DOSEN PENGAMPU:
OLEH:
B012211042
PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
dan limpahan rahmatnyalah maka kami bisa menyelesaikan sebuah makalah
dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul
“Mazhab-Mazhab Dalam Ilmu Hukum”. Tidaklupa kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pemikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, Saya yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu, saya sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membicarakan aliran-aliran dalam ilmu hukum (teori hukum) berarti
membicarakan kembali pemikiran-pemikiran tentang hukum yang telah muncul
sejak jaman kerajaan Yunani dan Romawi beberapa abad yang lalu. Yunani
terkenal sebagai kancah pemikiran tentang hukum sampai ke akar filsafatnya.
Masalah-masalah teori hukum yang utama pada masa sekarang bisa dikaitkan ke
belakang pada bangsa tersebut, karena teori-teori hukum telah mendapatkan
rumusannya pada masa itu.
Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi pada bangsa Romawi. Bangsa
Romawi tidak banyak memberikan sumbangan pemikirannya tentang teori-teori
hukum. Pemikiran yang timbul justru nampak menonjol pada bidang penciptaan
konsep-konsep dan teknik yang berhubungan dengan hukum positif (kontrak,
ajaran tentang kebendaan dan sebagainya).
B. Rumusan Masalah
Apa saja Mazhab-mazhab dalam Ilmu Hukum?
C. Tujuan
Mahasiswa mampu memahami mazhab-mazhab ilmu hukum (Teori
Hukum)
3
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam ajaran ini ada dua unsur yang menjadi pusat perhatian, yaitu: unsur
agama dan unsur akal. Sehingga sering terjadi kesalah pahaman antara penganut-
penganut ajaran ini berebeda pendapat, baik bersifat gradual maupun
kesalahpahaman tersebut bersifat prinsipal. Dengan demikian, kesalahpahaman
tersebut menimbulkan dua kelompok, yaitu kelompok yang menitikberatkan pada
unsur agama (Tuhan) dan kelompok yang menitik beratka pada unsur akal.
a. Irrasional :
Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi
bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain:
Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois,
Marsilius Padua, dan John Wyclife.
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu :
Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala
hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak
dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
4
Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh
manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan
merupakan penjelmaan dari rasio manusia.
Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan
hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang
diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam
kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.
Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya
hirarkis hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:
Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku
manusia yang bersumber dari rasio alam.
Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat
berasal dari alam.
Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat
diubah oleh penguasa.
Occam juga berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak
mutlak Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol berpendapat
demikian, manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh
suatu peraturan umum yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan
akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat
dan waktu. Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima hukum alam
tersebut, sehingga manusia dapat membedakan antara yang adil dan tidak
adil, buruk atau jahat dan baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima
oleh manusia adalah sebagian saja, sedang selebihnya adalah hasil dari
akal (rasio) manusia.
b. Rasional :
Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang
universal dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah
zaman Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib
ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam
muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk
penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya,
antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel
Kant, dan Samuel Pufendorf.
Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius),
ia menekankan adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga
rasio manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio
manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum.
5
Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari
Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant
dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der
reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik der
praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik
der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut
ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan
karsa (thinking, volition, and feeling).
6
tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan
keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang dapat
digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah hukum kebebasan umum yang
meliputi kesemuanya.
Prinsip utama hukum alam adalah hukum itu berlaku secara universal dan
bersifat pribadi. Adapun jenisnya antara lain dibedakan menjadi dua: hukum alam
yang bersumber dari Tuhan, dan hukum alam yang bersumber dari rasio manusia.
Jadi hal inilah yang kemudian dipahami sebagai universalisasi hukum yang
dianggap menjadi kekuatan dari prinsip-prinsip pemikiran hukum alam.
Universalisasi hukum berdampak pada validitas norma hukum yang ada sekarang,
dengan mendasarkan validasi tersebut pada nilai-nilai yang universal.
Universalisasi ini dinampakkan pada pemberlakuan nilai-nilai moral, yakni
dengan nilai-nilai yang diturunkan dari Tuhan, yang secara filosofis dapat
dikenakan kepada manusia. dengan kekuatan tersebut, hukum alam dapat
memberikan jawaban atas persoalan-persoalan moral yang tidak dapat
diselesaikan oleh hukum masa kini. Selain itu, prinsip-prinsip universal yang
dikenalkan oleh hukum alam ini juga menjadi acuan bagi pembentukan hukum
pada masa kini. Dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip universal hukum alam
dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan hukum. Hukum alam
dipengaruhi oleh pandangan atau keyakinan bahwa seluruh alam semesta yang
ada dimana diciptakan dan diatur oleh Tuhan, yang juga meletakkan prinsip-
prinsip abadi untuk mengatur berjalannya alam semesta. Ini yang disebut dengan
pandangan teologis, sementara pandangan sekuler dalam hukum alam dilakukan
dengan landasan bahwa manusia dengan kemampuan akal budinya dab dunianya
menjadi sumber tatanan masyarakat yang ada. Dengan demikian tidak ada batasan
yang konkrit mengenai sifat/pandangan universal, karena nilai-nilai moral
dipandang dapat dikenakan secara universal.
7
dalam norma yang lebih baku dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan yang
konkrit. Selain itu, hukum alam menekankan keberadaan pendekatan yang berada
pada tataran yang filsafatis, sehingga validasi yang digunakan untuk mengukur
tingkat keadilan hukum, harus berdasarkan nilai-nilai hukum alam yang berasal
dari Tuhan, dimana pemaknaannya sangat sulit dilakukan dan kompleks.
Penganut mazhab historis hukum ini tidak percaya pada pembuat undang-
undang, tidak percaya pada kodifikasi dan menganggap pernanan pakar hukum
lebih penting daripada pembuat undang-undang. Tulisan ini merupakan reaksi
terhadap Thibaut mengenai perlunya hukum kodifikasi di Jerman dengan dasar
hukum Perancis (Kode Napoleon). Inti ajarannya adalah “Das rechts wird nich
gemacht, est ist und wird mit dem volke”, Savigny menegaskan bahaya kodifikasi
(Curzon 1979: 154):
8
“…There was an organic connection between law and a people’s nature
and character as developed through history. The true “living law” is
costumary law it does not emerge from arbitrary will od a law-giver, but
from internal, silently operating forces within the community. Law is
rooted in a people’s history; the roots are fed by the coneciounsness
risness, the faith and custom of “the people”.
9
bersifat universal sebagaimana dalam tesis aliran hukum alam, melainkan bersifat
partikular. Keberadaan setiap hukum termasuk nilai-nilai moral adalah berbeda,
bergantung kepada tempat dan waktu berlakunya hukum. Hukum dipandang
sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa (volksgeist). Apa yang
dianggap bermoral atau tidak bermoral berbeda antara satu bangsa dengan bangsa
lain bergantung kepada jiwa bangsa itu.
“The law was not something that should be made arbitrarily and
deliberately by a lawmaker. Law was a product of “internal, silently-
operating forces”. It was deeply routed in the past of a nation, and its true
sources were popular faith, custom, and “the common consciousness of the
people”. Like the language, the constitution, and the character of a nation,
by “its national spirit” (volksgeist).
Selain pemikiran mazhab historis dari Savigny banyak pemikiran mazhab historis
menurut ahli lainnya,
10
Aliran Mazhab Sejarah dari Sr. Henry S. Maine Sir Henry S. Maine (1822-
1888), dalam buku karangannya “Ancient Law dan Early and Custom”, Maine,
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Savigny sehingga dianggap pelopor mazhab
sejarah, Maine, melakukan penelitian tentang studi perbandingan perkembangan
lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyatakat sederhana dan masyarakat
yang telah maju, yang dilakukannya adalah berdasarkan pendekatan sejarah.
Kesimpulan, bahwa penelitiannya telah membuktikan adanya pola evolusi pada
berbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang sama, sumbangan bagi studi
hukum dalam masyarakat terutama tampak pada penerapan metode empiris,
sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan-kesimpulan umum.
11
termuat dalam perundang-undangan artinya mazhab ini mengedepankan putusan
hakim yang sesuai dengan kejadian nyata yang terjadi dan menganggap bahwa
undang-undang hanyalah sumber hukum, dan baru menjadi hukum setelah
dijelmakan ke dalam putusan hakim sehingga terdapat keadilan didalam peradilan
itu.
Sedangkan, yang menjadi kritik ataupun kelemahan dari mazhab ini adalah
dapat menyebabkan terjadinya banyak kebingungan dan melebih-lebihkan peran
hakim dalam membuat dan membentuk hukum. Jika hakim cenderung untuk
mengikuti hukum, maka akan sangat mudah untuk meramalkan apa yang
diputuskan oleh hakim dalam banyak kasus. Bahwa pendekatan realis dapat
diterapkan pada kasus-kasus sulit, yaitu dalam hal undang-undang yang tidak jelas
atau belum ada secara eksplisit. Dimana hukum sudah pasti dan jelas, maka hakim
hanya sedikit melakukan pilihan yaitu menemukan aturan mana yang akan
digunakannya untuk kasus konkret yang dihadapinya atau menerapkan hukum.
Namun, saya sependapat dengan Prof. Achmad Ali didalam bukunya menyatakan
bahwa keterlibatan hakim secara pribadi dalam putusan-putusannya, tidak hanya
ada kalua aturannya kurang jelas. Bahwa penemuan hukum oleh hakim, dengan
metode interpretasi senantiaasa dilakukan oleh hakim dalam setiap putusannya,
termasuk dalam menerapkan suatu undang-undang. Seperti yang diketahui bahwa
undang-undang hanya mengatur hal-hal yang sifatnya umum, dan hakimlah yang
selalu menghubungkan dan mencocokkannya dengan kasus-kasus konkret yang
diadilinya.
4) Mazhab Sosiologis
Mazhab sosiologis dipelopori oleh Eugen Ehrlich, Max Weber dan
Hammaker. Mazhab ini berpandangan bahwa hukum itu sebenarnya merupakan
hasil pertentangan-pertentangan dan hasil pertimbangan antara kekuatan-kekuatan
sosial, cita-cita sosial, institusisosial, perkembangan ekonomi, dan pertentangan
serta perimbangan kepetingan-kepentingan golongan-golongan atau kelas-kelas
dalam masyarakat.
Aliran hukum yang bersifat sosiologis hukum itu tidak perlu diciptakan
oleh Negara, karena hukum sebenarnya tidak meupakan pernyataan-pernyataan
12
tetapi terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh kehidupan
golongan-golongan dalam masnyarakat.menurut mazhab sosiologis hakim itu
bebas untuk menggali sumber-sumber hokum yang terdapat dalam masnyarakat
yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, perbuataan-perbuataan dan adat. Mazhab
sosiologis oleh karenanya disebut mazhab hokum bebas.
5) Mazhab Positivisme
13
merupakan perintah penguasa yang berdaulat.Ilmu hukum tidak membahas
apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan efektivitasnya hukum dalam
masyarakat.
Tokoh dari aliran ini John Austin (Inggris) dan Hans Kelsen yang
berpendapat bahwa ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja dan tidak
berhubungan dengan unsur-unsur agama dan moral, hukum merupakan kehendak
negara, dan hukum itu berisi perintah, kewajiban, kedaulatan, dan sanksi.
Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu
hukum yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar
undang-undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
a. Analitis
Hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum
positif yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-
undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau
disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan
hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.
Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang
tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan
dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
b. Murni
14
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme,
karena pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran
Auistin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit
berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya
terletak pada penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan
menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya
dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara tegas
mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun
Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana
tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Doktrin hukum alam adalah bagian dari sebuah konsep kuno mengenai
alam, di mana dunia dapat diamati tidak sekedar sebuah panggung keteraturan,
dan pengetahuan tentang alam bukan sekedar pengetahuan mengenai suatu
keteraturan. Atas dasar ini, setiap jenis wujud yang ada, bukan hanya sedang
mempertahankan wujudnya melainkan bergerak menuju suatu keadaan optimum
sebagai tujuan akhir. Dewasa ini hukum alam yang rinci seperti masa klasik dan
pertengahan tidak lagi dianggap abadi, karena kedinamisan kehidupan manusia.
Namun, prinsip itu tetap ada dengan lebih umum, seperti keadilan, kejujuran,
15
kesopanan, dan sebagainya. Prinsip itu memiliki kestabilan, tetapi juga sebagai
suatu kelonggaran untuk berubah sesuai perkembangan zaman.
Banyak para ahli tidak bersedia menerima adanya dua macam hukum
(hukum positif dan hukum alam), yang satu telah menjadi undang-undang, dan
yang lain difikirkan sebagai hukum dasar yang lebih kuat dari undang-undang.
Oleh karena itu, para ahli senantiasa melembagakan atau memformulasi prinsip-
prinsip hukum dengan memasukkannya dalam undang-undang dengan
mengadopsinya dalam kerangka yang rasional. Dengan ini pula sebenarnya
banyak pemikir menolak positivisme hukum, tetapi sekaligus juga mengakui
bahwa hukum yang benar adalah hukum positif. Para positivis memandang bahwa
prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam hukum alam sebagai prinsip regulatif
belaka, yaitu sebagai pedoman bagi terbentuknya hukum, dan bukan sebagai
prinsip konstitutif dari hukum. Artinya, bahwa prinsip-prinsip tersebut memang
harus diindahkan pada saat undang-undang dibentuk. Namun, jika undang-undang
yang ada bertentangan dengan prinsipprinsip hukum alam, maka undang-undang
tersebut tetap sah berlaku. Dengan kata lain, menurut para positivisme, hukum
cenderung menganut prinsip kepastian hukum, dibandingkan dengan para ahli
hukum alam yang lebih memperhatikan prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum
bagi masyarakat.
16
(social world) atau fenomena sosial tidak bisa dipelajari dengan metode yang
sama ketika mempelajari dunia alam (natural world). Implikasinya adalah
positivisme sulit dipakai untuk menangkap dan memahami gejala sosial yang
sifatnya non-empiris serta hal-hal yang terkandung di alam bawah sadar manusia.
Artinya, pemaknaan terhadap pengetahuan suatu masyarakat dalam menjalankan
aktivitasnya sulit dipahami dengan memakai epistemologi positivisme. Perihal
yang sifatnya nonempiris itu misalnya saja pengetahuan sekelompok masyarakat
mengenai klasifikasi tanaman obat yang tersebar di hutan. Contoh kasus lainnya
yaitu positivisme tidak mampu menggali secara mendalam mengenai makna
dibalik fenomena ritual pada suatu masyarakat. Disamping itu, kelemahan lain
terletak pada upaya positivisme guna mencapai generalisasi justru berimplikasi
mereduksi keanekaragaman serta keunikan yang dimiliki oleh setiap masyarakat.
Hal ini merupakan dampak dari usaha untuk membandingkan supaya memperoleh
generalisasi
6) Disorder of Law
17
maupun pendapat-pendapat yang hidup dikalangan anggota masyarakat, agar
hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. 3) Dibuat oleh suatu badan
publik, Undang-undang adalah salah satu instrumen untuk mengatur masyarakat
yang dicita-citakan. Karena itu proses pembentukannya harus dilakukan dengan
prinsip check and blance antar lembaga negara sesuai dengan kedudukan dan
kewenangan yang dimilikinya. 4) Didukung oleh paksaan, Untuk itu hukum berisi
perintah dan larangan. 5) Ditegakkan oleh pengadilan dan polisi, agar hukum
dapar ditegakkan jika terjadi pelanggaran. 6.) Memiliki kekuatan moral, Kultur
hukum merupakan sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga
unsur kultur hukum inilah yang menentukan mengapa orang patuh atau tidak
terhadap hukum. 7) Ditaati atau digunakan disebagain besar waktu oleh sebagian
besar orang, untuk mengatur tingkah laku manusia agar tercipta ketertiban,
kenyamanan, keamanan, dan keadilan, hal ini tentu saja dapat dilihat dari suatu
tindakan masyarakt untuk dinilai apakah layak untuk dijadikan sebagi suatu aturan
yang harus ditati atau tidak, sehingga aturan ang ada lahir dari kebiasan yang baik
dari masyarakat. 8) Dapat diungkapan dalam bentuk suatu aturan, asas yang
melahirkan norma hukum, kemudian norma hukum yang melahirkan aturan
hukum. Dari satu asas hukum dan satu norma hukum dapat melahirkan lebih dari
satu aturan hukum hingga tak terhingga jumlahnya. 9) Sesuai dengan isi hukum
alam dan nilai-nilai warga masyarakat yang melahirkannya, nilai merupakan dasar
dari moral/etika. 10) Umum, hukum harus umum agar fleksibel, jika khusus
maka akan tertinggal dengan objeknya. 11) Diumumkan resmi, agar setiap orang
mengetahui aturan-aturan yang ada, sebab ketidaktahuan hukum bukan alasan
pemaaf dan pembenar. 12) Non retroactive (tidak berlaku surut), Jika aturan
berlaku surut maka akan merusak integritas hukum. 13) Jelas, Agar mudah
dipahami. 14) Tidak kontradiksi, agar tidak terjadi kontradiksi maka diperlukan
asas. 15) Ttidak menuntut tindakan yang mustahil, agar tidak ada alasan untuk
tidak menaati hukum. 16) Jarang berubah, hukum dalam membuat aturan tidak
berubah-ubah karena akan terjadi kesemrawutan.
18
Kekurangannya antara lain perlu adanya hukum yang tidak tertulis. Selain
hukum tertulis, juga perlu adanya pengakuan terhadap hukum tidak tertulis
meskipun peraturannya dapat berubah sewaktu-waktu. Selain itu, dalam poin
"ditegakkan oleh pengadilan dan polisi", seharusnya tidak semua permasalahan
harus ditegakkan oleh pengadilan dan polisi tetapi juga dapat diselesaikan diluar
pengadilan.
19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mazhab-mazhab ilmu hukum adalah :
Prinsip utama hukum alam adalah hukum itu berlaku secara universal
dan bersifat pribadi. Adapun jenisnya antara lain dibedakan menjadi dua:
hukum alam yang bersumber dari Tuhan, dan hukum alam yang bersumber
dari rasio manusia.
20
Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang
beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut-paut dengan hukum
positif saja, dan merupakan perintah penguasa yang berdaulat.Ilmu hukum
tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan efektivitasnya
hukum dalam masyarakat.
B. SARAN
Saya yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan
dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat saya harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
khususnya berupa penambahan wawasan tentang Madzhab-Madzhab Ilmu
Hukum.
21
DAFTAR PUSTAKA
Pipin Syahrifin, S.H., dan Drs. A. Zarkasy Chumaidy., Pengantar Ilmu Hukum,
(Bandung:
CV Pustaka Setia, 1998)
https://plus.google.com
22