KESEHATAN
BAB I
PEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rumus apa saja, sehat menjadi dambaan setiap manusia. Dewasa
ini, pelayanan kesehatan dapat diperoleh mulai dari tingkat Puskesmas,
rumah sakit, dokter praktik swasta dan lain-lain. Kesehatan merupakan
bagian
penting
dari
kesejahteraan
masyarakat.
Kesehatan
juga
lulus
pendidikan
tinggi
yang
menganut
budaya
ketimuran
sering
adat-istiadatnya.Dalam
banyak
1
suku
bangsa
tersebut
juga
Nomor
20
Tahun
2001,
Yang
dimaksud
dengan
gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Gratifikasi yang didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas
lainya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun
di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik. Praktik korupsi pada masa
sekarang mengalami perkembangan dengan munculnya praktik-praktik
baru yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai
peraturan perundang-undangan yang ada.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah gratifikasi dalam pelayanan keperawatan ditinjau dari
aspek medis dan keperawatan, etik dan hukum?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspek Medis dan Keperawatan
Gratifikasi dapat dikategorikan menjadi gratifikasi yang dianggap suap
dan gratifikasi yang tidak dianggap suap. Merujuk pada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setidaknya ada 3 unsur untuk
menyatakan suatu gratifikasi dianggap suap, yaitu:
1. Subyek hukum: pejabat atau pegawai negeri;
2. Pemberian tersebut ada kaitannya dengan jabatan;
3. Bertentangan dengan tugas/kewajiban (melanggar kode etik).
Konsekuensi profesi dokter maupun perawat disematkan status aparat
Negara adalah dimanapun dokter maupun perawat itu berada, selalu ada
halangan (barrier) bagi seorang dokter maupun perawat untuk menerima
sesuatu, baik dari pasien ataupun perusahaan farmasi untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau telah melakukan sesuatu
berkaitan dengan jabatan dan kewenangannya yang bertentangan
dengan kewajibannya. Hal itu merupakan bagian dari pernyataan dalam
Pasal 12 A dan 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Singkat kata,
dokter maupun perawat adalah salah satu pihak yang masuk dalam
definisi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memiliki
kewenangan (menulis resep) dan kewajiban berkaitan dengan jabatannya.
Dokter maupun perawat tidak bisa sembarangan untuk menerima
sesuatu baik berupa uang, barang, dan/atau jasa dari merchandiser obat
atau pasien berkenaan dengan apa yang tertulis di resep obat akibat
penyematan status tersebut. Seringkali kenyataan di lapangan, pasien
yang
meminta
begitu
saja
resep
dari
dokter
maupun
perawat
pakai itu, dan lain sebagainya. Di kemudian hari, pasien yang sama
kembali berobat dan memberikan berbagai macam hadiah kepada dokter
maupun perawat sebagai ucapan terima kasih atas kesembuhannya atau
kebaikan dari sang dokter maupun perawat meskipun tidak sembuh.
Apakah dengan uang yang dibayarkan atas pemaksaan penulisan resep
tersebut termasuk gratifikasi dalam undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi?
Unsur perbuatan melawan hukum telah jelas dalam kasus tersebut sesuai
dengan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara: dokter maupun perawat;
2. Menerima hadiah: pemberian hadiah;
3. Diketahui atau patut diduga: pikiran dokter terhadap motif pemberian;
4. Akibat telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya bertentangan dengan kewajibannya: menulis resep tanpa
SOP yang memadai dan melanggar Standar Etika Kedokteran.
B. Aspek Etik
Seorang dokter setelah disumpah secara bersamaan memiliki sebuah
kode etik yang seharusnya ditaati. Kode etik kedokteran tidak mengatur
secara spesifik tentang praktik gratifikasi yang dilakukan oleh oknum
dokter, tetapi di dalam Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia Nomor: 111/PB/A.4/02/2013, Kewajiban Umum pada Pasal 2
menyebutkan bahwa setiap dokter wajib selalu melakukan pengambilan
keputusan profesional secara independen dan mempertahankan perilaku
profesional dalam ukuran yang tertinggi. Pasal 3 menyebutkan bahwa
dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi. Pasal 2 dan 3 secara tersirat menjelaskan bahwa
praktik gratifikasi yang dilakukan oleh oknum dokter sangat bertentangan
dengan kode etik karena komisi atau fee yang diberikan kepada oknum
dokter tersebut akan melemahkan kemandirian/indepedensi seorang
dokter dalam melayani pasien. Pasal 9 kode etik kedokteran menyebutkan
bahwa seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan
4
untuk
seorang
perawat
Indonesia
dalam
7. Perawat berhak mendapatkan jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang dapat
menimbulkan bahaya fisik maupun stress emosional.
8. Perawat berhak diikutsertakan dalam penyusunan dan penetapan kebijaksanaan
pelayanan kesehatan.
9. Perawat berhak atas privasi dan berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh
pasien/klien dan/atau keluarganya serta tenaga kesehatan lainnya.
10. Perawat berhak untuk menolak dipindahkan ke tempat tugas lain, baik melalui anjuran
atau pengumuman tertulis karena diperlukan, untuk melakukan tindakan yang
bertentangan dengan standar profesi atau kode etik keperawatan atau peraturan
perundang-undangan lainnya.
11. Perawat berhak untuk mendapatkan perhargaan dan imbalan yang layak dari jasa profesi
yang diberikannya berdasarkan perjanjian atau ketentuan yang berlaku di institusi
pelayanan yang bersangkutan.
12. Perawat berhak untuk memperoleh kesempatan mengembangkan karier sesuat dengan
bidang profesinya.
Berdasarkan uraian di atas maka seorang perawat hanya diperbolehkan
menerima imbalan berdasarkan perjanjian atau yang sudah ditetapkan di
institusi tempatnya bekerja, sehingga profesionalisme perawat tetap
terjaga.
C. Aspek Hukum
Seorang dokter maupun perawat yang menjadi pegawai negeri sipil
dilarang untuk menerima gratifikasi. Sesungguhnya pelarangan atas
segala bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait
kapasitasnya
sebagai
pegawai
negeri
atau
penyelenggara
negara
gratifikasi
korupsi,gratifikasi
sebagai
menjadi
bagian
perhatian
dari
upaya
khusus,
pemberantasan
karena
merupakan
c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili.
Namun apabila seorang pegawai negeri hendak melaporkan gratifikasinya maka terbebas dari
ancaman tersebut. Hal ini dijelaskan Kelanjutan dari Pasal 12B yang masih saling berkaitan
yakni Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasasn Tindak Pidana Korupsi:
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat
menjadi milik penerima atau milik negara.
4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Jadi maksud dari pada ketentuan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
adalah apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima suatu
pemberian, maka ia mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada KPK paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Sehingga dengan dilaporkannya
gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut dapat
menghapuskan sifat pidananya menerima gratifikasioleh seorang pegawai negeri atau
penyelenggara Negara.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Gratifikasi
Dugaan korupsi yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan oleh
beberapa pakar hukum adalah praktik korupsi tersembunyi dari profesi
dokter khususnya. Dugaan pemberian komisi (gratifikasi) oleh perusahaan
farmasi kepada oknum dokter untuk menggunakan obat dan jumlah yang
sudah ditargetkan dari perusahaan farmasi tersebut. Obat yang harus
diberikan kepada pasien dipasarkan langsung kepada dokter oleh Medical
Representatif (MR). Komisi atau fee akan diberikan kepada oknum dokter
telah memenuhin target yang diinginkan oleh perusahaan farmasi
tersebut. Komisi yang diberikan dapat bermacam-macam sesuai dengan
tercapainya target dari perusahaan farmasi tersebut. Bentuk komisi yang
biasanya diberikan adalah berupa alat-alat kesehatan, uang, tiket
perjalanan (jalan-jalan), mobil bahkan fasilitas mengikuti seminar atau
kongres. Dampak nyata yang terjadi dari praktik gratifikasi ini adalah
kerugian dari pasien karena komisi yang didapatkan oleh oknum dokter
tersebut diambil dari pembayaran obat yang diresepkan dokter tersebut
atas perintah dari perusahaan farmasi.
Membahas masalah praktik gratifikasi
di
dalam
dunia
kesehatan
(KKI)
tersebut
maka
jelas
bahwa
praktik
gratifikasi
bertentangan dengan isi dari SKDI yang menuntut seorang dokter harus
berperilaku profesional. Gratifikasi akan bertentangan dengan kompetensi
dokter, yaitu bermoral dan beretika. Praktik gratifikasi adalah praktik dari
oknum dokter yang tidak sesuai dengan moral dan etika kedokteran,
dmana setiap dokter harus mampu mengambil keputusan yang bersifat
mandiri
dan
independen
tanpa
dipengaruhi
oleh
pihak
manapun.
10
dalam
berhubungan
dengan
pasien
dan
sejawatnya.
Praktik
tindakan
korupsi,
termasuk tindakan
gratifikasi,
maka
tentang
pengendalian
gratifikasi
di
2014 tersebut,
maka
Menteri
Kesehatan
mengeluarkan
hadiah
atau
janji
dianggap
melekat
pada
jabatan
atau
suatu hukum pidana dan sanksi yang terberat adalah hukuman penjara
selama 3 tahun jika memang oleh pengadilan tindak pidana korupsi
dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran gratifikasi.
Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau
penyelenggara
negara
dianggap
pemberian
suap,
apabila
pihak
manapun
sepanjang
pemberian
tersebut
diberikan
amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci dalam
beberapa hal. Pertama, oknum dokter akan lebih cenderung dan lebih
senang untuk melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah.
Sebaliknya dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan
kepadanya hadiah, padahal semua konsumen mempunyai hak yang
sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil
dan proposional, karena pegawai tersebut sudah mendapatkan gaji secara
rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
Kedua, oknum dokter ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang
konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi. Dia merasa
tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia
bekerja untuk dirinya sendiri. Ketiga, oknum dokter ketika bekerja selalu
dalam
keadaan
mengharap-harap
hadiah
dari
konsumen.
Hal
ini
BAB IV
14
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil uraian pembahasan makalah di atas, maka dapatlah
ditarik suatu simpulan.
Gratifikasi dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi sejak
adanya
pengaturan di dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, meskipun pada sejarahnya gratifikasi
secara tersirat sudah di atur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) warisan
(pembuktian
terbalik),
sedangkan
jika
penerimaan
suap
gratifikasi tersebut bernominal kurang dari Rp. 10 juta, maka yang harus
melakukan pembuktian adalah Jaksa Penuntut Umum
(pembuktian
15
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, beberapa hal yang dapat disarankan
ke dalam beberapa hal. Pertama, tinjauan yuridis dari hasil pembahasan
dalam
makalah
ini
adalah
terdapat
dan
beberapa
kelemahan
dalam
perlu
DAFTAR PUSTAKA
16
Buku
1. Presiden Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Jakarta.
2. Presiden Republik Indonesia. 2001. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta.
3. Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Jakarta : Konsil
Kedokteran Indonesia.
4. Ikatan Dokter Indonesia. 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta :
Ikatan Dokter Indonesia
5. Menteri Kesehatan Indonesia. 2014. Permenkes No. 14 Tahun 2014
tentang Pengendalian
Gratifikasi
di
Kesehatan. Jakarta.
6. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Lingkungan
Kementerian
Pengkajian
17