Anda di halaman 1dari 28

HUKUM RFESPONSIF DALAM KANCAH TEORI HUKUM

(Kritik terhadap Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia)

Abstrak
Makalah ini mencoba menggali dan menganalisis Penegakan Hukum yang
saat ini terjadi di Indonesia. Tentunya dikaitkan dengan teori hukum yang
dalam hal ini adalah teori hukum responsif yang digagas oleh Philippe
Nonet dan Philip Selznick. Hukum responsif membedakan dirinya dari
hukum otonom di dalam penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum.
Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum
dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti
pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar
yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil
dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang
keadilan yang terikat kepada konsekwensi. Terkait Penegakan supremasi
hukum dibutuhkan sebuah sinergi antara ketiga pilar penegakan hukum
yaitu; peraturan-perundangan, aparat penegak hukum, dan budaya hukum
masyarakatnya.

Kata Kunci : Hukum Responsif, Teori hukum dan Penegakan Hukum

A. Pendahuluan
Mengingat kembali ke belakang bahwa lahirnya Hukum
Responsif dilatarbelakangi dengan munculnya masalah- masalah sosial
seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan,
kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan yang melanda
Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada pada saat itu
ternyata tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal, hukum dituntut
untuk bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet
dan Selznick berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya
hukum bisa mengatasi persoalan-persoalan itu.
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang
bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek legal system tanpa
melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan lain
seperti dalam hal masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan
ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga

1
pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari
peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum
hendaknya tidak menutup diri terhadap factor-faktor social yang
mempengaruhi perkembangan masyarakat.
Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba
memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum
dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang
harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga
hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan.
Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai
sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Hukum responsif berorientasi
pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam
hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan
melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai
tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum
responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang
dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Namun pada kenyataannya penerapan hukum masih banyak yang
carut marut. Hal ini sebagai akibat ketidak mampuan hukum sebagai
panglima keadilan, sebagai akibat masih banyaknya penyelesaian kasus
hukum yang tebang pilih. Keadilan jauh dari harapan. Sepertinya Aparat
penegak hukum bisa dibeli, sehingga menuruti apa kemauan si pembeli
keadilan. Hal ini dapat disimak dengan maraknya makelar kasus yang
menjadikan kasus ini jadi tambah ruwet.
Rusaknya tatanan hukum ini tentunya tidak terlepas dari oknum-
oknum yang turut bermain di dalamnya baik itu aparat penegak hukumnya
maupun markus (makelar kasus) yang setiap saat bergentayangan.
Masyarakat umum dibuat pusing oleh pemberitaan-poemberitaan media,
yang selalu meramaikan pemberitaan setiap harinya. Kasus Bank Centuri,
Kasus Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang orang umum menyebutnya
telah terjadi kriminalisasi, Kasus Prita Mulya Sari, Kasus Penyuapan

2
terhadap oknum kejaksaan (Urip Tri Gunawan) dalam masalah BLBI dan
masih banyak lagi kasus-kasus penegakan hukum yang melenceng, jauh
dari harapan keadilan. Sayangnya aparat penegak hukum selalu berkilah,
apa yang sudah dilakukannya sudah sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku.
Atas dasar ahal tersebut itulah hukum terkadang diterapakan oleh
aparat peneak hukum secara kaku, tidak melihat sisi kemanusiaan, sisi
keadilan, serta sisi-sisi lain yang mana hal tersebut tentunya akan
menghasilkan suatu keputusan hukum yang jauh lebih mendekati nilai-
nilai keadilan. Padahal nilai-nilai keadilan inilah yang diharapkan oleh
masyarakat luas, yang diharapkan dapat tercipta di bumi Indonesia ini.
Makalah ini mencoba un tuk mengkritisi masalah penegakan
hukum yang terjadi saat ini atau paling tidak mencoba melakukan
pencarian jati diri penegakan hukum nasional yang berserakan di belantara
menara gading konsep-konsep dan teori-teori yang menggelinding kadang
hiruk-pikuk dalam perdebatan insan-insan intelektual, seperti yang terjadi
padaa saat ini, namun sedikit menangkap konsep komunitas responsive
yaitu :aspirasi hukum dan social” sebagai landasan penegakan hukum
untuk menuju “Modern Society and Responsiv Law” yang didukung oleh
pejabat puncak pemerintahan dari kalangan yang “bersih” dan “berani”,
serta puncak Track Record “Rekam Jejak” tak bermasalah dengan hukum,
alih-alih orang yang mempunyai komitmen dan moralitas, guna
mendobrak tembok tinggi permasalahan hukum bangsa Indonesaia, serta
memutus mata rantai mafia peradilan.
Menelusuri teori-teori hukum positivisme dan perkembangan
kritik-kritiknya khususnya berkaitan dengan kasus-kasus penegakan
hukum di Indonesia sangatlah rumit, hal ini terjadi karena praktisi maupun
teoritisi hukum di Indonesia tampaknya masih terjerembab kepada
paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai
analisis dan control yang berjalan dengan table hidup karakteristik

3
manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan
baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya.
Apabila menyimak ke belakang sebenarnya hukum tidak bisa
dilepas dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa
perekembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika social
dengan segala kepentingannya yang sesungguhnya berada di beloakang
hukum. Hukum itu sendiri tidak bias dielakkan selalu berkembang, namun
perkembangannya /tidak bias dipastikan berkembang kepada arah-arah
tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya, juga membawa perubahan setelah
bersenyuawa dengan betarungnya berbagai kepentingan yang berada di
belakang hukum itu sendiri.1
Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-
logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup,
tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Ini
merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses
penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa
membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya
bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi
semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok
masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari
keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum
tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan
kekuasaannya. Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan
dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat
melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen
kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”

1
Sabastian Utsman, Menuju Penegakan hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2008, hal. 4

4
Menghadapi ruwetnya masalah hukum di Indonesia, apabila kita
menyimak dan mengikuti terus perkembangan dari waktu ke waktu
tentunya salah satu cara penyelesaian adalah dilakukannya reformasi
ditubuh lembaga penegak hukum. Citra Kejaksaan yang terus menurun,
citra lembaga Kepolisian maupun Pengadilan yang akhir-akhir ini jatuh
dan menuai kecaman disana-sini tentunya perlu mendapatkan perhatian
serius orang nomor satu di negeri ini yaitu Presiden Susilo Bambang
Yudoyono untuk mengambil langkah-langkah pembersihan tubuh lembaga
penegak hukum dari orang-orang bermasalah, atau dari orang-orang yang
seharusnya bertanggung jawab terjadinya kisruh masalah hukum di
lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Reformasi inilah langkah
yang tepat, namun hal ini tentunya tidak semudah membalikkan telapak
tangan.
Dalam perkembangan pemikiran tentang hukum pada umumnya
dan di Indonesia khususnya, secara akademis dapat diidentifikasi berbagai
ragam aliran pemikiran hukum. Aliran kritis dalam pemikiran hukum
Indonesia merupakan salah satu aliran pemikiran hukum yang berkembang
pada paruh kedua abad kedua puluh, terutama sejak tahun sembilan belas
enam puluhan. Sebagai salah satu cara pandang tentang eksistensi hukum
dalam berbagai aspeknya, aliran kritis ini sudah barang tentu memiliki
perbedaan-perbedaan selain berbagai persamaan dengan berbagai aliran
pemikiran hukum lainnya yang telah lebih dahulu mapan. Salah satu
adalah aliran Philippe Nonet dan Philip Selznick yang dengan gencar
mengkritik penegakan hukum di Indonesia.
Betapa memprihatinkannya penegakan hukum di Indonesia
sebagaimana secara gamblang dipaparkan dan solusinya di atas. Berangkat
dan pemikiran bahwa tidak sedikit masyarakat, baik masyarakat terdidik,
maupun masyarakat tidak terdidik, bahkan masyarakat yang sehari harinya
menggeluti dunia hukum sekalipun khususnya di Indonesia, mereka yang
masih terheran-heran ketika mereka memahami hukum adalah sebagai
panglima untuk memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu perkara atau

5
kasus, ternyata tidak sedikit peraturan undangan sebagai hukum tersebut
menjadi mandul tidak melahirkan apa yang diharapkan masyarakat itu
sendiri. Mohd. Mahfud MD.2 dalam bukunya “Politik Hukum di
Indonesia” mengatakan bahwa:
Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat
dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat,
atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul,
tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu
menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai
pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang
seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang
lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang
kekuasaan dominan.
Gagasan tentang perwujudan supremasi hukum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sebenarnya telah mengemuka jauh sebelum
proklamasi kemerdekaan. Dalam era kemerdekaan, upaya penegakan
hukum sesuai daenga prinsip-prinsip rule of law tampaknya mengalami
hambatan structural sehubungan dengan posisi lembaga peradilan beserta
sumber daya manusianya yang terkooptasi di bawh kendali kekuasaan
(eksekutif) Departemen Kehakiman. Gagasan pelaksanaan konsep Trias
Politica dalam rangka menuju kemandirian kekuasaan kehakiman, sampai
sebegitu jauh masih mengamali kebuntuan karena tiadanya political will
dari pihak pemegang kekusaan. Keadaan ini diperburuk lagi dengan
terjadinya kooptasi kemandirian sumber daya manusia badan peradilan ke
dalam kendali partai politik yang sedang berkuasa pada masa Orde baru
yakni golongan karya. Pemikiran kritis dalam menyikapi fenomena ini
dilontarkan antara lain oleh S. Tasri seorang advokat senior dengan
mengemukakan3.

2
Mohd. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001, hal. 1
3
Loekman Wiriadinata, Kemandirian kekuasaan Kehakiman, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 73

6
Secara jujur saja kita harus katakan bahwa sebuah hukum yang
demokratis adalah selalu membesut dan bumi. Artinya, ia merupakan
perwujudan dan nilai-nilai yang melembaga di dalam masyarakat yang
menjadi sasar annya, kemudian untuk dengan arif menata dan men
sinergikan persilangan kepentingan yang juga harus dipeli hara,
senyatanya terjadi dalam tabel hidup di masyarakat. Lebih dan itu,
terutama di dunia modern, hukum bahkan kemudian meluaskan fungsinya
untuk melakukan social engineering, rekayasa sosial, menciptakan sebuah
masya rakat yang menjadi cita-cita sebuah bangsa yang menamakan
dirinya negara hukum. Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat, tetapi
sekaligus ia juga menciptakan masya rakat. Sehingga konsep dalam
berhukum seyogianya adalah sejalan dengan perkembangan
masyarakatnya.

B. Permasalahan
Pokok Permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimanakah
kritik PHILIPPE NONET & PHILIP SELZNICK terhadap penegakan
hukum di Indonesia dalam kaitannya dengan teori hukum ?

C. Pembahasan
Kalau kita menyorot bagaimana Indonesia berhukum, maka sudah
barang tentu, tidak ada yang boleh mendikte bagaimana suatu bangsa
seharusnya berhukum, namun bagaimana karakteristik bangsa Indonesia
sendirilah yang menentukan hukum dan perubahannya. Sebagaimanaa
Nonet dan Selznick menyatakan :
“Pemahaman kita tentang perubahan social tidak akan utuh jika kita tidak
mencari cara-cara adaptasi yang melahirkan alternative-alternatif histories
yang baru dan yang mampu terus bertahan, misalnya, perubahan dari
status kekontrak, dari Gemeinschaft (masyarakat paguyuban) ke

7
Gesellschaft (masyarakat patembayan), dari hukum yang keras ke
keadilan”.4.
Perubahan yang sangat mendasar, kita harus tegaskan bahwa dalam
cara kita berhukum tidak saatnya lagi mempertahankan satu standar aliran
positivisme (abad ke-18-19), saja atau paradigma tunggal yang sudah
berabad-abad lamanya, tetapi harus mempertimbangkan cara berhukum
yang diterima oleh komunitas hukum modern, mutakhir dan mendunia.
Perkembangan hukum yang diperlukan untuk mengontrol kehidupan
Negara bangsa yang modern saat ini mencita-citakan terwujudnya jaminan
akan kepastian hukum sebagai sarana piñata tertib. Hukum menurut
modelnya yang baru diperlukan para reformis untuk mengatasi kesemena-
menaan hukum, seperti kondisi yang melanda bangsa ini. Berbicara
maslaah hukum tintunya kita harus berbicara dinamika yaitu berbicara
konteks tantangan dan disisi lain mencari solusi atau jawaban atas
persoalan hukum yang sedang berlangsung. Berbagai kritik sering muncul
di dalam penyelesaian suatu kasus hukum, atau menculnya suatu akibat
hukum sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh perbuatan aparat
penegak hukum yang b erdampak pada kekisruhan hukum. Kasus-kasus
hukum yang terjadi di Indonesia penyelesaiannya sering memunculkan
berbagai ragam pendapat baik yang pro dan kontra. Padahal aparat
penegak hukum yang menyelesaikan masalah hukum berkilah telah
bekerja sesuai dengan aturan hukum atau telah sesuai dengan teori-teori
hukum yang baik dan benar.
Dalam memahami konsep dari Nonet dan Selznick dalam
mengkritik kondisi penegakan hukum di Indonesia, kita tentunya tidak
terlepas dari melihat konsepsi Nonet dan Selznick bahwa “perkembangan
hukum sejalan dengan perkembangan Negara”5:

4
Raisul Muttaqien dalam Sabian Utsman, Terjemahan “Law and Sosiety in Transition
Tower Responsifv Law,. Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 4
5
Moh, Mahfud MD, Kebijakan Pembangunan Hukum pada Prog. Doktor Ilmu Hukum
PPs. FH. UII, Jogjakarta: PPs UII. 2008, hal. 2

8
Repres adalah saat negara poverty of power, sumber daya
kekuasaannya lemah sehingga harus represif. Otonom, adalah saat
kepercayaan kepada negara makin meningkat, pembangkangan mengecil.
Birokrasi dipersempit menjadi rasional, hukum dibuat oleh dan secara
profesional di lembaga-lembaga negara tanpa kontaminasi dan sub
ordinasi oleh negara. Respons adalah untuk mengatasi kekakuan dan tak
sensitifnya hukum terhadap perkembangan sosial. Senantiasa dikurangi
dan kewenangan membuat hukum diserahkan kepada unit-unit kekuasaan
yang lebih rendah agar lebih memahami inti persoalan masyarakat.

Kalau kita mau melihat bagaimana bangunan hukum, maka


bagian yang tidak terpisahkan adalah penegakan hukum (law
enforcement), bagaimana penegakan hukum kita, paling tidak ada
penegakan hukum dalam arti luas dan ada pula dalam artian sempit.
Dalam arti luas adalah melingkupi pelaksanaan dan penerapan hukum
terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan
oleh subjek hukum, kalau dalam artian sempit adalah kegiatan penindakan
terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan-
perundangan. Jimly Asshiddiqie menyatakan:6
Penegakan Hukum (law enfocement) dalam artian luas mencakup
kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan
tindakan hukum terhadap setiap peianggaran atau penyimpangan hukum
yang dilakukan oieh subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan
ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme pe nyelesaian sengketa
lainnya (alternative desputes or conflicts reso lution). Bahkan, dalam
pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup
pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat
kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subyek hukum dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati
6
Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum dan Indonesia
(Menyoal Moral Penegak Hukum) Lustrum XI Fakultas Hukum Uni versitas Gadjah Mada, 16
Februari 2006, hal. 23

9
dan sungguh-sungguh dijalan kan sebagaimana mestinya. Dalam arti
sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-
undangan, khususnya yang lebih sempit lagi, melalui proses peradilan
pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau
pengacara, dan badan-badan peradilan.
Dalam hal penegakan hukum, yang paling pokok di samping yang
lain adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses pembudayaan hukum
sesuai dengan budaya masing-masing tempat, pemasyarakatan sehingga
sistem komunikasi dan sosialisasi menjadi yang utama, dan tidak kalah
pentingnya adalah pendidikan hukum (law socialiration and law
education) sehingga dengan pendidikan tersebut menjadikan proses
pendewasaan dalam berhukum termasuk pendidikan politik kaitannya
dengan hukum. Philippe Nonet dan Philip Selzriick dalam pandangannya
sangat fokus terhadap pengayaan dalam ilmu hukum terutama dalam
menganalisis institusi-institusi hukum.
Bangkitnya ilmu sosial berkontribusi dalam ranah ilmu hukum
terutama ilmu politik sangat signifikan terhadap perubahan dan
perkembangan di dunia hukum. Nonet dan Selznick menyatakan: Politik
pada saat itu menernpatkan keadilan pada urutan teratas dalam agenda
kepentingan publik. Hak-hak sipil, kemiskinan, kejahatan, protes massal,
kerusuhan kaum urban, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan
kekuasa semua itu, tidak seperti masa-masa sebelumnya, dipandang
sebagai masalah sosial yang sangat urgen untuk dipecahkan.
Perubahan hukum akan datang melalui proses politik, bukan dan
pelaksanaan kebebasan atau keleluasaan yang ada pada agen-agen hukum
yang merespons tuntutan tuntutan yang bersifat partisan. Untuk meruntut
bagaimana tahapan-tahapan evolusi bangsa Indonesia dalam berhukum
terutama kaitannya dengan ketertiban sosial politik hukum sejak zaman
kolonial sampai kemerdekaan telah melalui beberapa tahapan, namun kita
harus mengakui bahwa pada jaman kolonial dengan tidak mengabaikan

10
kejahatan dan arti penjajahan itu sendiri, sesungguhnya dalam hal
penegakan hukum adalah sangat baik karena cara berhukumnya pada saat
itu mengikuti karakteristik perkembangan masya rakatnya, yaitu bagi
golongan Eropa dihormati berlaku nya hukum Eropa dan bagi bangsa
Indonesia (pribumi) dihormati diberlakukannya juga hukum seb agaimana
karakteristik budaya, adat setempat, dan sangat memelihara (walau tidak
sama dengan menghargai) nilai-nilai agama sehingga kebijakan dualisme
tersebut membuat tegaknya bangunan hukum relatif mampu mengelola
bukan saja berbagai kepentingan tetapi juga berabad-abad lamanya
mampu mencengkeramkan jajahannya di Indonesia Raya ini. Dalam hal
ini secara tegas Prof. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan dalam
bukunya “Hukum dalam Masyarakat” yang dikutip oleh Sabian Utsman7.
Hukum Eropa dinyatakan berlaku untuk penduduk golongan
Eropa, sedangkan untuk golongan pribumi tetap diakui berlakunya
kebiasaan, adat istiadat dan pranata agama mereka, dengan catatan selama
tidak bertentangan dengan apa yang disebut “asas kepatutan dan adab
yang baik”. Semua itu tersebut dalam Pasal 75 Reglimen Tata
Pemerintahan Hindia Belanda (Indische Regeringsreglement) dan tahun
1854.
Ada polemik atau ketidakwajaran yang kita rasakan, hal itu sangat
berdasar dan beralasan. Hal ini sejalan dengan tesisnya Nonet dan
Selznick yang diterjemahkan oleh Raisul Muttraqin, secara tegas
mengatakan bahwa:
“Perkembangan” (development) merupakan salah satu dan gagasan-
gagasan yang paling membingungkan dalam ilmu ilmu sosial.
Perkembangan telah menjadi objek kritikan yang berkepanjangan bahkan
sejak masa kejayaan evo Iusionisme pada abad ke-19. Namun, upaya untuk
mera sionalkan sejarah kelembagaan tampaknya memerlukan pemahaman
mengenai kepastian arah, pertumbuhan atau kehancuran. Dalam ilmu
7
Sabastian Utsman, Menuju Penegakan hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2008, hal. 33

11
hukum terdapat pula pemahaman intuitif bahwa beberapa bidang hukum
lebih “berkembang” dibanding bidang hukum lainnya, bahwa perubahan
hukum sering menggambarkan pola-pola pertumbuhan atau kehancuran.
Rosco Pound merupakan salah seorang di antara mereka yang berpendapat,
adalah “hal yang tepat untuk memikirkan...tahap-tahap perkembangan
hukum dalam sistem-sistem yang telah mencapai tahap kematangan.8 .

Pemikiran, Philippe dan Philip selznick dalam konsep berhukum


ada tiga jenis antara lain:
TIGA JENIS HUKUM

HUKUM HUKUM HUKUM


REPRESIF OTONOM RESPONSIF
1 2 3 4
TUJUAN HUKUM Ketertiban Legitimasi Kompetensi
LEGITIMASI Ketahanan sosial Keadilan Keadilan substantif
dan tujuan prosedural
Negara
PERATURAN Keras dan rinci Luas dan rinci; Subordinat dan
namun berlaku mengikat prinsip dan
lemah terhadap penguasa kebijakan
pembuat hukum maupun yang
dikuasai
PERTIMBANGAN Ad hoc; Sangat melekat Purposif
memudahkan pada otoritas (berorientasi
mencapai tujuan legal; rentan tujuan): perluasan
dan bersifat terhadap kompetensi
partikuler formalisme dan kognitif
legalisme.
DISKRESI Sangat luas; Dibatasi oleh Luas, tetapi tetap
oportunistik peraturan; sesuai dengan

8
Sabastian Utsman, Menuju Penegakan hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2008, hal. 33

12
delegasi yang tujuan
sempit
PAKSAAN Ekstensif; dibatasi dikontrol oleh Pencarian positif
secara lemah batasan-batasan bagi berbagai
hukum. alternatif, seperti
insentif, sistem
kewajiban yang
mampu bertahan
MORALITAS Moralitas Moralitas Moralitas sipil:
komunal; kelembagaan; “moralitas kerja
moralisme yakni dipenuhi sama”
hukum: dengan integritas
“moralitas proses hukum
pembatasan”

POLITIK Hukum Hukum Terintegrasinya


subordinat “independen” aspirasi hukum dan
terhadap politik dan politik; politik;
kekuasaan pemisahaan keberpaduan
kekuasaan kekuasaan
HARAPAN Tanpa syarat; Penyimpangan Pembangkangan
AKAN ketidaktaatan per peraturan yang dilihat dan aspek
KETAATAN se dihukum dibenarkan. bahaya substantif;
sebagai misalnya untuk dipandang sebagai
pembangkangan menguji validitas gugatan terhadap
undang-undang legitimasi
atau perintah
PARTISIPASI Pasif; kritik Akses dibatasi Akses diperbesar
dilihat sebagai oleh prosedur dengan integrasi
ketidaksetiaan baku; munculnya advokasi hukum

13
kritik atas hukum dan sosial.

Dari bingkai pemikiran hukum yang lebih responsif untuk keadilan


sosial yang membumi digagas oleh Nonit dan Selznick tersebut di atas,
kaitan dengan penegakan pembangunan hukum di Indonesia, dengan
problematika dan solusi yang penulis paparkan di muka. Sebenarnya
sangatlah rumit untuk meruntut ke dalam sebuah kajian yang
komprehensif, namun secara garis kasarnya dapatlah dilihat posisi
penegakan hukurn di Indonesia sebagai bahasan berikut.
Menelisik tiga jenis hukum (Hukum Represif, Hukum Otonom,
dan Hukum Responsif) sebagai optik melihat wajah penegakan hukum di
Indonesia, yang dikonsep oleh Nonet dan Selznick, maka secara umum
penegakan hukum di Indonesia setelah penulis membuka kembali amatan
dan bahkan hasil penelitian penulis di lapangan, sebenamya yang paling
cocok untuk menghadapi globali sasi hukum, seharusnya ke depan posisi
Indonesia tidak pada karakteristik tunggal, yaitu ketiga jenis hukum
tersebut ada pada posisi Indonesia. Namun, bagian-bagian tertentu sangat
dominan ketimbang jenis hukum yang lainnya. Sebagaimana paparan pada
bahasan permasalahan di muka, maka menunjukkan jenis hukum
represiflah yang sangat dominan kemudian terdapatjuga jenis hukum
otonom dan sebagi kecil jenis hukum responsif.
Penegakan hukum dengan produk hukum, walaupun saling
keterkaitan bahkan saling menentukan dalam cara berhukumnya, namun
produk hukum dan penegak an hukum mempunyai masalahnya masing-
masing. Dalam hal penegakan hukum adalah mencakup Setidaknya ada
persoalan, yaitu peraturan-perundangannya, aparat penegak hukum, dan
budaya masyarakatnya itu sendiri.
a. Peraturan-perundangannya;
Sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya materi
peraturan-perundangan yang kita gunakan selama mi, ten tama yang
banyak difungsikan untuk kepentingan atau hajat hidup orang banyak

14
seperti BW, WVS dan lain sebagainya, dalam proses pembuatannya
sangat jauh dan partisipasi masyarakat (nir-sosiologis) tidak
memperhati kan simbol-simbol kritik yang tampak di masyarakat,
walaupun materinya relatif terstruktur dengan baik, namun hanyalah
berlaku secara rinci dan sistemik bagi masyarakat biasa, dan sangat
lemah bagi pembuat hukumnya itu sendiri (apalagi bagi pihak-pihak
tertentu mempengaruhi atas kepentingannya dengan berbagai macam
kompensasi).
Tujuan pembuatan peraturan-perundangan adalah untuk
ketertiban dan legitimasi yang juga memper timbangkan kompetensi.
Secara legitimasi, kita harus akui di sampinig sebagai ketahanan sosial
sebagai tujuan negara (daerah-daerah tertentu), tetapi juga sudah
mencapai legi timasi prosedural, walaupun belum kepada substantif.
Dalam pembuatan peraturan-perundangan hendaknya harus
melahirkan alternatif-alternatif yang mampu bertahan secara memadai,
seperti di contohkan Nonet dan Selznick (dan Genieinschaft ke
Gesellschaft). Untuk di Indonesia, sebagai contoh kecil tentang pasal-
pasail pencurian dalam WVS masih sangat kental sanksi-sanksi yang
seharusnya tidak lagi memberikan sanksi bagi pencuri pencuri kelas
kecil (pencuri jemuran, ayam, sandal dan lain-lain), namun harus
diberikan pembinaan sehingga me menuhi rasa keadilan sebagaimana
konsepsi yang diabstraksikan dengan baik oleh Nonet dan Selznick
yaitu dan kekerasan ke keadilan. Hal ini sangat penting, karena di
negara-negara maju seperti di Jepang misalkan tidaklah menganggap
pencuri kelas-kelas kecil itu sebagaipenjahat, tetapi dibina
sebagaimana pertulis paparkan di muka.

b. Aparat Penegak Hukumnya;


Berbicara aparat penegak hukum di Indonesia sangat
memprihatinkan sebagaimana disebutkan di muka, betapa tidak, kita
sudah mafhum kalau mafia peradilan kita sudah sebegitu buniknya dan

15
para aparat hukum itulah yang berperan utama atas kerusakan hukum
di Indonesia. Sebagus apa pun materi peraturan-pendangan (apalagi
memang tidak bagus), kalau aparatnya rusak, maka hukumpun juga
bagaikan menegakkan benang basah, dengan tidak mengabaikan ada
juga beberapa keberhasilannyá, tetapi hanya mampu memproses
penjahat kelas kelas kecil, seperti; orang-orang miskin dan bodoh yang
tak punya akses pembelaan di pengadilan dan mereka ini (ribuan
orang) yang memenuhi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan
di seluruh penjuru tanah air. Secara tegas Nonet dan Selznick
menyatakan:9
Produk hukum yang dihasilkannya menjadi represif karena:
1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan,
misalnya, memaksakan tanggungjawab, namun mengabaikan
klaim-klaim dan, para pegawai, pengutang, dan penyewa.
Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada
dihilangkannya hak suara dan kelas bawah.
2. Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dipandang
sebagai “tanggungan negara”, bergantung kepada lembaga-
lembaga khusus (ke sejahteraan, perumahan umum), kehilangan
harga diri karena pengawasan oleh birokrasi, dan terstigma oleh
klasifikasi resmi (misalnya kriteria yang memisahkan kelompok
“kaya” dan kelompok miskin). Dengan demikian, maksud baik
untuk menolong, apabila didukung dengan penuh keengganan dan
ditujukan kepada penerima yang tidak berdaya, akan menciptakan
pola barn subordinasi.
3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial melawan “kelas yang
berbahaya”, misalnya dengan menganggap kondisi kemiskinan
sebagai kejahatan di dalam hukum pergelandangan.
Dengan optik Nonet dan Selznick yang menggagas hukum
secara komprehensif sehingga dijangkaunya modelitas dasar untuk

9
Sabian Utsman, Mengenal Sosiologi Hukum, Mediasi Pustaka , Malang, 2005, hal 60

16
berhukum yang lebih responsif, yaitu; dengan hukum represif adalah
hukum sebagai abdi kekuasaan, hukum otonom adalah sebagai institusi
yang mampu mengolah represif dan melindungi integritasnya sendiri,
dan hukum responsif adalah hukum sebagai fasilitator dan sejumlah
respons-respons terhadap aspirasi kebutuhan sosial hukum yang
berkembang berakar-pinak di masyarakat.10
Ditegaskan Nonet dan Selznick bahwa seorang penguasa
(otoritas penegak hukum) yang dapat mengeluarkan atau membuat
aturan-aturan sebagai sarana kekuasaannya, tetapi perlu diingat bahwa
kenyataan empirik (lihat pergolakan protes masyarakat) tidak bisa
dipaksa untuk sesuai keinginan si pembuat hukumnya. Dia akan
menambah kredibilitas dan aturan-aturan tersebut mendapat legitimasi
serta menarik kemauan secara sukarela, apabila senyatanya aturan
tersebut adil, merasa terikat oleh aturan tersebut, dan yang sangat
penting penyelenggaraan peradilan tidak berpihak termasuk kepada
aparat penegak hukum dengan berbagai kepentingannya, kecuali
menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan sosial.
Pada umumnya, seharusnya penegakan hukum di Indonesia,
menurut abstraksi teori-teori Nonet dan Selznick mi sebagaimana saya
katakan di atas sangat tepat tidaklah berkarakter tunggal, tetapi
campuran, yaitu mencakup ketiga model hukum tersebut, hanya saja
model hukum represif relatif lebib dorninan dan model otonom dan ter
lebih model responsif sebagian kecil dan sejalan evolusiriya juga
mengarah kepada hukum responsif.
Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan
bahwa di Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan penegak
hukum terjadi monopoli atas kekerasan yang memang dibenarkan oleh
negara. Memang pada umumnya aparat penegak hukum dengan segala
instihisinya adalah menjaga ketertiban dan kedaulatan negara

10
AAG Peters dan Kosrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku
Teks Sosiologi Hukum (Buku III) Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, 1990, hal. 162

17
Indonesia. Persenyawaan ini semakin menggelindan, ketika negara
sangat tergantung kepada keahlian dan ketaatan mereka para penegak
hukum terhadap tugas yang diembannya. Dan kenyataan yang
demikianlah, maka kontrol masyarakat tidak berdaya (berada pada
posisi fatalisme “sub-humen”). Secara sederhana bisa kita polakan
kedalam tiga bagian yang mewarnai sistem kekerasan yang terjadi atas
nama penegakan hukum, yaitu; pertama, kekerasan yang dilakukan
aparat semurninya untuk menjaga keteraturan atau ketertiban dan
menegakkan kedaulatan negara, kedua, kekerasan yang dilakukan
aparat atas kepentingan aparat pemaksa yang sesungguhnya adalah
individu-individu yang sarat kepentingan pribadi tetapi
mengatasnamakan kepentingan negara. Hal itu di lakukannya karena
kepentingan-kepentingan mereka atau organisasi-organisasi mereka
sangat dominan ketimbang mereka sebagai abdi negara atau abdi
masyarakat, ketiga, adalah masyarakat yang sering dikatakan aparat
penegak hukum sebagai object problem terutama bagi masyarakat
kelas bawah yang miskin dan bodoh (sudah menjadi pemandangan di
seluruh penjuru negeri ini, para aparat menggusur orang-orang miskin
dan gepeng, namun tak mau berpikir mencari maknanya untuk
menggusur ke miskinan, apalagi melakukannya). Untuk lebih jelasnya
dapat digambarkan struktur kekerasan aparat dalam penegakan hukum
di Indonesia sebagai berikut:

STRUKTUR KEKERASAN
Aparat penegak hukum melakukan
kekerasan untuk ketertiban dan kedaulatan
DALAM PENEGAKANnegara
HUKUM DI INDONESIA

Aparat penegak Masyarakat yang


hukum melakukan tak berdaya/tak ada
kekerasan untuk akses untuk
individu/organisasi Aras kekerasan melakukan kritik
tetapi, 18
(penegakan secara prosedural,
mengatasnamakan hukum) legal maka protes dengan
kepentingan negara cara kekerasan fisik
positivism
atau masyarakat dan komunal
Sehingga dengan demikian konsepsi atau model hukum yang
diabstraksikannya menjadi sebuah teori hukum responsif oleh Nonet dan
Selznick tersebut patut disongsong dengan upaya pembenahan aparatur
penegak hukum di Indonesia yang lebih komprehensif berlandas kan
komitmen dan moralitas yang tinggi. Hal itu dilakukan juga untuk
keseimbangan antara produk hukum dan pelaksanaan hukum dengan
menghargai budaya hukum sesuai cita din bangsa Indonesia.

c. Budaya Masyarakatnya;
Sebagaimana beberapa pokok pikiran Nonet dan Selznick antara
lain disebutkan bahwa sumber hukum represif yang abadi adalah tuntutan
konformitas budaya. Dalam hal mana masyarakat modern, seperti juga
halnya pada masyarakat kuno yang mana kebersamaan atas aturan moral
sangat mendukung kebersamaan sosial dan merupakan sumber dan
kekuatan dalam memelihara ketertiban. Kemudian Nonet dan Selznick
lebih lanjut menyatakan bahwa:
Mungkin lahan yang paling subur bagi moralisme hukum adalah
moralitas komunal, yakni moralitas yang ditanam kan untuk
mempertahankan “komunitas patuh” (community of observance).
Moralisme hukum paling banyak dipahami sebagai patologi alami dan
institusionalisasi, yakni upaya untuk membuat nilai-nilai menjadi efektif
guna memberikan panduan bagi tingkah laku manusia.
Kita ketahui bahwa peranan kultur hukum dalam penegakan
hukum sangatlah penting dan acap kali berhubungan dengan faktor-faktor

19
non-hukum. Oleh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat
sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara
berbagai faktor (interchange). Dalam konteks yang demikian itu, titik
tolak pemahaman terhadap hukum tidak sekadar sebagai suatu “rumusan
hitam putih” (blue print) yang ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat selagai suatu gejala yang
dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain melalui tingkah laku warga
masyarakat.
Itu artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan antara
hukum dengan faktor-faktor non-hukum lainnya, terutama faktor nilai dan
sikap serta pandangan masyarakat, yang selanjutnya disebut dengan kultur
hukum.
Berangkat dan pemikiran di atas, kaitan dengan penegakan hukum
di Indonesia khususnya pada bahasan pilar kultur masyarakatnya, maka
budaya hukum masya rakat Indonesia sebagaimana disebutkan di muka,
sangatlah majemuk (plural society) paling tidak, ada 19 persekutuan atau
keluarga hukum yang berkelindan pada masing-masing teritorial adatnya.
Dan sosial budaya yang bermacam-macam termasuk perbedaan antara
kota dan desa (ada masyarakat organik dan ada masyarakat mekanik),
maka Nonet dan Selznick tersebut secara relatif sangat bersejalan dengan
fakta empirik budaya hukum bangsa Indonesia, namun untuk secara
totalitas mengondisikan kepada model penegakan hukum yang otonom
kemudian kepada responsif tampaknya perlu proses yang lebih baik lagi.
Hal ini sangat beralasan, karena disinyalir dalam karya Nonet dan Selznick
bahwa “tak ada rezim (rezim dengan model hukum) yang dapat bertahan
tanpa landasan berupa persetujuan dan warga negara yang diberikan secara
sukarela”.
Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang
abstrak. Sekalipun abstrak tetapi ia dibuat untuk diimplementasikan dalam
kehidupan sosial sehari-hari. Oleh karena itu perlu adanya suatu kegiatan
untuk mewujudkan ide-ide tersebut ke dalam masyarakat. Rangkaian

20
kegiatan dalam rangka mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan
merupakan suatu proses penegakkan hokum.
Pada penegakkan hukum bersinggungan dengan banyak aspek lain
yang melingkupinya. Suatu hal yang pasti, bahwa usaha untuk mewujudkan
ide atau nilai selalu melibatkan lingkungan serta berbagai pengaruh faktor
lainnya. Oleh karena itu penegakkan hukum tidak dilihat berdiri sendiri,
melainkan selalu berada dia antara berbagai faktor. Dalam konteks yang
demikian itu, titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak sekedar
“rumusan hitam putih” yang ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang
dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain melalui tingkah laku warga
masyarakat.
Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan
penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk
kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan
yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan
pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya
suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak masalah-
masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua. Norma
kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang
menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan
politik dalam dunia modern.
Adapun gagasan atau pandangan yang beliau sampaikan tentang
perlunya perubahan secara radikal dalam pemikiran hukum yang selama ini
berkembang, menuju ke arah pemikiran yang berorientasi kepada konsep
Negara Berdasar Hukum yang berbasis sosial bukan hanya berbasis yuridis.
Beliau mencoba menggunakan sudut pandang sosiologis dalam
mengkontruksi hukum, suatu hal yang selama ini belum banyak digunakan
oleh pemikir-pemikir hukum di Indonesia.
Gagasan lain yang disampaikan antara lain perlunya Indonesia beralih
dari cara penegakan hukum sebagaimana yang selama ini dijalankan, yaitu

21
model penegakan hukum yang bersifat formal-positivis yang dianggap
hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal
seperti di antisipasi oleh hukum positif, sedangkan untuk menjelaskan
suasana kemelut dan keguncangan yang terjadi di Indonesia hukum positif
masih memiliki keterbatasan. Hal ini bisa dilihat pada kemampuan hukum
untuk menangani misalnya masalah korupsi, sampai saat ini belum ada hasil
yang memuaskan.
Dari konsepsi hukum yang disampaikan kedua pemikir hukum ini
dapatlah dilihat bahwa konsepsi hukum responsif dikontruksi oleh dua
mazhab hukum yang belakangan cukup dikenal perkembangannya.
Pemikiran Satjipto Rahardjo dengan konsep hukum progresifnya yang
menyatakan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan
zaman, mampu menjawab perubahan dengan segala dasar didalamnya, serta
mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas
dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Keyakinan beliau
terhadap sosiologi hukum sebagai alat bantu dalam mendekontruksi
pemikiran hukum semakin mengkristalkan pemikiran bahwa konsepsi
hukum responsif yang digagas Philippe Nonet dan Selznick memang
didukung oleh madzhab sociological jurisprudence yang memberi
kemampuan bagi institusi hukum untuk secara lebih menyeluruh dan cerdas
mempertimbangkan fakta-fakta sosial dimana hukum itu berproses dan
diaplikasikan.
Hukum responsif, hukum otonom dan hukum repressif dapat dipahami
sebagai tiga respon terhadap dilemma yang ada antara integritas dan
keterbukaan. Tanda-tanda dari hukum yang represif adalah adaptasi pasif
dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap social dan politik.
Hukum otonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan
yang serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana
untuk mencapai tujuan tersebut. Tipe hukum yang ketiga berusaha untuk
mengatasi ketegangan tersebut. Ini disebut responsive, bukan terbuka atau
adaptif, untuk menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi yang

22
bertanggungjawab, dan dengan demikian adaptasi yang selektif. Suatu
institusi yang responsif mempertahanan secara kuat hal-hal yang esensial
bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan, kekuatan-
kekuatan baru di dalam lingkungannya. Untuk melakukan hal itu, hukum
responsive memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaan dan integritas
dapat saling menopang walaupun terdapat pertentangan di antara keduanya.
Lembaga yang responsive menganggap tekanan-tekanan social sebagai
sumber pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi-diri. Agar
mendapatkan sosok seperti itu, sebuah institusi memerlukan panduan ke
rah tujuan.Tujuan menetapkan standar untuk membuka jalan melakukan
perubahan. Pada saat yang bersamaan, jika benar-benar digunakan, tujuan
dapat mengontrol diskresi administrative, dan dengan demikian dapat
mengurangi risiko terjadinya pelepasan institusional. Sebaliknya, ketiadaan
tujuan berakar pada kelakukan serta opportuninisme.
Dalam kenyataannya kondisi-kondisi yang buruh ini terkait satu sama
lain dan hidup berdampingan. Suatu institusi yang formalis, yang terikat
pada peraturan, merupakan institusi yang tidak memiliki kelengkapan yang
memadai untuk hal-hal yang benar-benar dipertaruhkan dalam konfliknya
dengan lingkungan sekitar. Institusi ini sering beradaptasi secara opportunis
karena ia tidak mempunyai criteria untuk secara rasioanal merekonstruksi
kebijakan-kebijakan yang sudah ketinggalan zaman atau yang tidak layak
lagi. Hanya ketika sebuah lembaga benar-benar mempunyai tujuan barulah
ada dapat panduan antara integritas dan Keterbukaan, peraturan dan
diskresi. Jadi hukum responsive berangkapan bahwa tujuan dapat dibuat
cukup objektif dan cukup otoritatif untuk mengontrol perbuatan peraturan
yang adaptif.
Dalam berbagai kasus berkaitan suatu produk hukum, baik yang
keluar dari lembaga yudikatif maupun eksekutif, sepanjang menyangkut
kepentingan orang banyak, biasanya sering menjadi polemik masyarakat
luas, mulai dari para pakar hukum hingga masyarakat awam. Fenomena ini
terjadi bisa dipahami sebagai suatu bentuk makin tingginya pemahaman

23
masyarakat terhadap hukum, atau boleh jadi telah terjadi something wrong
dengan produk hukum itu sendiri, seiring dengan perkembangan dan
tuntutan demokratisasi dan transparansi dalam penyelenggaraan negara.
Disamping itu, hal tersebut dapat pula dipahami sebagai adanya sesuatu
yang salah pada lembaga hukumnya, dalam menerapkan hukum.
Pergulatan mengenai tujuan merupakan upaya yang beresiko bagi
sebuah institusi hukum. Misalnya dalam suatu perusahaan yang besar,
warisan dari masa lalu dengan mudah dianggap sebagai rintangan bagi
rasionalitas. Pada prinsipnya, Organisasi ini bebas untuk tidak
mengembalikan aturan-aturan yang dimilikinya dan mengubah Prosedur
kerjanya. Namun sebagian institusi lain, diantaranya lembaga keagamaan
dan hukum sangat tergantung pada ritual dan preseden untuk memelihara
identitas atau mempertahankan legitimasi. Bagi institusi-institusi ini, jalan
menuju responsivitas sangatlah membahayakan. Perbedaan antara hukum
otonom dan hukum responsive sebagian merupakan hasil dari penapsiran
yang berbeda terhadap Risiko tersebut. Hukum otonom menganut
perspektif “Resiko rendah”. Ia bersikap waspada terhadap apa saja yang
dapat memicu gugatan terhadap otoritas yang sudah diterima. Dalam
menemukan suatu tertib hukum yang terbuka dan purposive, pada
pendukung hukum yang terbuka dan purposive, para pendukung hukum
responsive lebih memiliki alternatif “Risiko tinggi”.
Dalam proses Pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia, teori hukum responsive ini telah banyak diterapkan dalam
klausul berbagai Undang-undang, bahkan hamper semua UU, khususnya
yang berkaiatan dengan pelayanan publik memberikan kewenangan kepada
masyarakat untuk memberikan masukan, baik langsung atau tidak langsung
dalam proses perumusan suatu UU tidak terkecuali dalam amandemen
Undang-Undang.

D. Penutup
1. Kesimpulan

24
Hukum responsif, hukum otonom dan hukum repressif dapat
dipahami sebagai tiga respon terhadap dilemma yang ada antara integritas
dan keterbukaan. Tanda-tanda dari hukum yang represif adalah adaptasi
pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap social dan
politik
Dari paparan di atas dapat diambil beberapa pemahaman tentang
kritik penegakan hukum di Indonesia Optik Nonet dan Selznick, yang
tentunya dalam konsep-konsep teori hukum.. Optik Nonet dan Selznick
menawarkan terhadap penegakan hukum di Indonesia yang legisme (legal
positivism), mereka menggagas modelisasi hukum kedalam teori besarnya
“hukum responsif” mencakup tiga tahapan; hukum represif hukum
otonom, dan hukum responsive. Pada kenyatannya Penegakan supremasi
hukum adalah sebuah upaya manusia untuk menggapai keteraturan atau
ketertiban yang dibutuhkannya. Dalam hal mana penegakan tersebut, yang
pokok adalah mensinergikan ketiga pilarnya; peraturan-perundangan,
aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakatnya.

2. Saran

Dapat penulis sampaikan bahwa penegakan hukum memerlukan komitmen


kuat dari berbagai pihak. Baik Masyarakat, Aparat Penegak Hukum
maupun Pemerintah. Dalam hal penegakan hukum, Aparat penegak hukum
seharusnya dapat bekerja lebih profesional, sehingga tidak dapat di
pengaruhi oleh oknum-oknum tertentu atau kepentingan-kepentingan
politik. Dengan sikap yang lebih independen aparat penegak hukum
seharusnya tidak pandang bulu dalam menangani kasus kerusuhan, baik
pelaku kerusuhan, provokator maupun dalang di balik kerusuhan tersebut.
Lemahnya penegakan hukum akan berakibat turunya wibawa aparat
penegak hukum dan sikap tidak percaya masyarakat terhadap aparat.

25
DAFTAR BACAAN

Abdurrahman, H, 1995, Ilmu Hukum, Teori Hukum & Ilmu Perundang-


Undangan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

A.A.G. Peters dan Siswosoebroto, Koesrini, 1990, Hukum dan Perkembangan


Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku III) Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

26
Esmi,Warassih, 2005, Pranata Hukum (Sebuah Telaah Sosiologis), Semarang:
PT. Suryandaru Utama.

Jimly Asshiddiqie (2006), Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum dan


Indonesia (Menyoal Moral Penegak Hukum) Lustrum XI Fakultas
Hukum Uni versitas Gadjah Mada, 16 Februari 2006.

Loekman Wiriadinata, 1989, Kemandirian kekuasaan Kehakiman, Jakarta:


yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia.

Mohd Mahfud MD., (2001), Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES

-----------, (2008), Kebijakan Pembangunan Hukum pada Prog. Doktor Ilmu


Hukum PPs. FH. UII, Jogjakarta: PPs UII.

Rauisul Mustaqin, 2007, Terjemahan “Law and Sosiety in Transition Tower


Responsifv Law,.Bandung : Nusa Media

Sabian, 2005, Mengenal Sosiologi Hukum, Malang Mediasi Pustaka.

----------, 2007, Anatomi Konflik & Solidaritas Masyarakat Nelayan, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Sabian Utsman, 2008, Menuju Penegakan hukum Responsif, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Soetandyo Wignjosoebroto, 2007, “Hukum Dalam Masyarakat” (Perkembangan


dan Masalah, Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum”,
Surabaya: FISIP Unair.

27
28

Anda mungkin juga menyukai