Anda di halaman 1dari 22

HUKUM RESPONSIF

Philippe Nonet dan Philip Selznick

Sejarah Perkembangan Hukum

Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang


berubah-ubah dan kontekstual. Hal ini membuat Nonet dan Selznick mengategorikan hukum ke
dalam 3 kelompok yang berlainan serta ketiganya merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam
hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Ketiga kategori hukum tersebut adalah
hukum represif, otonom dan hukum responsif.

Hukum represif merupakan perintah dari yang berdaulat, yang pada prinsipnya hukum
dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.Pemberlakuan hukum represif tidak
terlepas dari integrasi yang dekat antara hukum dan politik.Wujud dari integrasi yang sangat
dekat ini adalah adanya suatu subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum terhadap elit-
elit yang berkuasa.Hukum adalah alat yang mudah diutak-atik, siap dipakai untuk
mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak istimewa, dan
memenangkan ketaatan.

Hukum otonom dapat disebut sebagai pemerintahan berdasarkan hukum (rule of


law).Hukum otonom memfokuskan diri pada peraturan dan hal ini menyebabkan hukum otonom
cenderung mempersempit cakupan fakta-fakta yang relevan secara hukum, sehingga
memisahkan pemikiran hukum dari realitas sosial.Hasilnya adalah legalisme, yaitu sebuah
kecenderungan untuk menyandarkan diri pada otoritas hukum dengan mengorbankan pemecahan
masalah di tingkat praktek.

Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar
hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui
subordinasi.Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam
peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan
terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Hukum represif juga pernah ada di Negara kita, yaitu pada saat awal-awal kemerdekaan
sampai dengan tahun 1960 –Orde Lama.Kemudian hukum otonom juga pernah dirasakan bangsa
ini, yaitu pada era pimpinan Soeharto –Orde Baru, yang keduanya dipakai untuk menjaga
kredibilitas masing-masing pemerintahan. Di era reformasi sekarang ini –yang sudah berjalan
lebih dari satu dekade– hukum responsif masih dalam proses. Membutuhkan waktu lama agar
hukum responsif dapat dijalankan sesuai dengan sebenar-benarnya sehingga demokrasi yang
hakiki dapat terwujud demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima


sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan
secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan
karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social
engineering dari Roscoe Pound,, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja
disebutkan sebagai hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan
masyarakat. Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum
yang emansipatif.Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni
hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia
dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan
politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat
yang menjunjung tinggi semangat demokrasi.Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum
ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk
membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam
masyarakat. Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai
sarana rekayasa sosial ini

Seperti apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo,
sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak
dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem
hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet.Baik aliran analitis maupun
Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak
dapat digugat.Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori
ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum tidak hanya rules
(logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence
saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini
merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai
dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum
murni yang kaku dan analitis.

Transisi Hukum Otonom ke Hukum Responsif

Seperti telah disebutkan di atas bahwa hukum responsif lebih menekankan pada tujuan,
jadi bukan hanya keadilan yang procedural. Lebih dari itu hukum responsive juga memiliki
kompeten dan keadilan yang lebih dibanding hukum otonom ataupun represif serta mampu
mengenali keinginan public dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantive.
Misalnya permasalahan hukum yang berasal dari akar rumput dapat diakomodir dengan baik
untuk selanjutnya dapat dijadikan masukan dalam rangka menegakkan keadilan yang tidak semu.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan sifat hukum otonom yang lebih berpusat pada
peraturan-peraturan memiliki dasar yang praktis dalam hal-hal berikut ini:

1. Peraturan merupakan sebuah sumber yang andal untuk melegitimasi kekuasaan.


Peraturan menetukan cakupan otoritas jabatan secara akurat sehingg menawarkan
pengetesan yang meyakinkan terhadap akuntabilitas.

2. Hakim cenderung dibatasi oleh peraturan sehingga kekuasaan yudikatis menjadi


sangat terbatas dan lebih mudah untuk memberikan justifikasi serta yang palin parah bahwa
ancaman hukum terhadap para pembuat keputusan politikpun menjadi kendur, bahkan
seolah-oleh para elit politik kebal hukum.

3. Meningkatnya jumlah peraturan perundangan yang dapat menimbulkan


kompleksitas dan mendatangkan permasalahan konsisten. Bahkan pembuatan perundangan-
pun dapat dijadikan lahan untuk menguntungkan dan memperkaya diri mereka maisng-
masing.
4. Otoritas pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab hukum. Dalam
menjalankan tugasnya sebuah hukum harus berpatokan pada peraturan-peraturan tertentu,
hal ini dimaksudkan agar dapat membantu system tersebut untuk menghindari tuntutan-
tuntutan yang mungkin tak terpenuhi.

5. Walapun hukum otonom dapat menjinakkan represi, namun tetap berkomitmen


bahwa hukum adalah sebagai kontrol sosial yang dapat digunakan untuk lebih melegitimasi
kekuasaan pemerintah.

Dari gambaran di atas bahwa taat hukum yang terjadi pada hukum otonom hanyalah
bersifat semu, artinya dalam menjalankan tertib hukum masyarakat terpaksa untuk
mematuhinya. Karena siapapun yang melanggar hukum maka sanksipun akan menunggunya,
walaupun sebenarnya aturan hukum tersebut bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi untuk
kepentingan segelintir orang. Dari sinilah akan terjadi pergolakan dalam diri masyarakat itu, dia
akan patuh pada hukum jika ada pengawasan dari aparat penegak hukum, namun dengan
berbagai cara merekapun akan melanggar hukum tersebut jika pengawasan tidak ada.

Hukum otonom memiliki kapasitas dalam mengendalikan otoritas penguasa dan


membatasi kewajiban-kewajiban warga Negara. Dari sinilah akan muncul kritik-kritik yang
memberikan sumbangan terhadap tergerusnya rul of law, namun sikap ini bukanlah sebuah
pandangan yang ideologis karena model ini lebih mungkin untuk menerima kepatuhan otoritas
daripada menerima kritik otoritas. Kemudian muncullah sebuah visi dan suatu kemungkinan
dirasakan, akan sebuah tertib hukum yang responsif yang lebih terbuka terhadap pengaruh social.
Institusi-institusi hukum mestinya meninggalkan perisai perlindungan yang sempit terhadap
hukum otonom dan menjadikan instrument-instrumen yang lebih dinamis bagi penataan social
dan perubanhannya. Dalam pembentukan lembaga-lembaga yang sarat pengetahuan dan efektif
akan menemukan adanya tantangan yang dapat membangkitkan penolakan-penolakan yang kuat.
Jadi selama penghormatan terhadap bentuk-bentuk procedural melemah dan peraturan-peraturan
dibuat problematic, para pejabat dan warga Negara dapat bertindak sekehendak hatinya dengan
lebih mudah.Maka hal ini dapat menghilangkan kemampuan hukum untuk mendisiplinkan
pejabat dan memaksakan kepatuha pada hukum. Tatanan hukum yang dibuat terlalu terbuka akan
kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan peran kekuasaan di dalam masyarakat.
Dalam hukum otonom terdapat adanya ketegangan antara keterbukaan dan kepatuhan
terhadap hukum, dan ketegangan ini dapat menimbulkan masalah sentarl dalam perkembangan
hukum.Semua institusi mengalami konflik integritas dan keterbukaan. Integritas harus dilindungi
ketika sebuah institusi mempunyai komitmen yang kuat pada suatu misi khusus atau dapat dibuat
akuntable pada misi tersbut oleh control eksternal. Namun isntitusi-institusi yang memiliki
komitmen tersebut menyatu dengan berbagai sudur pandang dan pola kerja mereka sendiri,
mereka akan kehilngan kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal ini berarti bahwa tidak
selamanya keterbukaan akan menjamin hukum tersebut dapat dipatuhi dengan baik oleh semua
masyarakat, ada kalanya integritas didahulukan agar kepatuhan hukum dapat terwujud. Dengan
kata lain akuntabilitas akan melahirkan formalism dan kemunduran, sehingga mengakibatkan
institusi-institusi menjadi kaku, tidak mampu menghadapi kemungkinan-kemungkinan baru yang
timbul secara tak terduga. Di sisi lain keterbukaan juga mengandaikan pemeberian diskresi yang
luas sehingga tindakan aparatur Negara dapat tetap fleksibel, adaptif dan mawas diri. Namun
tanggung jawab para aparat akan semakin kabur ketika mereka kehilangan kepastian, dan juga
terdapt resiko bahwa komitmen akan menipis di saat flrksibelitas diterapkan. Dengan demikian
keterbukaan dapat dengan mudah merosot menjadi oportunisme, yaitu adaptasi yang tidak
terarah terhadap berbagai peristiwa dan tekanan.Hukum represif memiliki tanda-tanda adanya
adaptasi pasif dan oportunis dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan social dan
politik.Hukum motonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang
serampangan yang kegiatan utamanya adalah bagaimana cvara menjaga integritas
institusional.Untuk mencapai tujuan tersbut, hukum mengisolasi dirinya, mempersempit
tanggung jawabnya dan menerima formalism yang buta demi mencapai integritas.

Hukum responsif yang merupakan kelanjutan dari proses hukum diatas berusaha
mengatasi ketegangan-ketegangan tersebut dengan cara menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi
yang bertanggungjawab yaitu adaptasi yang selektif dan tidak serampangan. Suatu institusi yang
responsif mempertahankan secara kuat hal-hal yang essential bagi integritasnya sembari tetap
memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di lingkungannya sehingga antara
keterbukaan dan integritas dapat berjalan bersama dan saling membantu satu sama lain walaupun
di antara keduanya terdapat pertentangan. Lembaga responsif menganggap tekanan-tekanan
social sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri.Suatu institusi atau
lambaga haruslah memililiki tujuan, karena dengan tujuan sebuah lembaga atau institusi tertesbut
dapat memadukan antara integritas dan keterbukaan, peraturan dan diskresi.Jadi hukum responsif
beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup otoritatif untuk mengontrol
pembuatan peraturan yang adaptif.Usaha untuk mencapai tujuan merupakan suatu kegiatan yang
beresiko tinggi bagi sebuah institusi hukum.Karena sebagian lembaga beranggapan lebih baik
memelihara identitas dan mempertahankan legitimasi jika dibanding harus menyediakan
keterbuakaan kepada lingkungannya.

Generalisasi Tujuan

Hukum responsif membawa janji akan kesopanan ke dalam cara hukum yang digunakan
untuk mendefinisikan dan memelihara ketertiban umum. Dalam pengertian yang lebih umum dan
lebih klasik, kesopanan merupakan atribut kehidupan politik.Politik yang sopan adalah politik
yang mendukung nilai sentral kewarganegaraan –asas bahwa tidak ada anggota komunitas politik
sejati yang tidka dilindungi.Oleh karena itu rasa hormat/kesopanan adalah kebajikan yang
penting, “barang siapa berbagi ruang social, maka ia akan memperoleh jaminan
legitimasi”. Hukum responsif dapat membantu berkembangan kesopanan melalui 2 cara, yaitu:

1. Mengatasi parokialisme dalam moralitas kemunal.

Hukum responsif mengeksplorasi sarana-saran alternative untuk mencapai tujuan hukum,


khususnya strategi-strategi pengaturan yang bersifat non criminal seperti zoning, yakni
pembagian legeslatif dalam suatu wilayah menjadi distrik-distrik yang berbeda. Proses ini sedang
berlangsung di Indeonsia, yaitu adanya otonomi daerah, pembagain kekuasaan legislative merata
dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat nasional.

1. Mendorong suatu pendekatan yang berpusat pada masalah dan integrative secara
social terhadap krisia ketertiban umum.

Dalam kondisi tertentu kadang suatu peraturan yang merupakan produk hukum tidak
dapat menangani suatu kasus, misalnya demonstrasi, krisis kerusuhan dan lainnya, karena produk
hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
hukum yang dapat mendorong kritik terhadap peraturan-peraturan dan bahkan yang membuat
ketidakpatuhan sebagai cara yang sah untuk menguji dan mengubah peraturan yang lebih siap
untuk mengendalikan berbagai ancaman simbolis kekuasaan. Pengampunan terhadap
pelanggaran hukum dapat dinegoisasi demi menyusun kepentingan kembali suatu kerangka kerja
dimana kerja sama dapat etrus berjalan sehingga akan menghasilkan produk hukum yang dapat
menguntungan benyak orang. Produk hukum semacam ini mengasumsikan bahwa syarat-syarat
ketertiban umum bukanlah sesuatu yang benar-benar kaku, namun sesuatu yang masih terbuka
untuk dinegoisasikan kembali sedemikian rupa sehingga kondisi-kondisi tersebut akan lebih
memperhatikan kepentingan social yang dipengaruhi. Ketidakpatuhan bisa dipandang sebagai
perbedaan pendapat, dan penyimpangan sebagai munculnya gaya hidup baru, kerusuhan tidak
dianggap sebagai aksi mass yang tidak masuk akal namun dipuji karena relevansinya sebagai
protes social. Dengan cara ini, seni negoisasi, diskusi dan kompromi secara politis dan sopan ikut
dilibatkan.

Sudahkah Indonesia menggunakan Hukum Responsif

Di Indonesia belum siap untuk menerapkan hukum responsif yang sesungguhnya karena
krisis hukum yang terjadi sudah terlanjur dalam, aksi massa sudah sangat sulit dikendalikan baik
dengan cara yang represif ataupun responsif sekalipun. Luapan rasa kebebasan yang selama orde
baru terkekang dan mencapai titik kejenuhan akhirnya keluar dan meledak.Adalah hal yang
wajar dalam waktu awal suatu rezim terjadi pergolakan, karena banyak yang kecewa dengan
rezim yang sebelumnya. Setiap orang mempunyai pandangan dan pendapat serta cara sendiri-
sendiri yang pada intinya memiliki tujuan dan fungsi yang sama, yaitu membawa perubahan
yang lebih baik. Namun karena perbedaan pandangan dan penaf siran sehingga sangat mungkin
akan terjadinya gesekan satu sama lain. Dalam hal ini pemerintahpun juga belum mampu
mengendalikan situasi, karena mereka yang ada di dalamnya juga sering silang pendapat bahkan
tak jarang terjadi adu mulut atau baku hantam antar anggota legeslatif. Cita-cita reformasi yang
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat madani selalu mengalami kendala baik dari dalam
ataupun dari luar. Dapat kita lihat intervensi asing dalam dunia usaha di Indonesia begitu
mendominasi, sehingga setiap produk hukum baik itu Undang-undang, Perpu, Perda dan produk
hukum yang lain selalu berpihak pada pihak asing. Karena pemerintah belum berani
meninggalkan campur tangan asing, mungkin rasa ketergantunagn tersebut sudah terlanjur
mendalam.
Reformasi di negera kita seakan berjalan ditempat, bahkan ada yang mengatakan lebih
parah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo :

“Rupanya reformasi sudah mulai menukik terlalu dalam sehingga tidak hanya sampai
akar rumput, tetapi didibaratkan akuarium.Maka pasir dan kotoran ikut terobok-obok sampai ke
permuakaan.Akuarium menjadi keruh”.

Sangat menarik kiasan yang diutarakan oleh beliau, memang benar adanya bahwa saat ini
Negara kita sudah walaupun reformasi sudah berjalan satu decade namun kondisi bangsa kita
malah jauh lebih buruk dari sebelemunya (masa orde baru). Bukan pada hal-hal yang sifatnya
umum (general) saja yang mengalami kemerosotan, tapi juga hal-hal yang sifatnya urgen seperti
ideology, produk hukum berserta aparat penegaknya ataupun lembaga Negara baik ekskutif,
yudikatif ataupun legeslatif juga sudah amburadul, inilah yang mungin disbutkan Satjipto
Rahardjo sebagai akuarium. Khusus bagi lembaga yudikatif saat ini kondisinya semakin
memprihatinkan, seolah-olah hukum hanya berpihak pada mereka-mereka yang berkompeten di
dalamnya, termasuk pihak swasta sebagai pengusaha yang notabe-nya telah dikuasai pihak asing,
yang juga ikut dalam pembuatan produk hukum tersebut.Yang terjadi saat ini adalah kekerasan
dan premanisme di mana-mana, hal ini terjadi karena kekuasaan dikendalikan oleh
para intelektual-intelektual semu yang berkultur preman dan sebenarnya tidak memiliki
kompetensi untuk menjadi penguasa.Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan segelintir
orang di sekitarnya.Masih menurut Satjipto Rahardjo, bahwa saat ini yang harus dilakukan untuk
membantu terwujudnya reformasi salah satunya adalah memunculkan atau mengangkat orang-
orang baik yang memiliki mentalitas dan kualitas yang terpuji. Seberanya mereka pernah
menjadi bagian dari penguasa, namun mereka tersisih karena mereka tidak bisa bermain menurut
kultur preman yang dimiliki oleh punguasa kita saat ini. Masih banyak orang-orang baik di
negera kita, oleh jarena itu marilah kita bersatu memunculkan dan mengangkat mereka dan
menolak massa permanisme. Mudah-mudahan dengan munculnya mereka ke pemerintahan yang
berbekal mentalitas dan kualitas yang terpuji dapat membawa kebangkitan kembali Indonesia.

Tapi apapun itu semua hal di dunia ini melalui suatu proses, cepat atau lambat proses
tersebut tergantung kepada komponen-komponen yang ada di dalamnya. Sebagai bangsa yang
besar Indonesia memang identik dengan pluralisma, namun jangan dijadikan alasan bahwa
keadaan itu akan memperlambat proses bangsa ini untuk menuju cita-cita luhur menciptakan
bangsa Indonesia yang sejahtera. Dengan adanya perbedaan tersebut diharapkan dapat terjadi
sinergi sehingga semau komponen bangsa ini dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik
sesuai Pancasila dan UUD 1945, serta tetap menggunakan hati nurani dalam setiap langkahnya.
Konsep Hukum Progresif

Sejarah Hukum Progresif

Hukum progresif lahir karena keadaan Indonesia pada masa lalu. Ada berbagai
pergulatan pemikiran, berkaitan dengan usaha dari pemikir hukum untuk menawarkan
gagasannya agar persoalan hukum di negeri ini tidak menemui “jalan buntu”.

Salah satu gagasan pemikiran yang penting dalam lingkup ini adalah hukum progresif
tersebut. Pemikir penting yang berada di belakang gagasan tersebut, adalah Profesor Satjipto
Rahardjo, guru besar Emiritus Sosiologi Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang. Di
kalangan kolega dan mahasiswanya, ia dikenal dan dipanggil dengan Prof. Tjip.

Keadaan hukum Indonesia yang carut-marut, seperti menjadi cambuk bagi lahirnya
gagasan hukum progresif tersebut. Proses ini tidak berlangsung dalam waktu singkat. Pergulatan
gagasan dan pemikiran ini sudah berlangsung lama, makanya energi yang dilahirkan demikian
menggumpal hingga mencapai puncak gagasan hukum progresif ini pada tahun 2002.

Hukum progresif tidak muncul sekonyong-konyong, namun mempunyai anteseden.


Adalah kepribadian Satjipto Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat
hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat
memperhatikan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosa kata hukum
Indonesia pada Orde Baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark
engineeringkarena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada Era Reformasi dunia
hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran di
atas adalah makin langkanya kejujuran, empati, dan dedikasi dalam menjalankan hukum.

Pikiran progresif sarat dengan keinginan dan harapan. Ada satu hal yang penting, bahwa
lahirnya hukum progresif dalam khazanah pemikiran hukum, berkaitan dengan upaya
mengkritisi realitas pemahaman hukum yang sangat positivistik.

Memahami istilah progresivisme dalam konteks hukum progresif dapat dijabarkan


sebagai berikut:
1. Progresivisme bertolak dari pandangan bahwa pada dasarnya manusia
adalah baik, dengan demikian hukum progresif mempunyai kandungan moral yang kuat.
Progresivisme ingin menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral.
2. Hukum progresif mempunyai tujuan berupa kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia, maka sebagai konsekuensinya hukum selalu dalam proses menjadi.
Oleh karena itu hukum progresif selalu peka terhadap perubahan masyarakat disegala
lapisan.
3. Hukum progresif mempunyai watak menolak status quo ketika situasi ini
menimbulkan kondisi sosial yang dekanden dan korup. Hukum progresif memberontak
terhadap status quo, yang berujung pada penafsiran hukum yang progresif.

Hukum progresif mempunyai watak yang kuat sebagai kekuatan pembebasan dengan
menolak status quo. Paradigma “hukum untuk manusia’ membuatnya merasa bebas untuk
mencari dan menemukan format, pikiran, asa, serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya

Perkembangan Hukum Progresif

Bila merujuk ke belakang, maka dapat diketahui bahwa gagasan hukum progresif (2002)
muncul disebabkan oleh kegalauan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Prof. Tjip, sebagai pencetus dan yang
mengembangkan gagasan ini, melihat lebarnya kesenjangan antara kenyataan dan realitas. Ada
harapan besar untuk hukum sebagai juru penolong ketika kekuasaan Presiden Soeharto runtuh,
sampai-sampai dianggap supremasi hukum sebagai panacea, obat mujarab bagi semua persoalan.
Sedangkan prestasi tidak memuaskan (Satjipto Rahardjo, April 2007).

Hukum progresif lahir untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan
bukan sebaliknya (Satjipto Rahardjo, April 2005). “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan,
melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, berulang-ulang
Prof. Tjip menyebutkan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan
manusia”. Berulang kali Prof. Tjip mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di
manusianya (Satjipto Rahardjo 2007, Satjipto Rahardjo 2006, Satjipto Rahardjo 2008).[2]
Hukum progresif adalah gagasan besar yang lahir dari pergulatan. Tahun 2002
sebenarnya lebih tepat disebut sebagai masa penataan, dari serangkaian tulisan (gagasan) yang
sudah lama dilahirkan.[3]

Hukum progresif berangkat dari sebuah maksim bahwa:

“hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan
yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia”.[4]

Pernyataan ini tegas bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah
sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh
karena itu menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum
hanyalah alat.

Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang
telah final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum adalah dalam
keadaan menjadi.

Oleh karena itu hukum bukanlah untuk hukum, maka hukum proresif meninggalkan
paradigma hukum rechtsdogmatiek. Maka hukum progresif merangkul beberapa aliran maupun
para filsuf hukum yang sepaham. Diantaranya adalah Nonet dan Selsznick yang berbicara
tentang tipe hukum yang responsive, Legal realism dan Freirectslehre, Sociological
Jurisprudence dari Roscoe Pound juga berbagai paham dengan aliran Interessenjurisprudencz,
Teori-teori Hukum Alam dan Critical Legal Studies (CLS).

Menuju Paradigma Hukum Progresif

Paradigma berasal dari bahasa Inggris “paradigm” berasal dari bahasa Yunani
“paradeigma” dari suku kata “para” yang berate disamping atau disebelah, dan kata “dekynai”
yang berarti memperlihatkan; model; contoh, dengan demikian “paradigm” diartikan sebagai
contoh atau pola.

Chalmers menjelaskan beberapa karakteristik paradigma, diantaranya sebagai berikut:

1. Tersusun oleh hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis yang dinyatakan


secara eksplisit.
2. Mencakup cara-cara standar bagi penerapan hukum-hukum tersebut dalam
kondisi empiris.
3. Mempunyai teknik-teknik yang bisa dipergunakan guna menjadikan
hukum-hukum tersebut dapat dioperasionalkan dalam tataran empiris.
4. Terdiri dari prinsip-prinsip metafisika yang memadu segala karya dan
karsa dalam lingkup paradigma yang dimaksud.
5. Mengandung beberapa ketentuan metodologis.[5]

Pada umumnya paradigma hukum Indonesia saat ini adalah positivisme-legalistik, yang
terlalu terpaku pada undang-undang, prosedur, birokratisme dan logika hukum yang kaku. Dalam
manifestonya paradigma hukum progresif, sebagaimana Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa:

”Apabila hukum itu bertumpu pada “peraturan dan perilaku”, maka hukum yang
progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan demikian faktor serta
kontribusi manusia dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang ada”. [6]

Dengan demikian, bahwa komponen hukum yang terdapat dalam paradigma hukum
progresif pada intinya terdiri dari dua komponen, yaitu:

 Peraturan

Komponen peraturan adalah segala hal yang bersifat mengikat yang fungsinya kurang
lebihnya bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan dari masyarakat.

 Perilaku

Kompenen perilaku dalam paradigma hukum progresif dapat kita lacak pengaruhnya
pada aliran Realisme Hukum Amerika. Aliran ini menekankan pendapatnya bahwa hukum
adalah generalisasi dari orang-orang yang menjalankan hukum, lebih khusus lagi menunjuk pada
profesi hakim.

Syarat-syarat sebuah paradigma sebagaimana yang dikatakan oleh Kuhn di antaranya


adalah seperangkat kerangka piker yang digunakan dalam ilmu, dalam hal ini ilmu hukum, yang
digunakan untuk menganalisis masalah yang dihadapinya.
Pengakuan Satjipto Rahardjo sendiri mengenai hukum progresif memanglah belum final,
masih dalam masa pembuatan, dan beliau sendiri belum secara tegas mengatakan bahwa hukum
progresif adalah sebuah paradigma hukum. Jika kita posisikan paradigma hukum progresif dalam
konteks paradigma sebagai “normal science”, dalam artian sebagai seperangkat nilai penuntun
bagi timbulnya persoalan-persoalan dalam ilmu hukum, maka paradigma hukum progresif bisa
dikategorikan ke dalamnya.

Kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan status
quo. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan dan sistem bukan
satu-satunya yang menentukan. Manusia masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan
oleh sistem yang ada. Di sini semangat memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to
the people) dirasakan amat kuat. Inilah yang menyebabkan munculnya sikap kritis terhadap
sistem normatif yang ada.

Progresivisme membutuhkan dukungan pencerahan pemikiran hukum dan itu bisa


dilakukan oleh komunitas akademi yang progresif. Karena itu, bila dunia akademi tak segera
berbenah diri, secara berseloroh ia bisa ditunjuk sebagai bagian “mafia status quo” juga.

Friedmann membagi sistem hukum ke dalam tiga komponen, yaitu komponen struktur
hukum, substansi hukum dan kultur hukum, terkait dengan komponen sistem hukum friedmann,
maka terdapat berbagai pilihan paradigma hukum dalam menjalankan sistem hukum, entah itu
paradigma hukum legalisme, progresivisme maupun pilihan paradigma hukum lainnya.

Manusia dalam paradigma hukum progresif merupaka “core” dari hukum. Menurut
Satjipto Rahardjo, “faktor manusia ini adalah simbol daripada unsur-unsur greget (compassion,
empathy, sincerety, edication, commitment, dare dan determination)”. Peranan manusia dalam
hukum sangatlah penting, hukum berpusat pada manusia. Manusia dengan segala
kompleksitasnya adalah pusat dari hukum, beberapa faktor-faktor yang ada dalam diri manusia
seperti empati, ketulusan, keberanian inilah yang menjadi motor penggerak dalam menjalankan
hukum.

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “paradigma hukum progresif tidak bergerak pada
aras legalistik-dogmatis, analitis positivistik, tetapi lebih pada aras sosiologis. Hukum tidak
mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum perundang-undangan saja, tetapi ia juga
bergerak pada aras non formal.

Dengan demikian perubahan besar telah terjadi, yaitu pusat hukumtidak lagi berada pada
peraturan, namun berada pada manusia. Tidak mengherankan jika kemudian paradigma hukum
progresif lebih menekankan pada keadilan hukum yang sifatnya substansial, daripada
menekankan keadilan hukum yang sifatnya prosedural.

Menyelami Semangat Hukum Progresif

Sebagaimana kondisi objektif komponen sistem hukum di Indonesia, dalam hal ini
menenggarai bahwa komponen hukum yang bekerja tidak dalam kondisi prima adalah komponen
struktural dan kultural. Untuk menyelami semangat hukum progresif perlu kiranya dilakukan
analisis terlebih dahulu kekuatan serta kelemahan hukum progresif.

Ada beberapa kekuatan hukum progresif, yaitu:

1. Ada dalam ranah teoritis, keunggulan paradigma hukum progresif dalam


konteks ini adalah melihat hukum secara lebih menyeluruh dan tajam jika dibandingkan
dengan paradigma hukum yang lain. Paradigma hukum progresif tidak hanya melihat
hukum sebagai kumpulan peraturan saja, namun jauh melampaui peraturan, yaitu
memandang hukum pada tataran yang lebih luas sebagai bagian dari realitas sosial yang
kompleks.
2. Berada dalam konteksfaktisitas hukum serta pilihan nilai yang coba
dicapai oleh paradigma hukum progresif. Paradigma hukum progresif memandang hukum
sebagai bagian dari realitas sosial yang kompleks, hukum tidak steril dari pengaruh lain
seperti misalnya politik.
3. Paradigma hukum progresif berada dalam aspek metodologis. Paradigma
hukum progresif menganalisis hukm secara lebih komprehensif dan lebih tajam dengan
menggunakan ilmu bantu lain seperti sosiologi hukum, psikologi, antropologi, sehingga
pembacaan terhadap realitas hukum menjadi lebih baik, dan solusi yang ditawarkan pada
akhirnya tidak bertumpu pada peraturan ad hoc, namun lebih luas dari itu dengan
mempertimbangkan variabel-variabel lain seperti kemanusian, sistem sosial, sistem nilai,
politik maupun ekonomi.
Membangun sebuah sistem hukum yang sesuai dengan visi budaya bangsa Indonesia
memang bukanlah pekerjan mudah, dan tentu saja tidak bisa dilakukan dalam waktu yang
singkat. Oleh karena itu tawaran paradigmatic Satjipto Rahardjo guna membangun sistem hukum
Indonesia yang berpihak pada kesejahteraan rakyat (substancial justice) melalui paradigma
hukum progresif bukanlah tanpa tantangan.

Paradigma hukum legalistik yang saat ini menjadi mainstream hukum Indonesia, tidak
lagi mampu membaca realitas hukum yang kompleks secara optimal, bahkan tertatih-tatih
menyelesaikan masalah yang dihadapinya, namun bukan berarti akan mudah bagi paradigma
hukum progresif untuk melanggeng menjadi alternative pengganti paradigmatic hukum
Indonesia.

Ada jalan yang panjang dan berliku akan ditemui ketika paradigma hukum progresif akan
diagendakan sebagai paradigma hukum nasional Indonesia. Sangat mungkin hal ini dilakukan
akan mendapat serangan bertubi-tubi dari berbagai pihak, terutama dari pihak-pihak status quo.

Kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan
keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas dan sistem yang
ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan didalamnya, lalu bertindak mengatasi.
Mempertahankan status quo seperti itu makin bersifat jahat saat sekaligus diiringi situasi korup
dan dekaden dalam sistem. Praktik-praktik buruk menjadi aman dalam suasana
mempertahankan status quo.

Kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan status
quo. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan dan sistem bukan
satu-satunya yang menentukan.

Progresivisme membutuhkan dukungan pencerahan pemikiran hukum dan itu bisa


dilakukan oleh komunitas akademi yang progresif. Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali
menepis kehadiran hukum positif, tetapi selalu gelisah menanyakan “apa yang bisa saya lakukan
dengan hukum ini untuk member keadilan kepada rakyat”. Singkat kata, ia tak ingin menjadi
tawanan sistem dan undang-undang semata. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum.
B. Peranan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Penegakan hukum oleh Hakim

Keadilan bukan kaku/saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan
dalam pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan bukan tugas rutin mengetuk palu digedung
pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang
dibutuhkan keadilan adalah keberanian tafsir atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia Indonesia. Isu yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu
pada prinsip pekerjaan yang diukur pada nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan
dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum UUD
(ujung-ujungnya duit), pasal karet, 86 dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan dihayati sebagai
pekerjaan mencari uang didalam institusi pengadilan. Dalam mecari keadilan di dalam Negara
hukum suatu penentu yakni dalam palu sidang hakim yang dijatuhkan pada putusan akhir. Dalam
hal ini perlunya menciptakan hakim yang sangat berani dalam menegakkan keadlilan hukum
yang sesungguhnya dalam artian tidak hanya memutuskan suatu perkara dengan melihat pada
fakta dalam persidangan semata. Dalam hal ini masyarakat hukum perlu mencari keadilan
dengan penegasan pada para hakim sebagai kepanjangan tangan dari Tuhan.

Hal yang juga termasuk urgen dalam hukum progresif yakni bagaimana menuntut
keberanian seorang hakim dalam menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa ini kearah
yang lebih baik. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum
di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan
menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga
Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi kaum miskin karena hukum tak
hanya melayani kaum kaya juga semua masyarakat yang berada di Negara Indonesia khusunya.
Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak dan abadi
sampai kapanpun. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk
kebahagiaan dan keadilan yang sesungguhnya. Tetapi melihat realitas Negara Indonesia
khususnya telah menyatakan diri sebagai sebuah Negara hukum yang sudah tercantum di dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khusunya pada pasal 1 ayat (3)
yang berbunyai; “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dimana patokan dalam penyelesaian
suatu permalahan yang terjadi di Negara Indonesia harus diselesaikan secara undang-undang
tertulis, sehingga para hakim khusunya dalam menegakkan hukum untuk mencari suatu keadilan
harus berkibalat pada suatu undang-undang yang sudah diratifikasi oleh para legislator.
Pertanyaan yang paling mendasar dalam pembahasan ini apakah para hakim berani memasukkan
hukum progresif dalam menempuh keadilan yang seutuhnya dalam suatu peradilan yang
menganut sistem Negara hukum tertulis seperti Indonesia ini.

Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata
dan hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna
lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya
kecerdasan Intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan
hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap
penderitaan bangsa dan disertai keberanian hakim untuk mencari jalan lain daripada yang biasa
dilakukan dalam artian para hakim harus dapat memberikan keadilan social yang ada pada
pelaku tindak pidana khususnya. Sehingga bila ide pengadilan progresif dikaitkan dengan tingkat
kasasi. Kita tahu, pada tingkat kasasi pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan
fakta (judic facti). Yang dilakukan adalah memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan
benar oleh pengadilan di tingkat bawah. Membaca sepintas, orang bisa berkesimpulan, yang
diperlukan Mahkamah Agung hanya membaca teks undang-undang dan menggunakan logika
hukum. Berdasarkan hal-hal yang terungkap dalam tingkat-tingkat persidangan sebelumnya,
Mahkamah Agung akan memeriksa apakah peraturan yang
digunakan hakim di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk menjatuhkan putusan
sudah benar. Bila benar demikian, tidak akan ada pintu masuk bagi pengadilan progresif itu
sendiri dalam rangka menegakkan hukum. Pengadilan progresif adalah proses yang sarat dengan
compassion yang memuat empati, determinasi, nurani, dan sebagainya.

Karakteristik pengadilan yang demikian itu tentu akan bisa diekspresikan dengan baik
manakala pengadilan sendiri memeriksa kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan
peraturan dan logika. Di situ hakim akan bisa menyaksikan sendiri perkara yang diperiksa.
Masalah menjadi gawat saat kita hanya melihat peraturan dan fakta yang tersaji tanpa mengorek
lebih jauh dari beberapa sisi yang termasuk urgen dalam menyelesaikan suatu masalah tersebut.
Di sini orang hakim lebih bertumpu pada bagaimana suatu teks Undang-undang tertulis akan
dibaca untuk kemudian diterapkan terhadap kejadian yang sudah terekam dalam dokumen. Kita
tidak tahu Apakah pada waktu membaca Undang-undang itu kepala hakim benar-benar (bisa)
"dikosongkan". Apakah pembacaan teks oleh hakim sepenuhnya berlangsung secara bebas nilai.
Tidak sesederhana itu. Selama hakim adalah manusia, kompleks atau predisposisi pilihan yang
ada padanya akan menentukan bagaimana suatu teks itu dibaca dan diartikan secara aturan yang
ada (aturan-aturan tertulis yang bersifat undang-undang). Kasasi linier dan nonlinier. Pikiran
(mind-set) positif tekstual kurang lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan. Cara berpikir
hukum seperti itu di sini disebut "linier". Memang itu amat mudah, tetapi dangkal. Di sini kita
bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum Negara Belanda,
yang mengatakan "hukum itu ada dalam Undang-Undang, tetapi masih harus
ditemukan".20 Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya "mengeja" peraturan.
Cara lain adalah melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam dari
suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan makna"
dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada
dimensi subyektif, tetapi juga sosial dalam arti hukum progresif itu sendiri. Hakim tidak hanya
mendengarkan dengan telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial". Betapa kecil pun
sudut masuk aspek pengadilan kasasi, ia tetap ada dan itu semua tergantung pada hakim-
hakimnya yang memimpin persidangan tersebut “ mengapa demikian karena salah satu asas
hukum pidana mengatakan” “ius curia novit” dengan arti dimana hakim orang yang dianggap
paling tahu tentang hukum.

Dalam hakim progresif, pengadilan progresif harus menyatakan, "hukum adalah untuk
rakyat bukan sebaliknya". Bila rakyat adalah untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan
dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata Undang-undang. Dalam
hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya teknisi
Undang-undang, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia karena
ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya. Menjadi makhluk sosial akan menempatkan
hakim di tengah hiruk-pikuk masyarakat, keluar dari gedung pengadilan. Malah ada yang
mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada bedanya dengan wakil rakyat. Bila ia berada di
tengah masyarakat, berarti ia berbagi sukaduka, kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang
ada di masyarakat. Melalui putusanputusannya, hakim suka disebut mewakili suara mereka
(suara rakyat) yang tak terwakili (unrepresented)dan kurang terwakili (under-represented).
Indonesia tidak kekurangan contoh menarik dalam dunia pengadilan dan hakim,
khususnya dalam kaitan dengan gagasan penegakan hukum progresif. Hakim Agung Adi Andojo
Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili kasasi Muchtar Pakpahan di masa
pemerintahan Presiden Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas
tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap Negara. Dalam tingkat kasasi Mahkamah
Agung mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut Mahmakah Agung,
para hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan
yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena
Indonesia sudah menjadi Negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan
memperhatikan hak asasi manusia.21 Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan
kategori hakim yang berpihak kepada masyarakat. Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila
mengingat Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya.
Seorang hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang
ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit
dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya, dengan tujuan semata-mata hanya
mencari keadilan karkayat. Sehingga perlu
dikatakan “moralitas saja tidak cukup, yang paling penting adalah keberanian”. Memang
untuk menciptakan pengadilan progresif tidak hanya dibutuhkan komitmen moral, tetapi juga
keberanian. Hakim-hakim yang memiliki nurani kuat adalah satu hal dan yang memiliki
keberanian untuk menampilkan komitmennya adalah hal lain. Hakim Agung Adi Andojo
Soetjipto yang mencoba melawan korupsi dalam tubuh Mahkamah Agung akhirnya harus
menerima risiko pahit. Bangsa kita sebaiknya menaruh hormat kepada hakim-hakim yang
akhirnya harus mental hanya karena keinginan untuk memperbaiki citra pengadilan. Dari
beberapa contoh di atas ini memang sangat sulit menemukan hakim yang mempunyai keberanian
dan mempunyai visi untuk menciptakan keadilan yang sesungguhnya yakni keadilan hukum.
Dalam hal ini sudah saatnya Negara Indonesia tidak terpuruk pada hal-hal yang normative saja
melainkan pada keadilan sosial itu sendiri sehingga tidak terjadinya penyimpangan dalam nilai
keadialan memang dalam merumuskan konsep keadilan progresif bisa menciptakan keadilan
yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modren yang memberikan
perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Negara Indonesia dihadapkan pada dua
pilihan besar antara yang menekankan
pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan
pada prosedur melainkan keadilan substantif.

Unsur-unsur lembaga hukum yang meliputi : polisi, jaksa, hakim, aparat ketiga lembaga
dan sarana prasarana akan menentukan penegakan hukum materiil, sehingga apabila unsur-unsur
tersebut baik, maka penegakan hukum materiil akan berjalan baik. Maka diperlukan pembinaan
dengan baik. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, setiap unsur aparat penegak hukum telah
dilengkapi seperangkat peraturan dan kode etik profesi sebagai pedoman yang harus diikuti.
Untuk aparat hakim harus memahami dengan baik tugas dan kewajibannya sebagaimana yang
telah diatur secara normatif dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman antara lain : 22

a. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang


(Pasal 4 ayat 1)

b. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala


hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan (Pasal 4 ayat 2)

c. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1)

d. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu


perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat 1)

e. Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah


hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan (Pasal 22 ayat 1)

Disamping kelima hal di atas, terdapat hal prinsip yang menjadi ikatan yaitu irah-irah
“Demi keadilan berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa”. Irah-irah ini wajib diucapkan saat
memutus perkara, karena bila tidak atau lupa membacanya, putusannya batal demi hukum. Irah-
irah tersebut menggambarkan rasa kebatinan bahwa sebelum hakim mengetukkan palu, maka
berarti ia telah berkomunikasi intens dengan Tuhannya. Disamping hal tersebut di atas, untuk
mewujudkan hakim yang progresif dalam menerapkan hukum, sudah seharusnya ia menyadari
akan kedudukannya sebagai wakil penguasa yang mestinya terikat kontrak secara tidak langsung
dengan masyarakat guna memberikan pengayoman, yaitu dengan memberikan putusan yang adil.
Diluar dari semua yang terurai di atas, kiranya tak kalah pentingnya adalah masalah
kesejahteraan para penegak hukum di atas, agar mereka dapat menjalankan tugas sebaik-
baiknya tanpa mudah terpengaruh oleh godaan uang dari pihak-pihak yang berkepentingan,
sebagaimana yang hingga saat ini masih sering ditemukan kasus “mafia peradilan” melalui
laporan masyarakat ke Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai