Anda di halaman 1dari 22

TUGAS

TEORI DAN FILSAFAT HUKUM

MAKALAH MENGENAI MAZHAB-MAZHAB DALAM ILMU


HUKUM

DOSEN PENGAMPU:

PROF. DR. ANDI SURIYAMAN M. PIDE, S.H., M.Hum.

OLEH:

ANDI AHMAD NUR AGSA

B012211042

PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
dan limpahan rahmatnyalah maka kami bisa menyelesaikan sebuah makalah
dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul
“Mazhab-Mazhab Dalam Ilmu Hukum”. Tidaklupa kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pemikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, Saya yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu, saya sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Makassar, November 2021

                                                 
                                             
Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membicarakan aliran-aliran dalam ilmu hukum (teori hukum) berarti
membicarakan kembali pemikiran-pemikiran tentang hukum yang telah muncul
sejak jaman kerajaan Yunani dan Romawi beberapa abad yang lalu. Yunani
terkenal sebagai kancah pemikiran tentang hukum sampai ke akar filsafatnya.
Masalah-masalah teori hukum yang utama pada masa sekarang bisa dikaitkan ke
belakang pada bangsa tersebut, karena teori-teori hukum telah mendapatkan
rumusannya pada masa itu.
Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi pada bangsa Romawi. Bangsa
Romawi tidak banyak memberikan sumbangan pemikirannya tentang teori-teori
hukum. Pemikiran yang timbul justru nampak menonjol pada bidang penciptaan
konsep-konsep dan teknik yang berhubungan dengan hukum positif (kontrak,
ajaran tentang kebendaan dan sebagainya).

B. Rumusan Masalah
Apa saja Mazhab-mazhab dalam Ilmu Hukum?

C. Tujuan
Mahasiswa mampu memahami mazhab-mazhab ilmu hukum (Teori
Hukum)

3
BAB II
PEMBAHASAN

Mazhab-mazhab Ilmu Hukum

1) Mazhab Hukum Alam.


Menurut ajaran ini kaidah hukum adalah hasil dari titah langsung berasal
dari Tuhan. Oleh karena itu, ajaran ini mengakui adanya suatu hukum yang benar
dan abadi, sesuai dengan ukuran kodrat, serta selaras dengan alam. Dicurahkan
kedalam jiwa manusia untuk memerintahkan agar setiap orang melakukan
kewajibannya dan melarang supaya setiap orang tidak melakukan kejahatan.
Hukum tersebut tidak dapat dihapuskan oleh perwakilan rakyat, bahka raa
sekalipun. Menguasai seluruh tempat dan masa, meminjam istilah Cicere, "Tuhan
yang menetapkan dan mengeluarkannya."

Dalam ajaran ini ada dua unsur yang menjadi pusat perhatian, yaitu: unsur
agama dan unsur akal. Sehingga sering terjadi kesalah pahaman antara penganut-
penganut ajaran ini berebeda pendapat, baik bersifat gradual maupun
kesalahpahaman tersebut bersifat prinsipal. Dengan demikian, kesalahpahaman
tersebut menimbulkan dua kelompok, yaitu kelompok yang menitikberatkan pada
unsur agama (Tuhan) dan kelompok yang menitik beratka pada unsur akal.

Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut


Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan
yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku
secara universal dan abadi.

Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui


penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum
alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Irrasional :
Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi
bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain:
Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois,
Marsilius Padua, dan John Wyclife.
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu :
 Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala
hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak
dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.

4
 Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh
manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
 Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan
merupakan penjelmaan dari rasio manusia.
 Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan
hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang
diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam
kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.
Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya
hirarkis hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:
 Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku
manusia yang bersumber dari rasio alam.
 Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat
berasal dari alam.
 Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat
diubah oleh penguasa.
Occam juga berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak
mutlak Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol berpendapat
demikian, manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh
suatu peraturan umum yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan
akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat
dan waktu. Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima hukum alam
tersebut, sehingga manusia dapat membedakan antara yang adil dan tidak
adil, buruk atau jahat dan baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima
oleh manusia adalah sebagian saja, sedang selebihnya adalah hasil dari
akal (rasio) manusia.
b. Rasional :
Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang
universal dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah
zaman Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib
ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam
muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk
penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya,
antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel
Kant, dan Samuel Pufendorf.
Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius),
ia menekankan adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga
rasio manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio
manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum.

5
Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari
Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant
dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der
reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik der
praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik
der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut
ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan
karsa (thinking, volition, and feeling).

Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat


manusia (homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir
yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze),
tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri
menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang
penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada manusia
ideal berkepribadian humanistis.

Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der


Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian dari
karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa
manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi
kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan
hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna mendukung perjuangan
tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan
keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang dapat
digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah hukum kebebasan umum yang
meliputi kesemuanya.

Kategori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap


mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat unsur-
unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini sudah
terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan penguasa negara,
sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari Immanuel Kant juga dapat
digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte
yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari rasio manusia.

Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der


Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian dari
karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa
manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi
kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan
hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna mendukung perjuangan

6
tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan
keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang dapat
digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah hukum kebebasan umum yang
meliputi kesemuanya.

Kategori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap


mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat unsur-
unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini sudah
terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan penguasa negara,
sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari Immanuel Kant juga dapat
digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte
yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari rasio manusia.

Prinsip utama hukum alam adalah hukum itu berlaku secara universal dan
bersifat pribadi. Adapun jenisnya antara lain dibedakan menjadi dua: hukum alam
yang bersumber dari Tuhan, dan hukum alam yang bersumber dari rasio manusia.
Jadi hal inilah yang kemudian dipahami sebagai universalisasi hukum yang
dianggap menjadi kekuatan dari prinsip-prinsip pemikiran hukum alam.
Universalisasi hukum berdampak pada validitas norma hukum yang ada sekarang,
dengan mendasarkan validasi tersebut pada nilai-nilai yang universal.
Universalisasi ini dinampakkan pada pemberlakuan nilai-nilai moral, yakni
dengan nilai-nilai yang diturunkan dari Tuhan, yang secara filosofis dapat
dikenakan kepada manusia. dengan kekuatan tersebut, hukum alam dapat
memberikan jawaban atas persoalan-persoalan moral yang tidak dapat
diselesaikan oleh hukum masa kini. Selain itu, prinsip-prinsip universal yang
dikenalkan oleh hukum alam ini juga menjadi acuan bagi pembentukan hukum
pada masa kini. Dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip universal hukum alam
dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan hukum. Hukum alam
dipengaruhi oleh pandangan atau keyakinan bahwa seluruh alam semesta yang
ada dimana diciptakan dan diatur oleh Tuhan, yang juga meletakkan prinsip-
prinsip abadi untuk mengatur berjalannya alam semesta. Ini yang disebut dengan
pandangan teologis, sementara pandangan sekuler dalam hukum alam dilakukan
dengan landasan bahwa manusia dengan kemampuan akal budinya dab dunianya
menjadi sumber tatanan masyarakat yang ada. Dengan demikian tidak ada batasan
yang konkrit mengenai sifat/pandangan universal, karena nilai-nilai moral
dipandang dapat dikenakan secara universal.

Sifat universal ini kemudian juga sekaligus menjadi kelemahan mendasar


dari perkembangan hukum. Sebab, universalisasi hukum alam berada di tataran
yang sangat metafisis, sehingga kurang menyentuh kehidupan konkrit masyarakat.
Prinsip hukum alam yang berada pada tataran abstrak, harus dipositivisasikan ke

7
dalam norma yang lebih baku dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan yang
konkrit. Selain itu, hukum alam menekankan keberadaan pendekatan yang berada
pada tataran yang filsafatis, sehingga validasi yang digunakan untuk mengukur
tingkat keadilan hukum, harus berdasarkan nilai-nilai hukum alam yang berasal
dari Tuhan, dimana pemaknaannya sangat sulit dilakukan dan kompleks.

2) Mazhab Sejarah Hukum


Munculnya aliran sejarah setidaknya dilatar belakangi oleh tiga hal:
a. Rasionalisme abad XVIII yang didasarkan pada hukum alam yang
dipandang tidak memperhatikan fakta sejarah.
b. Semangat Revolusi Perancis yang menentang tradisi dan lebih
mengutamakan rasio
c. Adanya larangan penafsiran oleh hakim karena undang-undang dipandang
telah dapat memecahkan semua masalah hukum.

Sebagaimana diketahui abad XVIII adalah abad rasionalisme. Pemikiran


rasionalisme mengajarkan universalisme dalam cara berpikir. Xara pandang inilah
yang menjadi sebab utama munculnya mazhab sejarah meentang unversalisme
.Mazhab sejarah lebih memfokuskan pada keberadaan suatu bangsa tepatnya
adalah jiwa bangsa.

Pelopor aliran historis adalah Friedrich Karl von Savigny. Pemikirannya


tentang hukum dikenal dengan Mazhab Sejarah (Historis) dan dikembangkan
dalam tulisan yang terkenal, yaitu “Von Beruf Unserer Zeit fur Gesetgebung und
Rechtswissenschaft “(tentang Tugas pada Zaman Kita Bagi Pembentuk
UndangUndang dan Ilmu Hukum). Menurut Savigny, hukum itu memilik
kemiripan dengan adanya Bahasa, keduanya berkembang secara bertahap dari
karakteristik suatu masyarakat. Hukum dan Bahasa berkembang ketika sutau
masyarakat berkembang, dan keduanya musnah ketika suatu masyarakat
kehilangan individualitasnya. Jadi menurut penganut mazhab historisme, hukum
tidak diciptakan oleh negara melainkan ditemukan dalam masyarakat dan
penganut mazhab ini jelas sangat mengagungkan masa lampau.

Penganut mazhab historis hukum ini tidak percaya pada pembuat undang-
undang, tidak percaya pada kodifikasi dan menganggap pernanan pakar hukum
lebih penting daripada pembuat undang-undang. Tulisan ini merupakan reaksi
terhadap Thibaut mengenai perlunya hukum kodifikasi di Jerman dengan dasar
hukum Perancis (Kode Napoleon). Inti ajarannya adalah “Das rechts wird nich
gemacht, est ist und wird mit dem volke”, Savigny menegaskan bahaya kodifikasi
(Curzon 1979: 154):

8
“…There was an organic connection between law and a people’s nature
and character as developed through history. The true “living law” is
costumary law it does not emerge from arbitrary will od a law-giver, but
from internal, silently operating forces within the community. Law is
rooted in a people’s history; the roots are fed by the coneciounsness
risness, the faith and custom of “the people”.

Hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.


Dengan titik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa, yang masing-
masing memiliki Volkgeist (jiwa rakyat), dan berbeda baik menurut waktu
maupun tempat. Menurut Savigny, perkembangan hukum tidak semata-mata
merupakan bagian dari jiwa rakyat, melainkan juga menjadi bidang ilmu hukum.
Kekuatan untuk membentuk hukum terletak pada rakyat, yang terdiri dari
kompleksitas individu dan perkumpulanperkumpulan. Mereka mempunyai ikatan
rohani dan menjadi kesatuan bangsa dan jiwa. Hukum adalah bagian dari rohani
mereka, yang juga mempengaruhi perilaku mereka. Pembentuk undang-undang
harus mendapatkan bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan pertimbangan
perasaan hukum dan keadilan masyarakat.

Mazhab sejarah (Historiche Rechtschule) merupakan reaksi atas tiga hal :

1. Rasionalisme abad ke 18 (delapan belas) yang berdasarkan atas hukum


alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan
pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif
tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan konsidi nasional;
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan
misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad
manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke segala
penjuru dunia;
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan
hukum karena undang-undang dianggap dapat memecah semua masalah
hukum. Code Civil dinyatakan sebagai kehendak legislative dan hukum
dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan baik
sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.

Mazhab sejarah yang dikembangkan oleh Savigny di satu sisi memiliki


persamaan sekaligus perbedaan dengan aliran hukum alam, dan di sisi lain juga
memiliki kemiripan dengan positivisme empiris. Persamaan dengan aliran hukum
alam adalah terletak pada penyatuan antara hukum dan moral. Baik aliran hukum
alam maupun mazhab sejarah sama-sama tidak memisahkan antara hukum dan
moral. Sedangkan perbedaannya, lingkup moral menurut mazhab sejarah tidak

9
bersifat universal sebagaimana dalam tesis aliran hukum alam, melainkan bersifat
partikular. Keberadaan setiap hukum termasuk nilai-nilai moral adalah berbeda,
bergantung kepada tempat dan waktu berlakunya hukum. Hukum dipandang
sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa (volksgeist). Apa yang
dianggap bermoral atau tidak bermoral berbeda antara satu bangsa dengan bangsa
lain bergantung kepada jiwa bangsa itu.

Edgar Bodenheimer dengan mengutip pemikiran Savigny mengatakan


bahwa:

“The law was not something that should be made arbitrarily and
deliberately by a lawmaker. Law was a product of “internal, silently-
operating forces”. It was deeply routed in the past of a nation, and its true
sources were popular faith, custom, and “the common consciousness of the
people”. Like the language, the constitution, and the character of a nation,
by “its national spirit” (volksgeist).

Dengan demikian, hukum harus bersumber dari kebiasan dan kesadaran


umum masyarakat. Aturan hukum yang dibuat dan diterapkan hendaknya
merupaan endapan dari jiwa hukum rakyat. Karena hanya dengan inilah, aturan itu
bisa diterapkan dan berfungsi dengan baik di masyarakat. Hukum tumbuh dan
berkembang sejalan dengan perkembangan rakyat, dan akhirnya punah dengan
berakhirnya suatu bangsa. Mazhab sejarah meyakini hukum tidak perlu dibuat
karena ia tumbuh dan berkembang mengikuti masyarakat. Organisme hukum yang
hidup ini mengejawantah dalam perilaku-perilaku sosial dalam skala makro.

Selain pemikiran mazhab historis dari Savigny banyak pemikiran mazhab historis
menurut ahli lainnya,

Aliran Mazhab Sejarah dari G. Puchta (1798-1846), dalam buku


karangannya “Gewohnheitsrecht”, Puchta adalah murid dari von Savigny yang
melanjutkan pemikiran gurunya. bahwa, hukum suatu bangsa terikat pada jiwa
bangsa (Volksgeit) yang bersangkutan, bahwa, hukum dapat berbentuk adat
istiadat, melalui undang-undang dapat juga melalui ilmu hukum dalam bentuk
karya para ahli hukum, bahwa, pengertian bangsa adalah; bangsa dalam etnis
(bangsa alam) dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang
membentuk suatu negara, bahwa, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa
bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi
dalam negara, melalui undangundang,bahwa, mengutamakan pembentukan
hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak tepat lagi bagi
sumber-sumber hukum lainnya, bahwa, hukuk adat istiadat bangsa dan pemikiran
para juris hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara.

10
Aliran Mazhab Sejarah dari Sr. Henry S. Maine Sir Henry S. Maine (1822-
1888), dalam buku karangannya “Ancient Law dan Early and Custom”, Maine,
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Savigny sehingga dianggap pelopor mazhab
sejarah, Maine, melakukan penelitian tentang studi perbandingan perkembangan
lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyatakat sederhana dan masyarakat
yang telah maju, yang dilakukannya adalah berdasarkan pendekatan sejarah.
Kesimpulan, bahwa penelitiannya telah membuktikan adanya pola evolusi pada
berbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang sama, sumbangan bagi studi
hukum dalam masyarakat terutama tampak pada penerapan metode empiris,
sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan-kesimpulan umum.

3) Mazhab Realisme Hukum


Realisme hukum berasal dari pengaruh pemikiran modern yang
berkembang di Amerika dan di Skandinavia. Realisme hukum pada dasarnya
merupakan aliran yang meninggalkan pembicaraan mengnai hukum yang abstrak.
Realisme hukum lebih menitikberatkan pada kajian tehadap pekerjaan-pekerjaan
hukum yang praktis dalam menyelesaikan problem-problem dalam masyarakat.
Pokok-pokok pendekatan dalam hukum realis menurut Liewelyn adalah sebagai
berikut:
a. Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah
dan hukum yang diciptakan pengadilan.
b. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan sosial tertentu.
c. Masyarakat berubah lebih cepat daripada Hukum, dan oleh karena itu
selalu ada kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi
problem-problem sosial yang ada.
d. Untuk studi dipisahkan antara yang ada dan yang seharusnya.
e. Tidak mempercayai bahwa peraturan-peraturan dan konsp-konsep hukum
itu sudah mencukupi untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan
pengadilan.
f. Menolak peraturan hukum sebagai faktor utama dalam pengambilan
keputusan.
g. Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit sehingga
lebih nyata.
h. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya.
Aliran ini sering diidentikkan dengan Pragmatic Legal Realism yang
berkembang di Amerika Serikat. Realisme Hukum memandang bahwa hukum
adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Hukum
dibentuk dari kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi,
kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku dan emosi-emosi yang umum.
Kelebihan dari mazhab ini adalah bahwa hukum sebagai sesuatu yang benar-benar
secara nyata dilaksanakan dan bukan hukum sebagai serentetan aturan yang

11
termuat dalam perundang-undangan artinya mazhab ini mengedepankan putusan
hakim yang sesuai dengan kejadian nyata yang terjadi dan menganggap bahwa
undang-undang hanyalah sumber hukum, dan baru menjadi hukum setelah
dijelmakan ke dalam putusan hakim sehingga terdapat keadilan didalam peradilan
itu.

Sedangkan, yang menjadi kritik ataupun kelemahan dari mazhab ini adalah
dapat menyebabkan terjadinya banyak kebingungan dan melebih-lebihkan peran
hakim dalam membuat dan membentuk hukum. Jika hakim cenderung untuk
mengikuti hukum, maka akan sangat mudah untuk meramalkan apa yang
diputuskan oleh hakim dalam banyak kasus. Bahwa pendekatan realis dapat
diterapkan pada kasus-kasus sulit, yaitu dalam hal undang-undang yang tidak jelas
atau belum ada secara eksplisit. Dimana hukum sudah pasti dan jelas, maka hakim
hanya sedikit melakukan pilihan yaitu menemukan aturan mana yang akan
digunakannya untuk kasus konkret yang dihadapinya atau menerapkan hukum.
Namun, saya sependapat dengan Prof. Achmad Ali didalam bukunya menyatakan
bahwa keterlibatan hakim secara pribadi dalam putusan-putusannya, tidak hanya
ada kalua aturannya kurang jelas. Bahwa penemuan hukum oleh hakim, dengan
metode interpretasi senantiaasa dilakukan oleh hakim dalam setiap putusannya,
termasuk dalam menerapkan suatu undang-undang. Seperti yang diketahui bahwa
undang-undang hanya mengatur hal-hal yang sifatnya umum, dan hakimlah yang
selalu menghubungkan dan mencocokkannya dengan kasus-kasus konkret yang
diadilinya.

4) Mazhab Sosiologis
Mazhab sosiologis dipelopori oleh Eugen Ehrlich, Max Weber dan
Hammaker. Mazhab ini berpandangan bahwa hukum itu sebenarnya merupakan
hasil pertentangan-pertentangan dan hasil pertimbangan antara kekuatan-kekuatan
sosial, cita-cita sosial, institusisosial, perkembangan ekonomi, dan pertentangan
serta perimbangan kepetingan-kepentingan golongan-golongan atau kelas-kelas
dalam masyarakat.

Ilmu pengetahuan hukum tidak hanya dapat mendasarkan diri pada


analisis logika saja terhadap kaidah hukum melainkan juga harus menggunakan
pendekatan secara sosiologis. Hukum bukan norma tetapi kebiasaan-kebiasaan
manusia yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya di dalam masyarakat.
Maka dengan demikian hukum itu merupakan fakta atau petunjuk yang
mencerminkan kehidupan masyarakat.

Aliran hukum yang bersifat sosiologis hukum itu tidak perlu diciptakan
oleh Negara, karena hukum sebenarnya tidak meupakan pernyataan-pernyataan

12
tetapi terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh kehidupan
golongan-golongan dalam masnyarakat.menurut mazhab sosiologis hakim itu
bebas untuk menggali sumber-sumber hokum yang terdapat dalam masnyarakat
yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, perbuataan-perbuataan dan adat. Mazhab
sosiologis oleh karenanya disebut mazhab hokum bebas.

Mazhab sociological Jurisprudence dipelopori oleh Roesco Pound, Eugen


Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich, Gurvitch dan lain lain. Inti pemikiran
madzhab ini menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang ada dalam masyarakat. Pemikiran ini berkembang di
Indonesia dan Amerika.

Kata yang sesuai pada uraian di atas, mencerminkan nilai-nilai yang


berkembang di dalam masyarakat. Mazhab ini berbeda dengan aliran sosiologi
hukum. Sosiologi hukum tumbuh dan berkembang di Eropa Kontinental.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Roscoe Pound mengenai perbedaan
sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum, yaitu bahwa sociological
Jurisprudence merupakan suatu madzhab dalam filsafat hukum yang
memepelajari hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat, sosiologi
hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada
hukum. Singkatnya, sociological jurisprudence mempunyai cara pendekatan yang
bermula dari hukum ke masyarakat sedangkan sosiologi hukum sebaliknya, yaitu
pendekatannya dari masyarakat ke hukum. Madzhab ini mempunyai ajaran
mengenai pentingnya living law (hukum yang hidup dalam masyarakat).

Memperhatikan hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan di


perlukan dalam kehidupan masyarakat, bahwa titik berat perkembangan hukum
terletak pada masyarakat itu sendiri dengan konsep dasarnya “living law” yang
mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (volkgeist) merupakan
kelebihan yang dimilika mazham Sociological Jurisprudence. Sedangkan yang
menjadi kekurangannya yaitu, ajaran tersebut tidak dapat memberikan kriteria
yang jelas yang membedakan norma hukum dari norma sosial yang lain sehingga
meragukan posisi adat kebiasaan sebagai “sumber” hukum dan adat kebiasaan
sebagai suatu bentuk hukum dan menolak mengikuti logika perbedaan antara
norma-norma hukum negara yang khas dan norma-norma hukum dimana negara
hanya memberi sanksi pada fakta sosial.

5) Mazhab Positivisme

Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan


bahwa teori hukum itu hanya bersangkut-paut dengan hukum positif saja, dan

13
merupakan perintah penguasa yang berdaulat.Ilmu hukum tidak membahas
apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan efektivitasnya hukum dalam
masyarakat.

Tokoh dari aliran ini John Austin (Inggris) dan Hans Kelsen yang
berpendapat bahwa ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja dan tidak
berhubungan dengan unsur-unsur agama dan moral, hukum merupakan kehendak
negara, dan hukum itu berisi perintah, kewajiban, kedaulatan, dan sanksi.

Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu
hukum yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar
undang-undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.

a. Analitis

Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari


tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk
yang agak lain, yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John
Austin, yaitu Analytical Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal,
yaitu:

 Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.


 Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:

Hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum
positif yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-
undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau
disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan
hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.

Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang
tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan
dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.

Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di


dalamnya terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.
Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai hukum.

b. Murni

14
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme,
karena pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran
Auistin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit
berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya
terletak pada penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan
menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya
dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara tegas
mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun
Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana
tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.

Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis


(aliran Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre
atau ajaran hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus
dibersihkan dari dan/atau tidak boleh dicampuri oleh politik, etika,
sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan formal
tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali,
karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah.

Banyak pengkritik modern berfikir, klaim bahwa hukum-hukum perilaku


yang benar dapat ditemukan oleh akal, sesungguhnya bertumpu pada ambiguitas
istilah hukum, dan ketika ambiguitas muncul, maka hukum alam akan terhempas
mati. Dengan cara ini pula John Stuart Mill menilai Montesquieu secara naif
bertanya mengapa benda-benda tidak bernyawa mematuhi hukum alam mereka,
sementara manusia tidak melakukan hal yang sama. Menurut Mill, pertanyaan
seperti itu mengacaukan antara hukum-hukum yang merumuskan keteraturan
alam dan hukumhukum yang menuntut manusia untuk berperilaku dengan cara
tertentu. Atas dasar pandangan ini, keyakinan pada hukum alam dapat dilihat
hanya sebagai sesat fikir yang amat terang, ketidakmampuan menangkap
perbedaan besar antara berbagai makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang
melekat pada kata hukum.

Doktrin hukum alam adalah bagian dari sebuah konsep kuno mengenai
alam, di mana dunia dapat diamati tidak sekedar sebuah panggung keteraturan,
dan pengetahuan tentang alam bukan sekedar pengetahuan mengenai suatu
keteraturan. Atas dasar ini, setiap jenis wujud yang ada, bukan hanya sedang
mempertahankan wujudnya melainkan bergerak menuju suatu keadaan optimum
sebagai tujuan akhir. Dewasa ini hukum alam yang rinci seperti masa klasik dan
pertengahan tidak lagi dianggap abadi, karena kedinamisan kehidupan manusia.
Namun, prinsip itu tetap ada dengan lebih umum, seperti keadilan, kejujuran,

15
kesopanan, dan sebagainya. Prinsip itu memiliki kestabilan, tetapi juga sebagai
suatu kelonggaran untuk berubah sesuai perkembangan zaman.

Banyak para ahli tidak bersedia menerima adanya dua macam hukum
(hukum positif dan hukum alam), yang satu telah menjadi undang-undang, dan
yang lain difikirkan sebagai hukum dasar yang lebih kuat dari undang-undang.
Oleh karena itu, para ahli senantiasa melembagakan atau memformulasi prinsip-
prinsip hukum dengan memasukkannya dalam undang-undang dengan
mengadopsinya dalam kerangka yang rasional. Dengan ini pula sebenarnya
banyak pemikir menolak positivisme hukum, tetapi sekaligus juga mengakui
bahwa hukum yang benar adalah hukum positif. Para positivis memandang bahwa
prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam hukum alam sebagai prinsip regulatif
belaka, yaitu sebagai pedoman bagi terbentuknya hukum, dan bukan sebagai
prinsip konstitutif dari hukum. Artinya, bahwa prinsip-prinsip tersebut memang
harus diindahkan pada saat undang-undang dibentuk. Namun, jika undang-undang
yang ada bertentangan dengan prinsipprinsip hukum alam, maka undang-undang
tersebut tetap sah berlaku. Dengan kata lain, menurut para positivisme, hukum
cenderung menganut prinsip kepastian hukum, dibandingkan dengan para ahli
hukum alam yang lebih memperhatikan prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum
bagi masyarakat.

Sebagai sebuah “alat” yang bertujuan memahami berbagai fenomena


sosial, sebuah epistemologi sulit dilepaskan dari fakta adanya keunggulan serta
kelemahan. Adapun beberapa keunggulan dalam epistemologi positivisme.
Pertama, keobjektifan dalam positivisme dapat terukur dan teruji secara empirik.
Kedua, positivisme mengakui adanya relativisme ilmu pengetahuan. Implikasinya
adalah ia lebih toleran dengan adanya perbedaan hasil suatu penelitian. Ketiga,
penelitian dengan memakai positivisme mampu diterapkan untuk memahami
masa lalu, masa kini dan memprediksi masa depan. Keunggulan tersebut berkaitan
dengan asumsi dasar positivisme yang bertujuan mencari hukum-hukum umum.
Untuk selanjutnya, hukum-hukum itu mampu menggambarkan perkembangan
sejarah kebudayaan suatu masyarakat.

Positivisme selain memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan di


dalam memahami gejala sosial-budaya. Dengan menggunakan positivisme,
seorang peneliti hanya terbatas pada kajian fenomena sosial budaya yang bersifat
empiris. Itu artinya, mereka hanya terpaku pada realitas empiris dan menafikkan
realitas imajiner (wacana) ketika melakukan penelitian. Padahal, suatu masyarakat
memiliki kedua realitas tersebut dalam kesehariannya. Kelemahan ini juga turut
serta diteguhkan oleh Jonathan Turner yang berargumen bahwa dunia sosial
kondisinya berbeda dengan dunia alam. Maka dari itu, bagi Turner, dunia sosial

16
(social world) atau fenomena sosial tidak bisa dipelajari dengan metode yang
sama ketika mempelajari dunia alam (natural world). Implikasinya adalah
positivisme sulit dipakai untuk menangkap dan memahami gejala sosial yang
sifatnya non-empiris serta hal-hal yang terkandung di alam bawah sadar manusia.
Artinya, pemaknaan terhadap pengetahuan suatu masyarakat dalam menjalankan
aktivitasnya sulit dipahami dengan memakai epistemologi positivisme. Perihal
yang sifatnya nonempiris itu misalnya saja pengetahuan sekelompok masyarakat
mengenai klasifikasi tanaman obat yang tersebar di hutan. Contoh kasus lainnya
yaitu positivisme tidak mampu menggali secara mendalam mengenai makna
dibalik fenomena ritual pada suatu masyarakat. Disamping itu, kelemahan lain
terletak pada upaya positivisme guna mencapai generalisasi justru berimplikasi
mereduksi keanekaragaman serta keunikan yang dimiliki oleh setiap masyarakat.
Hal ini merupakan dampak dari usaha untuk membandingkan supaya memperoleh
generalisasi

6) Disorder of Law

Charles Sampford dalam The Disorder of The Law memandang hukum


bukanlah bangunan yang penuh dengan keteraturan yang logis rasional melainkan
sebaliknya, suatu yang bersifat melee (cair, fluid). Dari tiga karakteristik hukum
menurut Sampford, dapat diringkas bahwa ketika sampford menggunakan istilah
sosial malee dan legal melee, maka istilah melee diartikan sebagai keadaan yang
cair, sehingga tidak memiliki format atau struktur yang pasti dan tidak kaku, atau
bisa diartikan dinamis.

Kelebihan mahzab "Disorder of Law" versi Charles Sampford adalah ciri-


ciri yang dikemukakan oleh Charles untuk saat ini sudah mencakup ciri-ciri yang
diperlukan dalam membentuk suatu hukum. Ciri-ciri tersebut terdapat 16 poin
Yaitu, Tertulis, 1) Hukum tertulis baik yang dikodivikasikan ataupun tidak
dikodivikasikan, jika hukum tersebut dikodivikasikan maka kelebihannya yaitu
adanya kepastian hukum, adanya kekuasaan hukum dan adanya penyederhanaan
hukum, sedangkan kekurangannya yaitu bergeraknya hukum menjadi lambat dan
tidak mampu dengan cepat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju. 2)
Relevan secara sosial, Hukum memiliki hubungan timbal balik dengan
masyarakat, karena hukum itu sendiri merupakan saran pengatur masyarakat dan
bekerja didalam masyarakat. Itulah sebabnya hukum tidak terlepas dari gagasan

17
maupun pendapat-pendapat yang hidup dikalangan anggota masyarakat, agar
hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. 3) Dibuat oleh suatu badan
publik, Undang-undang adalah salah satu instrumen untuk mengatur masyarakat
yang dicita-citakan. Karena itu proses pembentukannya harus dilakukan dengan
prinsip check and blance antar lembaga negara sesuai dengan kedudukan dan
kewenangan yang dimilikinya. 4) Didukung oleh paksaan, Untuk itu hukum berisi
perintah dan larangan. 5) Ditegakkan oleh pengadilan dan polisi, agar hukum
dapar ditegakkan jika terjadi pelanggaran. 6.) Memiliki kekuatan moral, Kultur
hukum merupakan sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga
unsur kultur hukum inilah yang menentukan mengapa orang patuh atau tidak
terhadap hukum. 7) Ditaati atau digunakan disebagain besar waktu oleh sebagian
besar orang, untuk mengatur tingkah laku manusia agar tercipta ketertiban,
kenyamanan, keamanan, dan keadilan, hal ini tentu saja dapat dilihat dari suatu
tindakan masyarakt untuk dinilai apakah layak untuk dijadikan sebagi suatu aturan
yang harus ditati atau tidak, sehingga aturan ang ada lahir dari kebiasan yang baik
dari masyarakat. 8) Dapat diungkapan dalam bentuk suatu aturan, asas yang
melahirkan norma hukum, kemudian norma hukum yang melahirkan aturan
hukum. Dari satu asas hukum dan satu norma hukum dapat melahirkan lebih dari
satu aturan hukum hingga tak terhingga jumlahnya. 9) Sesuai dengan isi hukum
alam dan nilai-nilai warga masyarakat yang melahirkannya, nilai merupakan dasar
dari moral/etika. 10) Umum, hukum harus umum agar fleksibel, jika khusus
maka akan tertinggal dengan objeknya. 11) Diumumkan resmi, agar setiap orang
mengetahui aturan-aturan yang ada, sebab ketidaktahuan hukum bukan alasan
pemaaf dan pembenar. 12) Non retroactive (tidak berlaku surut), Jika aturan
berlaku surut maka akan merusak integritas hukum. 13) Jelas, Agar mudah
dipahami. 14) Tidak kontradiksi, agar tidak terjadi kontradiksi maka diperlukan
asas. 15) Ttidak menuntut tindakan yang mustahil, agar tidak ada alasan untuk
tidak menaati hukum. 16) Jarang berubah, hukum dalam membuat aturan tidak
berubah-ubah karena akan terjadi kesemrawutan.

18
Kekurangannya antara lain perlu adanya hukum yang tidak tertulis. Selain
hukum tertulis, juga perlu adanya pengakuan terhadap hukum tidak tertulis
meskipun peraturannya dapat berubah sewaktu-waktu. Selain itu, dalam poin
"ditegakkan oleh pengadilan dan polisi", seharusnya tidak semua permasalahan
harus ditegakkan oleh pengadilan dan polisi tetapi juga dapat diselesaikan diluar
pengadilan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka saya dapat menyimpulkan bahwa


cri-ciri yang dikemukakan oleh Charles Sampfroad untuk saat ini sudah mencakup
ciri-ciri yang diperlukan dalam membentuk suatu hukum, meskipun demikian ada
beberapa hal yang saya tidak sependapat misalnya harus tetulis, menurut saya
selain hukum tertulis juga perlu adanya pengakuan terhadap hukum tidak tertulis
meskipun peraturannya dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kepentingan
yeng menghendakinya, tetapi selama itu baik mengapa tidak diakui sebagi hukum.
Ditegakkan oleh pengadilan dan polisi, menurut saya tidak semua permasalahan
harus ditegakkan oleh pengadilan dan polisi tetapi juga dapat diselesaikan diluar
pengadilan.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Mazhab-mazhab ilmu hukum adalah :

Prinsip utama hukum alam adalah hukum itu berlaku secara universal
dan bersifat pribadi. Adapun jenisnya antara lain dibedakan menjadi dua:
hukum alam yang bersumber dari Tuhan, dan hukum alam yang bersumber
dari rasio manusia.

Pelopor aliran historis adalah Friedrich Karl von Savigny.


Pemikirannya tentang hukum dikenal dengan Mazhab Sejarah (Historis) dan
dikembangkan dalam tulisan yang terkenal, yaitu “Von Beruf Unserer Zeit
fur Gesetgebung und Rechtswissenschaft “(tentang Tugas pada Zaman Kita
Bagi Pembentuk UndangUndang dan Ilmu Hukum). Menurut Savigny,
hukum itu memilik kemiripan dengan adanya Bahasa, keduanya berkembang
secara bertahap dari karakteristik suatu masyarakat. Hukum dan Bahasa
berkembang ketika sutau masyarakat berkembang, dan keduanya musnah
ketika suatu masyarakat kehilangan individualitasnya. Jadi menurut penganut
mazhab historisme, hukum tidak diciptakan oleh negara melainkan
ditemukan dalam masyarakat dan penganut mazhab ini jelas sangat
mengagungkan masa lampau.

Realisme hukum berasal dari pengaruh pemikiran modern yang


berkembang di Amerika dan di Skandinavia. Realisme hukum pada dasarnya
merupakan aliran yang meninggalkan pembicaraan mengnai hukum yang
abstrak. Realisme hukum lebih menitikberatkan pada kajian tehadap
pekerjaan-pekerjaan hukum yang praktis dalam menyelesaikan problem-
problem dalam masyarakat.

Mazhab sosiologis dipelopori oleh Eugen Ehrlich, Max Weber dan


Hammaker. Mazhab ini berpandangan bahwa hukum itu sebenarnya
merupakan hasil pertentangan-pertentangan dan hasil pertimbangan antara
kekuatan-kekuatan sosial, cita-cita sosial, institusisosial, perkembangan
ekonomi, dan pertentangan serta perimbangan kepetingan-kepentingan
golongan-golongan atau kelas-kelas dalam masyarakat.

20
Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang
beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut-paut dengan hukum
positif saja, dan merupakan perintah penguasa yang berdaulat.Ilmu hukum
tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan efektivitasnya
hukum dalam masyarakat.

Charles Sampford dalam The Disorder of The Law memandang


hukum bukanlah bangunan yang penuh dengan keteraturan yang logis
rasional melainkan sebaliknya, suatu yang bersifat melee (cair, fluid). Dari
tiga karakteristik hukum menurut Sampford, dapat diringkas bahwa ketika
sampford menggunakan istilah sosial malee dan legal melee, maka istilah
melee diartikan sebagai keadaan yang cair, sehingga tidak memiliki format
atau struktur yang pasti dan tidak kaku, atau bisa diartikan dinamis.

B. SARAN
Saya yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan
dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat saya harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
khususnya berupa penambahan wawasan tentang Madzhab-Madzhab Ilmu
Hukum.

21
DAFTAR PUSTAKA

Pipin Syahrifin, S.H., dan Drs. A. Zarkasy Chumaidy., Pengantar Ilmu Hukum,
(Bandung:
CV Pustaka Setia, 1998)

Darji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-pokok filsafat hukum,


(jakarta:Gramdia, 1999)

Lili Rasjidi, Hukum sebagai suatu sistem, (Bandung:Remaja rosdakarya,1993)

J.B.Daliyo,S.H.2001.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta:Prenhallindo.

Rien G. Kartasapoetra S.H. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap

https://plus.google.com

22

Anda mungkin juga menyukai