Anda di halaman 1dari 4

Hukum Represif, Hukum Otonom dan Hukum Responsif Menurut Philippe Nonet dan

Philip Selznick
Hukum Represif

Hukum Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan
kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang memerintah adalah
represif, bilamana ia kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang
diperintahkan artinya bilamana ia cenderung untuk tidak mempedulikan
kepentingan-kepentingan tersebut atau menolak legitimasinya. Meskipun represi
sering kali berbentuk penindasan dan pemaksaan yang terang-terangan,
pemaksaan sendiri bukanlah merupakan ciri yang menentukan bagi sifat represif,
melainkan diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan rakyat. Mengenai
perbedaan antara represi dengan pemaksaan: pertama, tidak semua pemaksaan
adalah represif. Kedua, represi tidak perlu memaksa.
Perhatian paling utama hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau
diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian
pertikaian. Meskipun hukum represif dihubungkan dengan kekuasaan, namun ia
tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan
yang kuat). Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi
dapat memanifestasikan dirinya. Yang satu adalah ketidak mampuan pemerintah
untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum. Yang lain adalah pemerintah yang
melampaui batas. Suatu bentuk lain lagi adalah kebijakan umum yang berat
sebelah, yang sering kali dipercontohkan pembaruan kota-kota dan kebijakan
pengembangan ekonomi dalam mana “program pemerintah tidak mempunyai
sarana untuk memenuhi, ataupun memperhatikan, lingkup kepentingan individual
dan kelompok yang dipengaruhinya.
Ciri-ciri umum dari hukum represif:
1. Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum
diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
2. Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk
mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
3. Kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat
memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan
semacam itu memang ada adalah terbatas.
4. Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan
yang bebas.
5. Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan
mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
6. Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas
kebudayaan.

Hukum Otonom
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini
hukum otonom merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama
seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk
memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom
memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar
hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu
potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada
kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya. Sifat-sifat
paling penting dari hukum otonom adalah:
penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi
kekuasaan resmi dan swasta¬
¬ terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat
dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang
memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat
umum maupun oleh individu-individu swasta.
Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik. Ahli-ahli
hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan
menetapkan hukum, namun isi substantif hukum tidak ditentukan oleh mereka,
melainkan oleh hasil dari tradisi atau keputusan politik. Hukum otonom
menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi potensial hukum
untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial:
Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan¬ kepantasan prosedural
mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-
aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi
terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi.
Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.¬
¬ Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang
hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas
hukum dan tata tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk
mengadopsi suatu sikap yang konservatif.
Kelemahan-kelemahan ini akan menghambat realisasi kekuasaan secara benar
berdasarkan hukum yang dicita-citakan. Namun demikian, hukum otonom
mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih lanjut dengan mana
kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.

Hukum Responsif
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial
yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat
responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif
konsumen”.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi
antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam
melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan
cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan
yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan
bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi
mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya
dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi
merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep
hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk
mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.
Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan
dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain
daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi
diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara
progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam
kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang ide
tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan
substantif. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a)
pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b)
pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk
mencapainya.
Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan
pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang
kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan
tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial
yang lebih besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi
kepada hasil dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang
keadilan yang terikat kepada konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick,
penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik.
Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk
kepada peranan yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan
pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu
komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah
kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua. Norma kerakyatan dapat
diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang menghormati manusia
sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik dalam dunia modern. Norma
kerakyatan, pertama: membedakan hukum responsif dari hukum represif dengan
memaksakan adanya penampungan bagi kepentingan-kepentingan manusiawi dari
mereka yang diperintah. Kedua, ia membedakan hukum responsif dari hukum
otonom dengan memperlunak tuntutan tentang kepatuhan kepada aturan-aturan
dan mengikuti saluran-saluran prosedural yang telah ditetapkan dan dengan
sikapnya yang lebih menyukai pendekatan integrasi kepada problem-problem
penyelewengan, ketidak patuhan dan konflik. Ketiga, norma kerakyatan menuntut
cara-cara partisipasi dalam pembuatan keputusan.
Salah satu aspek dari penampungan kepentingan manusiawi yang bermacam-
macam adalah penolakan hukum responsif atas moralitas hukum. Nonet dan
Selznick berbicara tentang mengatasi parokhlialisme dan moralitas komunal.
Ekspansi dari partisipasi akan menunjang perkembangan dan implementasinya dari
tata tertib umum. Pada waktu yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Nonet dan
Selznick, partisipasi yang diperluas tidak cukup. Apabila hal ini tidak berjalan
bersama-sama dengan suatu usaha kebijakan pemerintah yang efektif, itu akan
dapat mengakibatkan suatu situasi dalam mana masalah-masalah umum akan
dapat mengakibatkan suatu situasi dalam mana masalah-masalah umum akan
diperintah oleh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat dan terorganisasi
dengan baik. Mungkin kita dapat mengatakan bahwa tanpa partisispasi, pemerintah
dan administrasi akan menjadi represif dan tanpa pemerintahan yang baik, maka
partisipasi akan menjurus kepada pemerintahan oleh kepentingan-kepentingan dari
pihak yang kuat.

Anda mungkin juga menyukai