Anda di halaman 1dari 11

8.

KOMISI NEGARA

Bab mengenai Komisi Negara merupakan bab baru di dalam usulan


amandemen konstitusi ini. Bab ini mengatur komisi-komisi negara yang
dianggap perlu diatur di dalam konstitusi karena berkaitan dengan
penguatan prinsip negara hukum. Ada lima komisi yang diatur di dalam
bab ini, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Komisi Yudisial, Komisi Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebebasan
Pers.
Masuknya komisi-komisi negara ini dalam satu bab tersendiri didasari
oleh dua alasan. Alasan pertama adalah alasan dari aspek teknis
perancangan, yaitu untuk menjadikan satu pengaturan mengenai komisi-
komisi (Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Yudisial) yang ada di bab-
bab yang terpisah di dalam UUD 1945. Alasan kedua, yang bersifat
substansial, adalah untuk menguatkan konsep pemisahan kekuasaan
(separation of powers) dalam kehidupan bernegara. Karena itulah di dalam
bab ini juga diusulkan adanya komisi-komisi negara lainnya yang
dianggap penting dalam penguatan konsep pemisahan kekuasaan ini.
Lahirnya komisi-komisi independen merupakan jawaban atas realitas
makin kompleksnya permasalahan ketatanegaan modern. Model
pemisahan kekuasaan negara konvensional yang hanya mengasumsikan
adanya tiga cabang kekuasaan di suatu negara – eksekutif, legislatif dan
yudikatif – sudah tidak lagi menjawab kompleksitas negara modern.
Karena itu diperlukan independent regulatory agencies untuk melengkapi
institusi ketatanegaraan modern, dengan model relasi saling imbang-saling
kontrol yang lebih lengkap di antara lembaga-lembaga negara (state
organs)
Di samping komisi negara eksekutif di atas, masih ada satu lembaga
penasihat presiden yang amanatnya diatur dalam Pasal 16 UUD 1945.
Inilah lembaga yang akhirnya menjadi Dewan Pertimbangan Presiden.
Salah satu penyebab utama lahirnya berbagai komisi ini adalah lunturnya
kepercayaan publik atas lembaga negara konvensional. Ketidakpercayaan
publik (public distrust) itu mendorong hadirnya komisi negara yang
diidamkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya. Pengalaman
Amerika Serikat menegaskan relasi antara doktrin kepercayaan publik
(public trust doctrine) dengan hadirnya lembaga-lembaga negara federal.
99 Di Tanah Air, ketidakpercayaan terhadap pelayanan pejabat negara
melahirkan Komisi Ombudsman Nasional; ketidakyakinan terhadap
penanganan masalah HAM, menghadirkan Komnas HAM. Di dunia
peradilan, ketidakpercayaan pada para hakim yang kabarnya kebanyakan
korup memunculkan Komisi Yudisial; perilaku aparat kejaksaan yang
menyimpang, memicu kelahiran Komisi Kejaksaan; tingkah pola polisi
yang menjadi penikmat mafia peradilan, merangsang kehadiran Komisi
Kepolisian.

8. 1. Restrukturisasi Komisi-Komisi Negara di Dalam Konstitusi


Berkaca dari evaluasi di atas, dirasakan perlu untuk segera disusun
blueprint lembaga negara. Perlu ditegaskan bahwa komisi negara yang
sebaiknya dipertahankan hanyalah komisi-komisi yang mempertegas dan
memperkokoh bangunan negara hukum, yaitu komisi yang mendorong
dan menjaga: (1) sistem peradilan yang independen dan berintegritas,
bersih dari praktik mafia peradilan; (2) perlindungan hak asasi manusia;
(3) kebebasan pers; (4) pemilihan umum yang jujur dan adil; dan (5)
terciptanya pemerintahan yang baik.
Berdasarkan parameter empat syarat dasar negara hukum serta konsep
pemisahan kekuasaan modern demikian, maka komisi negara yang perlu
diatur di dalam konstitusi adalah:
1. Komisi Yudisial; namun dengan perluasan tidak hanya kepada hakim
tetapi kepada semua aparatur hukum. Artinya, KY tidak hanya mengawasi
hakim namun juga polisi dan jaksa. Dengan demikian, Komisi Kepolisian
dan Komisi Kejaksaan tidak diperlukan lagi, tetapi hanya akan menjadi
bagian dari KY. KY dijadikan institusi yang fokus bagi administrasi
peradilan. Masalah rekrutmen, promosi, mutasi hingga pemberian sanksi
bagi para aparat hukum adalah wilayah kerja KY yang patut
dipertimbangkan.101
2. Komisi Pemberantasan Korupsi; dengan perluasan tidak hanya seperti
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang dikenal
sekarang (berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002), namun lembaga ini
nantinya didesain sebagai lembaga yang mengawal agenda good
governance, termasuk terus menjaga Indonesia yang bebas dari korupsi
melalui upaya pencegahan dan penindakan hukum.
3. Komisi Nasional HAM; yang mempunyai divisi kerja perlindungan
anak dan perempuan. Artinya Komisi Perlindungan Anak serta Komnas
HAM Perempuan sebaiknya tidak lagi menjadi lembaga tersendiri.
4. Komisi Pers Indonesia; lembaga ini merupakan peleburan Dewan Pers
Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesia yang penting untuk menjaga
prinsip kebebasan pers.
5. Komisi Pemilihan Umum; lembaga ini strategis untuk mengawal
pemilihan umum yang luber dan jurdil bagi hadirnya sistem
ketatanegaraan yang akuntabel.
Pengangkatan derajat beberapa komisi menjadi organ konstitusi juga
strategis untuk mengantisipasi kemungkinan konflik. Dengan posisi
sebagai organ konstitusi, komisi negara independen akan mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi pihak dalam sengketa
kewenangan antarlembaga negara di hadapan meja merah Mahkamah
Konstitusi.

8. 2. Pengaturan Yang Diusulkan


Pengaturan untuk setiap komisi dibuat dalam format yang sama di dalam
setiap pasalnya, yaitu mengenai wewenang komisi, kriteria anggota, dan
proses pemilihan. Selanjutnya diatur pula ketentuan yang bersifat umum,
yaitu bahwa pengaturan susunan, kedudukan, hak protokoler dan hak
keuangan, serta tata cara pemberhentian anggota komisi negara di dalam
undang-undang.
Mengenai proses pemilihannya, model pengangkatan oleh eksekutif
dengan persetujuan dari legislatif yang selama ini juga diterapkan
dianggap sudah tepat. Namun demikian, sejalan dengan gagasan bikameral
yang efektif, keterlibatan DPD dalam proses pemilihan juga diajukan.
Wewenang setiap komisi serta karakter DPD dan DPR dijadikan salah satu
pertimbangan dalam menentukan “siapa yang memilih” anggota komisi.
Khusus untuk KPU, mengingat wewenang serta keterkaitannya dengan
DPR dan DPD, maka proses pemilihannya dilakukan oleh keduanya.
Sementara teknis tata cara pemilihan, pengaturannya merupakan materi
muatan undang-undang.

9. Wilayah Negara
Ketentuan tentang Wilayah Negara dalam BAB IX A UUD 1945, yang
menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah
negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan dengan undangundang, amat relevan dengan
ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Montevideo 1933. Negara
dikategorikan berdaulat jika mempunyai penduduk yang tetap (permanent
population), wilayah yang jelas (defined territory), pemerintahan (existing
government), dan kemampuan negara untuk melakukan hubungan
internasional (ability to establish to communicate with foreign countries).
Merumuskan ketentuan tentang wilayah negara dalam konstitusi relatif
sukar, karena juga dipengaruhi oleh faktor self-determination, yang
memungkinkan sebagian wilayah terlepas dari negara induk atau
bergabung dengan negara lain.
Menurut Jimly Asshiddiqie, pengaturan wilayah negara dalam UUD 1945
menegaskan bahwa: Pertama, bahwa negara Indonesia memiliki wilayah
hukumnya sendiri sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Kedua,
wilayah hukum negara Indonesia, batasbatas dan hak-hak yang terdapat di
dalamnya diatur dengan undang-undang. Artinya, pemerintah dan siapapun
juga tidak berhak menambah ataupun mengurangi wilayah negara itu tanpa
persetujuan rakyat yang dituangkan dalam undang-undang. Ketiga,
penetapan batas-batas wilayah beserta hak-haknya itu dalam undang-
undang juga tidak boleh dipahami bersifat sepihak tanpa mengindahkan
norma-norma yang berlaku di dunia internasional. Indonesia tidak boleh
mengklaim sesuatu wilayah hanya dengan menetapkan dalam undang-
undang tanpa didasarkan atas hasil persetujuan internasional, baik dalam
kerangka hubungan bilateral maupun multilateral.

10. Hak Asasi Manusia


Dalam bab tentang hak asasi manusia diusulkan hak asasi manusia
tambahan, yang meliputi kebebasan pers, hak-hak perempuan, dan hak
pekerja.

10. 1. Kebebasan Pers


Kebebasan pers adalah salah satu tiang pancang utama negara demokratis.
Pers hadir guna mengontrol kekuasaan ketika konsep klasik checks and
balances antarcabang kekuasaan sering tak terwujud. Thomas Carlyle
dalam bukunya “Heros and Hero Worship in History” (1841) mengutip
Edmund Burke (1729-1797), seorang politisi Inggris yang mengkritik
kekuasaan di Inggris kala itu, bahwa “there were three Estates in
Parliament, but in the Reporters Gallery yonder, there sat a fourth Estate
more important far than they all.” Tiga kamar parlemen Inggris yang
disebut Burke adalah “the Lords Temporal”, “the Lords Spiritual” and “the
Commons”. The Lords Temporal dan the Lords Spiritual adalah “The
House of Lords”, yang merupakan kamar atas parlemen dan “the
Commons” adalah House of Commons atau kamar bawah parlemen
Inggris.
Pada konteks itulah konsep klasik cabang-cabang kekuasaan, terutama
yang terinspirasi dari doktrin trias politika, tidak cukup lagi untuk
dipertahankan sebagai sebuah tatanan pencipta demokrasi dan HAM.
Walter Lipman, seorang kolumnis Amerika, pernah menyatakan bahwa “A
free press is not a privilege, but an organic necessity in a great society”.
Dalam amandemen pertama konstitusi Amerikan Serikat bahkan
ditemukan ketentuan “Congress shall make no law . . . abridging the
freedom of speech, or of the press”
Lim Koen Hian mengatakan:
dalam grondrechten yang diusulkan tidak hanya menyangkut kebebasan
bersidang dan berkumpul, tetapi juga hak kemerdekaan buat drukpers,
onschenbaarhedid van woorden. Kemerdekaan pers perlu sekali sebagai
alat untuk sedikit-dikitnya mengurangi kejelekan daripada masyarakat.
Dalam berbagai perkara tidak baiklah bertambah-tambah, tetapi dengan
disinari oleh penerangan dari surat kabar, bisa dikurangkan kejelekan
kejelekan dari negara sama sekali.
Pada kondisi inilah kekuasaan keempat pun harus dikontrol. Namun, siapa
yang mengontrolnya? Jawabannya, bukan cabang-cabang kekuasaan klasik
ala Burke atau cabang kekuasaan eksekutif ala JJ Roeseau dengan trias
politikanya. Sebagai antitesis demokratisasi yang melahirkan kekuasaan
keempat, pers haruslah dikontrol oleh masyarakat itu sendiri melalui
instrumen demokrasi modern, yaitu komisi pers. Fungsi dan kewenangan
komisi pers diatur oleh presiden dan DPR. Namun, komisi pers adalah
sebuah lembaga independen yang dihadirkan pada tingkat konstitusi.
Dengan kata lain, kebebasan pers dijamin dalam konstitusi, tetapi
kebebasan tersebut harus tetap dengan kontrol masyarakat melalui komisi
kebebasan pers.

10. 2. Hak Perempuan


Hak asasi perempuan adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan
baik karena dia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan sejak
kelahirannya. Perlu terdapat hak asasi perempuan karena terdapat kodrat
yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Artinya, selain deretan
HAM yang dimiliki manusia sebagai bagian dari kodratnya, perempuan
memiliki hak sendiri yang tidak dianugerahkan kepada seorang lelaki.
Bahwa wanita dalam kodratnya mengalami masa haid, mengandung,
melahirkan, dan menyusui adalah basis falsafah kehadiran hak perempuan
yang asasi. Tidak hanya sampai di situ, perempuan juga memiliki hak dan
kewajiban dalam pengasuhan anak.
Jadi, hak perempuan yang penting diberikan afirmasi pada tingkat
konstitusi adalah bukanlah semata perempuan dalam konteks politik,
ekonomi, sosial, dan budaya, melainkan perempuan dalam konteks
biologis, termasuk psikologis. Perempuan dalam konteks politik, ekonomi,
dan sosial budaya, sudah secara tegas dijamin oleh konstitusi dengan
adanya pilihan konstitusional frasa “setiap orang”, “setiap warga negara,”
”tiaptiap penduduk”, yang berarti selama subjek hukum itu adalah
manusia, maka pasti memiliki hak asasi tersebut, yang jauh meninggalkan
konsep “every man” yang begitu sangat maskulin.
Namun, disadari implementasi hak asasi ini dalam ruang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya sering menjadi distortif, yang kadang menjadi penyebab
tercederainya kodrat perempuan. Jadi, afirmasi hak perempuan dalam
konteks biologis di dalam konstitusi menjadi sangat penting. Hal ini tidak
berarti menempatkan konstitusi menjadi cenderung feminis, tetapi semata
menempatkan jaminan kemanusiaan pada tingkat konstitusi sesuai kodrat
yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia. Hal ini pun menjadi
sejalan ketika kita memasukkan hak anak dalam konstitusi, di mana anak
dan perempuan adalah rentan dalam konteks biologis. Ketika hak anak
dijamin oleh konstitusi berupa hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, maka
perempuan karena kodratnya juga dianugerahi hak reproduksi dan berhak
memperoleh pemenuhan kesehatan reproduksi yang baik. Perempuan juga
berhak atas perlindungan selama masa kehamilan dan masa pengasuhan
anak.
Oleh karena itulah, perlu ada jaminan tegas dalam konstitusi kita bahwa
setiap perempuan dianugerahi hak reproduksi dan berhak memperoleh
pemenuhan kesehatan reproduksi yang baik. Perempuan juga berhak atas
perlindungan selama masa kehamilan dan masa pengasuhan anak.
Diharapkan perempuan tidak ditempatkan sebatas pada persamaan hak
dalam konteks politik, ekonomi, sosial, dan budaya, melainkan juga dalam
konteks biologis karena kodratnya.

10. 3. Hak Pekerja


Dalam sidang Konstituante, Fraksi Republik Reformasi mengungkapkan
bahwa bagi kaum buruh, hak berdemonstrasi dan mogok merupakan suatu
hak yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Penting sekali kalau hak
berdemonstrasi dan mogok dimuat dalam konstitusi.
Apa sebab kaum buruh memperjuangkan hak berdemonstarasi dan mogok
dimuat dalam konstitusi? Kaum buruh merupakan tenaga pokok dalam
proses produksi yang belum mendapatkan penghargaan sebagaimana
mestinya. Upah dan jaminan sosial kaum buruh masih sangat rendah,
sehingga seolah upah yang mereka terima semata untuk mempertahankan
hidupnya dari mati kelaparan. Kedudukan kaum buruh sewaktu-waktu juga
dapat terancam, karena adanya pemecatan yang sewenang-wenang dari
kaum majikan. Untuk mempertahankan kedudukannya itulah, kaum buruh
sangat memerlukan adanya kewajiban hak berdemonstrasi dan mogok
yang merupakan bentuk perlawanan dan senjata yang` penting terhadap
perlakuan yang tidak baik tersebut
Oleh karenanya, hak pekerja harus dijamin pada tingkat konstitiusi, bahwa
setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Setiap orang berhak atas
hubungan kerja yang adil. Setiap pekerja berhak untuk mendirikan,
bergabung, dan berpartisipasi dalam serikat pekerja dan mempunyai hak
cuti dan mogok kerja.
11. Pertahanan dan Keamanan Negara
Judul Bab ”Pertahanan dan Keamanan Negara” diubah menjadi
”Pertahanan dan Keamanan” karena tema keamanan negara sudah
memiliki pengertian tertentu (state security) sehingga tidak mencakup
konsep keamanan umum (public security). Secara keseluruhan pengertian
keamanan juga mencakup keamanan dunia (world security) yang bisa
tercakup dalam pengelolaan keamanan negara, sementara keamanan
manusia/insani (human security) sudah cukup diakomodasi dalam pasal-
pasal tentang HAM. Beberapa perubahan yang diusulkan dalam bab ini
adalah sebagai berikut. Pertama, bab ini didahului dengan pasal yang
menyatakan bahwa keamanan negara dilaksanakan melalui upaya
pertahanan untuk menghadapi ancaman dari luar negeri dan upaya
pembinaan keamanan dalam negeri untuk menghadapi ancaman dari dalam
negeri. Kedua, sistem pertahanan yang dipilih adalah sistem pertahanan
semesta (total defence), yang dilaksanakan oleh segenap rakyat Indonesia
dan TNI sebagai komponen utama. Polri secara kelembagaan tidak
diikutsertakan dalam upaya pertahanan. Ketiga, penyelenggaraan upaya
pembinaan keamanan dalam negeri dilaksanakan oleh segenap komponen
bangsa dengan Polri dan TNI sebagai komponen utama. Keempat,
perubahan ini juga mengatur tentang pembinaan keamanan umum yang
dilaksanakan secara terpadu oleh segenap warga masyarakat dengan Polri
dan pemerintah daerah sebagai komponen utama. Selain melaksanakan
upaya pembinaan keamanan umum, Polri juga melaksanakan penegakan
hukum sebagai bagian terpadu dalam sistem peradilan pidana.

12. Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial


Rumusan mengenai perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial pada
dasarnya dianggap masih relevan sehingga perubahan yang diusulkan
hanya berupa kejelasan pengaturan dan konsep.
12. 1. Perekonomian Nasional
Perubahan juga dilakukan terhadap pernyataan mengenai penguasaan oleh
negara. Pasal 33 UUD 1945 berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Perubahan dilakukan untuk
memperjelas bahwa yang diatur adalah seluruh kekayaan alam dan
lingkungan yang terkandung dalam wilayah Indonesia. Penggantian frase
“Bumi dan air dan kekuasan alam yang terkandung di dalamnya” dengan
“Seluruh kekayaan alam dan lingungan yang terkandung dalam wilayah
kedaulatan, hak-hak berdaulat dan kewenangan Indonesia, baik di darat
maupun di laut, termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya serta udara di
atasnya” adalah sesuai dengan perkembangan teknologi dan hukum
internasional, untuk memperjelas konsep kepemilikan negara atas seluruh
wilayah negara.
Pasal 33 ini pada awal UUD 1945 dibentuk oleh BPUPKI memang dengan
sengaja memasukkan ide mengenai sistem perekonomian Indonesia yang
berbau “sosialisme”. Sayangnya, tidak ada notulensi BPUPKI yang
komprehensif, sehingga catatan yang ada mengenai pertentangan gagasan
Pasal 33 tidak dapat dielaborasi lebih jauh. Dalam Risalah Sidang Badan
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara
tidak ada catatan yang cukup signifikan mengenai perdebatan Pasal 33.
Soal ekonomi hanya dibahas secara singkat pada permulaan sidang
BPUPKI, setelah itu catatan yang ada hanyalah saat teks tersebut
dibacakan dan langsung disetujui oleh seluruh anggota BPUPKI
Menurut Soepomo, berdasarkan prinsip integralistik, industri penting harus
dikuasai oleh negara, dan negaralah yang akan menentukan di mana,
kapan, dan industri mana yang akan dikelola oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, serta industri mana yang akan dikelola oleh swasta.
Kesemuanya akan dilakukan berdasarkan kepentingan negara dan rakyat.
Metode yang sama harus diterapkan pula pada tanah. Pada dasarnya negara
mengelola tanah dan pertambangan, namun karena masyarakat Indonesia
adalah masyarakat agraris, tanah pertanian harus dijadikan ‘lapangan
hidup’ para petani dan negara harus melindungi tanah untuk petani. Hatta
menyetujui usul Soepomo untuk menggunakan sistem ‘sosialisme negara’
namun dengan dasar yang berbeda. Menurut Hatta, dasar sistem ekonomi
adalah kolektivisme yang berakar dari sistem nilai masyarakat desa.
Gagasan mengenai sistem perekonomian yang mengedepankan
“penguasaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” ini
sempat dipertentangkan pada pembahasan amandemen UUD 1945 pada
2001. Ada dua “kubu” dalam perdebatan ini. Kubu pertama menginginkan
perubahan mendasar dengan memasukkan komponen ekonomi dan
perlindungan atas hak-hak kebendaaan individu, serta menghilangkan
penguasaan negara atas ekonomi untuk dapat berkompetisi dengan
perekonomian dunia yang semakin dikuasai pasar bebas. Sedangkan kubu
kedua tidak menginginkan perubahan apa pun pada Pasal 33 UUD 1945
tersebut karena menganggap gagasan ini sesuai dengan Pancasila dan
dapat mendorong kesejahteraan rakyat Indonesia secara lebih merata. Bila
perlu ada pelabelan, perdebatan ini dapat dikatakan sebagai perdebatan
kembali antara gagasan neo-liberalisme dan “sosialisme Indonesia” yang
telah terjadi sejak bangsa ini berdiri.
Tidak banyak informasi mengenai proses diskusi Pasal 33 dalam Sidang
Tahunan MPR (ST) 2002 karena beberapa keputusan memang diambil
melalui lobi dan pertemuanpertemuan tertutup. Ditambah lagi, pasal
tersebut tidak mendapat banyak perhatian dari banyak pihak saat ST 2002
karena adanya isu-isu yang berat muatan politiknya, seperti soal Pasal 29
dan struktur baru MPR. Namun tercatat dalam dokumen yang ada, seperti
pemandangan umum fraksi-fraksi, bahwa sebaiknya gagasan para pendiri
bangsa dilestarikan.116 Akhirnya, tidak ada perubahan signifikan dari draf
yang disampaikan BP MPR kepada ST 2002, kecuali perubahan pada
susunan kata-katanya.

12. 2. Kesejahteraan Sosial


Pada pasal mengenai kesejahteraan sosial yang saat ini merupakan Pasal
34 UUD 1945, diusulkan agar ada dua penambahan kelompok rentan yang
wajib dipelihara oleh negara, yaitu “fakir” dan penyandang cacat. Bunyi
Pasal 34 ayat (1) adalah: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara. Kata “fakir” dan “miskin” ini perlu dipisahkan karena
sesungguhnya kedua kata tersebut mempunyai arti yang berbeda. Kata
“fakir” berasal dari bahasa Arab berarti orang yang masih mampu
berusaha tetapi usahanya itu tidak cukup untuk menghidupi dirinya sendiri
dan keluarganya. Sedangkan “orang miskin” adalah orang yang tidak
mampu berusaha sama sekali untuk memenuhi kebutuhan minimum
hidupnya sehari-hari (Asshidiqie, 1994). Karena itu kata-kata fakir,
miskin, dan anak terlantar sebaiknya dipisah satu sama lain. Perubahan
lainnya adalah penambahan “penyandang cacat”. Ditambahkan
“penyandang cacat” sebagai kelompok yang juga wajib dipelihara oleh
negara berdasarkan konstitusi karena pasal ini dimaksudkan untuk
memasukkan dengan tegas kelompok-kelompok rentan yang wajib
diperhatikan nasibnya oleh negara. Perubahan lain yang diusulkan adalah
penggantian frase ”dipelihara negara” menjadi ”tanggung jawab negara”
karena frase yang terakhir dinilai lebih kuat.

13. Pengaturan Tentang Perubahan Undang-undang Dasar


Secara umum, sistem yang dianut oleh negara-negara dalam mengubah
UUD-nya dapat dikategorikan ke dalam dua sistem perubahan.
Pertama, sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa kontinental
berpendirian bahwa manakala terjadi perubahan atas konstitusi (UUD)
maka yang diberlakukan adalah UUD yang baru secara keseluruhan. Di
antara negara yang menganut sistem ini adalah Belanda, Jerman, dan
Prancis. Kedua, negara-negara Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat
misalnya, berpandangan bahwa apabila suatu konstitusi diubah maka
konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut
merupakan perubahan dari konstitusi yang asli, atau dengan kata lain
perubahan tersebut merupakan bagian atau dilampirkan dalam
konstitusinya.
Dalam membuat ketentuan mengenai prosedur perubahan UUD, setidak-
tidaknya ada lima hal yang penting untuk dicantumkan
Pertama, adanya ketentuan yang menegaskan, baik eksplisit ataupun
implisit, perbedaan antara materi yang tidak dapat diubah, dan materi yang
dapat diubah baik dengan biasa maupun dengan prosedur tidak biasa.
Kedua, adanya ketentuan yang menegaskan, baik eksplisit maupun
implisit, bahwa bentuk hukum perubahan UUD adalah bentuk naskah yang
terpisah yang selanjutnya berfungsi sebagai adendum terhadap naskah asli.
Ketiga, ketentuan yang mengatur prosedur pengusulan dan penenerimaan
usulan itu menjadi agenda resmi. Keempat, ketentuan mengenai siapa dan
lembaga apa yang diserahi tugas menyiapkan rancangan perubahan UUD.
Kelima, ketentuan mengenai mekanisme pengambilan keputusan.
Secara umum diketahui bahwa ada tiga tipe amandemen konstitusi.
Pertama, amandemen konstitusi oleh parlemen berdasarkan suara
mayoritas murni atau sederhana (separuh lebih satu). Kedua, amandemen
konstitusi oleh parlemen berdasarkan suara mayoritas khusus, misalnya
dua pertiga atau tiga perempat. Ketiga, amandemen konstitusi yang
disiapkan oleh parlemen, namun harus memperoleh persetujuan rakyat
melalui referendum. Tipologi ini disusun untuk mengetahui watak sistem
politik yang dianut, apakah cenderung mengutamakan konsensus dalam
pengambilan keputusan (consensus democracy) ataukah cenderung pada
suara mayoritas (majoritarian democracy).
Pengajuan usulan perubahan terhadap UUD harus dijelaskan bagian yang
diubah beserta alasan. Terkait dengan alasan perubahan dapat dilihat dari
aspek historis, filosofis, yuridis, dan teoretis, serta politis. Mengemukakan
alasan historis merupakan kelanjutan proses dari sejarah pembentukan
UUD 1945 yang memang dirancang/didesain oleh pendiri negara sebagai
konstitusi yang bersifat sementara. Dengan dasar ini dapat dijadikan
jawaban untuk tidak “menyakralkan” UUD. Alasan filosofis, memberikan
jawaban terhadap konsep dan gagasan yang ingin dikembangkan dalam
perubahan UUD. Sedangkan alasan yuridis merupakan dasar hukum yang
memungkinkan dapat dilakukan perubahan yang memberikan kewenangan
kepada lembaga yang dapat melakukan perubahan UUD. Kemudian,
alasan teoretis dapat dijadikan acuan untuk mendukung gagasan yang
dipakai dalam perubahan. Sedangkan alasan politis terkait dengan tuntutan
untuk menghindari adanya penyimpangan dan kelemahan UUD dalam
praktik ketatanegaraan. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan, sesuai dengan
prinsip dalam melakukan perubahan yang tetap mempertahankan Republik
Indonesia sebagai Negara Kesatuan.

14. Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan


Dalam ilmu hukum, Aturan Peralihan (Transitoirrecht) dan Aturan
Tambahan merupakan suatu keniscayaan guna menghindarkan terjadinya
kekosongan hukum (Rechtsvacum) sekaligus penghubung dari
diberlakukannya dua sistem hukum baru yang berkualifikasi berbeda.
Hakikat aturan peralihan dipahami, karena sistem hukum baru
berkualifikasi sebagai peraturan yang menggantikan sistem hukum yang
lama. Berdasarkan hasil Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat
Undang Undang Dasar 1945 yang memuat tiga pasal aturan peralihan.
Ketentuan Pasal Pertama dan Pasal Kedua menjelaskan bahwa semua
peraturan perundang-undangan yang ada dan masih berlaku sampai
disahkannya Undang Undang Dasar ini, masih dianggap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar ini. Demikian pula segala badan atau lembaga negara yang ada
berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 masih tetap diakui sampai
diadakan yang lain menurut Undang Undang Dasar ini.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan hasil perubahan
keempat yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-
lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala
kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung” diusulkan untuk
dihapus. Karena, Mahkamah Konsitusi secara ekplisit telah diatur dalam
pasal-pasal UUD di samping ketentuan Pasal III ini bersifat einmalig
Aturan Tambahan dalam perubahan ini diusulkan menjadi satu pasal.
Sedangkan Pasal I dari hasil Perubahan Keempat UUD 1945 yang
berbunyi:”Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003" diusulkan untuk dihapus karena
perintah UUD kepada MPR untuk melakukan peninjauan terhadap materi
dan status hukum Ketetapan MPR/S sudah dilaksanakan (einmalig)

Anda mungkin juga menyukai