Anda di halaman 1dari 40

Sistem Peradilan Pidana: Suatu Pembaharuan

A. Ruang Lingkup Sistem Peradilan Pidana


1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Susunan dan organisasi sistem peradilan Indonesia secara


konstitusional dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 24 UUD NRI
Tahun 1945 dan undang-undang organik yang mengatur kekuasaan
kehakiman. Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 Perubahan ke-3 terdiri
dari tiga ayat, memuat pokok pikiran tentang kemerdekaan
peradilan, lembaga-lembaga pengemban kekuasaan kehakiman
dan pengakuan adanya badan-badan yang mempunyai fungsi yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

Penegasan tersebut secara berkesinambungan terlihat dari


bunyi Pasal 24 ayat (1), bahwa "kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan". Pasal 24 ayat (2) menyatakan
bahwa "kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh selbuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi". Menurut pasal ini
kekuasaan kehakiman dalam arti kekuasaan mengadili
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dengan empat lingkungan
peradilan dibawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat
(3) menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".
Badan-badan lain yang dimaksud dalam hal ini adalah lembaga-
lembaga yang fungsi yang bersinggungan dengan pelaksanaan
kekuasaan kehakiman seperti Kepolisian, Kejaksaan Lembaga
Pemasyarakatan, Komisi Yudisial dan lain-lain. 1

Sistem peradilan pidana sendiri memiliki hakikat sebagai suatu


proses penegakan hukum pidana.2 Oleh karena itu, Sistem
peradilan pidana berhubungan erat dengan perundang-undangan
pidana, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena
perundang. undangan pidana pada dasarnya merupakan
penegakan hukum pidana "in abstracto" yang akan diwujudkan
dalam penegakan hukum "in concreto. Pidana sendiri memiliki
makna hukuman yang dijatuhkan terhadap orang yang terbukti
bersalah melakukan delik berdasarkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap.3

Sistem peradilan pidana merupakan perpaduan antara system


peradilan dan pidana. Sistem peradilan secara umum merupakan
system penanganan perkara sejak adanya pihak yang merasa
dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan
perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Sedangkan
sistem peradilan pidana secara khusus merupakan suatu jaringan
mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan
dalam hal ini berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil
dan hukum pelaksanaan pidana.4

Sedangkan pidana sendiri memiliki beberapa pengertian


berdasarkan pendapat ahli, yang mencoba mendefinisikan
1
Pujiyono, 2012, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Semarang: Pusaka
Magister, hlm. 16.
2
Mardjono Reksodiputro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan, Dikutip dari Sistem Peradilan Pidana Kontemporer; 2010.
3
Andi Hamzah, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 119.
4
Yesmil dan Anwar, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya
dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Bandung: Widya Padjadjaran.
mengenai pengertian dan ruang lingkup hukum pidana dalam
sistem peradilan pidana. Remington dan Ohlin misalnya,
mengartikan sistem peradilan pidana sebagai pemakaian
pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil
interaksi antara peraturan perundang-undang praktik administrasi
dan sikap atau tingkah laku sosial.5

Sedangkan Mardjono Reksodiputro mengartikan bahwa sisten


peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri
dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
permasyarakatan terpidana.6 Dikemukakan pula bahwa sistem
peradilan pidana (criminal justice sistem) adalah sistem dalam suatu
masyaraKat untuk menanggulangi kejahatan.7

Dari kedua pendapat tersebut, ada persamaan terkait dengan


proses bekerjanya sistem peradilan pidana secara berurutan
menuju pada suatu tujuan bersama yang dikehendaki. Keseluruhan
proses itu bekerja di dalam suatu sistem, sehingga masing-masing
lembaga merupakan subsistem yang saling berhubungan dan saling
memengaruhi antara satu dengan yang lain. Dalam sistem peradilan
pidana bekerja komponen-komponen fungsi atau subsistem yang
masing-masing harus berhubungan dan bekerja sama sebagaimana
dikatakan oleh Alan Coffey bahwa: "Criminal justice can function
sistematically only to the degrees that each segment of the sistem
5
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem) Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionalisme, Jakarta: Penerbit Bina Cipta, hlm. 14
6
Mardjono Reksodiputro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada
Kejahatan dan Penegakan Hlukum dalam Batas-batas Toleransi), Fakultas Hukum Unversitas
Indonesia, hlm. 1.
7
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem) Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionalisme, Op. Cit., hlm. 15.
takes into account all other segments. In order words, the sistem is
no more sistematic than the relationships between Police and
prosecution, Police and Court Prosecution and Corrections,
Corrections and law, and so forth. In the absence of functional
relationships between segments, the criminal justice sistem is
vulnerable to fragmentation and ineffectiveness". 8

Penegakan hukum pidana merupakan rangkaian aktivitas


sebagai wujud operasionalisasi pengembalian keseimbangan
individu, sosial dan kesejahteraan masyarakat, dari adanya
pelanggaran kaidah-kaidah hukum pidana. Aktivitas tersebut
diwujudkan dalanm proses penegakan hukum, lazim disebut sistem
peradilan pidana (Criminal justice sistem). Sistem peradilan pidana
mempunyai perangkat struktur, disamping perangkat hukum dan
perangkat budaya, yang bekerja secara koheren, integral,
koordinatif sehingga menciptakan mekanisme kerja yang terpadu. 9

Guna mencipatakan suatu sistem peradilan pidana yang efektif


fragmentasi dalam arti masing-masing subsistem bekerja sendiri-
sendiri dan tidak memerhatikan antar hubungan di antara sub-
subsistem yang ada harus dihindari. Dalam hubungan ini perlu
diperhatikan konsep integrated approach dari Hiroshi Ishikawa yang
antara lain menegaskan bahwa komponen-komponen fungsi itu
walaupun fungsinya berbeda-beda dan berdiri sendiri-sendiri
(diversity) tetapi harus mempunyai suatu tujuan dan persepsi yang
sama sehingga merupakan suatu kekuatan yang utuh (unity), yang
saling mengikat. Hiroshi Ishikawa dalam hal ini menyatakan bahwa:
8
M Faal, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta: Pradnya
Paramita, hlm. 25.
9
Pujiyono, 2012, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Semarang: Pustaka
Magister, hlm. 37.
"Criminal justice agencies including the police, prosecution, judiciary
institution should be compared with a chain of gears, and each of
them should be precise and tenacious in maintaining god
combination with each other".10

Dalam penanggulangan kejahatan di Amerika Serikat


diperkenalkan dan dikembangkan pendekatan sistem sebagai
pengganti pendekatan hukum dan ketertiban. Melalui pendekatan ini
kepolisian, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan tidak lagi
merupakan instansi yang berdiri sendiri melainkan masing-masing
merupakan unsur penting dan berkaitan erat satu sama lain. 11

Selain pengertian sebagaimana telah disebutkan di atas,


terdapat berbagai teori berkaitan dengan sistem peradilan pidana
(criminal justice system), yakni melalui pendekatan dikotomi dan atau
pendekatan trikotomi.12 Pendekatan dikotomi umumnya digunakan
oleh teoretisi hukum pidana di Amerika Serikat. Herbert Packer,
seorang ahli hukum dari Universitas Stanford, menggunakan
pendekatan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam
melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana.

Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya


memiliki sifat yang merupakan suatu open sistem, dalam pengertian
sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami
interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan
lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat: ekonomi,
politik, pendidikan dan teknologi serta subsistem-subsistem dari sistem
10
Ibid., hlm. 26.
11
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan pidana (Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme), Op. Cit., hlm. 9.
12
Romli Atmmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar
Maju, 1995.
peradilan pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system).
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sistem peradilan pidana
pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. 13
Oleh karena itu, berhubungan erat sekali dengan perundang-
undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum
acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya
merupakan penegakan hukum pIdana "in abstracto" yang akan
diwujudkan dalam penegakan hukum "in concreto".

14
Sebagaimana Barda Nawai Arif yang berpendapat bahwa
system peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem
penegakan hukum pidana. Sistem penegalkan hukum pada dasarnya
merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum.
Kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum ini dapat diidentikan
dengan istilah kekuasaan kehakiman. Karenanya sistem peradilan
pidana pada hakikatnya juga identik dengan sistem kekuasaan
kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasi/diwujudkan
dalam 4 (empat) subsistem, yaitu: (1) kekuasaan penyidikan oleh
lembaga penyidik; (2) kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut
umum; (3) kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan
peradilan; dan (4) kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat
pelaksana eksekusi. Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan
sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut
dengan sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal
justice system.

13
Mardjono Reksodipoetro, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan", dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Op. Cit.
14
Moh. Hatta, 2008, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif Sistem Peradilan Pidana,
Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan mplementas) Kapita Selekta, Yogyakarta: Galangpress, hlm. 47-
48
Sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan penjelmaan
dari criminal justice system, yang dikembangkan oleh praktisi penegak
hukum di Amerika Serikat. Di mana criminal justice system menurut
black's law dictionary berarti:15

Criminal Justice system is the collective institutions through


which an accused offender passes until the accusatins have
been disposed of or the assessed punishment concluded. The
sistem typically has have three components: law enforcement
(police, sheriffs, marshals), the judicial process Gudges
peosecutors, defense lawyers) and corrections (prison officials,
probation officers, and parole officers).

Jika diterjemahkan secara bebas menurut black's law dictionary


sistem peradilan pidana adalah institusi kolektif, di mana seorang
pelaku tindak pidana melalui suatu proses sampai tuntutan ditetapkan
atau penjatuhan hukuman telah diputuskan. Sistem ini memiliki tiga
komponen, penegak hukum (kepolisian), proses persidangan (hakim,
jaksa dan advokat), dan lembaga pemasyarakatan (petugas
pemasyarakatan dan petugas lembaga pembinaan).

Beranjak dari beberapa pengertian ahli mengenai sistenm


peradilan pidana, sistem peradilan pidana Indonesia berlangsung
melalui tiga komponen dasar sistem, yakni:

1) Substansi merupakan hasil atau produk sistem termasuk


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.

15
Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Prococ Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka Yustisia. hlm 10.
2) Struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri
dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan.
3) Kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan
diberdayakan. Dengan kata lain kultur adalah merupakan
penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.

Sedangkan menurut Robert D. Pursley, sistem peradilan pidana


memiliki tiga komponen utama, yaitu penegak hukum, keadilan dan
pemasyarakatan.16 Komponen penegak hukum terdiri dari kepolisisan,
kejaksaan, hakim, pengacara dan petugas kemasyarakatan. Sebagai
satu kesatuan sistem, komponen penegak hukum harus bergerak
secara bersama-sama dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Di dalam melaksanakan proses penegakan hukum tersebut, hubungan
antarkomponen dimungkinkan terjadi ketidaksinkronan baik
disebabkan karena pengaturannya maupun dalam pelaksanaannya
yang bisa berakibat pada keefektivitasan tujuan sistem peradilan
pidana. Oleh karena itu, hubungan antarkomponen penegak hukum
dalam proses penegakan hukum harus didasari pada keharmonisan
dan sinkronisasal antarkomponen dalam mewujudkan tujuan sistem
peradilan pidana.17

Meskipun cukup beragam pendapat ahli dalam menentukan


komponen subsistem dalam sistem peradilan pidana, namun dalam
KItab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah
menggambarkan sistem peradilan pidana yang merupakan sistem
peradilan pidana terpadu. Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas
16
Robert D. Pursley, 1977, Introduction to Criminal Justice, Second Edition, New York:
Macmillan Publishing CO. Inc., hlm. 21.
17
Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Phdana Perbandingan Komponen dan Proses Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Op. Cit., hlm. 3.
landasan prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat penegak
hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan
masing-masing subsistem peradilan pidana oleh undang-undang.

Berdasarkan kerangka landasan dimaksud aktivitas


pelaksanaan criminal justice system, merupakan fungsi gabungan dari
legislator yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan hukum
pidana, aparat penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, serta badan yang
berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.
Tujuan pokok gabungan fungsi dalam kerangka criminal justice sistem
untuk menegakkan, melaksanakan (menjalankan) dan memutuskan
hukum pidana. Dengan demikian, setidaknya dalam sistem peradilan
pidana dilaksanakan empat subsistem utama yang memiliki
kewenangan dalam:18

1) Fungsi Pembuat Undang-Undang (Law Making Function)

Fungsi ini dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah atau badan lain
berdasar delegated legislation. Yang diharapkan, hukum yang diatur
dalam undang-undang tidak kaku, sedapat mungkin fleksibel yang
bersifat cukup akomodatif terhadap kondisi-kondisi perubahan
sosial.

2) Fungsi Penegakan Hukum (Law Enforcement Function)

Tujuan objektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial,
yakni penegakan hukum secara aktual yang meliputi tindakann-
penahanan, persidangan-penyelidikan-penyidikan, penangkap
pengadilan, dan pemidanaan-pemenjaraan guna memperbaiki
18
M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 90-91.
tingkah laku individu terpidana dan efek preventif. Fungsi
penegakan hukum diharapkan mencegah orang melakukan tindak
pidana.

3) Fungsi Pemeriksaan Persidangan Pengadilan (Function of


Adjudication)

Fungsi ini merupakan subfungsi dari kerangka penegakan hukum


yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim serta
pejabat pengadilan yang terkait. Melalui fungsi inilah ditentukan
kesalahan terdakawa dan penjatuhan hukuman.

4) Fungsi Memperbaiki Terpidana (The Function of Correction)

Fungsi ini meliputi aktivitas lembaga pemasyarakatan, pelayanan


sosial terkait, dan lembaga kesehatan mental. Tujuan umum semua
lembaga-lembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan
pemenjaraan terpidana adalah merehabilitasi pelaku pidana agar
dapat kembali menjalani kehidupan normal dan produktif.

Kekuasaan kehakiman dalam arti luas (integral), memberikan


makna bahwa Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik
dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP). Sistem
"penegakan hukum" pada dasarnya adalah "sistem kewenangan atau
sistem kekuasaan menegakkan hukum, maka sistem kekuasaan
penegakan hukum pidana, dapat diartikan sebagai "kekuasaan
kehakiman di bidang hukum pidana", Kekuasaan kehakiman yang
merdeka menurut UUD NRI 1945 perubahan ke-3, seharusnya
mengandung kekuasaan kenmerdekaan yang integral, meliputi
kemerdekaan dan kemandirian (independensi) yang terwujud dalam
keseluruhan proses penegakan hukum pidana. 19

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan


kehakiman yang lahir pada era reformasi yang memiliki fungsi sebagai
penjaga hak asasi manusia dan sebagai lembaga final penafsir
undang- undang, dalam perkara nomor 66/PUU-XVI/2018 menyatakan
bahwa dalam pelaksanaan lembaga integrated criminal justice sistem
perlu ditekankan adanya koordinasi dan sinergi antaraparat penegak
hukum guna mengedepankan keseimbangan hak-hak tersangka di
dalam mendapatkan perlakuan proses yang adil yang merupakan
bagian yang utuh dan tidak terpisahkan dalam menghadapi proses
perkara yang dialaminya, termasuk dalam hal ini adanya sinkronisasi
penanganal permohonan perkara. 20

Dalam putusan yang lain yakni dalam perkara nomor 7/PUU-


XV/2017,21 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa fungsi hukum
pidana secara umum tidak berbeda dengan fungsi hukum pada
umumnya yaitu menciptakan atau menyelenggarakan ketertiban dalam
masyarakat atau dengan kata lain menjaga ketertiban umum.
Sementara secara khusus, hukum pidana dikatakan memiliki fungsi
melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak
memperkosanya melalui penjatuhan sanksi berupa pidana. Berkenaan
dengan fungsi khusus hukum pidana tersebut, kepentingan hukum
yang hendak dilindungi oleh hukum pidana itu baik berupa
kepentingan individu, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan
negara. Oleh karena itulah, dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang
19
Pujiyono, 2012, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Semarang Pustaka
Magister, hlm. 7.
20
Putusan Mahkanmah Konstitusi Nomor 66/PUU-XVI/2018, hlm. 35.
21
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XV/2017, hlm. 139-140.
mengatur tentang kejahatan terhadap individu, kejahatan terhadap
kepentingan umum, dan kejahatan terhadap keamanan negara.

Berdasarkan kedua putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi


telah memberikan penegasan bahwa sistem peradilan pidana adalah
sinkronisasi kesatuan proses antarlembaga dengan kewenangannya
dalam menegakkan hukum pidana yang dalam mencapai tujuannya
diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi antaraparat penegak hukum.

Hukum pidana sendiri memiliki fungsi untuk menciptakan


ketertiban dalam masyarakat atau dengan kata lain menjaga
ketertiban umum dan melindungi kepentingan hukum masing-masing
individu.

2. Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana berorientasi pada tujuan (purposive


behavior), paling tidak ada 3 (tiga) ukuran untuk menilai
keberhasilan system peradilan pidana sebagai sarana pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana yaitu keberhasilan sistem
peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi bagi
terpidana; keberhasilan system peradilan pidana untuk mencegan
terjadlnya kejanatan; dan keberhasilan sistem peradilan pidana
untuk menciptakan kesejahteraan sosial.22

Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, maka ada suatu


istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan, yakni due
process law, yang dalanm bahasa Indonesia dapat diterjemahkan
sebagai proses hukum yang adil atau layak. Lawan dari proses ini
adalah arbitrary process atau Proses yang sewenang-wenang atau
22
Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie
Center, 2002, hlm. 36.
berdasarkan semata-mata kuasa penegak hukum. 23 Sistem
peradilan pidana sebagaimana yang digariskan KUHAP merupakan
sistem peradilan pidana terpadu yang diletakkan di atas prinsip
diferensiasi fungsional antara aparat/lembaga penegak hukum
sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang
undang. Aktivitas pelaksanaan masing-masing subsistem dalam
system peradilan pidana merupakan fungsi gabungan (collection of
function) dari Legislator, Polisi, Jaksa, pengadilan, penjara dan
badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan
atau di luarnya.24

Usaha dari masing-masing subsistem dalam sistem peradilan


pidana memiliki tujuan menurut Mardjono Reksodiputro adalah: 25

a. Mencegah masyarakat menjadi objek/korban;


b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan
yang bersalah dipidana;
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan
kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa


keempat komponen dalam subsistem peradilan pidana (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan
dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated
criminaljustice system. Namun jika masing-masing subsistem
peradilan pidana dalam bekerja tidak ada harmonisasi, sinkronisasi
23
Mardjono Reksodiputro, 2007, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan
Pidana (buku kelima), Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Ul, Jakarta, hlm. 8.
24
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme): Op. Cit., hlm. 6.
25
Ibid., hlm. 15.
dan koordinasi, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai
berikut.26

a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan


masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka
bersama.
b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok
masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem
peradilan pidana); dan
c. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang
jelas terbagl, maka setlap instansi tidak terlalu memerhatikan
efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.

Selain itu, tujuan sistem peradilan pidana yang berkaitan


dengan pencegahan kejahatan adalah: (a) pra ajudikasi bertujuan
mencegah terjadinya korban kejahatan bagi masyarakat; (b)
ajudikasi bertujuan menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang
bersalah merasakan pemidanaan setimpal dengan perbuatannya;
dan (c) pasca ajudikasi bertujuan agar mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi perbuatannya. 27

Sistem peradilan pidana memiliki dua tujuan besar, yaitu untuk


melindungi masyarakat dan menegakkan hukum. Selain dua tujuan
tersebut, Sistem peradilan pidana memiliki beberapa fungsi penting,
antara lain:28

26
Mardjono Reksodipoetro. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan). Dikutip dari Sistem Peradilan Pidana Kontemporer 2010. Hlm 3-4.
27
Indriyanto Seno Adji, 2002, Pergeseran Hukum Pdana, Jakarta: Diadit Media Press, hlm.
238.
28
Robert D. Pursley, 1977, Introduction to Criminal Justice: Second Edition, Op. Cit., hlm. 7.
1) Mencegah kejahatan;
2) Menindak pelaku tindak pidana dengan memberikan
pengertian terhadap pelaku tindak pidana di mana pencegahan
tidak efektif;
3) Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahan dan
penindakan;
4) Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidak
bersalah terhadap orang yang ditahan;
5) Disposisi yang sesuai terhadap seseorag yang dinyatakan
bersalah;
6) Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh
masyarakat terhadap perilaku yang telah melanggar hukum
pidana.

Setelah berlakunya KUHAP Tahun 1981 maka mekanismhe


penyelesaian perkara pidana di lndonesia yang semula didasarkan
pada Het Herzienne Inlandsch Reglement (HIR) Stbld. Tahun 1941
No.44 telah dicabut. KUHAP Tahun 1981 memuat sepuluh asas
penting dalam penyelenggaraan peradilan pidana yaitu: 29

1) Perlakuan yang sama di muka umum;


2) Praduga tidak bersalah;
3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5) Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6) Peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan
sederhana;
7) Peradilan yang terbuka untuk umum;

29
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme Op. Cit., hlm. 41.
8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan
berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat
perintah (tertulis);
9) Hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya;
10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan
putusannya;

Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, dapat disimpulkan


bahwa KUHAP menganut due process of law (proses hukum yang
adil atau layak). Suatu proses hukum yang adil pada intinya adalah
hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya
tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi. Agar dapat
mencapai tujuan system peradilan pidana seperti yang diharapkan,
semua unsur dalam system harus bekerja secara terpadu. Bisa saja
masing-masing komponen secara sepihak masing-masing berfungsi
dengan baik, tapi tanpa kerja sama di antara semua komponen
tidak mungkin dapat mencapai hasil yang baik sesuai harapan.
Sistem peradilan pidana dapat bertungsi secara sistematis hanya
apabila masing-masing unsur memperhitungkan unsur-unsur
lainnya. Apabila tidak demikian namanya bukan system dan hanya
merupakan hubungan kerja biasa antara polisi dan jaksa atau jaksa
dengan hakim (pangadilan atau jaksa dengan pamasyarakatan).
Tanpa hubungan secara fungsional antara masing-masing unsur
system peradilan pidana akan sangan rentan terhadap perpecahan
dan tak akan bermanfaat.30

30
Alan Coffey, Edward Elderomso dan Walter Hartinger, 1982, An Introduction to the
Criminal Justice Sistem and Proces, New Jersey: Prentice Hall, hlm. 82.
Dalam sistem peradilan pidana, due process of law diartikan
sebagai suatu proses hukum yang baik, benar dan adil. Pengadilan
yang adil merupakan suatu usaha perlindungan paling dasar untuk
menjamin bahwa para individu tidak dihukum secara tidak adil.
Proses hukum yang demikian terjadi apabila aparat penegak hukum
yang terkait dengan proses tersebut, tidak hanya melaksanakan
tugasnya sesuai dengan aturan yang ada, tetapi juga memastikan
agar semua hak tersangka/terdakwa yang telah ditentukan
diterapkan. Proses hukum yang adil juga wajib
menginmplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip yang
melandasi proses hukum yang adil tersebut (meskipun asas atau
prinsip tersebut tidak merupakan peraturan hukum positif). 31

3. Komponen Sistem Peradilan Pidana

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, istilah criminal


justice system pertama kali dikemukakan di Amerika Serikat oleh
pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science.
Pada umumnya dalam criminal justice system terdapat beberapa
komponen didalamnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan.32 Suatu Criminal Justice System tidak
boleh ada anggapan bahwa masing-masing komponen bekerja
sendiri-sendiri dan tidak memerhatikan satu sama lain jika ingin
membentuk sistem peradilan pidana yang berintegritas (Integrated
criminal justice system).

Romli Atmasasmita menyebutkan bahwa dalam sistem


peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan yaitu dapat dilihat

31
Muladi, 1998, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Penerbit UNDIP hlm. 5.
32
Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem) Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionalisme. Op.Cit., hlm. 9.
dari sudut pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)
sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang
berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.
Pendekatan manajemen atau administratif yang memandang
keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi
manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang
bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan
struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem
yang digunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial yang
memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga
masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas
keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak
hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang
dipergunakan adalah sistem sosial. Ketiga bentuk pendekatan
tersebut sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Bahkan lebih jauh ketiga pendekatan tersebut saling
memengaruhi dalammenentukan tolak ukur keberhasilan dalam
menanggulangi kejahatan.33

Sistem peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau


Subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren koordinatif dan
integratif agar dapat mencapai efisiensi dan etektivitas yang optimal.
Komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui, baik dalam
pengetahuan mengenai kebijakan kriminal (criminal policy) maupun
dalam praktik penegakan hukum, terdiri atas unsur kepolisian,

33
Ibid., hlm. 7.
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. 34Berbeda
dengan di Indonesia, di Amerika Serikat sebagai tempat pertama
pencetus konsep criminal justice sistem, komponen awal dari
system peradilan pidana adalah terbatas pada Polisi, Peradilan dan
Lembaga Pemasyarakatan, karena komponen-komponen inilah
yang diharapkan dapat menanggulangi kejahatan yang timbul di
dalam tataran kehidupan masyarakat pada tingkat local
government.35

Pola kerja sistem peradilan pidana harus saling terintegrasi


antara subsistem yang ada, Mardjono Reksodiputro mengibaratkan
suatu bejana berhubungan. Segala permasalahan yang dihadapi
oleh subsistem sistem peradilan pidana dapat diselesaikan dengan
berbagai pendekatan institusi. Namun tidak saling intervensi
kewenangan diantara masing-masing subsistem, tetapi bertujuan
untuk mencapai apa yang dinamakan dengan itntegrated criminal
justice system.36

Dari beberapa pendapat ahli atas, komponen subsistem yang


menyusun sistem peradilan pidana terdiri dari:

a. Kepolisian

Sebagai salah satu subsistem dalam sistem peradilan


pidana, kepolislan memiliki tugas dan kewenangan dalam
menerima laporan dan pengaduan tindak pidana; melakukan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana; melakukan

34
Ibid., hlm. 36.
35
Indriyanto Seno Adji, 2002, Pergeseran Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 238.
36
Ibid., hlm. 241.
penyaringan terhadap perkara-perkara yang memenuhi syarat
untuk diajukan ke kejaksaan; melaporkan hasil penyidikan
kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak
yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 37Kepolisian
merupakan lembaga yang secara langsung berhadapan
dengan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Undang-
Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia memberikan definisi kepolisian sebagai hal
ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga kepolisian
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dari beberapa tugas dan kewenangan yang dimiliki,


tugas utama kepolisian adalah melakukan penyelidikan dan
penyidikan baik atas inisiatif sendiri maupun atas laporan
masyarakat. Hubungan kepolisian dengan kejaksaan dalam
kaitannya dengan sistem peradilan pidana adalah koordinasi
untuk proses pengawasan penyidikan untuk mengontrol
kepolisian dalam melakukan penyidikan, terlebih jika dilakukan
proses penahanan terhadap tersangka. Kejaksaan menerima
berkas penyidikan dari kepolisian untuk mengoreksi serta
memberikan saran jika penyidikan dianggap kurang lengkap.
Terhadap kekuranglengkapan tersebut, kepolisian memiliki
kewenangan untuk menghentikan penyidikan atau
menghentikan perkara dengan alasan-alasan sebagaimana
diatur pada Pasal l09 KUHAP yaitu alasan tidak cukup bukti
atau bukan merupakan tindak pidana. 38

37
Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan
Pidana di Beberapa Negara, Op.Cit., hlm. 147-148.
38
Ibid., hlm. 148-149.
Kewenangan kepolisian untuk melakukan penyelidikan
diatur dalam Pasal 1 ayat (4) KUHAP jo. Pasal 1 huruf a
KUHAP jo. Pasal 14 huruf g Undang-Undang Kepolisian.
Namun kepolisian bukanlah satu-satunya lembaga yang
memiliki kewwenangan untuk melakukan penyelidikan,
terdapat lembaga lainnya yang memiliki wewenang untuk
melakukan penyelidikan, diantaranya adalah KOMNAS HAM
dalam perkara pelanggaran HAM berat, dan KPK dalam
perkara korupsi. Selain penyelidikan, kepolisian juga memiliki
kewenangan secara umum melakukan penyidikan, di mana
dalam tindak pidana tertentu, kepolisian dapat dibantu oleh
penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) seperti pejabat bea dan
cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan sesuai dengan
wewenang yang diberikan oleh undang-undang. PPNS
kedudukannya di bawah koordinasi penyidik kepolisian dan di
bawah pengawasan penyidik kepolisian. PPNS melaporkan
kapada penyidik kepolisian tentang adanya suatu tindak
pidana yang sedang disidik, dan hasil penyidikan tersebut
diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik
kepolisian.39

Kepolisian sebagai aparat penegak hukum sesuai


dengan prinsip diferensiasi fungsional yang digariskan KUHAP
Kepada kepolisian diberikan peran berupa kekuasaan umum
menangani kriminal di seluruh wilayah negara. Dalam
melaksanakan kewenangan tersebut, polri melakukan kontrol
kriminal dalam bentuk investigasi, penangkapan, penahanan,

39
Ibid, hlm. 150-151.
penggeledahan, dan penyitaaan. 40 Kepolisian dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangan penyidikan harus
berpatokan pada ketentuan khusus yang diatur dalam hukum
acara pidana (KUHAP).41

Dalam melaksanakan fungsi penyelidikan dan


penyidikan, konstitusi memberi hak istimewa atau hak privilege
kepada kepolisian untuk memanggil, memeriksa, menangkap,
menahan, menggeledah, dan menyita terhadap tersangka dan
barang yang dianggap berkaitan dèngan tindak pidana. Akan
tetapi dalam melaksanakan hak dan kewenangan istimewa
tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip “the right of due
process”. Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas
landasan sesuai dengan hukum acara dan tidak boleh undue
process. Hak due process dalam melaksanakan tindakan
penegakan hukum, bersumber dari cita-cita negara hukum
yang menjunjung tinggi supremasi hukum yang menegaskan
perintah hukum bukan perintah orang (government of law and
not of men).42

Esensi dari prinsip due process adalah bahwa setiap


penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai
dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum.
Oleh karena itu, due process tidak membolehkan pelanggaran
terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna
menegakkan bagian hukum lain. Agar konsep dan esensi due
process dapat terjamin penegakan dan pelaksanaannya oleh
40
M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Op.Cit, hlm.91.
41
Ibid., hlm.95.
42
Ibid., hlm.94-95.
aparat penegak hukum harus mempedomani dan mengakui,
menghormati dan melindungi serta menjamin dengan baik
doktrin inkorporasi yang nmemuat berbagai hak. 43

b. Kejaksaan

Kejaksaan merupakan salah satu subsistem dalam


sistem peradilan pidana yang memiliki tugas pokok menyaring
kasus yang layak diajukan ke pengadilan; mempersiapkan
berkas penuntutan, melakukan penuntutan dan melaksanakan
putusan pengadilan.44Hubungan proses antara kejaksaan
dengan kepolisian dalam sistem peradilan pidana adalah
kejaksaaan akan bekerja setelah ada pelimpahan perkara dari
kepolisian. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan di
bidang penuntutan serta tugas lain yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang. Pasal 13 KUHAP menyebutkan
bahwa: "Jaksa merupakan penuntut umum yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan
dan pelaksanaan putusan hakim." Selain tercantum di dalam
KUHAP tugas dan wewenang kejaksaan dalam menjalankan
fungsinya sebagai Subsistem sistem peradilan pidana
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan.

Tugas utama kejaksaan dalam sistem peradilan pidana


adalah penuntutan. Kewenangan penuntutan adalah dominus
litis kejaksaan. Selain penuntutan tugas lain dart kejaksaan
adalah penyidikan dalam tindak pidana tertentu, yaitu tindak

43
Ibid., hlm.95.
44
YesmilAnwar dan Adang, 2009. Ssitem Peradilan Pidana: Konsep,
Komponen&Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Op. Cit,, hlm. 64.
pidana korupsi dan menjalankan eksekusi pengadilan untuk
segala bentuk putusan pemidanaan, termasuk pidana mati.
Untuk tindak pidana umum, kejaksaan memiliki fungsi
Koordinasi terhadap penyidikan. Kejaksaan menilai hasil
penyidikan kepolisian dan berhak menolak hasil penyidikan
tersebut dengan alasan-alasan tertentu dan memberikan
saran-saran untuk melakukan penyidikan lanjutan. Berkaitan
dengan penuntutan, kejaksaan memiliki hak untuk melakukan
penuntutan, menghentikan penuntutan sebelum masuk proses
persidangan serta mengesampingkan perkara tersebut karena
alasan kepentingan umum.45

c. Pengadilan

Pengadilan merupakan subsistem peradilan pidana


tempat berlangsungnya proses peradilan, di mana
kewenangan mengadakan pengadilan berada ditangan
lembaga kehakiman. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tugas
pengadilan adalah menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Tugas ini
meliputi pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah
Agung serta Mahkamah Konstitusi. Selain itu pengadilan
berkewajiban pula untuk membantu pencari keadilan serta
berkewajiban untuk mewujudkan suatu peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan sesuai dengan asas
peradilan yang ditetapkan oleh KUHAP.

45
Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Proses Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Op. Cit., hlm. 154-155.
Dalam kaitannya dengan proses dalam sistem peradilan
pidana, pengadilan tidak dapat berjalan tanpa adanya proses-
proses lain yang mendahului, yaitu penyidikan dan
penuntutan, karena dalam tahap ini suatu perkara akan dinilai
dari hasil yang dikumpulkan pada tahap penyidikan dan
penuntutan, apakah perkara tersebut melanggar hukum atau
tidak dan apakah pelaku perbuatan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Kedudukan peradilan
pidana mengalami pergeseran yang signifikan dalam konteks
penegakan hukum dan keadilan untuk mewujudkan supremasi
hukum. Seiring dengan semangat reformasi di bidang hukum,
fluktuasi apresiasi masyarakat terhadap keberadaan
pengadilan yang mandiri merupakan benteng terakhir dalam
penegakan hukum dan keadilan menjadi sebuah keharusan
yang tidak dapat diabaikan.46

d. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga pemasyarakatan merupakan lembaga terakhir


yang berperan dalam proses peradilan pidana. Sebagai
tahapan akhir dari proses peradilan pidana lembaga
pemasyarakatan mengemban harapan dan tujuan dari sistem
peradilan pidana yang di antaranya berusaha agar pelaku
tindak pidana tidak lagi mengulangi tindak pidana yang pernah
dilakukannya. Lembaga pemasyarakatan berfungsi untuk
menjalankan putusan pengadilan yang merupakan
pemenjaraan, memastikan perlindungan hak-hak terpidana,
melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana serta
mempersiapkan narapidana kembali ke masyarakat.
46
Ibid., hlm. 158.
Pemasyarakatan merupakan komponen terakhir dalam
system peradilan pidana maupun dalam proses peradilan
pidana. Sebagai sebuah tahapan pemidanaan yang terakhir,
sudah semestinya dapat memenuhi harapan dan tujuan dari
sistem peradilan pidana terpadu yang ditopang oleh pilar-pilar
proses pemidanaan dari mulai kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan. Harapan dan tujuan tersebut dapat berupa aspek
pembinaan terhadap penghuni lembaga pemasyarakatan.
Adanya perubahan system dalam pemasyarakatan, dari
penjara menjadi kemasyarakatan membawa perubahan yang
mendasar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 47

e. Advokat

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa


hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-
undang. Sedangkan jasa hukum adalah jasa yang diberikan
advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela
dan melakukan landasan hukum lain untuk kepentingan
hukum klien. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 Tentang Advokat, maka advokat juga menjadi
bagian (subsistem) dari system peradilan pidana, hal ini
ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) undang-undang tersebut,
yang menyebutkan bahwa: "advokat berstatus sebagai
penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum
dan peraturan perundang-undangan." Dengan demikian,
47
Ibid, hlm. 163.
advokat tidak dapat dilepaskan dari bagian subsistem sistem
peradilan pidana.

Jika keempat komponen penegak hukum yang terdiri dari


kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan memiliki kewenangan dan tugas dalam
tingkatan sistem peradilan pidana, advokat memiliki
kewenangan dan tugas di semua tingkatan dalam sistem
peradilan pidana, dengan satu tujuan memberikan bantuan
hukum kepada tersangka/terdakwa. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 69 KUHAP yang menyatakan bahwa "Penasihat
hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap
atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata
cara yang ditentukan dalam undang-undang. Advokat juga
memiliki kewenangan untuk melakukan pembelaan dan
menjaga hak-hak tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat
pemeriksaan dalam sistem peradilan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 70 ayat (1) KUHAP.48

Sebagaimana telah ditekankan sebelumnya, guna


mencapai tujuan dalam istem peradilan pidana, maka masing-
masing subsistem dalam sistem peradilan pidana tidak bekerja
sendiri-sendiri dan tidak memerhatikan satu sama lain jika
ingin dibangunnya sistem peradilan pidana yang efektif. Hal ini
sejalan dengan konsep integrated approach dari Hiroshi
Ishikawa yang mana meskipun komponen-komponen tersebut
berbeda fungsi dan berdiri sendiri (diversity) tetapi harus
mempunyai suatu tujuan dan persepsi yang sama sehingga
merupakan suatu kekuatan yang utuh (unity) yang saling
48
Ibid., hlm. 165.
mengikat. Sebagaimana dinyatakan sebagai berikut: "criminal
justice agencies including the police, prosecution, judiciary
institution should be compared with a chain of gears and each
of them should be precise and tenacious in maintaining good
49
combination with each other"

4. Asas-asas dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Landasan atau dasar daripada sistem peradilan pidana di


Indonesia secara umum yaitu Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya
disebut KUHAP).

Dalam KUHAP terdapat beberapa asas yang menjadi dasar


operasionalisasi sistem peradilan pidana sebagai berikut.

1) Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocemce)

49
Supriyanta, 2009, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Jurnal Wacana Hukum, Vol. VIlI,
No. 1 April 2009, hlm. 2.
Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
menurut penjelasan umum KUHAP butir ke 3 hurufc adalah
asas yang menyatakan bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde).
Asas praduga tak bersalah juga diatur dalam Pasal 8
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman. Lebih jauh, Yahya Harahap
menyatakan bahwa dengan asas ini, tersangka harus
ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat
martabat. Tersangka atau terdakwa harus dinilai sebagai
subjek, bukan objek. Perbuatan tindak pidana yang
dilakukannya yang menjadi objek pemeriksaan.
Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan
pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak
bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai
diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.50
Asas praduga tak bersalah merupakan bentuk penghormatan
hak asasi manusia terhadap tersangka atau terdakwa dan
sekaligus salah satu ciri dan prinsip utama dari due process
model.
Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam
hukum acara pidana. Ketentuan asas praduga tak bersalah
eksistensinya tampak pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasannya unmum angka 3
huruf c KUHAP yang menentukan bahwa: "Setiap orang yang
ditangkap, ditahan dan dituntut dan/atau dihadapkan di depan
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannva dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap".

SOM. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan


Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Op. Cit., hlm.
34.

5Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:


Sinar Grafika, hlm. 14.

2) Asas Oportunitas

Asas oportunitas secara global diartikan "the public


prosecutor may decide conditionally or unconditionally to make
prosecution to court or not" yang artinya penuntut umum boleh
menentukan untuk menuntut atau tidak menuntut ke pengadilan
dengan syarat atau tanpa syarat. Asas ini tidak terlepas dari
sistem peradilan pidana Indonesia yang menempatkan jaksa
sebagai dominus litis suatu penuntutan perkara pidana, karena
asas ini juga dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara di luar
pengadilan. Asas ini termaktub dalam Pasal 14 huruf h KUHAP
Pada ketentuan tersebut, asas oportunitas sangat diartikan
sangat sempit karena di dalam pasal ini penuntut umum
diberikan wewenang untuk menutup perkara demi kepentingan
umum tanpa menjelaskan bagaimana dan apa saja yang bisa
dikategorikan kedalam kepentingan umum tersebut, ditambah
lagi di bagian penjelasan umum Pasal 14 tidak ada pengertian
yang lebih detil lagi mengenai kepentingan umum.

3) Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan


Ketentuan asas cepat, sederhana dan biaya ringan
terdapat pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
"Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan." Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No.
48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan
dilakukan dengan efisien dan efektit, kemudian yang dimaksud
dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dipikul
oleh rakyat, dengan tetap tidak mengorbankan ketelitian dalam
mencari kebenaran dan keadilan.

4) Asas Unus Testis Nullus Testis;

Asas ini menyatakan bahwa dengan hanya ada satu


saksi dalam suatu perkara pidana, maka saksi tersebut
bukanlah saksi dalam artian tidak dapat dianggap sebagai alat
bukti saksi, minimal harus terdapat dua saksi yang
keterangannya saling mendukung dan tidak saling bertolak
belakang.

52Mazmur Septian Rumapea, dkk, Eksistensi Asas Oportunitas dalam


Penuntutan pada Masa yang Akan Datang, Jurnal Kertha Semaya,
Vol. 01, No. 02, Februari 2013.

5) Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum;

Pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara terbuka


untuk umum, dalam hal ini bertujuan agar adanya transparasi
atau keterbukaan dalam proses peradilan sehingga masyarakat
dapat mengetahui dan dapat memantau jalannya suatu perkara.
Namun ada jenis perkara pidana yang dikecualikan dari asas
ini, yaitu dalam jenis perkara pidana perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak, maka pemeriksaan
sidang dilakukan secara tertutup sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang berbunyi sebagai
berikut: ayat (3) yaitu: untuk keperluan pemeriksaan hakim
ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk
umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau
terdakwanya anak-anak; serta pada ayat (4), yaitu tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. Pada penjelasan
ayat (3) dinyatakan cukup jelas, dan untuk ayat (4) lebih
dipertegas lagi, yaitu: Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di
atas diperkuat berlakunya, terbukti dengan timbulnya akibat
hukum jika asas tersebut tidak dipenuhi.

6) Asas Equality Before The Law

Asas ini menyatakan bahwa semua orang dianggap


sama dan akan mendapatkan perlakuan yang sama di depan
hukum tanpa ada keistimewaan berdasarkan apa yang di
bawahnya baik ras, suku, ataupun agama. Pengaturan
mengenai asas tersebut, terdapat pada Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 serta Pasal 26 International
Convenants Rights" yang berbunyi: all person are equal before
the law and are entitled without any discrimination to the equal
protection of the law. In thisrespect, the law shall prohibit any
discrimination and guarante to all persons equal and effective
protection againts discrimination on any ground such as race,
colour, sex, language, religion, political, or other opinion,
national or social origin, property, birth or other status.

Dalam hukum acara pidana tidak mengenal forum


priviligiatum atau perlakuan yang bersifat khusus, karena
negara Indonesia sebagai Negara hukum mengakui bahwa
manusia sama di depan hukum (equality before the law).
Sebagaimana ditentukan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan
ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasan
umum angka 5 huruf a KUHAP yang menyatakan bahwa
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang, dan tidak seorangpun dapat dihadapkan di
depan pengadilan selain dari pada yang ditentukan oleh
undang-undang, serta tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana,
kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah
menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

53 Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.


Cit., hlm. 20

Selain asas-asas yang tersurat dalam KUHAP terdapat pula


beberapa asas yang secara tersirat dalam KUHAP yaitu:55

1) Asas oportunitas dalam penuntutan, artinya meskipun terdapat


bukti cukup untuk mendakwa seorang melanggar suatu
peraturan hukum pidana, namun Penuntut Umum mempunyai
kekuasaan untuk mengenyampingkan perkara yang sudah
terang pembuktiannya dengan tujuan kepentingan negara atau
umum (mendeponeer);
2) Asas kejaksaan sebagai penuntut umum dan polisi sebagai
penyidik, artinya dalam perkara pidana yang penuntutannya
tidak tergantung pada/dari kehendak perseorangan, bahwa
yang memajukan perkara ke muka hakim pidana adalah pejabat
lain dari pejabat penyidik;
3) Asas praperadilan, artinya pemeriksaan dan putusan tentang
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, penghentian penuntutan, ganti rugi atau rehabilitasi
bagi seorang yang berperkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan;
4) Asas pemeriksaan secara langsung, artinya dalam pemeriksaan
perkara pidana, Hakim pidana seberapa boleh harus boleh
berhubungan langsung dengan terdakwa, yang berarti Hakim
harus mendengar sendiri terdakwa, tidak cukup dengan adanya
surat-surat pencatatan yang memuat keterangan-keterangan
terdakwa di muka penyidik. Asas ini berlaku bagi saksi-saksi
dan saksi ahli dan dari siapa akan diperoleh keterangan-
keterangan peristiwa yang memberikan gambaran apa yang
benar-benar terjadi;

54Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu


Tinjauan Khusus Terhadap: Surat Dakwaan, Eksepsi, dan
Putusan Peradilan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 17.

55Andi Sofyan, 2013. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar.


Yogyakarta: Rangkang Education, hlm. 17.
5) Asas personalitas aktif dan asas personalitas passif, artinya
dimungkinkan tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah
Republik Indonesia dapat diadili menurut hukum pidana
Republik Indonesia.

Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya melakukan


pengujian undang-undang melalui putusan nomor
132/PUU-XII/2015, telah memberikan pandangannya terkait dengan
asas legalitas yang merupakan asas penting dalam sistem peradilan
pidana. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa secara historis
dapat dikatakan telah menjadi pengetahuan umum, khususnya
dikalangan ahli hukum bahwa pertama kali asas legalitas dimuat
dalam Konstitusi Amerika Declaration of Independence 1776 dan
selanjutnya Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh
konstitusi Amerika Serikat tahun 1783 yang dicantumkan dalam
Article I Section 9 yang berbunyi: "No bill of attainder or ex post
pacto law shall be passed". Pada tahun 1789 asas tersebut dapat
diwujudkan dalam Pasal 8 Declararation de droits de l'homme et du
citoyen yang berbunyi, "nul ne peut etre puni qu'en vertu d'une loi
etabile et promulguee anterieurement au delit et legalement
appliquee".

Dalam perkembangan selanjutnya asas tersebut oleh Napoleon


Boneparte dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis yang
berbunyi, "Nulle contravention, null delit, nul crime, ne peuvent etre
punils de peines qui n etaient pas prononcees par laloi evant qu'ils
fussent commis", asas tersebut kemudian oleh Belanda dimasukkan
dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht yang juga dimuat
dalam Pasal 1 ayat ()) KUHP Bahwa terhadap asas legalitas para
pakar hukum pidana memiliki pandangan yang sama mengenai
maksud dari asas legalitas dalam Pasal I ayat (1) KUHP yaitu "Tiada
perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan
pidana menurut undang-undang yang sudan ada terlebih dahulu'.

Sehubungan dengan asas legalitas tersebut, Machteld Boot


menyatakan paling tidak ada empat syarat, yaitu: (i) nullum Crimen,
noela poena sine lege praevia (tidak ada perbuatan pidana, tidak
ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya); (ii) nullum crimen,
noela poena sine lege scripta (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada
pidana tanpa undang-undang tertulis); (iii) nullum crimen, noela
poena sine lege certa (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa undang-undang yang jelas); dan (iv) nulum crimen, noela
poena sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada
pidana tanpa undang-undang yang ketat).

Selain pada putusan tersebut, pada perkara lainnya terkait


dengan asas non retro active yakni dalam putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 013/PUU-1/2003 yang menguji terkait dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 yang semula Perpu No. 2
Tahun 2002 yang memberlakukan surut Undang-Undang No. 15
Tahun 2003 yang semula Perpu No. 1 Tahun 2002, Mahkamah
Konstitusi memberikan pandangan konstitusionalitasnya. Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan mengenai asas pemberlakuan
surut suatu undang undang, yakni suatu undang-undang dikatakan
berlaku surut jika keberlakuan efektifnya dinyatakan mundur ke
belakang, yang berarti mengatur suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang sebelum undang-undang itu diundangkan.57

Menyikapi perdebatan mengenai penggunaan asas retroaktif


dalam hukum pidana, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
pada dasarnya hukum itu harus berlaku ke depan (prospectively).
Adalah tidak fair jika seseorang dihukum karena perbuatan yang
pada saat dilakukannya merupakan perbuatan yang sah. Dan tidak
fair pula jika pada diri seseorang diberlakukan suatu ketentuan
hukum yang lebih berat terhadap suatu perbuatan yang ketika
dilakukannya diancam oleh ketentuan hukum yang lebih ringan, baik
yang berkenaan dengan hukum acara (procedural), maupun hukum
material (substance). Bahwa asas non-retroaktif lebih mengacu
kepada filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive),
padahal asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari sistem
pemidanaan di lndonesia yang lebih merujuk kepada asas preventif
dan edukatit.

Lebih lanjut Mlahkamah Konstitusi menyatakan bahwa asas


non-retroaktif membuka peluang bagi rezim penguasa tertentu untuk
menggunakan hukum sebagai sarana balas dendam (revenge)
terhadap lawan-lawan politik sebelumnya. Balas dendam semacam
ini tidak boleh terjadi, oleh karena itu harus dihindari pemberian
peluang sekecil apa pun yang dapat memberikan kesempatan ke
arah itu. Upaya penegakan hukum (rule of law) termasuk penegakan
peradilan yang fair memerlukan ketaatan terhadap asas praduga tak
bersalah (presumption of innocence), persamaan kesempatan bagi
pihak yang berperkara, pengucapan putusan secara terbuka untuk
umum, asas ne bis in idem, pemberlakuan hukum yang lebih ringan
bagi perbuatan yang tengan berproses (pending cases), dan
larangan pemberlakuan asas retroaktif, 58

56Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 132/PUU-XIII/2015, hlm. 47-


48.
57Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003, hlm. 35.

Sebelumnya, pelarangan diterapkannya asas retroaktif dalam


hukum Indonesia telah dianut sejak waktu yang sangat Panjang,
seperti terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving
voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23 berbunyi: "De
wet verbind alleen voor het toekomende en heeft geene terug
werkende kracht"; Pasall ayat (1) Wetboek van Straftrecht berbunyi:
"geen feit is straafbaar dan uit kracht van eene daar aan voor
afgegane wettelijk straafbepaling (Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada sebelumnya) "; Pasal 281 ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun".

5. Proses Peradilan Pidana di Indonesia

Sistem peradilan pidana dimanifestasikan pada proses


peradilan dari awal sampai akhir yaitu hingga adanya putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap (in cracht van gewijsde).
KUHAP membagi proses peradilan pidana menjadi + (empat) tahap,
yakni tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap peradilan, dan
tahap pelaksanaan pidana.

Penyelenggaraan peradilan pidana adalah sebuah kebijakan


yakni kebijakan perlindungan masyarakat (social defence policy).
Kebijakan melindungi masyarakat diarahkan kepada perlindungan
dari berbagai gangguan terutama gangguan keamanan dan
keselamatan jiwa harta dan kehormatan. Sebagai perlindungan
masyarakat, maka penyelenggaraan peradilan pidana adalah juga
sebagai usaha penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
sarana hukum pidana/penal.

Sebenarnya penanggulangan kejahatan dengan


menggunakan hukum pidana bukanlah satu-satunya cara,
melainkan dapat pula dengan menggunakat cara atau kebijakan lain
yang sifatnya non-penal misalnya melalui jalur pendidikan,
penyantunan sosial peningkatan taraf kesehatan masyarakat dan
lain-lainnya. Adanya jalur non-penal ini karena dianggap bahwa
penggunaan hukum pidana atau penegakan hukum pidana bukan
satu-satunya cara yang ampuh dalam menanggulangi kejahatan.
Hal ini wajar karena pada hakikatnya kejahatan itu merupakan
masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak dapat diatasi
semata-mata dengan hukum pidana.l

Guna menciptakan efektivitas semua komponen sistem harus


bekerja secara integral dalam arti suatu subsistem bekerja harus
memerhatikan pula subsistem yang lainnya secara keseluruhan.
Atau dapat dikemukakan bahwa sistem tidak akan bekerja secara
sistematik apabila hubungan antara polisi dengan kejaksaan, antara
polisi dengan pengadilan, kejaksaan dengan lembaga
pemasyarakatan dengan hukum itu sendiri. Ketiadaan hubungan
fungsional antara subsistem ini akan menjadikan kerawanan dalam
sistem sehingga terjadinya fragmentasi dan inefektivitas.52
Roeslan Saleh, 1983, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan
Manust, Jakarta: Ghalia, hlm. 15.

Anda mungkin juga menyukai