SILVIA KUMALASARI
8111412028
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
Hukum lahir dari suatu dimensi sosial yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban,
keamanan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai
aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa
melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani.
Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga
pemahaman mengenai hukum yang lebih menekankan pada aspek legitimasi dari peraturanperaturan itu sendiri.
Hukum yang ada di Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh hukum peninggalan
kolonial Belanda melalui produk-produknya yang sekarang masih berlaku dengan berbagai
modifikasi, dilengkapi dengan undang-undang baru untuk mengatur bidang yang baru muncul
kemudian. Tidak dapat disangkal bahwa pada masa kolonial, hukum tidak digunakan dalam
fungsinya yang positif, dalam pengertian tidak digunakan untuk tujuan hukum itu sendiri yaitu
memberi keadilan tetapi lebih tepat disebut sebagai alat penjajah untuk memperkuat posisinya
dan mendapatkan legitimasi dalam menghukum para pejuang kemerdekaan. Hukum menjadi sub
sistem dari sistem penjajahan sehingga hukum tidak mempunyai otonomi.
Philippe Nonet and Philip Selznick, menjabarkan bahwa ada tiga klasifikasi dasar dari
hukum yang ada di masyarakat, sebagai berikut:
1. Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif);
2. Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi
integritas dirinya (hukum otonom); dan
3. Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial
(hukum responsif).1
Gagasan awal dari hukum represif adalah tatanan hukum tertentu dapat berupa
ketidakadilan yang tegas. Keberadan hukum tidak menjamin keadilan, apalagi keadilan
substantif. Contoh dalam hal ini adalah memandang penggunaan paksaan tanpa memikirkan
kepentingan yang ada di pihak masyarakat. Menurut Nonet dan Selznick, kekuasaan pemerintah
bersifat represif , jika kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang
1 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and So-ciety Transtition: Toward Responsive Law, dalam Satya
Arinanto, Politik Hukum 2, Kumpulan Makalah Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana FH UIEU, Jakarta,
2001.
diperintah, yaitu ketika kekuasaan dilaksanakan bukan unyuk kepentingan mereka, atau dengan
mengingkari legitimasi masyarakat .
Represif tidak harus melibatkan penindasan yang mencolok. Represif terjadi pula ketika
kekuasaan bersifat lunak namun hanya sedikit memberi perhatian dan tidak secara efektif
dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan penguasa. Bentuk represi yang paling jelas dalam
hal ini adalah menggunakan kekerasan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah,
menekankan pihak yang tidak patuh atau menghentikkan demonstrasi. Represif juga dapat berarti
dengan mendorong persetujuan pasif. Hukum represif menunjukkan karakter-karakternya
sebagai berikut:
1. Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum
diidentifikasi sama dengan Negara. Disubordinasikan dengan tujuan Negara.
2. Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam
administrasi hukum.
3. Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi (seperti polisi), menjadi pusat
kekuasaan yang independen. Mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi
memperlunak serta mampu menolak otoritas politik.
4. Sebuah rezim hukum berganda, melembagakkan keadilan berdasarkan kelas dengan
mengkonsolidasikan dan melegitimasi subordinasikan sosial.
5. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, menunjukkan moralisme
hukum yang akan datang.
Dalam hukum represif dapat diartikan hukum adalah kekuasaan, baik secara lunak
maupun keras. Dalam hukum otonom, orientasi ditujukan pada pengawasan kekuasaan represif.
Dengan munculnya hukum otonom, tertib hukum menjadi sumberdaya untuk menjalankan
hukum represif tersebut. Karakter hukum otonom sebagai berikut :
1. Hukum terpisah dari politik, khas, sistem hukum ini menyatakan kemandirian
kekuasaan peradilan dan membuat garis tegas antara fungsi legislatif dan politik.
2. Tertib hukum mengadung model peraturan, fokus peraturan membantu menerapkan
ukuran bagi akuntabilitas para pejabat maupun resiko campur tangan lembagalembaga hukum itu dalam wilayah politik.
3. Prosedur adalah jantung hukum. Keteraturan dan ketertiban merupakan tujuan utama
dan kompetensi utama dari tertib hukum.
pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada yhukum
di dalam perspektif konsumeny. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah:
a. pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;
b. pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk
mencapainya.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar
hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui
subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang
terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan
ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak
fleksibel.
Pilar utama dalam membentuk hukum yang responsif adalah bagaimana membentuk pemahaman
yang baik dan menyeluruh kepada aparat penegak hukum dalam memahami dan menjalankan
aturan yang berlandaskan pada prinsip nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat, bukan hanya sekedar menjadi boneka Undang-undang. Hukum responsif
selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam jiwa bangsa Indonesia yakni Pancasila, yaitu
pencerminan nilai kemanusiaan dan nilai keadilan. Permasalahan yang esensial dalam penegakan
hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif,
melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Untuk meletakkan pondasi
penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum yang mampu menjalankan
tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik.
Hukum responsif tidak hanya berorientasi pada rules, tapi juga logika-logika yang lain.
Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tapi penegakan hukum harus diperkaya
dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam
proses penegakan hukum,mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan
diri darivkungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Produk hukum yang berkarakter
responsif, proses pembuatannya bersifa partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya
partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu ataupun kelompok masyarakat, dan
jugaharus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat.
artinya, produk hukum itu bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
2
bahwa
penegakan
hukum
tidak
dapat dilakukan
setengah-setengah.
Menjalankan hukum tidak hanya menjalankan undang-undang, tetapi harus memiliki kepekaan
sosial.
Sudah
waktunya
para
aparat
penegak
hukum responsive
sebagai
landasan
Darmawan,
Teori
Hukum
Responsif,
2 Oksimana Darmawan, Teori Hukum Responsif, https://id.scribd.com/doc/241982471/Makalah-TeoriHukum-Responsif-doc. Diakses pada 31 Mei 2015.