Anda di halaman 1dari 9

HUKUM RESPONSIF

Philippe Nonet dan Philip Selznick


Sejarah Perkembangan Hukum
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu
menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut
dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial.
Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga
pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu
sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan
tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba
memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan
strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum
secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan.
Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah
dan kontekstual.
Tidak dapat dihindari bahwa dalam perjalanannya ilmu hukum mengalami asang surut
keberadaan tergantung pada konteks dan waktu dimana ilmu ukum tersebut berkembang. Agar
ilmu hukum dapat berkualitas sebagai lmu, maka tidak dapat dihindari bagi ilmu hukum masuk
dalam siklus terbentuknya ilmu yang telah ada. Untuk menjadikan ilmu hukum sebagai sebenar
ilmu, pertama-tama barang perlu mengkaji apa dan bagaimana serta manfaat dari ilmu.
Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa Ilmu adalah untuk kenyataan, bukan
sebaliknya. Apabila kenyataan adalah untuk ilmu, maka kenyataan itu akan dimanipulasi
sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada. Sebagai contoh teori Newton yang melihat
segalanya sebagai keteraturan, yang berhubungan secara mekanistik. Dengan kata lain teori
Newton bersifat linear, matematis, dan deterministik. Teori Newton mengabaikan kenyataan
dalam alam yang menyimpang dari teorinya. Ia menganggap bahwa fenomena yang ada di alam
ini tidak dapat dimasukkan dalam tubuh grand-theori-nya dianggap sebagai penyimpangan yang
harus diabaikan. Ketika teori Newton gagal menjelaskan fenomena tersebut, akhirnya digantikan
oleh teori lain yaitu teori kuantum yang mampu menjelaskan fenomena tersebut.
Dari situlah unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial perlu diintegrasikan ke dalam ilmu hukum
dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan
untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur
pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai
sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Hal ini membuat Nonet dan Selznick
mengategorikan hukum ke dalam 3 kelompok yang berlainan serta ketiganya merupakan
tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Ketiga
kategori hukum tersebut adalah hukum represif, otonom dan hukum responsif.
Hukum represif merupakan perintah dari yang berdaulat, yang pada prinsipnya hukum dan
negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pemberlakuan hukum represif tidak

terlepas dari integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Wujud dari integrasi yang sangat
dekat ini adalah adanya suatu subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum terhadap elitelit yang berkuasa. Hukum adalah alat yang mudah diutak-atik, siap dipakai untuk
mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak istimewa, dan
memenangkan ketaatan.
Hukum otonom dapat disebut sebagai pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law). Hukum
otonom memfokuskan diri pada peraturan dan hal ini menyebabkan hukum otonom cenderung
mempersempit cakupan fakta-fakta yang relevan secara hukum, sehingga memisahkan pemikiran
hukum dari realitas sosial. Hasilnya adalah legalisme, yaitu sebuah kecenderungan untuk
menyandarkan diri pada otoritas hukum dengan mengorbankan pemecahan masalah di tingkat
praktek.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum.
Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui
subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam
peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan
terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Hukum represif juga pernah ada di Negara kita, yaitu pada saat awal-awal kemerdekaan sampai
dengan tahun 1960 Orde Lama. Kemudian hukum otonom juga pernah dirasakan bangsa ini,
yaitu pada era pimpinan Soeharto Orde Baru, yang keduanya dipakai untuk menjaga
kredibilitas masing-masing pemerintahan. Di era reformasi sekarang ini yang sudah berjalan
lebih dari satu dekade hukum responsif masih dalam proses. Membutuhkan waktu lama agar
hukum responsif dapat dijalankan sesuai dengan sebenar-benarnya sehingga demokrasi yang
hakiki dapat terwujud demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima
sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan
secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan
karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social
engineering dari Roscoe Pound,, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja
disebutkan sebagai hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan
masyarakat. Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum
yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni
hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia
dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan
politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat
yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum
ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk
membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam
masyarakat. Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai
sarana rekayasa sosial ini

Seperti apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya
bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan
sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem
hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun
Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak
dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori
ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum tidak hanya rules
(logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence
saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini
merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai
dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum
murni yang kaku dan analitis.
Transisi Hukum Otonom ke Hukum Responsif
Seperti telah disebutkan di atas bahwa hukum responsif lebih menekankan pada tujuan, jadi
bukan hanya keadilan yang procedural. Lebih dari itu hukum responsif juga memiliki kompeten
dan keadilan yang lebih dibanding hukum otonom ataupun represif serta mampu mengenali
keinginan public dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantive. Misalnya
permasalahan hukum yang berasal dari akar rumput dapat diakomodir dengan baik untuk
selanjutnya dapat dijadikan masukan dalam rangka menegakkan keadilan yang tidak semu. Hal
ini sangat bertolak belakang dengan sifat hukum otonom yang lebih berpusat pada peraturanperaturan memiliki dasar yang praktis dalam hal-hal berikut ini:
1. Peraturan merupakan sebuah sumber yang andal untuk melegitimasi kekuasaan.
Peraturan menetukan cakupan otoritas jabatan secara akurat sehingg menawarkan
pengetesan yang meyakinkan terhadap akuntabilitas.
2. Hakim cenderung dibatasi oleh peraturan sehingga kekuasaan yudikatis menjadi sangat
terbatas dan lebih mudah untuk memberikan justifikasi serta yang palin parah bahwa
ancaman hukum terhadap para pembuat keputusan politikpun menjadi kendur, bahkan
seolah-oleh para elit politik kebal hukum.
3. Meningkatnya jumlah peraturan perundangan yang dapat menimbulkan kompleksitas dan
mendatangkan permasalahan konsisten. Bahkan pembuatan perundangan-pun dapat
dijadikan lahan untuk menguntungkan dan memperkaya diri mereka maisng-masing.
4. Otoritas pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab hukum. Dalam
menjalankan tugasnya sebuah hukum harus berpatokan pada peraturan-peraturan
tertentu, hal ini dimaksudkan agar dapat membantu system tersebut untuk menghindari
tuntutan-tuntutan yang mungkin tak terpenuhi.
5. Walapun hukum otonom dapat menjinakkan represi, namun tetap berkomitmen bahwa
hukum adalah sebagai kontrol sosial yang dapat digunakan untuk lebih melegitimasi
kekuasaan pemerintah.

Dari gambaran di atas bahwa taat hukum yang terjadi pada hukum otonom hanyalah bersifat
semu, artinya dalam menjalankan tertib hukum masyarakat terpaksa untuk mematuhinya. Karena
siapapun yang melanggar hukum maka sanksipun akan menunggunya, walaupun sebenarnya
aturan hukum tersebut bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi untuk kepentingan segelintir
orang. Dari sinilah akan terjadi pergolakan dalam diri masyarakat itu, dia akan patuh pada
hukum jika ada pengawasan dari aparat penegak hukum, namun dengan berbagai cara
merekapun akan melanggar hukum tersebut jika pengawasan tidak ada.
Hukum otonom memiliki kapasitas dalam mengendalikan otoritas penguasa dan membatasi
kewajiban-kewajiban warga Negara. Dari sinilah akan muncul kritik-kritik yang memberikan
sumbangan terhadap tergerusnya rul of law, namun sikap ini bukanlah sebuah pandangan yang
ideologis karena model ini lebih mungkin untuk menerima kepatuhan otoritas daripada
menerima kritik otoritas. Kemudian muncullah sebuah visi dan suatu kemungkinan dirasakan,
akan sebuah tertib hukum yang responsif yang lebih terbuka terhadap pengaruh social. Institusiinstitusi hukum mestinya meninggalkan perisai perlindungan yang sempit terhadap hukum
otonom dan menjadikan instrument-instrumen yang lebih dinamis bagi penataan social dan
perubanhannya. Dalam pembentukan lembaga-lembaga yang sarat pengetahuan dan efektif akan
menemukan adanya tantangan yang dapat membangkitkan penolakan-penolakan yang kuat. Jadi
selama penghormatan terhadap bentuk-bentuk procedural melemah dan peraturan-peraturan
dibuat problematic, para pejabat dan warga Negara dapat bertindak sekehendak hatinya dengan
lebih mudah. Maka hal ini dapat menghilangkan kemampuan hukum untuk mendisiplinkan
pejabat dan memaksakan kepatuha pada hukum. Tatanan hukum yang dibuat terlalu terbuka akan
kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan peran kekuasaan di dalam masyarakat.
Dalam hukum otonom terdapat adanya ketegangan antara keterbukaan dan kepatuhan terhadap
hukum, dan ketegangan ini dapat menimbulkan masalah sentarl dalam perkembangan hukum.
Semua institusi mengalami konflik integritas dan keterbukaan. Integritas harus dilindungi ketika
sebuah institusi mempunyai komitmen yang kuat pada suatu misi khusus atau dapat dibuat
akuntable pada misi tersbut oleh control eksternal. Namun isntitusi-institusi yang memiliki
komitmen tersebut menyatu dengan berbagai sudur pandang dan pola kerja mereka sendiri,
mereka akan kehilngan kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal ini berarti bahwa tidak
selamanya keterbukaan akan menjamin hukum tersebut dapat dipatuhi dengan baik oleh semua
masyarakat, ada kalanya integritas didahulukan agar kepatuhan hukum dapat terwujud. Dengan
kata lain akuntabilitas akan melahirkan formalism dan kemunduran, sehingga mengakibatkan
institusi-institusi menjadi kaku, tidak mampu menghadapi kemungkinan-kemungkinan baru yang
timbul secara tak terduga. Di sisi lain keterbukaan juga mengandaikan pemeberian diskresi yang
luas sehingga tindakan aparatur Negara dapat tetap fleksibel, adaptif dan mawas diri. Namun
tanggung jawab para aparat akan semakin kabur ketika mereka kehilangan kepastian, dan juga
terdapt resiko bahwa komitmen akan menipis di saat flrksibelitas diterapkan. Dengan demikian
keterbukaan dapat dengan mudah merosot menjadi oportunisme, yaitu adaptasi yang tidak
terarah terhadap berbagai peristiwa dan tekanan. Hukum represif memiliki tanda-tanda adanya
adaptasi pasif dan oportunis dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan social dan politik.
Hukum motonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang serampangan
yang kegiatan utamanya adalah bagaimana cvara menjaga integritas institusional. Untuk
mencapai tujuan tersbut, hukum mengisolasi dirinya, mempersempit tanggung jawabnya dan
menerima formalism yang buta demi mencapai integritas.

Hukum responsif yang merupakan kelanjutan dari proses hukum diatas berusaha mengatasi
ketegangan-ketegangan tersebut dengan cara menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi yang
bertanggungjawab yaitu adaptasi yang selektif dan tidak serampangan. Suatu institusi yang
responsif mempertahankan secara kuat hal-hal yang essential bagi integritasnya sembari tetap
memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di lingkungannya sehingga antara
keterbukaan dan integritas dapat berjalan bersama dan saling membantu satu sama lain walaupun
di antara keduanya terdapat pertentangan. Lembaga responsif menganggap tekanan-tekanan
social sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri. Suatu institusi atau
lambaga haruslah memililiki tujuan, karena dengan tujuan sebuah lembaga atau institusi tertesbut
dapat memadukan antara integritas dan keterbukaan, peraturan dan diskresi. Jadi hukum
responsif beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup otoritatif untuk
mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif. Usaha untuk mencapai tujuan merupakan suatu
kegiatan yang beresiko tinggi bagi sebuah institusi hukum. Karena sebagian lembaga
beranggapan lebih baik memelihara identitas dan mempertahankan legitimasi jika dibanding
harus menyediakan keterbuakaan kepada lingkungannya.
Generalisasi Tujuan
Suatu perangkat hukum, baik peraturan, kebijakan, dan prosedur tertentu dianggap penting dan
dihormati sebagai sekumpulan pengalaman, namun semua itu berhenti mendefiniskan komtmen
tatanan hukum. Justru penekanan yang dilakukan bergeser pada tujuan yang bersifat umum, yang
berisikan premis-premis kebijakan dan sekedar menyampaikan urusan yang sedang ditangani.
Jadi cirri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai yang tersirat yang terkandung dalam
peraturan dan kebijakan serta generalisasi tujuan merupakan sumber utama fleksibelitas dalam
organisasi modern. Sebagai contoh misalnya dalam membuat perda, suatu kabupaten/kota harus
meneriam masukan-masukan dari beberapa orang yang merupakan wakil dari masyarakat,
kemudian yang perlu dilakukan adalah menentukan tujuan dibuatnya perda. Dalam prosesnya
pembuatan perda harus mementingkan kepentingan mayoritas di atas kepentingan beberapa
orang. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Fuller peran sentral tujuan dalam segala hal yang
berkaitan dengan hukum, maksudnya dalam penegakan hukum harus ditetapkan tujuannya,
Untuk apa hukum ini disyahkan dan untuk siapa? Ketika hukum menekankan pada asas dan
tujuan, tersedia sumber yang kaya untuk mengkritisi otoritas yang dimiliki peraturan-peraturan
tertentu. Meskipun peraturan tersebut mengandung otoritas resmi hukum, namun peraturan
tersebut harus dapat diuji ulang dalam konteks konskuensinya bagi nilai-nilai yang
dipertaruhkan. Maksudnya adalah sebelum perturan disyahkan harus diujicobakan dulu di suatu
lingkungan tertentu yang mewakili suatu tempat, jika masih ada kesalahan dan masukan dari
akar rumput, peraturan tersebut harus dikaji ulang kembali, kemudian diujicobakan ulang dan
begitu seterusnya (trial and error).
Namun ketika tujuan melemahkan otoritas peraturan, di sisi lain tujuan juga dapat memperlebar
ruang bagi diskresi dalam penilaian hukum. Sejauh mana otoritas tujuan dapat menggantikan
otoritas peraturan dapat menimbulkan pertanyaan serius. Mungkin relative mudah untuk
menerima otoritas tujuan yang bersifat kritis dalam menginterpretasi dan mengevaluasi berbagai
peraturan, putusan atau target tertentu. Akan lebih sulit untuk memiliki kepercayaan pada otoritas
tujuan yang bersifat afirmatif, yaitu tujuan sebagai pedoman bagi arah perkembangan kebijakan.
Sumbangan utama dari sebuah tujuan adalah meningkatkan rasionalitas dalam pertimbangan

hukum. Oleh karena itu terkadang berkembangnya orientasi pada tujuan dalam hukum maka
menjadi sulit untuk membedakan analisis hukum dengan analisis kebijakan, rasionalitas hukum
dengan bentuk-bentuk lain pengambilan keputusan yang sistematis. Pada saat akuntabilitas
mengarah ke tujuan-tujuan yang lebih umum, dedikasi kepada peraturan tidak lagi cukup
memadai untuk menjadi tameng aparatur Negara terhadap kritik. Namun beban juga akan terasa
berat pada saat aparatur Negara harus mengenaralisasi tanggung jawab karena sama saja dengan
memperlemah tanggung jawabnya. Tujuan yang bersifat umum cenderung impoten, yaitu begitu
abstrak dan kabur sehingga tidak dapat memberikan panduan dalam membuat keputusan maupun
standar-standar evaluasi yang jelas. Sehingga agar tujuan dapat memperoleh otoritas afirmatif
ataupun kritis, maka hukum harus mampu mengelaborasi, sebagaimana mengeneralisasikan
mandate institusi-institusi. Dengan demikian tahapan yang krusial dalam hukum responsif
adalah menerjemahkan tujuan yang bersifat umum menjadi sasaran-sasaran yang bersifat
spesifik. Penegasan yang berkelanjutan terhadap tujuan memerlukan tenaga dan sumber-sumber
daya yang tidak dapat mempertahankan intergritas tujuan akhir sambil melakukan perhitungan
efektif atas- biaya-biaya yang dikeluarkannya. Dengan demikian kurangnya sumber akan
memaksa pergerakan antara mundur dari tujuab yang ada atau kembali ke instrumentalisme yang
lebih monolitik dan represif, yaitu sesuatu yang mempu mengabaikan perintah. Sebagai contoh
penggusuran dan razia para PKL akan meningkatkan angka kejahatan.
Penentuan tujuan adalam suatu organisasi ataupun institusi sangat dibutuhkan untuk menentukan
perkembangan dari institusi tersbut, karena sumbangan utama dari sebuah tujuan adalah
meningkatkan rasionalitas dalam pertimbangan hukum. Hanya, yang perlu diperhatikan adalah
menjabarkan tujuan-tujuan yang sifatnya umum menjadi lebih spesifik dan mudah dipahami dan
diterjemahkan oleh setiap warganya. Walaupun berbagai teknik dan perspektif pertimbangan
hukum dapat berbuat banyak untuk meningkatkan otoritas kritis dari tujuan, konstribusnya
terhadap otoritas afirmatif lebih kecil dan tidak bisa tidak tergantung pada sumber-sumber daya
di dalam masyarakat yang bersedia memberikan komitmen dalam rangka terealisasinya tujuan
akhir hukum.
Di atas telah disebutkan bahwa prinsip dan tujuan hukum merupakan sumber bagi kritik hukum,
maka pengorbanan (manfaat) merupakan pengikisan bagi otoritas. Di sinilah dibutuhkan
kewajiban dari warga Negara terhadap tertib hukum yang berlaku, karena melemahnya
kewajiban warga Negara untuk taat hukum berkaitan erat dengan upaya menuju proses
pembuatan peraturan yang lebih fleksibel. Seperti menguatnya tujuan, melemahnya kewajiban
juga memiliki sumbernya sendiri di dalam kompleksitas dan kerumitan yang selalu menyertai
perkembangan hukum otonom.
Hukum responsif membawa janji akan kesopanan ke dalam cara hukum yang digunakan untuk
mendefinisikan dan memelihara ketertiban umum. Dalam pengertian yang lebih umum dan lebih
klasik, kesopanan merupakan atribut kehidupan politik. Politik yang sopan adalah politik yang
mendukung nilai sentral kewarganegaraan asas bahwa tidak ada anggota komunitas politik
sejati yang tidka dilindungi. Oleh karena itu rasa hormat/kesopanan adalah kebajikan yang
penting, barang siapa berbagi ruang social, maka ia akan memperoleh jaminan legitimasi.
Hukum responsif dapat membantu berkembangan kesopanan melalui 2 cara, yaitu:
1. Mengatasi parokialisme dalam moralitas kemunal.

Hukum responsif mengeksplorasi sarana-saran alternative untuk mencapai tujuan hukum,


khususnya strategi-strategi pengaturan yang bersifat non criminal seperti zoning, yakni
pembagian legeslatif dalam suatu wilayah menjadi distrik-distrik yang berbeda. Proses ini sedang
berlangsung di Indeonsia, yaitu adanya otonomi daerah, pembagain kekuasaan legislative merata
dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat nasional.
1. Mendorong suatu pendekatan yang berpusat pada masalah dan integrative secara social
terhadap krisia ketertiban umum.
Dalam kondisi tertentu kadang suatu peraturan yang merupakan produk hukum tidak dapat
menangani suatu kasus, misalnya demonstrasi, krisis kerusuhan dan lainnya, karena produk
hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
hukum yang dapat mendorong kritik terhadap peraturan-peraturan dan bahkan yang membuat
ketidakpatuhan sebagai cara yang sah untuk menguji dan mengubah peraturan yang lebih siap
untuk mengendalikan berbagai ancaman simbolis kekuasaan. Pengampunan terhadap
pelanggaran hukum dapat dinegoisasi demi menyusun kepentingan kembali suatu kerangka kerja
dimana kerja sama dapat etrus berjalan sehingga akan menghasilkan produk hukum yang dapat
menguntungan benyak orang. Produk hukum semacam ini mengasumsikan bahwa syarat-syarat
ketertiban umum bukanlah sesuatu yang benar-benar kaku, namun sesuatu yang masih terbuka
untuk dinegoisasikan kembali sedemikian rupa sehingga kondisi-kondisi tersebut akan lebih
memperhatikan kepentingan social yang dipengaruhi. Ketidakpatuhan bisa dipandang sebagai
perbedaan pendapat, dan penyimpangan sebagai munculnya gaya hidup baru, kerusuhan tidak
dianggap sebagai aksi mass yang tidak masuk akal namun dipuji karena relevansinya sebagai
protes social. Dengan cara ini, seni negoisasi, diskusi dan kompromi secara politis dan sopan ikut
dilibatkan.
Sudahkah Indonesia menggunakan Hukum Responsif
Di Indonesia belum siap untuk menerapkan hukum responsif yang sesungguhnya karena krisis
hukum yang terjadi sudah terlanjur dalam, aksi massa sudah sangat sulit dikendalikan baik
dengan cara yang represif ataupun responsif sekalipun. Luapan rasa kebebasan yang selama orde
baru terkekang dan mencapai titik kejenuhan akhirnya keluar dan meledak. Adalah hal yang
wajar dalam waktu awal suatu rezim terjadi pergolakan, karena banyak yang kecewa dengan
rezim yang sebelumnya. Setiap orang mempunyai pandangan dan pendapat serta cara sendirisendiri yang pada intinya memiliki tujuan dan fungsi yang sama, yaitu membawa perubahan
yang lebih baik. Namun karena perbedaan pandangan dan penaf siran sehingga sangat mungkin
akan terjadinya gesekan satu sama lain. Dalam hal ini pemerintahpun juga belum mampu
mengendalikan situasi, karena mereka yang ada di dalamnya juga sering silang pendapat bahkan
tak jarang terjadi adu mulut atau baku hantam antar anggota legeslatif. Cita-cita reformasi yang
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat madani selalu mengalami kendala baik dari dalam
ataupun dari luar. Dapat kita lihat intervensi asing dalam dunia usaha di Indonesia begitu
mendominasi, sehingga setiap produk hukum baik itu Undang-undang, Perpu, Perda dan produk
hukum yang lain selalu berpihak pada pihak asing. Karena pemerintah belum berani
meninggalkan campur tangan asing, mungkin rasa ketergantunagn tersebut sudah terlanjur
mendalam.

Reformasi di negera kita seakan berjalan ditempat, bahkan ada yang mengatakan lebih parah
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo :
Rupanya reformasi sudah mulai menukik terlalu dalam sehingga tidak hanya sampai akar
rumput, tetapi didibaratkan akuarium. Maka pasir dan kotoran ikut terobok-obok sampai ke
permuakaan. Akuarium menjadi keruh.
Sangat menarik kiasan yang diutarakan oleh beliau, memang benar adanya bahwa saat ini Negara
kita sudah walaupun reformasi sudah berjalan satu decade namun kondisi bangsa kita malah jauh
lebih buruk dari sebelemunya (masa orde baru). Bukan pada hal-hal yang sifatnya umum
(general) saja yang mengalami kemerosotan, tapi juga hal-hal yang sifatnya urgen seperti
ideology, produk hukum berserta aparat penegaknya ataupun lembaga Negara baik ekskutif,
yudikatif ataupun legeslatif juga sudah amburadul, inilah yang mungin disbutkan Satjipto
Rahardjo sebagai akuarium. Khusus bagi lembaga yudikatif saat ini kondisinya semakin
memprihatinkan, seolah-olah hukum hanya berpihak pada mereka-mereka yang berkompeten di
dalamnya, termasuk pihak swasta sebagai pengusaha yang notabe-nya telah dikuasai pihak asing,
yang juga ikut dalam pembuatan produk hukum tersebut. Yang terjadi saat ini adalah kekerasan
dan premanisme di mana-mana, hal ini terjadi karena kekuasaan dikendalikan oleh para
intelektual-intelektual semu yang berkultur preman dan sebenarnya tidak memiliki kompetensi
untuk menjadi penguasa. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan segelintir orang di
sekitarnya. Masih menurut Satjipto Rahardjo, bahwa saat ini yang harus dilakukan untuk
membantu terwujudnya reformasi salah satunya adalah memunculkan atau mengangkat orangorang baik yang memiliki mentalitas dan kualitas yang terpuji. Seberanya mereka pernah
menjadi bagian dari penguasa, namun mereka tersisih karena mereka tidak bisa bermain menurut
kultur preman yang dimiliki oleh punguasa kita saat ini. Masih banyak orang-orang baik di
negera kita, oleh jarena itu marilah kita bersatu memunculkan dan mengangkat mereka dan
menolak massa permanisme. Mudah-mudahan dengan munculnya mereka ke pemerintahan yang
berbekal mentalitas dan kualitas yang terpuji dapat membawa kebangkitan kembali Indonesia.
Tapi apapun itu semua hal di dunia ini melalui suatu proses, cepat atau lambat proses tersebut
tergantung kepada komponen-komponen yang ada di dalamnya. Sebagai bangsa yang besar
Indonesia memang identik dengan pluralisma, namun jangan dijadikan alasan bahwa keadaan itu
akan memperlambat proses bangsa ini untuk menuju cita-cita luhur menciptakan bangsa
Indonesia yang sejahtera. Dengan adanya perbedaan tersebut diharapkan dapat terjadi sinergi
sehingga semau komponen bangsa ini dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik sesuai
Pancasila dan UUD 1945, serta tetap menggunakan hati nurani dalam setiap langkahnya.
Daftara Pustaka:
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, (Terj.
Nusamedia), Bandung, 2003.
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Membedah Hukum Progresif,Kompas, Jakarta, 2008
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Natangsa Surbakti, S.H, M.Hum, Problematika Penegakan Hukum
UU Penghapusan Kekerasan dalam Runah Tangga. Univ. Muhammadiyah Surakarta.

Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Dr. Sudijono Sastroatmodjo, Konfigurasi Hukum Progresif, Univ.
negeri Semarang.
Dikutip dari Legalitas.org, Hukum Progresif : Upaya untuk Mewujudkan Ilmu Hukum menjadi
Sebenar Ilmu

Anda mungkin juga menyukai