihak kepada
sebagian golongan dan tutup mata dengan golongan lainnya.

Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence
yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan Hukum” daripada kedudukan
dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah
kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. Roscoe
Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social
engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian
agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam
masyarakat karna norma hukum bersifat memaksa dan memiliki hukuman bagi siapa
yang melanggarnya. karena norma hukum memiliki sanksi yg tegas dan nyata,
sedangkan norma lainnya hanya bersangkutan kepada kejujuran dan ketaatan diri
sendiri. Roscoe Pound, tokoh aliran hukum Sociological Jurisprudence mengatakan
bahwa hukum semestinya dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Hukum mesti dipahami
sebagai suatu proses (law in action) yang hukum tersebut sama sekali berbeda dengan
hukum yang tertulis (law in books). Peraturan dan kebijakan tentang Covid-19
semestinya dilihat dalam konteks ini, bahwa aturan tersebut bukanlah norma-norma
tertulis saja, tetapi norma yang harus dihidupkan dan dilekatkan dengan lembaga
kemasyarakatan.
Roscoe Pound mengatakan, hukum berkaitan dengan kepentingan-kepentingan dalam
masyarakat. Terdapat 3 (tiga) kepentingan :
a. public interest yang meliputi kepentingan negara yang tugasnya memelihara hakekat
negara dan menjaga kepentingan sosial;
b. kepentingan perorangan yang meliputi kepentingan pribadi dan kepentingan dalam
rumah tangga;
c. kepentingan sosial yang terkait dengan keamanan umum, moral umum, kemajuan
sosial dan kehidupan individu.

Pemberlakuan PPKM dalam penanganan Covid-19 merujuk pemikiran Pound sudah


sangat memenuhi dalam dimensi kepentingan pribadi, sosial dan negara.
Persoalannya terletak bagaimana peraturan yang ada dapat menggerakkan lembaga
pemasyarakatan untuk mendorong tujuan-tujuan sosial dan perorangan di bidang
kesehatan. Jika konsep ini dilakukan, peraturan dan kebijakan Covid-19 tentu akan
menjadi alat rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Persoalannya,
perilaku masyarakat saat ini tidak banyak berubah untuk mentaati protokol kesehatan.
Penggunaan masker, menjaga jarak, dan aktifitas cuci tangan tidak ditaati. Kegiatan
bergerombol dan mobilitas masyarakat masih sangat tinggi. Situasi ini bermakna bahwa
aturan dan kebijakan belum berjalan dengan semestinya. Aparat yang memiliki
kewenangan penanganan Covid-19 belum mampu membangun kesadaran yang utuh
akan makna penting protokol kesehatan.
a. tujuan hukum harus identik dengan tujuan/aspirasi anggota-anggota masyarakat.
Makna lainnya, taatnya masyarakat pada hukum karena terdapatnya perasaan keadilan
dan kebenaran dalam hukum;
b. adanya kekuasaan yang imperatif melekat pada hukum dengan sanksi apabila ada
orang yang melanggarnya.

Ada banyak faktor hukum dan dimensi sosial politik yang mempengaruhi lemahnya
ketaatan hukum masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Sebagian besar
masyarakat masih belum menangkap kebenaran protokol kesehatan sebagai sesuatu
yang penting, dan pada sisi yang lain penegakan hukum masih sangat lemah. Tentu
masih banyak faktor lain yang bisa di identifikasi dan ditemukan akar masalahnya.
Mengubah perilaku masyarakat tidak mudah, apalagi didalamnya ada dimensi sosial
keagamaan. Butuh multi pendekatan untuk menciptakan kesadaran akan makna
penting mentaati kebijakan protokol kesehatan. Kegagalan penanganan Covid-19 saat
ini lebih pada konteks ini : tidak fokus pada pokok masalah, sentralistik, bahasa
kebijakan yang tidak membumi, dan kebijakan yang selalu berubah-ubah sehingga
cenderung membingungkan masyarakat bahkan pemerintah sendiri.
Ada banyak faktor hukum dan dimensi sosial politik yang mempengaruhi lemahnya
ketaatan hukum masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Sebagian besar
masyarakat masih belum menangkap kebenaran protokol kesehatan sebagai sesuatu
yang penting dan pada sisi yang lain penegakan hukum masih sangat lemah.

2. Berdasarkan kasus diatas, analisislah apakah hukum yang dijatuhkan oleh majelis
hakim terhadap nenek Saulina dan keluarganya sudah sesuai dengan cita hukum
(recht idee) yang idealnya berlaku di Indonesia yang notabene adalah negara hukum?
Jelaskan!

Berdasarkan kasus diatas, kita data melihat bahwa dalam kekuasaan ada segitiga yang
satu sama lain sukar dapat berjalan beriringan secara simetris yaitu politik, hukum dan
kemanusiaan. Hubungan antara politik dan kemanusiaan bagi kucing dan tikus,
Keduanya tidak mungkin dapat disandingkan. Politik kerap hanya menjadikan
kemanusiaan sebagai propaganda untuk meraih kemenangan. Sekedar jargon, namun
ketika maksud telah tercapai, kemanusiaan kemudian menjelma menjadi kosakata
asing. Hukum seharusnya ditegakkan sesuai aturan demi kemanusiaan, tetapi
penerapan yang kaku dan positivistik justru menciptakan ketidakadilan. Kita mendapati
kenyataan bahwa masih sering terjadi penegakan hukum tanpa menggunakan hati
nurani. Pendekatan dalam penegakan hukum hanya berlandaskan pada legal-
formalistik, hanya mengacu pada teks undang-undang. Sebagian penegak hukum
merasa telah cukup puas apabila telah menegakkan hukum dengan cara melaksanakan
teks undang-undang. Mereka tidak berupaya keras untuk mencari dan menemukan
keadilan dan kebenaran di dalam atau dibalik teks undang-undang tersebut. Akibatnya
penerapan hukum di Indonesia kerap terkesan kejam dan masih jauh dari rasa keadilan
sejati. Banyak aparat penegak hukum belum dapat memahami makna dari nilai- nilai
keadilan di masyarakat. Sebagian aparat penegak hukum hanya menjadi “corong
undang-undang”.

Filsafat hukum merupakan salah satu bidang kajian yang merupakan hasil
pengembangan filsafat secara umum. Filsafat hukum sudah sejak dulu ada dan pada
mulanya hanya memiliki porsi pembahasan yang terbatas. Seiring dengan
berkembangnya zaman permasalahan yang dihadapi manusia menjadi semakin
kompleks sehingga porsi pembahasan filsafat hukum dewasa ini menjadi sedemikian
berkembang. Salah satu permasalahan filsafat hukum yang masih banyak dibicarakan
sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum adalah tujuan hukum.
Dalam kasus hukum nenek Saulina Boru Sitorus beserta anak-anaknya yang terbukti
telah melakukan perusakan akibat menebang pohon durian berdiameter lima inci milik
kerabatnya, apabila dilihat dalam pandangan hukum normatif atau hukum negara yang
berparadigma legalistik-positivistik adalah tindakan pelanggaran hukum, karena layak
untuk diberi hukuman.

Namun dalam pandangan sosiologi hukum, kasus nenek nenek Saulina Boru Sitorus
beserta anak-anaknya adalah perkara kecil dengan nilai meterial yang kecil, pun
demikian dilakukan oleh kelompok sosial yang marginal, warga miskin yang buta
hukum, karena itu, hadirnya hukum negara bukannya melahirkan keadilan hukum,
justru sebaliknya menimbulkan ketidakadilan hukum. Karena itu, kasus hukum yang
menimpa masyarakat miskin sebaiknya lebih menggunakan pendekatan yang lebih
sosiologis dan humanis. Penyelesaian ini yang dikenal dalam dunia akademik-teoritik
sebagai prinsip restorative justice, yakni keadilan yang diperoleh di luar pengadilan
hukum positif, melalui proses pemulihan dengan semangat saling memaafkan antara
pelaku dan korban. Restorative justice adalah solusi yang paling baik dan tepat untuk
menyelesaikan masalah hukum yang menimpa masyarakat miskin.

Kasus hukum yang menimpa masyarakat miskin seperti nenek nenek Saulina Boru
Sitorus beserta anak-anaknya ini sebenarnya bisa dihentikan di tingkat pertama, yakni
Kepolisian. Aparat penegak hukum bisa menghentikan suatu kasus jika merasa, ketika
kasus dibawa ke tingkat lebih tinggi, justru akan melukai rasa keadilan. Pihak
Kepolisian dengan kewenangan diskresionalnya seharusnya bisa menghentikan kasus
kecil yang menimpa masyarakat miskin seperti nenek Saulina Boru Sitorus beserta
anak-anaknya dengan pertimbangan etik, moral, sosial, kemanusiaan dan kemanfaatan
sosial. Dalam praktik penegakan hukum atas nenek Saulina Boru Sitorus beserta anak-
anaknya, pendekatan yang digunakan para penegak hukum hanya semata-mata
berorientasi pada pendekatan legalistic positivistik, dengan hanya mengedepankan sisi
penggunaan kekuasaan dan aturan normatif semata, tanpa mempertimbangkan sama
sekali pendekatan yuridis sosiologis yang berdimensi keadilan bagi masyarakat.

Dalam hal ini, nampak adanya pemahaman yang sempit dari para penegak hukum
dalam penerapan hukum formal atas kasus nenek Saulina Boru Sitorus beserta anak-
anaknya ini. Penerapan hukum formal dipahami terbatas hanya sebagai penerapan
hukum yang bersifat prosedural semata, tanpa mempertimbangkan sisi rasa keadilan
masyarakat yang lebih bersifat substantif dan sosiologis. Pendekatan dan penerapan
hukum secara legalistik-positivistik, hanya menghadirkan keadilan yang bersifat legal-
formal dan prosedural yang kaku, jauh dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Sementara pendekatan yuridis-sosiologis atau sosiologi hukum akan lebih
menghadirkan keadilan yang lebih substantif yang berdasar pada basis etika, moral dan
nilai kemanusiaan masyarakat.

Hingga saat ini belum terdapat hukum positif yang memberikan perlindungan khusus
kepada seorang lansia yang berkonflik dengan Hukum. Diperlukan segera
pembaharuan hukum yang dapat melindungi para pelaku tindak pidana yang telah
lanjut usia sebagai bentuk wujud kemanusiaan. Alternatif pertanggungjawaban pidana
bagi pelaku tindak pidana lansia di masa mendatang adalah dalam hal tindak pidana
ringan diupayakan penyelesaian perkara diluar pengadilan. Dapat pula dengan
pemberian sanksi tindakan berupa pembinaan moral. Apabila hakim harus menjatuhkan
sanksi pidana karena tidak ada pilihan lain, maka maksimum pidana pokok dari tindak
pidana dikurangi sepertiganya.

Sumber : - BMP HKUM4103 FILSAFAT HUKUM DAN ETIKA PROFESI


- https://www.hukumonline.com

Anda mungkin juga menyukai