14
Sebagaimana Barda Nawai Arif yang berpendapat bahwa
system peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem
penegakan hukum pidana. Sistem penegalkan hukum pada dasarnya
merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum.
Kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum ini dapat diidentikan
dengan istilah kekuasaan kehakiman. Karenanya sistem peradilan
pidana pada hakikatnya juga identik dengan sistem kekuasaan
kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasi/diwujudkan
dalam 4 (empat) subsistem, yaitu: (1) kekuasaan penyidikan oleh
lembaga penyidik; (2) kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut
umum; (3) kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan
peradilan; dan (4) kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat
pelaksana eksekusi. Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan
sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut
dengan sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal
justice system.
13
Mardjono Reksodipoetro, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan", dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Op. Cit.
14
Moh. Hatta, 2008, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif Sistem Peradilan Pidana,
Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan mplementas) Kapita Selekta, Yogyakarta: Galangpress, hlm. 47-
48
Sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan penjelmaan
dari criminal justice system, yang dikembangkan oleh praktisi penegak
hukum di Amerika Serikat. Di mana criminal justice system menurut
black's law dictionary berarti:15
15
Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Prococ Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka Yustisia. hlm 10.
2) Struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri
dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan.
3) Kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan
diberdayakan. Dengan kata lain kultur adalah merupakan
penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.
Fungsi ini dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah atau badan lain
berdasar delegated legislation. Yang diharapkan, hukum yang diatur
dalam undang-undang tidak kaku, sedapat mungkin fleksibel yang
bersifat cukup akomodatif terhadap kondisi-kondisi perubahan
sosial.
Tujuan objektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial,
yakni penegakan hukum secara aktual yang meliputi tindakann-
penahanan, persidangan-penyelidikan-penyidikan, penangkap
pengadilan, dan pemidanaan-pemenjaraan guna memperbaiki
18
M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 90-91.
tingkah laku individu terpidana dan efek preventif. Fungsi
penegakan hukum diharapkan mencegah orang melakukan tindak
pidana.
26
Mardjono Reksodipoetro. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan). Dikutip dari Sistem Peradilan Pidana Kontemporer 2010. Hlm 3-4.
27
Indriyanto Seno Adji, 2002, Pergeseran Hukum Pdana, Jakarta: Diadit Media Press, hlm.
238.
28
Robert D. Pursley, 1977, Introduction to Criminal Justice: Second Edition, Op. Cit., hlm. 7.
1) Mencegah kejahatan;
2) Menindak pelaku tindak pidana dengan memberikan
pengertian terhadap pelaku tindak pidana di mana pencegahan
tidak efektif;
3) Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahan dan
penindakan;
4) Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidak
bersalah terhadap orang yang ditahan;
5) Disposisi yang sesuai terhadap seseorag yang dinyatakan
bersalah;
6) Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh
masyarakat terhadap perilaku yang telah melanggar hukum
pidana.
29
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme Op. Cit., hlm. 41.
8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan
berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat
perintah (tertulis);
9) Hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya;
10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan
putusannya;
30
Alan Coffey, Edward Elderomso dan Walter Hartinger, 1982, An Introduction to the
Criminal Justice Sistem and Proces, New Jersey: Prentice Hall, hlm. 82.
Dalam sistem peradilan pidana, due process of law diartikan
sebagai suatu proses hukum yang baik, benar dan adil. Pengadilan
yang adil merupakan suatu usaha perlindungan paling dasar untuk
menjamin bahwa para individu tidak dihukum secara tidak adil.
Proses hukum yang demikian terjadi apabila aparat penegak hukum
yang terkait dengan proses tersebut, tidak hanya melaksanakan
tugasnya sesuai dengan aturan yang ada, tetapi juga memastikan
agar semua hak tersangka/terdakwa yang telah ditentukan
diterapkan. Proses hukum yang adil juga wajib
menginmplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip yang
melandasi proses hukum yang adil tersebut (meskipun asas atau
prinsip tersebut tidak merupakan peraturan hukum positif). 31
31
Muladi, 1998, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Penerbit UNDIP hlm. 5.
32
Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem) Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionalisme. Op.Cit., hlm. 9.
dari sudut pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)
sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang
berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.
Pendekatan manajemen atau administratif yang memandang
keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi
manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang
bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan
struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem
yang digunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial yang
memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga
masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas
keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak
hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang
dipergunakan adalah sistem sosial. Ketiga bentuk pendekatan
tersebut sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Bahkan lebih jauh ketiga pendekatan tersebut saling
memengaruhi dalammenentukan tolak ukur keberhasilan dalam
menanggulangi kejahatan.33
33
Ibid., hlm. 7.
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. 34Berbeda
dengan di Indonesia, di Amerika Serikat sebagai tempat pertama
pencetus konsep criminal justice sistem, komponen awal dari
system peradilan pidana adalah terbatas pada Polisi, Peradilan dan
Lembaga Pemasyarakatan, karena komponen-komponen inilah
yang diharapkan dapat menanggulangi kejahatan yang timbul di
dalam tataran kehidupan masyarakat pada tingkat local
government.35
a. Kepolisian
34
Ibid., hlm. 36.
35
Indriyanto Seno Adji, 2002, Pergeseran Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 238.
36
Ibid., hlm. 241.
penyaringan terhadap perkara-perkara yang memenuhi syarat
untuk diajukan ke kejaksaan; melaporkan hasil penyidikan
kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak
yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 37Kepolisian
merupakan lembaga yang secara langsung berhadapan
dengan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Undang-
Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia memberikan definisi kepolisian sebagai hal
ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga kepolisian
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
37
Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan
Pidana di Beberapa Negara, Op.Cit., hlm. 147-148.
38
Ibid., hlm. 148-149.
Kewenangan kepolisian untuk melakukan penyelidikan
diatur dalam Pasal 1 ayat (4) KUHAP jo. Pasal 1 huruf a
KUHAP jo. Pasal 14 huruf g Undang-Undang Kepolisian.
Namun kepolisian bukanlah satu-satunya lembaga yang
memiliki kewwenangan untuk melakukan penyelidikan,
terdapat lembaga lainnya yang memiliki wewenang untuk
melakukan penyelidikan, diantaranya adalah KOMNAS HAM
dalam perkara pelanggaran HAM berat, dan KPK dalam
perkara korupsi. Selain penyelidikan, kepolisian juga memiliki
kewenangan secara umum melakukan penyidikan, di mana
dalam tindak pidana tertentu, kepolisian dapat dibantu oleh
penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) seperti pejabat bea dan
cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan sesuai dengan
wewenang yang diberikan oleh undang-undang. PPNS
kedudukannya di bawah koordinasi penyidik kepolisian dan di
bawah pengawasan penyidik kepolisian. PPNS melaporkan
kapada penyidik kepolisian tentang adanya suatu tindak
pidana yang sedang disidik, dan hasil penyidikan tersebut
diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik
kepolisian.39
39
Ibid, hlm. 150-151.
penggeledahan, dan penyitaaan. 40 Kepolisian dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangan penyidikan harus
berpatokan pada ketentuan khusus yang diatur dalam hukum
acara pidana (KUHAP).41
b. Kejaksaan
43
Ibid., hlm.95.
44
YesmilAnwar dan Adang, 2009. Ssitem Peradilan Pidana: Konsep,
Komponen&Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Op. Cit,, hlm. 64.
pidana korupsi dan menjalankan eksekusi pengadilan untuk
segala bentuk putusan pemidanaan, termasuk pidana mati.
Untuk tindak pidana umum, kejaksaan memiliki fungsi
Koordinasi terhadap penyidikan. Kejaksaan menilai hasil
penyidikan kepolisian dan berhak menolak hasil penyidikan
tersebut dengan alasan-alasan tertentu dan memberikan
saran-saran untuk melakukan penyidikan lanjutan. Berkaitan
dengan penuntutan, kejaksaan memiliki hak untuk melakukan
penuntutan, menghentikan penuntutan sebelum masuk proses
persidangan serta mengesampingkan perkara tersebut karena
alasan kepentingan umum.45
c. Pengadilan
45
Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Proses Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Op. Cit., hlm. 154-155.
Dalam kaitannya dengan proses dalam sistem peradilan
pidana, pengadilan tidak dapat berjalan tanpa adanya proses-
proses lain yang mendahului, yaitu penyidikan dan
penuntutan, karena dalam tahap ini suatu perkara akan dinilai
dari hasil yang dikumpulkan pada tahap penyidikan dan
penuntutan, apakah perkara tersebut melanggar hukum atau
tidak dan apakah pelaku perbuatan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Kedudukan peradilan
pidana mengalami pergeseran yang signifikan dalam konteks
penegakan hukum dan keadilan untuk mewujudkan supremasi
hukum. Seiring dengan semangat reformasi di bidang hukum,
fluktuasi apresiasi masyarakat terhadap keberadaan
pengadilan yang mandiri merupakan benteng terakhir dalam
penegakan hukum dan keadilan menjadi sebuah keharusan
yang tidak dapat diabaikan.46
d. Lembaga Pemasyarakatan
e. Advokat
49
Supriyanta, 2009, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Jurnal Wacana Hukum, Vol. VIlI,
No. 1 April 2009, hlm. 2.
Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
menurut penjelasan umum KUHAP butir ke 3 hurufc adalah
asas yang menyatakan bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde).
Asas praduga tak bersalah juga diatur dalam Pasal 8
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman. Lebih jauh, Yahya Harahap
menyatakan bahwa dengan asas ini, tersangka harus
ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat
martabat. Tersangka atau terdakwa harus dinilai sebagai
subjek, bukan objek. Perbuatan tindak pidana yang
dilakukannya yang menjadi objek pemeriksaan.
Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan
pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak
bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai
diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.50
Asas praduga tak bersalah merupakan bentuk penghormatan
hak asasi manusia terhadap tersangka atau terdakwa dan
sekaligus salah satu ciri dan prinsip utama dari due process
model.
Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam
hukum acara pidana. Ketentuan asas praduga tak bersalah
eksistensinya tampak pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasannya unmum angka 3
huruf c KUHAP yang menentukan bahwa: "Setiap orang yang
ditangkap, ditahan dan dituntut dan/atau dihadapkan di depan
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannva dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap".
2) Asas Oportunitas