Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PROPOSAL SKRIPSI

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi sebagian dari pembangunan nasional merupakan


salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur
berdasarkan pancasila dan Undang -Undang Dasar 1945. Arah kebijakan bidang
ekonomi adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan
yang lebih kokoh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan yang diprioritaskan
berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan, dilakukan antara lain melalui
pembangunan dibidang ekonomi. Hal tersebut selaras dengan arah kebijakan
pembangunan dibidang hukum yang antara lain menyeimbangkan peraturan
perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi
era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.1
Kegiatan pembangunan dibidang ekonomi tentu membutuhkan
penyediaan modal yang cukup besar, karena merupakan salah satu faktor penentu
dalam pelaksanaan pembangunan. Dan dalam pembangunan itu sendiri tidak
mungkin hanya dilakukan oleh pemerintah saja, melainkan rakyat mempunyai
peranan penting didalamnya untuk ikut berpatisipasi guna memegang cita-cita
pembangunan serta terwujudnya masyarakat adil dan makmur, di ikuti pula oleh
perkembangan berbagai bentuk transaksi dalam perjanjian, karena perjanjian
merupakan salah satu kajian hukum yang selalu berkembang, seiring dengan
perkembangan masyarakat. Faktor penyebab tumbuh dan berkembangnya hukum
perjanjian adalah kerena pesatnya kegiatan bisnis yang dilakukan dalam
masyarakat modren dan pesatnya transaksi yang dilakukan oleh masyarakat,
pengusaha, dan pemerintah, misalnya sewa beli, sewa guna usaha (leasing), dan
jual beli angsuran.2

1
Propenas 2000-2004, UU No. 25 tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional
Tahun 2000-2004. Hlm 21( Jakarta, Sinar Grafika, penerbit 2001).
2
Ibid

1
Dalam suatu perjanjian harus memenuhi syarat syahnya perjanjian,
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Dengan terpenuhinya empat syarat syahnya perjanjian diatas, maka secara hukum
mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian, Melalui perjanjian maka
terciptalah suatu hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada
masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Suatu perjanjian adalah semata-
mata untuk suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan
kepentingan yang pokok di dalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan
transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi,
pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan termasuk juga
menyangkut tenaga kerja.3
Perjanjian mengandung pengertian suatu hubungan hukum
kekayaan/harta benda antara dua atau lebih pihak yang memberi kekuatan hak
pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak
lain untuk memberi prestasi. Dari pengertian singkat tersebut dijumpai beberapa
unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum
(rechsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (person)
atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain
tentang suatu prestasi. Perjanjian verbintenis adalah hubungan hukum
(rechsbetrekking) yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara
penghubungannya, oleh karena itu perjanjian mengandung hubungan hukum
antara perorangan (person) adalah hubungan yang terletak dan berada dalam
lingkungan hukum. Perjanjian atau perikatan diatur dalam buku ke III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.4
Dahulu kala, orang melakukan perikatan dengan yang lain guna
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara barter (penukaran barang dengan
barang), lalu berubah menjadi penukaran barang dengan uang barang dan
3
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, hlm. 93( Jakarta : PT. Citra Aditya
Abadi, 1992)
4
M. Yahya Harahap, segi-segi Hukum Perjanjian, hlm. 6 ( Bandung : Citra Aditia Bakti
1996)

2
kemudian berganti menjadi barang dengan uang.Ternyata perkembangan zaman
sudah merubah peradaban cara hidup manusia memenuhi kebutuhannya. Tidak
hanya melakukan transaksi (akad) secara langsung, tapi juga bisa dengan kredit,
dan lain-lain bahkan ada perjanjian secara tertulis sebelum diadakan perikatan
pemenuhan kebutuhan tersebut. Akibat kian hari kian banyak pula kebutuhan
yang harus dipenuhi yang tidak diiringi dengan jumlah pendapatan, maka lahirlah
ingkar janji dari suatu kesepakatan yang telah dibuat yang dinamakan Wanprestasi
yang tentunya tidak lain merugikan pihak kreditur, baik perjanjian itu berupa
sepihak (cuma-cuma) maupun timbal-balik (atas beban).5

Semua subjek hukum baik manusia atau badan hukum dapat membuat
suatu persetujuan yang menimbulkan prikatan diantara pihak-pihak yang
membuat persetujuan tersebut. Persetujuan ini mempunyai kekuatan yang
mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut sebagai mana yang
diatur di dalam pasal 1338 KUH Perdata. Di dalam perjanjian selalu ada dua
subjek yaitu pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi dan
pihak yang berhak atas suatu prestasi. Didalam pemenuhan suatu prestasi atas
perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tidak jarang pula debitur (nasabah)
lalai melaksanakan kewajibannya atau tidak melaksanakan kewajibannya atau
tidak melaksanakan seluruh prestasinya, hal ini disebut wanprestasi. Wanprestasi
berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya
tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-
pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu
perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undangundang.6

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada
pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana

5
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, hlm. 65
( Bandung : gaya media pratama 2011)

6
R. Subekti, Hukum Perjanjian Cet. Ke II , hlm 50 ( Jakarta : Pembimbing masa, 1970 ),

3
dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau
debitur. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang
dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi
seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan
memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu :7
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi
prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya,
maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat
waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru
tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi
prestasi sama sekali. Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat
macam yaitu :8
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
2. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu


perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan
dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang
diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa

7
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm 39, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2005),
8
Ibid.

4
tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan
wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa
berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan
dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap
melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak
ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur
melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang
diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.9
Karena latar belakang yang telah penulis sebutkan diatas, maka dalam
penulisan skripsi ini akan menelaah praktek perjanjian sewa menyewa rumah
dengan opsi pembelian yang ada di masyarakat apakah sudah sesuai dengan
undang – undang yang berlaku atau belum. Seperti pada kasus yang ada pada
putusan Mahkamah Agung No. 369 K/Pdt/2013 dimana terlihat bahwa adanya
permasalahan didalam masyarakat yang membawa masalah ini kepengadilan.
Dalam perkara antara Bapak Mukidjo dengan Ny. Sri Warsini telah
terjadi hutang piutang, dimana Bapak Mukidjo binti Suhendro memberikan
pinjaman uang kepada Ny. Sri Warsini sebesar Rp. 125.000.000,00 yang terjadi
sejak tanggal 10 september 2007 sampai dengan 5 desember 2007. Dimana
jumlah tersebut terperinci berdasarkan bukti- bukti sebagai berikut :
1. Kwitansi tertanggal 10 september 2007 sebesar Rp.50.000.000,00
2. Kwitansi kedua tertanggal 10 November 2007 Rp. 50.000.000,00
3. Kwitansi ketiga tertanggal 5 Desember 2007 sebesar Rp.50.000.000,00

Kemudian hutang piutang tersebut terjadi dengan jangka waktu tiga


bulan dengan perjanjian sebagai berikut:
1. Kwitansi pertama berjangka waktu 1 bulan dari tanggal 10 September
sampai dengan 10 Oktober 2007
2. Kwitansi kedua berjangka waktu 1 bulan dari tanggal 10 November
sampai dengan 10 Desember 2007

9
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, hlm. 2.21 (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003),

5
3. Kwitansi ketiga berjangka waktu 1 bulan dari tanggal 5 Desember
2007 sampai dengan 5 Januari 2008

Dan sejak tanggal dibuat serta ditandatangani kwitansi- kwitansi


penerimaan uang tersebut, Ny. Sri Warsini dikenakan komisi sebesar 4 % setiap
bulannya. Atas hubungan hutang piutang tersebut Ny. Sri Warsini telah
menjaminkan beberapa sertifikat- sertifikat dan selembar cek yang nominalnya
Rp.51.500.000,00. Bahwa ternyata sertifikat-sertifikat yang dijadikan jaminan
oleh Ny. Sri Warsini dalam hubungan hokum hutang piutang bukanlah merupakan
hak milik Ny. Sri Warsini dan tidak ada surat persetujuan dari pemilik sertifikat-
sertifikat aslinya utuk disetujui dijadikan jaminan dalam perkara hutang piutang
tersebut begitupun dengan selembar cek yang dijadikan jaminan yang nominalnya
Rp. 51.500.000,00 ternyata cek tersebut adalah cek kosong.
Oleh karena Ny. Sri Warsini belum melunasi kewajiban pinjamannya
maka dapat dinyatakan Ny. Sri Warsini telah melakukan wanprestasi dengan tidak
membayar hutang piutangnya.
Bahwa berdasarkan latar belakang yang sudah penulis sampaikan di atas,
penulis tertarik ingin melakukan penelitian dengan judul ANALISIS
WANPRESTASI PADA PERJANJIAN UTANG- PIUTANG UANG ( STUDY
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 369 K/PDT/2013

6
B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang
penulis rumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Apa saja faktor penyebab Wanprestasi dan bagaimana akibat
hukumnya?
2. Bagaimanakah analisis putusan terhadap perkara wanprestasi utang
piutang terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor : 369
K/Pdt/2013?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah :
1. Untuk mengetahui akibat hukum dari terjadinya wanprestasi pada
perkara hutang-piutang
2. Untuk mengetahui bagaimanakah analisis wanprestasi pada perkara
hutang piutang uang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 369 K/Pdt/2013?

D. Manfaat Penelitian
Manfaat/kegunaanyang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini
terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis, yaitu :
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran pengetahuan ilmu hukum khususnya hukum perjanjian
mengenai wanprestasi dalam perkarahutang piutang
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan tambahan refrensi
bagi pihak yang membutuhkan. Disampig itu juga memberikan
informasi bagaimanakah penyelesaian wanprestasi pada perkara
hutang piutang uang

E. Kerangka Teori dan Definisi Oprasional


1. Kerangka Teori
1) Teori asas kebebasan berkontrak
Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam hal
membuat perjanjian (beginsel der contracts vrijheid). Asas ini dapat

7
disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak
lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak.
Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa
untuk membuatnya.10
Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah adanya
kebebasan seluas-luasnya yang oleh Undang-undang di berikan kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban
umum. (Pasal 1338 Jo 1337 KUH Perdata). Kebebasan berkontrak adalah asas
yang esensial, baik bagi individu dalam mengembangkan diri baik di dalam
kehidupan pribadi maupun kehidupan social kemasyarakatan, sehingga
beberapa pakar menegaskan kebebasan berkontrak merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang harus di hormati. Negara-negara yang mempunyai sistem
hukum Common Law mengenal kebebasan berkontrak dengan istilah Freedom
of Contract atau laisseiz faire. Yang dirumuskan oleh Jessel M.R. dalam
kasus “Printing and Numerical Registering Co. Vs. Samson men of full age
understanding shall have the utmost liberty of contracting, and that contracts
which are freely and voluntarily entered into shall be held and onforce by the
cour you are not lightly to interfere with this freedom of contract.11

2) Teori Kesepakatan
Teori yang digunakan adalah teori tentang kesepakatan. Teori
kesepakatan digunakan di dalam penelitian ini untuk menganalisis
permasalahan wanprestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para
pihak, sedangkan teori perbuatan pidana digunakan untuk menganalisis

10
Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi Liany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu Di
Indonesia hlm. 1, (Jakarta: Bina Aksara, 1987)
11
Abdul kadir Muhamad, Hukum Perikatan Cet ke II, hlm. 78 (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1990).

8
permasalahan tentang delik penipuan dalam perjanjian. Apakah suatu
perbuatan wanprestasi masuk dalam ranah hukum privat atau masuk dalam
ranah hukum pidana, akan dikaji berdasarkan kerangka teoritis berikut ini.12
Roscoe Pound, mengatakan suatu kesepakatan mengikat karena
memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu
mengikat. Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya
untuk mengikatkan diri. Kata sepakat antara subjek terjadi secara disadari
antara yang satu dengan yang lain, dan diantaranya saling mengikatkan diri
sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan
subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai
dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak.
Dalam teori kesepakatan, kata sepakat, merupakan hal yang paling
penting. George W. Paton, menyebut, kehendak yang “senyatanya” bukan
kehendak yang “dipernyatakan” sebagaimana disebutnya, “a secret mental
reservation should be a bar to enforcement since the test is the real will and
not the will as declared”. Kehendak tersebut harus diberitahukan pada pihak
lain, tidak menjadi soal apakah disampaikan secara lisan maupun tertulis,
bahkan dengan bahasa isyarat sekalipun atau dengan cara membisu sekalipun
tetap dapat terjadi perjanjian asal ada kata sepakat. Hal ini berarti kata sepakat
tidak hanya ”kesesuaian” kehendak antar para pihak yang berjanji saja, tetapi
juga menyangkut kehendak dan pernyataan dari kehendak para pihak itu harus
sesuai, atau persesuaian kehendak, dan tidak sekedar persesuaian sehingga
tidak timbul cacat kehendak. Konsekuensi adanya kesepakatan untuk
mengikatkan diri bahwa semua pihak telah menyetujui materi yang
diperjanjikan, tidak ada paksaan atau di bawah tekanan.

2. Definisi Operasional

12
Wirjono Projodikiro, Hukum Perikatan, hlm. 69 (Jakarta : Ghalia Indonesia 1998)

9
a. Kontrak adalah mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu.13

b. Janji adalah pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada orang lain yang
menyatakan suatu keadaan tertentu atau affair exists, atau akan melakukan suatu
perbuatan tertentu.14

c. perjanjian adalah sebagai suatu perbuatan yang terjadi antara satu atau dua
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain.15

d. Sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di


dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau
kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.16

e. Suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan jenisnya (determinable).17

f. Wanprestasi Adalah tidak terpenuhinya suatu prestasi oleh salah satu pihak.
Dapat dikatakan wanprestasi jika sebelumnya pihak berhutang telah diberi surat
teguran atau somasi sebanyak minimal tiga kali. Tuntutan atas dasar wanprestasi
dapat berupa: meminta pemenuhan prestasi dilakukan, menuntut prestasi dilakukan
disertai ganti kerugian, meminta ganti kerugian saja, menuntut pembatalan
perjanjian, menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.18

F. Metode Penelitian

13
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984, hal 36.
14
A.G. Guest, (ed), Anson’s Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, 1979, hal 2.
15
Pasal 1313 KUHPerdata
16
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1955, hal 164.
17
Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 79.
18
Pasal 1320 KUHPerdata.

10
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legis positivis yang
menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang
dibuat dan diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang.
Selain itu konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang
bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat. 19
Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara
berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang bersifat
umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditunjukan
untuk sesuatu yang sifatnya khusus).20

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai beikut; Bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan yang meliputi : Kitab Undang- Undang hukum perdata, jurisprudensi
( putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap)

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti : Perjanjian kontrak, Buku-buku tentang perjanjian, buku-
buku tentang utang piutang buku tentang wanprestasi, hasil- hasil penelitian, hasil
para ilmiah para sarjana, dan pendapat para pakar hukum yang relevan dengan
penelitian ini.

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti : kamus-kamus
yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini, yaitu Kamus Besar Bahasa
Indonesia.

1. Analisis Bahan Hukum


Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analisis data secara
kualitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan menganalisis data yang
19
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, hlm 11
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988).
20
Soetandyo Wingjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan DInamika
Masalahnya, hlm 161 (Jakarta : Penerbit Huma, 2002).

11
meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen- dokumen, buku-buku
kepustakaan, jurisprudensi, dan literatur lainnya yang berkaitan dengan
proses penyelesaian perkara wanprestasi dalam perjanjian hutang- piutang
yang kemudian akan dihubungkan dengan data- data yang diperoleh penulis
dari study lapangan kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis
yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah
diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Dan
kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif,
yaitu dengan cara berpikir mendasar yang bersifat umum kemudian ditarik
kesimpulan secara khusus.21

G. Sistematika Penulisan
Penelitian atau penulisan ini secara garis besar terdiri dari 5 (lima) bab yaitu
dimana masing masing berisi tentang :
a. BAB 1 : Didalam bab ini membicarakan tentang pendahuluan yaitu berisi
latar belakang, rumusan masalah, manfaat penelitian, tujuan penelitian,
kerangka teori, definisi operasional dan metode penelitian yang dipakai
penulis.

b. BAB 2 : Menganalisis tentang kontrak secara umum

c. BAB 3 : Analisi tentang faktor-faktor terjadi Wanprestasi dan akibat-akibat


d. BAB 4 : Didalam bab ini akan membahas lebih lanjut dan mendalam
tentang rumusan masalah yang kedua yaitu menganalisa putusan terhadap
perkara wanprestasi hutang piutang terkait Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 369 K/Pdt/2013

e. BAB 5 : ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 369


K/PDT/2013 TENTANG WANPRESTASI PADA PERJANJIAN UTANG
– PIUTANG UANG.

21
Suratman dan Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, Hal
127.

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Kontrak.
Hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan karena setiap
orang yang membuat kontrak terikat untuk memenuhi kontrak tersebut. Era
reformasi adalah era perubahan. Perubahan disegala bidang kehidupan demi
tercapainya kehidupan yang lebih baik. Salah satunya adalah dibidang hukum.
Dalam bidang hukum, diarahkan pada pembentukan peraturan perundang-
undangan yang memfasilitasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti kita
ketahui bahwa banyak peraturan perundang-undangan kita yang masih berasal
dari masa pemerintahan Hindia Belanda.

Hukum kontrak kita masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata atau Burgerlijk Wetboek Bab III tentang Perikatan (selanjutnya disebut
buku III) yang masuk dan diakui oleh Pemerintahan Hindia Belanda melalui asas
Konkordansi yaitu asas yang menyatakan bahwa peraturan yang berlaku di negeri
Belanda berlaku pula pada pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia), hal tersebut
untuk memudahkan para pelaku bisnis eropa/ Belanda agar lebih mudah dalam
mengerti hukum.

13
Dan seiring berjalannya waktu maka pelaku bisnis lokal pun harus pula
mengerti isi peraturan dari KUHPerdata terutama Buku III yang masih merupakan
acuan umum bagi pembuatan kontrak di Indonesia.
Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata), yaitu “suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Berbeda dengan
perikatan yang merupakan suatu hubungan hukum, perjanjian merupakan
suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan adanya
hubungan hukum perikatan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian
merupakan sumber perikatan.
Disamping perjanjian kita mengenal pula istilah kontrak. Secara
gramatikal, istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, contract. Baik perjanjian
maupun kontrak mengandung pengertian yang sama, yaitu suatu perbuatan hukum
untuk saling mengikatkan para pihak kedalam suatu hubungan hukum perikatan.
Istilah kontrak lebih sering digunakan dalam praktek bisnis. Karena jarang sekali
orang menjalankan bisnis mereka secara asal-asalan, maka kontrak-kontrak bisnis
biasanya dibuat secara tertulis, sehingga kontrak dapat juga disebut
sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis.

a. Unsur-unsur Hukum Kontrak

Dengan memperhatikan beberapa pendapat para ahli tersebut diatas maka dapat
dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam hukum yakni :
a). Adanya kaidah hukum
Menurut Salim H.S. , kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan,
traktat, dan yurisprudensi. Adapun kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat.
b). Subjek hukum

14
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson yang artinya sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum dalam hukum kontrak adalah
kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur
adalah orang yang berutang.
c). Adanya prestasi
Prestasi adalah hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi terdiri atas:
a. Memberikan sesuatu.
b. Berbuat sesuatu.
c. Tidak berbuat sesuatu.
d. Kata sepakat.
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, ditentukan empat syarat sahnya
perjanjian. Salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah
persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

d). Akibat hukum


Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan
dan kewajiban adalah suatu beban.

b. Syarat sahnya kontrak


1. Sepakat : Tanpa paksaan, kekhilafan maupun penipuan
2. Cakap dalam melakukan perbuatan hukum
3. Mengenai hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
c. Ketentuan-ketentuan Umum dalam Hukum Kontrak.
1. Somasi
Diatur dalam pasal 1238 KUHPerdata dan 1243 KUHPerdata. Somasi adalah
teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat
memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama.
Somasi timbul karena debitur tidak melaksanakan prestasi sesuai yang
diperjanjikan.

15
2. Wanprestasi
Adalah tidak terpenuhinya suatu prestasi oleh salah satu pihak. Dapat dikatakan
wanprestasi jika sebelumnya pihak berhutang telah diberi surat teguran atau
somasi sebanyak minimal tiga kali.
Tuntutan atas dasar wanprestasi dapat berupa: meminta pemenuhan prestasi
dilakukan, menuntut prestasi dilakukan disertai ganti kerugian, meminta ganti
kerugian saja, menuntut pembatalan perjanjian, menuntut pembatalan perjanjian
disertai ganti kerugian.

3. Ganti rugi
Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam pasal 1243 hingga 1252 KUHPerdata.
Ganti rugi ini timbul karena salah satu pihak telah wanprestasi atau tidak
memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati bersama. Ganti kerugian yang dapat
dituntut berupa: kerugian yang telah nyata-nyata diterima, kerugian berupa
keuntungan yang seharusnya dapat diperoleh (ditujukan kepada bunga-bunga).
4. Keadaan memaksa/force majeur
Diatur dalam pasal 1244 KUHPerdata dan 1245 KUHPerdata. Ketentuan
ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian
biaya, ganti kerugian ataupun bunga kepada kreditur oleh karena suatu keadaan
yang berada diluar kekuasaanya dalam upayanya melakukan prestasi.22
5. Risiko
Adalah suatu ketentuan yang mengatur mengenai pihak mana yang
memikul kerugian/menanggung akibat, jika ada sesuatu kejadian diluar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa obyek perjanjian. Misal ketika telah terjadi suatu
kesepakatan pembangunan gedung, maka segala sesuatu akibat sebelum
penyerahan terjadi menjadi tanggung jawab pihak ketiga selakurisk insurance.
Jika terjadi kebakaran sebelum diserahkan maka itu risiko pihak asuransi yang
harus dipertanggungjawabkan.

22
Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata

16
Sebagaimana yang dikemukakan oleh R. Subekti : ”Hukum perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan.23

d. Azas hukum kontrak


1. Asas kebebasan berkontrak (Pasal 1320 KUH Perdata)
yaitu asas yang membebaskan para pihak untuk: mengadakan perjanjian dengan
siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratan, menentukan
bentuknya mau tertulis atau cukup lisan.24
2. Asas konsensualisme
merupakan asas yang yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah
pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang
dibuat oleh kedua belah pihak.
3. Asas Pacta Sunt Servanda/asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan
akibat perjanjian. Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak. Sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak.
4. Asas Itikad baik
merupakan asas bahwa para pihak yaitu kreditur dan debitur harus melaksanakan
substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau
kemauan baik dari para pihak.

5. Asas Kepribadian
yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan membuat kontrak
hanya untuk kepentingan (person) itu sendiri.

23
R. Subekt, Hukum Perjanjian Cetakan keduabelas, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 9
24
pasal 1320 KUHPerdata

17
Menurut Munir Fuady, beberapa asas yang harus diperhatikan dalam hukum
kontrak sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut: 25
1. Asas Bersifat Mengatur, Artinya bahwa hukum itu baru berlaku

sepanjang para pihak dalam perjanjian tidak mengaturnya lain. Tetapi jika
para pihak mengaturnya lain, maka yang berlaku adalah apa yang diatur
sendiri oleh para pihak tersebut, kecuali undang-undang menentukan lain.

2. Asas Kebebasan Berkontrak, Artinya para pihak dalam perjanjian diberi


keleluasaan untuk membuat dan mengatur sendiri isi dari perjanjian, dengan
ketentuan :

a. Memenuhi syarat sahnya perjanjian

b. Tidak dilarang oleh undang-undang

c. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku

d. Perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik

3. Asas Pacta Sunt Servanda, artinya bahwa suatu perjanjian yang dibuat
secara sah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya.
4. Asas Konsensual, artinya suatu perjanjian dianggap terjadi sejak adanya
kesepakatan di antara para pihak yang membuatnya asalkan semua syarat sah
perjanjian telah terpenuhi. Dengan adanya kata sepakat tersebut, maka
lahirlah hak dan kewajiban pada masing- masing pihak. Ini berarti pada
prinsipnya syarat tertulis sama sekali tidak diwajibkan dalam suatu perjanjian.
Hanya saja untuk memberikan kemudahan dalam hal pembuktian, akan lebih
baik bila kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk tertulis.

25
Munir Fuady, “Hukum Kontrak dari Sudut Pandangan Hukum Bisnis”, Bandung : Citra
Aditya,1999 (II), hal. 29

18
5. Asas Obligator, artinya perjanjian itu telah menimbulkan hak dan
kewajiban sejak syarat sahnya perjanjian telah terpenuhi, namun dalam hal
adanya pemindahan hak milik, diperlukan adanya suatu penyerahan yang
disebut levering.

Dari semua asas-asas diatas yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
asas kebebasan dalam berkontrak.

B. Teori asas kebebasan berkontrak


Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam hal membuat
perjanjian (beginsel der contracts vrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal
1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya
yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap
perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat
ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuatnya.26
Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan
seluas-luasnya yang oleh Undang-undang di berikan kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. (Pasal 1338 Jo
1337 KUH Perdata). Kebebasan berkontrak adalah asas yang esensial, baik bagi
individu dalam mengembangkan diri baik di dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan social kemasyarakatan, sehingga beberapa pakar menegaskan
kebebasan berkontrak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus di
hormati. Negara-negara yang mempunyai sistem hukum Common Law mengenal
kebebasan berkontrak dengan istilah Freedom of Contract atau laisseiz faire. Yang
dirumuskan oleh Jessel M.R. dalam kasus “Printing and Numerical Registering

26
Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi Liany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu Di
Indonesia hlm. 1, (Jakarta: Bina Aksara, 1987)

19
Co. Vs. Samson men of full age understanding shall have the utmost liberty of
contracting, and that contracts which are freely and voluntarily entered into shall
be held and onforce by the cour you are not lightly to interfere with this
freedom of contract.27

Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga
disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh
undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian
tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan mengenai adanya
kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,
yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk
menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu
undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang
dibuat secara sah.
Menurut Subekti,28 cara menyimpulkan asas kebebasan ber- kontrak (beginsel
der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekankan pada perkataan "semua"
yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1)
tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita
diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita.
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu
hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum dan kesusilaan".
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, 29"Semua" mengandung ,irti meliputi
seluruh perjanjian, balk yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh
undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan
27
Abdul kadir Muhamad, Hukum Perikatan Cet ke II, hlm. 78 (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1990).

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Cetakan


28

Keenam Belas, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983. hal.5


Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cetakan
29

Pertama, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hal.84

20
dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian
itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata
ini mempunyai kekuatan mengikat.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,
pancaran hak asasi.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang
lingkup sebagai berikut :30
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan
dibuatnya.
4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undangundang yang
bersifat opsional (aanvullend, optional).

Lebih lanjut Sutan Remy Sjandeini mengemukakan, 31 dari mempelajari


hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan
berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian negara-
negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang lingkup asas
kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia.

Kebebasan berkontrak atau freedom of contract harus dibatasi bekerjanya


agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan perjanjian
yang berat sebelah atau timpang. Apakah memang asas kebebasan berkontrak
dapat bekerja secara bebas mutlak, bila kita mempelajari pasal-pasal KUH

30
Hasanuddin Rahman, op.cit.: 138 dan Sutan Remy Sjandeini, Kebebasan
Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian
Kredit Bank di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: Institut Bahkir Indonesia, 1993.
hal.47
31
Ibid

21
Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada
beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas
ini yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tidak terbatas, antara lain
Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4). Pasal 1332, Pasal 1337 dan Pasal 1338
ayat (3).
Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa
hukum perjanjian dikuasai oleh "asas konsensualisme". Ketentuan Pasal 1320 ayat
(1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk
menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain asas
kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.

Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang
untuk membuat kontrak dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat kontrak. Bagi
seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat
kontrak, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak.
Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk
membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang atau
bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum.
Kontrak yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh undang-undang atau
bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum
adalah tidak sah.

Pasal 1332 memberikan arch mengenai kebebasan pihak untuk membuat


kontrak sepanjang yang menyangkut objek kontrak. Menurut Pasal 1332 tersebut
adalah tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apa pun. Menurut pasal
tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai eknomis saja yang dapat
dijadikan objek perjanjian atau objek kontrak.

Pasal 1338 ayat (3) menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik"
dalam melaksanakan kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja
mempunyai daya kerja pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah

22
mulai bekerja pada waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat
dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian
itu tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan
sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.

Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata pada
hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya
masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-
ketimpangan dan ketidakadilan bila para. pihak yang membuat kontrak tidak sama
kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang tidak sama.32

32
Ibid

23
24

Anda mungkin juga menyukai