Anda di halaman 1dari 6

MID TEST

SOSIOLOGI HUKUM

Dosen Penanggungjawab : Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H.

Nama Mahasiswa : Andi Ahmad Nur Agsa

NIM : B012211042

1. Jelaskan apa yang anda ketahui tentang Kajian Empiris Hukum, serta bandingkan
dengan Kajian Normatif dan Filsufis, dengan memberikan contoh masing-masing,
serta apa yang menjadi objek Kajian Sosiologi Hukum?

Jawab:

Kajian Empiris Hukum memfokuskan kajiannya terhadap bagaimana cara


memandang  hukum sebagai  seperangkat realitas (reality), tindakan (action) dan
perilaku (behavior).

Dari pendekatan Legal Empirical ini masih dibedakan lagi ke dalam  kajian - kajian
sebagai berikut :
a. Sosiologi Hukum, pendekatan ini masih dibedakan ke dalam :
 Sociology Of Law yang lahir di eropa barat,
 Sociological Jurisprudence yang lahir di Amerika Serikat.
b. Antropologi Hukum,
c. Psikologi Hukum yang masih dibedakan ke dalam :
 Psychology in Law yang mengacu pada suatu aplikasi spesifik dari
psikologi dalam hukum.
 Psychology and Law yang digunakan  untuk riset psikologi kepada
terdakwa, polisi, pengacara, jaksa dan hakim.
 Psychology of Law yang digunakan untuk merujuk kepada riset psikologis
kepada isu - isu seperti kenapa orang menaati atau tidak menaati hukum
tertentu, perkembangan moral dan persepsi serta sikap publik kepada 
berbagai sanksi pidana.
 Forensic Psychology merupakan penggunaan psikologi dalam proses
pengadilan.
d. Hukum dan Ekonomi (Law and Economic). Mari kita bedakan pendekatan ini
dengan kajian hukum ekonomi yang merupakan salah satu bagian dari pendekatan
Jurisprudential atau kajian normatif hukum. 
e. Hukum dan Pembangunan (Law and Development). Tokoh utamanya adalah
Robert B. Seidman
f. Hukum dan Struktur Social (Law and Social Structure).
g. Kajian Hukum Kritis (The Critical Legal).
Sedangkan, dalam kajian hukum normatif memfokuskan kajiannya terhadap
bagaimana memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang mencakup
seperangkat asas hukum, norma - norma hukum, dan aturan - aturan hukum (tertulis
maupun tidak tertulis). Sebagai Contoh dan perbandingan dengan kajian sosiologis:
Dari asas hukum " pengakuan terhadap hak milik individu" dapat melahirkan norma
hukum antara lain yakni : tidak boleh mengambil hak milik orang lain, tidak boleh
merusak hak milik orang lain, dan sebagainya. Dari norma hukum tidak boleh
mengambil hak milik orang lain, muncullah berbagai aturan hukum di dalam
perundang - undangan. Contohnya Pasal 362 KUHP tentang ancaman pidana bagi
pencurian, Pasal 372 KUHP tentang ancaman pidana bagi penggelapan, dari pasal -
pasal  yang ada di dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan lain – lain, dalam perbandingannya kajian normatif akan melihat
langsung orang yang menuruti aturan itu benar dan orang yang melanggar adalah
salah sedangkan kajian sosiologis melihat alasan dan tidak menjustifikasi hukum itu
sendiri melainkan mencari tahu alasan mengapa aturan itu harus diikuti dan mengapa
ada yang melanggar atau tidak menuruti dan lebih kearah mendeskripsikanhal hal
yang menjadi kajian sosiologis.
Dalam kajian filsuf atau filosofis memfokuskan kajiannya terhadap bagaimana cara
memandang hukum sebagai seperangkat ide yang abstrak dan ide - ide moral antara
lain kajian tentang moral keadilan. Contohnya hukum pidana (Criminal Law) dapat
kita kaji dengan pendekatan Jurisprudential, empiris dan filosofis. Oleh sebab itu,
dengan kita mempelajari  hukum pidana, maka dapat menimbulkan kajian, antara lain:
 Ilmu hukum pidana Normatif
 Sosiologi Hukum pidana
 Antropoligi Hukum pidana
 Psikologi Hukum pidana dan,
 Filsafat Hukum Pidana.

Sebagai contoh, dalam suatu proses penangkapan, kenapa hal itu terjadi? Apakah kita
memilih untuk menjelakan bahwa suatu penangkapan tertentu sebagai bentuk dari
putusan oleh seorang personel polisis secara individual (yang berarti menggunakan
kajian psikologi hukum) atau kemungkinan penangkapan itu muncul dari harapan
yang ada tentang bagaimana peran ideal seorang personel polisi (yang artinya
menggunakan kajian sosiologi hukum).

2. Jelaskan Teori Perubahan Hukum dan Perubahan Masyarakat yang dikemukakan oleh
Max Webber, bandingkan dengan Teori Emile Durkheim?
Jawab:
Menurut Max Weber, perkembangan hukum materiil dan hukum acara mengikuti
tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan
pada kharisma sampai pada tahap termaju dimana hukum disusun secara sistematis
serta dijalankan oleh orang yang telah mendapatkan pendidikan dan latihan dibidang
hukum, jadi perubahan yang terjadi pada sistem sosial dari masyarakat yang
mendukung sistem hukum yang bersangkutan. Sedangkan, menurut Emile Durkheim
yang pada pokoknya menyatakan, bahwa hukum merupakan refleksi dari solidaritas
sosial dalam masyarakat, menurutnya didalam masyarakat terdapat dua macam
solidaritas yaitu, bersifat mekanis yang terdapat pada masyarakat yang sederhana dan
homogen,dimana ikatan dari warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi
serta tujuan yang sama, serta yang bersifat organis. Dalam teori-teori mengenai
perubahan hukum dan perubahan masyarakat yang telah dikemukakan oleh kedua ahli
tersebut dapat diketahui bahwa perubahan masyarakat dan perubahan hukum saling
berkaitan, menurut webber perubahan yang terjadi pada system sosial dari sebuah
kelompok masyarakatlah yang mendorong adanya perubahan hukum dari bentuk
sederhana sampai pada tahap yang maju sedangkan menurut emile terbentuknya
sebuah hukum merupakan refleksi dari masyarakat itu sendiri, jika masyarakat itu
sederhana maka hukum yang dibuatpun sederhana begitu pula jika masyarkat tersebut
maju maka hukum yang dibuatpun akan mengikuti.

3. Roscoe Pound, menyatakan bahwa fungsi hukum adalah sebagai "A Tool Of Social
Engeneering", bandingkan dengan Teori Mochtar Kusuma Atmadja Tentang Teori
Hukum dan Pembangunan?
Jawab:
Salah satu fungsi hukum menurut Roscoe Pound adalah sebagai "A Tool Of Social
Engeneering", Mochtar Kusumaatmadja mengolah masukan tersebut dan
menyesuaikannya pada kondisi Indonesia, sehingga mengubah pengertian hukum
sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangunan
masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa
ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang
diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan
dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan
dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan
hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada
itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”/”law as a tool of social
engeneering” atau “sarana pembangunan” dengan pokok-pokok pikiran sebagai
berikut:
Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan
kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau
dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum
sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau
peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana
pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang
dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan.

Dimensi Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H.,
LL.M. merupakan salah satu Teori Hukum yang lahir dari kondisi masyarakat
Indonesia yang pluralistik berdasarkan Pancasila. Pada dasarnya Teori Hukum
Pembangunan ini lahir, tumbuh dan berkembang serta diciptakan oleh orang
Indonesia sehingga relatif sesuai apabila diterapkan pada masyarakat Indonesia. Teori
Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.
menjadikan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat bukan sebagai alat
pembaharuan masyarakat atau sebagai law as a tool of social engeenering.

4. Teori Hukum Progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, berikan


argumentasi anda  terhadap penerapan Hukum Progresif tersebut di Indonesia?
Jawab:
Satjipto Rahardjo tidak menjelaskan bagaimana Hukum Progresif dapat diterapkan
dalam sistem hukum di Indonesia. Menurutnya, Hukum Progresif merupakan bagian
dari sistem atau sub sistem hukum nasional maka yang merupakan cita berhukum
maka untuk keberhasilan dalam penerapannya tidak dapat melepaskan diri dari sistem
hukum secara keseluruhan.
Hukum Progresif dapat diterapkan di Indonesia. Hukum Progresif dilahirkan pada
masa konfigurasi politik Reformasi. Hal ini terbukti diantaranya dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan angin segar kepada para pencari
keadilan, seperti pada pengakuan hak perdata atas anak dari perkawinan yang tidak
didaftarkan terhadap ayah biologisnya, yaitu pada kasus Machicha Mochtar. Putusan
yang melawan arus, melawan kemapanan, melawan status quo ini adalah demi
memberikan rasa keadilan, kebahagiaan, perlindungan anak dan sekaligus
menempatkan harkat dan martabat kaum perempuan pada tempat yang terhormat dan
bukan sekedar “obyek” kaum laki-laki.
Terkadang hukum progresif seperti bilah bermata dua dikarenakan sesuatu yang
dianggap adil oleh hakim didalam persidangan belum tentu dianggap adil pula oleh
masyarakat luar seperti contoh kasus di Sumatera mengenai seorang pekerja seks
komersial yang telah melakukan pekerjaannya namun tidak dibayar oleh seorang
hidung belang yang telah melakukan perjanjian dengannya, yang mana untuk
memberikan keadilan untuk korban dan memberikan efek jera terhadap si pelaku,
hakim menerobos undang-undang dan memberikan anggapan bahwa alat kelamin
wanita tersebut adalah “Barang” atau sesuatu yang memiliki nilai, namun putusan
tersebut dianggap sebagai pelecehan terhadap wanita bagi masyarakat sehingga
putusan tersebut ditolak. Maka dari itu, benar penerapan hukum progresif sangat lah
diperlukan namun perlunya ketelitian bagi penegak hukum untuk memberikan sesuatu
yang dianggap adil menurutnya dan dianggap adil pula untuk seluruh masyarakat dan
korban.

5. Hukum Sebagai Cerminan Masyarakat  ( Law is a mirror society) yang dikemukakan


oleh Brian  Z Tamanaha, berikan komentar anda terhadap teori tersebut?

Jawab:
Menurut Tamanaha hukum merupakan pantulan dari masyarakatnya. Hukum
merupakan refleksi atas cita, kehendak dan keinginan dari masyarakat. Cita, kehendak
dan keinginan masyarakat itulah yang seringkali telah melembaga dalam hukum yang
hidup dalam masyarakat. Karena itu, hukum juga harus berbasis pada nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakatnya.
Teori tersebut menjelaskan bahwa hukum selalu terbatas untuk komunitas tertantu.
Sebab hukum merupakan pencerminan dari gagasan, tradisi, nilai-nilai, dan tujuan
masyarakatnya. Oleh karena itu, transplantasi/ pencangkokan hukum dari masyarakat
lain sangat tidak memungkinkan, karena dapat menjadi kemerosotan hukum seperti
yang terjadi saat Afrika merdeka yang ingin mengadaptasi hukum hukum Inggris
dikarenakan masyarakat Afrika memiliki gagasan, tradisi, nilai-nilai dan tujuan yang
berbeda serta adanya faktor kultur hukumnya, faktor ekonomi dan faktor manusia itu
sendiri sehingga Afrika dikatakan gagal mengadopsi hukum Inggris. Ada baiknya jika
ingin mengadopsi hukum dari masyarakat lain tidak mencangkok mentah-mentah
seluruh isi hukum yang dimiliki masyarakat lain tersebut, namun perlunya
perbandingan pula antara masayarkat satu dengan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai