Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH SISTEM PERADILAN PIDANA

“KARAKTERISTIK MODEL SISTEM PERADILAN PIDANA”

DOSEN PENGAMPU:

DR. FAISAL, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH:

BETRY SORAYA SIMAMORA

4011911036

JURUSAN HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Karakteristik Model Sistem
Peradilan Pidana” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam kita sampaikan kepada
Rasulullah SAW agar kita mendapatkan syafaatnya kelak. Makalah ini disusun guna memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Sistem Peradilan Pidana yang diampu oleh Bapak Dr. Faisal, S.H.,
M.H.. Makalah ini tentu masih memerlukan penyempurnaan dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Pangkalpinang, Juni 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …….………..………………………………………… 2

DAFTAR ISI ……………………..………………………………………… 3

BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………………. 4

A. Latar Belakang ………………………………………………………. 4


B. Rumusan Masalah …..………………………………………………. 5
C. Tujuan …………………………………………………………….... 5

BAB 2 PEMBAHASAN ……………………………………………………… 6

A. Sistem Peradilan Pidana ……………………………………………… 6


B. Model Sistem Peradilan Pidana ……………………………………… 8

BAB 3 PENUTUP ……………………………………………………………… 18

A. Kesimpulan ……………………………………………………… 18

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 19

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan manusia akan selalu berkaitan dengan
hukum, dimana hukum menentukan apa yang seharusnya boleh dilakukan dan apa yang
dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang-orang yang secara nyata
berbuat melawan hukum, tetapi juga untuk mengidentifikasi setiap tindakan hukum yang
mungkin akan terjadi dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut
hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk
penegakan hukum.1

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum merupakan kegiatan


menyerasikan hubungan niali-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap
dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memlihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Kebijakan penegakan hukum meliputi proses yang dinamakan sebagai kebijakan kriminal
(criminal policy). Konsep kebijakan penegakan hukum inilah yang nantinya akan
diaplikasikan melalui tataran institusional melalui suatu system yang dinamakan system
peradilan pidana (criminal justice system). Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan antara
kebijakan penegakan hukum dengan system peradilan pidana yang mana dari subsistem
system peradilan pidana inilah yang nantinya akan melaksanakan kebijakan penegakan
hukum berupa pencegahan dan penanggulangan terjandinya suatu kejahatan.

Penyelenggaraan peradilan pidana tidak dapat berdiri sendiri melainkan ditunjang


oleh beberapa lembaga penegak hukum yang saling terintegrasi meliputi aktivitas
bertahap mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan
pelaksanaan putusan hakim. Peradilan pidana sebagai suatu system merupakan hasil
interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi, dan tingkah laku
1
Ariyanti, V. (2019). Kebijakan Penegakan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jurnal
Yuridis, 6(2), 35.

4
sosial.2 System peradilan pidana merupakan upaya penaggulangan kejahatan bersifat
penal yang berupa satu kesatuan terpadu antar tiap-tiap komponennya guna mencapai
tujuan yang dikehendaki besama yakni keadilan dan kesejahteraan ummat manusia.

Dalam melaksanakan usaha penanggulangan kejahatan melalui proses preadilan


pidana terdapat suatu system nilai berupa model-model yang muncul sebagai opsi dalam
praktik peradilan pidana. Model-model tersebut memiliki latar belakang dan
karakteristiknya maisng-masing yang akan dijelaskan dalama makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah yang akan diangkat
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan system peradilan pidana?
2. Apa saja model yang dikenal dalam system peradilan pidana dan karaketristiknya?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan system peradilan pidana.
2. Untuk mengetahui model yang dikenal dalam system peradilan pidana dan
karakteristiknya.

2
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen di Beberapa Negara, Media
Pressindo, 2013, hlm. 12

5
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Sistem Peradilan Pidana


System peradilan pidana merupakan suatu proses penegakan hukum pidana
dengan pendekatan system. System dalam system peradilan pidana berarti suatu
kompononen yang berupa bagian atau sub-sub yang tersusun sehingga membentuk suatu
system. Dalam system ini terdapat proses interaksi yang terjalin sehingga apabila salah
satu bagian atau sub dari system ini mengalami masalah akan berdampak bagian yang
lainnya dan mempengaruhi keberhasilan dari system itu sendiri.
Ramington dan Ohlin berpendapat bahwa system peradilan pidana dapat diartikan
sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana
dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian
sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara
rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.3 Adapun ciri pendekatan system dalam peradilan pidana dijabarkan oleh
Romli Atmasasmita sebagai berikut:
a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen-komponen yang
membentuk peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan).
b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana.
c. Efektifitas system penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara.
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The
administration of justice”.4

3
Michael Barama, “MODEL SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PERKEMBANGAN”, Jurnal Ilmu Hukum. Vol. III,
No.8, 2016, hlm. 9
4
Nyoman Satyayudhadananjaya, “SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU (INTEGRETED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM)
DI KAJI DARI PERSPEKTIF SUB SISTEM KEPOLISIAN”, Vyavaharaduta, Volume IX, No.l, September 2014, hlm. 89

6
Dalam system peradilan pidana terdapat adanya tiga pendekatan yang
dikemukakan oleh Geoffrey Hazard Jr. berupa:

a. Pendekatan normative, memandang keempat aparatur penegak hukum


(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai
institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga
keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem penegakan hukum semata-mata.
b. Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum
sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik
hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai
dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem
yang dipergunakan adalah sistem administrasi.
c. Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat
secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau
ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam
melaksanakan tugasnya.5

Tujuan system peradilan pidana sebagai suatu upaya penanggulangan kejahatan


adalah sebagai berikut:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan


b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi kejahatannya.6

5
Ibid
6
Ibid

7
Komponen sistem peradilan pidana terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
dan Lembaga Pemasyarakatan. Komponen ini bekerja secara mandiri sesuai dengan
bidangnya masing-masing, namun juga saling bergantung dan terintegrasi dengan
komponen lainnya membentuk suatu keterpaduan yang disebut integrated criminal
justice system (system peradilan pidana terpadu). Oleh karena itu diharapkan antar
institusi tersebut dapat bekerja sama agar upaya penanggulangan kejahatan dapat berjalan
efisien dan sistematis.

Adapun yang menjadi makna dari intergrated criminal justice system (system
peradilan pidana terpadu) adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang
dapat dibedakan dalam:

1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka


hubungan antar lembaga penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat
vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistim peradilan pidana.7

B. Model Sistem Peradilan Pidana


Untuk mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana terdapat beberapa model
yang dikenal, antara lain Due Process Model dan Crime Control Model yang
diperkenalkan oleh Herbert L. Packer. Model ini sendiri merupakan suatu system nilai
yang dapat dibedakan dan secara bergantian dapat dipilih sebagai prioritas dalam
pelaksanaan proses peradilan pidana.
Proses peradilan pidana dalam model Crime Control Model pada dasarnya
semacam perang antara dua kepentingan yang tidak dapat dipertemukan kembali yaitu
kepentingan negara dan kepentingan individu (terdakwa). Dalam hal ini berlaku asas
7
Ibid

8
yang disebut sebagai “presumption of guilt” (praduga bersalah) dan “sarana cepat” dalam
pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Dalam praktek model ini mengandung
kelemahan yaitu seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia demi efisiensi. Oleh
karena itu munculah model yang kedua yang disebut Due Process Model.
Due Process Model lebih mementingkan konsep perlindungan hak-hak individual
dan pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraan peradilan pidana. Proses peradilan
pidana harus dapat dikendalikan untuk dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan
sifat otoriter dalam rangka mencapai maksimum efisiensi. Di dalam model ini berlaku
asas yang sangat penting yaitu asas praduga tidak bersalah.
Antara kedua model yang diajukan oieh Packer saling berhubungan satu sama
lainnya karena Due Process Model itu sendiri pada hakikatnya merupakan reaksi
terhadap Crime Control Model. Keduanya beroperasi dalam sistem peradilan pidana
Adversary System (sistem perlawanan) yang berlaku di Amerika yang memiliki ciri-ciri:
a. Prosedur peradilan harus merupakan suatu perselisihan antara terdakwa dan
penuntut umum dalam kedudukan yang sama di muka pengadilan;
b. Hakim sebagai wasit dengan konsekuensi bahwa hakim tidak ikut ambil
bagian dalam “pertempuran” suatu proses pemeriksaan di pengadilan. Ia
hanya berfungsi sebagai wasit yang menjaga agar permainan tidak dilanggar,
baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut umum;
c. Tujuan utama prosedur peradilan pidana adalah menyelesaikan sengketa yang
timbul disebabkan terjadinya kejahatan;
d. Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas. Peranan
penuntut umum adalah melakukan penuntutan, peranan terdakwa adalah
menolak atau menyanggah dakwaan. Penuntut umum bertujuan menetapkan
fakta mana saja yang akan dibuktikannya disertai bukti yang menunjang fakta
tersebut. Terdakwa bertugas menentukan fakta-fakta mana saja yang akan
diajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan kedudukannya
dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta tersebut.

Kemudian terdapat pula model ketiga yang disebut Third Model atau Family
Model yang dikemukakan oleh John Griffithst yang merupakan reaksi terhadap kedua

9
model sebelumnya.8 Selain ketiga model tersebut, Roeslan Saleh mengemukakan dua
model lain dengan Bahasa dan istilah yang berbeda, yaitu: Model Yuridis dan Model
Kemudi.

Baik Crime Control Model dan Due Process Model keduanya digagas oleh
Herbert L. Packer yang merupakan konsep dikotomi yang membedakan pendekatan
normative dalam system peradilan pidana. CCM pada dasarnya merupakan model
pengendalian kejahatan sehingga upaya yang digunakan cenderung represif atau
memkasa dengan tujuan agar orang jera dan tidak mengulangi kejahatan lagi. Sedangkan
DPM lebih menekankan pada prosedur formal dan berasaskan praduga tak bersalah yang
mana focus dari model ini adalah untuk melindungi individu dari proses pidana yang
tidak wajar. Model yang ketiga adalah Family Model, model tidak berusaha menghukum
pelaku kejahatan dengan mengasingkannya melainkan seorang pelaku kejahatan harus
dipandang sebagai anggota keluarga yang harus dimarahi guna mengontrol pribadinya.

Crime Control Model (Model Pengendalian Kejahatan)


Model system peradilan pidana yang pertama menurut Packer adalah Crime
Control Model (CCM). Model system peradilan pidana yang satu ini dalam
menganggulangi kejahatan sifatnya cenderung represif. CCM menekankan pada efisiensi
peradilan pidana, bahwasanya dalam proses peradilan pidana pemberantasan dan
penanggulangan kejahatan merupakan titik krusial. Oleh karena penekanan dalam model
ini adalah efektivitas maka proses peradilan dituntut untuk cepat dan tuntas. Focus dari
CCM ditujukan kepada efisiensi suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka,
menetapkan kesalahannya, dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses
peradilannya. CCM menggunakan asas presumtion of guilty (praduga bersalah) yang
akan menyebabkan system ini dilaksanakan secara efisien dengan proses penegakan
hukum harus menitikberatkan pada kualitas temuan-temuan fakta administrative, oleh
8
Rusli Muhammad, “Penyelenggaraan Peradilan Pidana (Studi tentang: Model-Model dan Faktor-Faktor yang
Berperan dalam Peradilan Pidana)”, Jurnal Hukum, Vol. 9, No. 2, Juni 2002, hlm. 43

10
karena temuan-temuan itu akan membawa ke arah pembebasan tersangka dari penuntutan
atau malah kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah.9
CCM menggunakan prinsip affirmative model. Maksudnya CCM sebagai model
peradilan pidana yang menggunakan cara konfirmasi, yang artinya sistem peradilan yang
hanya membutuhkan sebuah penjelasan dari para pelaku, dan pelaku dapat dinyatakan
bersalah dan tidak bersalah. Dikatakan bersalah apabila pelaku tidak dapat menjelaskan
perbuatannya dengan menggunakan acuan alat bukti yang telah ditemukan penyidik
sebelumnya, dengan logika hukum jika alat bukti mengatakan A, dan pelaku mengatakan
B maka hal itu sudah terlihat bahwa pelaku bersalah.dan dikatakan tidak bersalah jika
pelaku dapat menjelaskan bahwa alat bukti yang ditemukan tersebut bukan merupakan
bagian dari perbuatannya.
CCM berpegang pada factual guilt yang mana ketika seorang pelaku berada
dalam proses pemeriksaan dalam suatu persidangan, maka sistem peradilan yang
ditekankan dalam crime control model disini adalah tentang pelaksanaan persidangan
yang berupa penunjukkan alat bukti yang sudah diketemukan, kemudian sistem
peradilannya hanya bersifat menjelaskan alat bukti tersebut bahwa alat bukti yang telah
diketemukan oleh penyidik merujuk pada pelaku.

CCM menekankan pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan penggunaan


kekuasaan terhadap setiap kejahatan dari pelaku kejahatan dan karenanya pelaksanaan
penggunaan kekuasaan pada tangan aparat pemerintah/polisi,jaksa dengan hakim harus
semaksimal mungkin meskipun harus mengorbankan hak asasi manusia.10 Oleh karena itu
diperlukan profesionalitas apparat penegak hukum dalam prosesnya.

Due Process Model (Model Perlindungan Hak)


Due Process Model (DPM) adalah model system peradilan pidana kedua yang
digagas Packer. Model ini merupakan reaksi terhadap CCM, dimana moodel ini (DPM)
9
Edi Setiadi dan Kristian, SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA,
Prenada Media, 2017, hlm. 74
10
Michael Barama, “MODEL SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PERKEMBANGAN”, Jurnal Ilmu Hukum. Vol. III,
No.8, 2016, hlm. 11

11
beorientasi pada perlindungan hak tersangka dengan cara mengontrol dan mencegah
penguasa berbuat sewenang-wenang dengan kemampuan yang dimilikinya atas dasar
efisiensi tadi. DPM ini merupakan model dalam system peradilan pidana yang
menekankan pada kesusilaan dan sanksi pidana. DPM menuntut penemuan fakta objektif
agar dapat melindungi individu yang benar-benar tidak bersalah dan tidak menuntut
mereka yang benar-benar bersalah.
DPM menggunakan asas Persumption Of Innocence sebagai dasar nilai sistem
peradilan berkebalikan dengan asas yang digunakan model sebelumnya CCM yaitu
presumption of guilty. Dalam DPM dituntut adanya suatu proses penyelidikan terhadap
suatu kasus secara formal dengan menemukan fakta secara objektif dimana kasus seorang
tersangka atau terdakwa didengar secara terbuka dimuka persidangan dan penilaan atas
tuduhan penuntut umum baru akan dilaksanakan setelah terdakwa memperoleh
kesempatan sepenuhnya untuk mengajukan fakta yang membantah atau menolak tuduhan
kepadanya. Jadi yang penting ialah pembuktian dalam pengadilan dengan tuntutan
bagaimana akhir dari suatu proses terhadap suatu kasus tidak begitu penting dalam
DPM.11

Nilai-nilai yang melandasi due process model, antara lain:


1. Kemungkinan adanya factor kelalaian yang sifatnya manusiawi atau human
error menyebabkan proses ini menolak informal fact finding process sebagai
cara untuk menetapkan secara definitive factual guilt seseorang. Model ini
hanya mengutamakan formal-adjudicative dan adversary fact finding. Hal ini
berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajikan ke muka pengadilan yang
tidak memihak dan diperiksa sesuah tersangka memperoleh hak yang penuh
untuk mengajukan pembelaannya;
2. Model ini menekankan kepada pencegahan dan menghapuskan sejauh
mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan;
3. Model ini menekankan kepada penempatan individu secara utuh dan utama di
dalam proses peradilan;
4. Adanya konsep pembatasan wewenang formal;

11
Ibid, hlm. 11

12
5. Model ini sangat memperhatikan komninasi stigma dan kehilangan
kemerdekaan yang dianggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang
hanya dapat dilakukan oleh negara;
6. Proses peradilan dipandang menekan, membatasi, dan merendahkan martabat
manusia;
7. Model ini bertitik tolak pada nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan,
sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt;
8. Gagasan persamaan dimuka hukum lebih diutamakan;
9. DPM lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana;
10. Pada prinsipnya due process model adalah suatu negative model karena model
ini menegaskan perlunya pembatasan atas kekuasaan dan cara penggunaan
kekuasaan oleh apparat penegak hukum. Hal ini berkebalikan dengan CCM
yang menggunakan affirmative model yang menekankan pada eksistensi
kekuasaan dan penggunaan kekuasaan secara maksimal oleh apparat penegak
hukum.12

Family Model (Model Kekeluargaan)

Model system peradilan pidana yang ketiga adalah Family Model atau Model
Kekeluargaan yang dikemukakan oleh John Griffiths sebagai kritik terhadap dua model
sebelumnya. Konsep model ini bertentangan dengan model-model yang digagas Packer,
dimana model dasar yang digunakan Griffiths adalah unit terkecil dalam masyarakat
yaitu keluarga. Model kekeluargaan ini berlandaskan semangat cinta kasih dan tidak
menempatkan pelaku sebagai musuh masyarakat yang harus diasingkan, melainkan
sebagai anggota keluarga yang harus dimarahi guna mengendalikan control pribadinya.

John Grifitthst menggambarkan Criminal Justice System yang berlaku di Amerika


sebagai suatu duel yaitu antara terdakwa dengan Negara dan pengacara atau terdakwa
dapat dibuktikan kesalahan, saksi dari dipidana maka pihak pengacara didalam

12
Edi Setiadi dan Kristian, SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA,
Prenada Media, 2017, hlm. 83

13
peperangan dan telah dianggap kalah atau telah menyesal. Pada waktu polisi melakukan
penangkapan dan memberikan peringatan bahwa dia (tersangka) dibantu oleh pengacara
sebenarnya disitu sudah dimulai peringatan perang oleh negara dan Rule Of Law dari
peperangan itu dalam bentuk hukum acara pidana. Pada hakekatnya dapat dijadikan
sarana untuk mengatur taktik-taktik peperangan sedangkan fungsi hakim adalah untuk
melekat/pasif apakah peperangan itu dilakukan sesuai aturan permainan. Gambaran yang
ada ini sebagaimana mewarnai Battle Model menjadikan John Grifitthst mengkritik keras
terhadap Battle Model itu yang ringkasnya mengatakan apapun bentuknya dari system
adversary itu, ia tetap berada dalam system peperangan yang tidak akan bisa
mempertemukan dua kepentingan yang berlawanan.13 Model peperangan (battle model)
ini memandang proses pidana sebagai suatu konflik antara individu dengan negara yang
mana dalam hal ini pelaku kejahatan dipandang sebagai musuh masyarakat yang harus
disingkirkan.

Adanya kepentingan yang tidak dapat dipertemukan dan pernyataan perang yang
merupakan nilai-nilal dasar dalam Due Process Model, adalah nilai-nilai dasar yang oleh
John Griffithst dikehendaki untuk dibongkar sama sekali, dan diganti dengan sistem nilai
berupa kepentingan yang saling mendukung dan menguntungkan menuju kesatuan
harmoni, dan pernyataan kasih sayang sesama hidup yang disebut sebagai ideological
staring point. Di dalam Family Model atau disebut juga model kekeluargaan yang sangat
menonjol adaiah pada konsep pemidanaan yang dapat digambarkan dalam padanan
suasana suatu keiuarga, yaitu bahwa apabila seorang anak telah melakukan kesalahan,
maka akan diberikan sanksi, dengan tujuan anak tersebut mempunyai kesanggupan untuk
mengendalikan dirinya akan tetapi setelah anak itu diberi sanksi, anak itu tetap perada
dalam kerangka kasih sayang keluarga dan la tidak dianggpnya sebagai anak jahat dan
sebagai manusia yang khusus atau sebagai anggota keiompok yang khusus dalam
kaitannya dengan keluarga

Family Model adalah suatu perumpamaan yang ada dalam keluarga kita yakni
meskipun salah satu keluarga kita pukul atau jewer namun dia tetap dalam kasih sayang
tanpa memperlakukan sebagai orang jahat yang khusus (special criminal puple).
13
Michael Barama, “MODEL SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PERKEMBANGAN”, Jurnal Ilmu Hukum. Vol. III,
No.8, 2016, hlm. 15

14
Demikian pula terhadap penjahat jika ia dipidana janganlah dianggap sebagai special
criminal people yang kemudian diasingkan dari anggota masyarakat namun mereka itu
tetap dalam suasana kasih sayang. Dengan Demikian apabila kita bandingkan dengan
Battle Model yang menganggap bahwa criminal pada hakekatnya enemy of society atau
musuh dalam masyarakat dan fungsi dari pidana adalah Xile Of Offender atau
pengasingan pelaku kejahatan maka terlihat bahwa nilai-nilai dasar dalam Battle Model
itu sesuai dengan nilai-nilai kekeluargaan dalam family model dimana fungsi punishment
adalah sebagai Oppealing capacity Of Selft Control atau berusaha mengendalikan agar
supaya ia mempunyai kapasitas untuk memperbaiki diri dan tetap berada dalam kerangka
kasih sayang keluarga (contitium of love).

Nilai-nilai yang mendasari system peradilan pidana model kekeluargaan adalah


sebagai berikut:

1. Menurut model ini pelaku tindak pidana tidak dipandang sebagai musul
masyarakat tetapi sebagai anggota keluarga yang harus dikontrol pribadinya
dan tidak boleh ditolak;
2. Didasari semangat cinta kasih;
3. Berorientasi pada pelaku.14

Model Yuridis dan Model Kemudi

Model yuridis dan model kemudi merupakan model system peradilan pidana yang
dikemukakan oleh Roeslan Saleh. Inti dari kedua model tersebut menurut Roeslan Saleh
dapat dikatakan: Menurut model yuridis tekanan diletakkan pada keadilan undang-
undang dan hakim sebagai puncak dari hirarki badan-badan kehakiman, sedang putusan

14
Op. cit, hlm. 90

15
hakim adalah faktor yang menentukan bagi penegak hukum. Dia adalah sesuatu yang
bersifat statis normatif dan banyak sedikitnya merupakan sistim tertutup. Dalam model
kemudi tekanan diletakan pada kegunaan sosial, tertib sosial, dan penegakkan hukum
sebagai fungsi dari tertib sosial sedangkan diantara badan-badan kehakiman ada
kesamaan yang principal, dia merupakan suatu model dinamis dan terbuka bagi
kenyataan-kenyataan sosial.15

Menurut model yuridis, hukum acara pidana diberi tugas untuk mewujudkan atau
menegakkan hukum pidana materiil. Dalam hal ini, undang-undang diberi peranan yang
fundamental. Kekuasaan dan wibawa undang-undang harus diusahakan selalu diperbesar
seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Hubungan antara hukum pidana material
dan hukum pidana formil mengakibatkan bahwa menetapkan hukum berarti menetapkan
undang undang atau dengan istilah lain dapat dikatakan bahwa uraian dalam undang
undang harus tercermin melalui kata kata hakim. Seluruh tindakan peradilan menurut
model ini harus bertujuan untuk itu. Sebaliknya, petugas kehakiman selain itu hanyalah
sebagai pembantu hakim karena hanya hakimlah yang boleh menjatuhkan hukuman
dalam arti yang sesungguhnya.16

Sedangkan model kemudi memberikan penekanan kepada hukum dan peradilan


pidana dalam kerangka kegunaan sosial, tertib sosial, dan menegakkan hukum sebagai
fungsi dari tertib sosial. Dalam hal ini, diantara badan badan kehakiman ada kesamaan
yang prinsipil. Model ini juga terlihat lebih dinamis dan terbuka bagi kenyataan sosial.
Jika dibandingkan dengan model yuridis yang menitik beratkan kepada masalah keadilan,
modal kemudian lebih menitik beratkan kepada fungsi dan tertib masyarakat. Ciri ciri
model kemudi:

-Berorientasi pada ilmu pengetahuan tentang kelakuan manusia khususnya sosiologi

-Dalam pandangan model kemudi hukum tidaklah sesuatu yang berada di atas kehidupan
bermasyarakat tetapi hukum merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat atau

15
Rusli Muhammad, “Penyelenggaraan Peradilan Pidana (Studi tentang: Model-Model dan Faktor-Faktor yang
Berperan dalam Peradilan Pidana)”, Jurnal Hukum, Vol. 9, No. 2, Juni 2002, hlm. 46
16
Edi Setiadi dan Kristian, SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA,
Prenada Media, 2017, hlm. 95

16
dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hukum bukanlah untuk kenyataan hidup
melainkan sebagai bagian dari kenyataan hidup.17

BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

17
Ibid, hlm. 97

17
peradilan pidana merupakan suatu proses penegakan hukum pidana dengan
pendekatan system. Oleh Ramington dan Ohlin system peradilan pidana diartikan sebagai
pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana dan
peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Komponen
sistem peradilan pidana terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan.
Dalam system peradilan pidana terdapat beberapa model yang dikenal, antara lain
Crime Control Model, Due Process Model, Family Model, Model Yuridis, dan Model
Kendali. CCM pada dasarnya merupakan model pengendalian kejahatan sehingga upaya
yang digunakan cenderung represif atau memkasa dengan tujuan agar orang jera dan
tidak mengulangi kejahatan lagi. Sedangkan DPM lebih menekankan pada prosedur
formal dan berasaskan praduga tak bersalah yang mana focus dari model ini adalah untuk
melindungi individu dari proses pidana yang tidak wajar. Model yang ketiga adalah
Family Model, model tidak berusaha menghukum pelaku kejahatan dengan
mengasingkannya melainkan seorang pelaku kejahatan harus dipandang sebagai anggota
keluarga yang harus dimarahi guna mengontrol pribadinya. Model Yuridis Menurut
model yuridis tekanan diletakkan pada keadilan undang-undang dan hakim sebagai
puncak dari hirarki badan-badan kehakiman, sedang putusan hakim adalah actor yang
menentukan bagi penegak hukum.
Dalam model kemudi tekanan diletakan pada kegunaan sosial, tertib sosial, dan
penegakkan hukum sebagai fungsi dari tertib sosial sedangkan diantara badan-badan
kehakiman ada kesamaan yang principal, dia merupakan suatu model dinamis dan
terbuka bagi kenyataan-kenyataan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Setiadi, Edi dan Kristian. 2017. Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan
Hukum di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. Tersedia dari Ipusnas.

18
Effendi, Tolib. 2013. Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen di Beberapa
Negara. Yogyakarta: Medpress Digital. Tersedia dari Ipusnas.

Muhammad, Rusli. "Penyelenggaraan Peradilan Pidana (Studi tentang: Model-Model dan


Faktor-Faktor yang Berperan dalam Peradilan Pidana)." Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM 9.20 (2002): 42-54.

Barama, Michael. "Model Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkembangan." Jurnal Ilmu


Hukum 3.8 (2016): 8-17.

Satyayudha Dananjaya, Nyoman, and M. Kn SH. "Sistem Peradilan Pidana Terpadu


(Integrated Criminal Justice System) Dikaji Dari Perspektif Subsistem
Kepolisian." Jurnal Ilmiah Agama dan Ilmu Hukum, IX (1) (2014).

19

Anda mungkin juga menyukai