Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN ETIK DAN HUKUM TENTANG GRATIFIKASI BAGI TENAGA

KESEHATAN
BAB I
PEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rumus apa saja, sehat menjadi dambaan setiap manusia. Dewasa
ini, pelayanan kesehatan dapat diperoleh mulai dari tingkat Puskesmas,
rumah sakit, dokter praktik swasta dan lain-lain. Kesehatan merupakan
bagian

penting

dari

kesejahteraan

masyarakat.

Kesehatan

juga

merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang,


pangan dan papan. Pelaksana pelayanan kesehatan yang banyak menjadi
sorotan saat ini adalah dokter dan perawat.
Perawat adalah seseorang yang telah

lulus

pendidikan

tinggi

Keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh


Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Sedangkan Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan
profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan
yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada
individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan).
Masyarakat Indonesia

yang

menganut

budaya

ketimuran

sering

mengekspresikan rasa terimakasihnya dalam bentuk pemberian hadiah.


Praktik memberi dan menerima hadiah sesungguhnya merupakan hal
yang wajar dalam hubungan kemasyarakatan. Praktik tersebut dilakukan
mulai dari peristiwa alamiah seperti kelahiran, sakit, dan kematian,
penyelenggaraan atau perayaan dalam momentum tertentu seperti
aqiqah, potong gigi, sunatan, ulang tahun dan perkawinan.
Dalam konteks adat- istiadat , praktik pemberian bahkan lebih bervariasi.
Apalagi Indonesia hidup dengan keberagaman suku bangsa dengan
segala

adat-istiadatnya.Dalam

banyak
1

suku

bangsa

tersebut

juga

terdapat keberagaman praktik memberi dan menerima hadiah dengan


segala latar belakang sosial dan sejarahnya.
Dalam melayani masyarakat tentunya seorang perawat pernah menerima
pemberian dari pasien, baik berupa barang ataupun uang sebagai bentuk
rasa terima kasih terhadap pelayanan yang telah diberikan.
Gratifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah uang
hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 12B Ayat (1) jo
Undang-Undang

Nomor

20

Tahun

2001,

Yang

dimaksud

dengan

gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Gratifikasi yang didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas
lainya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun
di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik. Praktik korupsi pada masa
sekarang mengalami perkembangan dengan munculnya praktik-praktik
baru yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai
peraturan perundang-undangan yang ada.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah gratifikasi dalam pelayanan keperawatan ditinjau dari
aspek medis dan keperawatan, etik dan hukum?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspek Medis dan Keperawatan
Gratifikasi dapat dikategorikan menjadi gratifikasi yang dianggap suap
dan gratifikasi yang tidak dianggap suap. Merujuk pada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setidaknya ada 3 unsur untuk
menyatakan suatu gratifikasi dianggap suap, yaitu:
1. Subyek hukum: pejabat atau pegawai negeri;
2. Pemberian tersebut ada kaitannya dengan jabatan;
3. Bertentangan dengan tugas/kewajiban (melanggar kode etik).
Konsekuensi profesi dokter maupun perawat disematkan status aparat
Negara adalah dimanapun dokter maupun perawat itu berada, selalu ada
halangan (barrier) bagi seorang dokter maupun perawat untuk menerima
sesuatu, baik dari pasien ataupun perusahaan farmasi untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau telah melakukan sesuatu
berkaitan dengan jabatan dan kewenangannya yang bertentangan
dengan kewajibannya. Hal itu merupakan bagian dari pernyataan dalam
Pasal 12 A dan 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Singkat kata,
dokter maupun perawat adalah salah satu pihak yang masuk dalam
definisi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memiliki
kewenangan (menulis resep) dan kewajiban berkaitan dengan jabatannya.
Dokter maupun perawat tidak bisa sembarangan untuk menerima
sesuatu baik berupa uang, barang, dan/atau jasa dari merchandiser obat
atau pasien berkenaan dengan apa yang tertulis di resep obat akibat
penyematan status tersebut. Seringkali kenyataan di lapangan, pasien
yang

meminta

begitu

saja

resep

dari

dokter

maupun

perawat

terkesan ngeyel ketika sang dokter maupun perawat memperingatkan


bahwa obat tersebut tidak cocok dengan pasien tersebut. Tetapi, pasien
tersebut tetap memaksa untuk dokter menuliskan resep obat tersebut
dengan berbagai macam alasan, mulai dari murah, manjur, sudah biasa
3

pakai itu, dan lain sebagainya. Di kemudian hari, pasien yang sama
kembali berobat dan memberikan berbagai macam hadiah kepada dokter
maupun perawat sebagai ucapan terima kasih atas kesembuhannya atau
kebaikan dari sang dokter maupun perawat meskipun tidak sembuh.
Apakah dengan uang yang dibayarkan atas pemaksaan penulisan resep
tersebut termasuk gratifikasi dalam undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi?
Unsur perbuatan melawan hukum telah jelas dalam kasus tersebut sesuai
dengan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara: dokter maupun perawat;
2. Menerima hadiah: pemberian hadiah;
3. Diketahui atau patut diduga: pikiran dokter terhadap motif pemberian;
4. Akibat telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya bertentangan dengan kewajibannya: menulis resep tanpa
SOP yang memadai dan melanggar Standar Etika Kedokteran.
B. Aspek Etik
Seorang dokter setelah disumpah secara bersamaan memiliki sebuah
kode etik yang seharusnya ditaati. Kode etik kedokteran tidak mengatur
secara spesifik tentang praktik gratifikasi yang dilakukan oleh oknum
dokter, tetapi di dalam Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia Nomor: 111/PB/A.4/02/2013, Kewajiban Umum pada Pasal 2
menyebutkan bahwa setiap dokter wajib selalu melakukan pengambilan
keputusan profesional secara independen dan mempertahankan perilaku
profesional dalam ukuran yang tertinggi. Pasal 3 menyebutkan bahwa
dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi. Pasal 2 dan 3 secara tersirat menjelaskan bahwa
praktik gratifikasi yang dilakukan oleh oknum dokter sangat bertentangan
dengan kode etik karena komisi atau fee yang diberikan kepada oknum
dokter tersebut akan melemahkan kemandirian/indepedensi seorang
dokter dalam melayani pasien. Pasal 9 kode etik kedokteran menyebutkan
bahwa seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan
4

pasien dan sejawatnya. Praktik gratifikasi yang dilakukan oleh oknum


dokter merupakan praktik yang tidak menjunjung tinggi nilai kejujuran
terhadap pasien bahwa cenderung merugikan pasien.
Dalam menjalankan profesinya, seorang perawat diatur oleh kode etik
keperawatan. Kode etik adalah pernyataan standar professional yang
digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk
membuat keputusan.
Aturan yang berlaku

untuk

seorang

perawat

Indonesia

dalam

melaksanakan tugas atau fungsi perawat adalah kode etik perawat


nasional Indonesia, di mana seorang perawat selalau berpegang teguh
terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat di hindarkan
.
Kode etik adalah sistem norma,nilai, dan aturan professional tertulis yang
secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, serta apa yang tidak
benar dan tidak baik bagi professional. Kode etik menyatakan perbuatan
apa yang benar dan salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan yang
harus dihindari.
Tujuan kode etik adalah agar professional memberikan jasa sebaikbaiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik, akan
melindungi perbuatan yang tidak professional.
Menurut kode etik perawat, seorang perawat memiliki hak antara lain:
1. Perawat berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
sesuai dengan profesinya.
2. Perawat berhak untuk mengembangkan diri melalui kemampuan spesialisasi sesuai
dengan latar belakang pendidikannya.
3. Perawat berhak untuk menolak keinginan pasien atau klien yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, serta standard an kode etik profesi.
4. Perawat berhak untuk mendapatkan informasi lengkap dari pasien atau klien atau
keluarganya tentang keluhan kesehatan dan ketidakpuasaanya terhadap pelayanan yang
diberikan.
5. Perawat berhak untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya berdasarkan perkembangan
IPTEK dalam bidang keperawatan, kesehatan secara terus-menerus.
6. Perawat berhak untuk diperlakukan secara adil dan jujur oleh institusi pelayanan maupun
oleh pasien/klien.

7. Perawat berhak mendapatkan jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang dapat
menimbulkan bahaya fisik maupun stress emosional.
8. Perawat berhak diikutsertakan dalam penyusunan dan penetapan kebijaksanaan
pelayanan kesehatan.
9. Perawat berhak atas privasi dan berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh
pasien/klien dan/atau keluarganya serta tenaga kesehatan lainnya.
10. Perawat berhak untuk menolak dipindahkan ke tempat tugas lain, baik melalui anjuran
atau pengumuman tertulis karena diperlukan, untuk melakukan tindakan yang
bertentangan dengan standar profesi atau kode etik keperawatan atau peraturan
perundang-undangan lainnya.
11. Perawat berhak untuk mendapatkan perhargaan dan imbalan yang layak dari jasa profesi
yang diberikannya berdasarkan perjanjian atau ketentuan yang berlaku di institusi
pelayanan yang bersangkutan.
12. Perawat berhak untuk memperoleh kesempatan mengembangkan karier sesuat dengan
bidang profesinya.
Berdasarkan uraian di atas maka seorang perawat hanya diperbolehkan
menerima imbalan berdasarkan perjanjian atau yang sudah ditetapkan di
institusi tempatnya bekerja, sehingga profesionalisme perawat tetap
terjaga.
C. Aspek Hukum
Seorang dokter maupun perawat yang menjadi pegawai negeri sipil
dilarang untuk menerima gratifikasi. Sesungguhnya pelarangan atas
segala bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait
kapasitasnya

sebagai

pegawai

negeri

atau

penyelenggara

negara

bukanlah sesuatu yang baru. Dan baru-baru inilah dibuat peraturan


mengenai

gratifikasi

korupsi,gratifikasi

sebagai

menjadi

bagian

perhatian

dari

upaya

khusus,

pemberantasan

karena

merupakan

ketentuan yang baru dalam perundang-undangan dan perlu sosialisasi


yang lebih baik untuk kedepannya. Menurut perspektif hukum, definisi
korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan
6

kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut


menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bias dikenakan
sanksi pidana karena korupsi.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan Negara;
2. Suap menyuap;
3. Penggelapan dalam jabatan;
4. Pemerasan;
5. Perbuatan curang;
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
7. Gratifikasi.
Pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasasn
Tindak Pidana Korupsi Pasal 12B ayat (1) gratifikasi didefinisikan sebagai
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di
luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik
atau tanpa sarana elektronik.
Ancaman mengenai tindakan gratifikasi ini termuat pada Pasal 12 huruf
a, b, dan c: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya.
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya.

c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili.
Namun apabila seorang pegawai negeri hendak melaporkan gratifikasinya maka terbebas dari
ancaman tersebut. Hal ini dijelaskan Kelanjutan dari Pasal 12B yang masih saling berkaitan
yakni Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasasn Tindak Pidana Korupsi:
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat
menjadi milik penerima atau milik negara.
4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Jadi maksud dari pada ketentuan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
adalah apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima suatu
pemberian, maka ia mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada KPK paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Sehingga dengan dilaporkannya
gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut dapat
menghapuskan sifat pidananya menerima gratifikasioleh seorang pegawai negeri atau
penyelenggara Negara.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Gratifikasi
Dugaan korupsi yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan oleh
beberapa pakar hukum adalah praktik korupsi tersembunyi dari profesi
dokter khususnya. Dugaan pemberian komisi (gratifikasi) oleh perusahaan
farmasi kepada oknum dokter untuk menggunakan obat dan jumlah yang
sudah ditargetkan dari perusahaan farmasi tersebut. Obat yang harus
diberikan kepada pasien dipasarkan langsung kepada dokter oleh Medical
Representatif (MR). Komisi atau fee akan diberikan kepada oknum dokter
telah memenuhin target yang diinginkan oleh perusahaan farmasi
tersebut. Komisi yang diberikan dapat bermacam-macam sesuai dengan
tercapainya target dari perusahaan farmasi tersebut. Bentuk komisi yang
biasanya diberikan adalah berupa alat-alat kesehatan, uang, tiket
perjalanan (jalan-jalan), mobil bahkan fasilitas mengikuti seminar atau
kongres. Dampak nyata yang terjadi dari praktik gratifikasi ini adalah
kerugian dari pasien karena komisi yang didapatkan oleh oknum dokter
tersebut diambil dari pembayaran obat yang diresepkan dokter tersebut
atas perintah dari perusahaan farmasi.
Membahas masalah praktik gratifikasi

di

dalam

dunia

kesehatan

khususnya kedokteran maka banyak aspek yang harus dibahas di


dalamnya, yaitu dari sisi aspek hukum (yuridis), aspek etik, aspek pakar
hukum dan lembaga terkait yang berhubungan dengan gratifikasi seperti
lembaga inndependen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pembuktian
gratifikasi akan sulit dilakukan jika tidak dibahas melalui berbagai sumber
9

karena merupakan hak dokter untuk memberikan terapi secara penuh


terhadap pasiennya.
Konsil Kedokteran Indonesia yang disahkan pada tahun 2012 menjelaskan
bahwa sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) maka
setiap lulusan profesi dokter harus terstandarisasai dan menghasilkan
dokter yang profesional. Dokter yang profesional akan memiliki keilmuan,
keterampilan klinis dan perilaku yang profesional. Berkaitan dengan
praktik gratifikasi dokter yang saat ini marak terjadi, maka di dalam
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang dibuat oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) menyebutkan bahwa setiap dokter harus
memiliki komponen, yaitu profesionalitas yang luhur. Komponen tersebut
menyebutkan bahwa seorang dokter harus memiliki sikap dan perilaku
yang luhur, yaitu berke-Tuhanan Yang Maha Esa, bermoral, beretika,
disiplin, sadar dan taat hukum, berwawasan sosial dan berperilaku
profesional. Berdasarkan SKDI yang dibuat oleh Konsil Kedokteran
Indonesia

(KKI)

tersebut

maka

jelas

bahwa

praktik

gratifikasi

bertentangan dengan isi dari SKDI yang menuntut seorang dokter harus
berperilaku profesional. Gratifikasi akan bertentangan dengan kompetensi
dokter, yaitu bermoral dan beretika. Praktik gratifikasi adalah praktik dari
oknum dokter yang tidak sesuai dengan moral dan etika kedokteran,
dmana setiap dokter harus mampu mengambil keputusan yang bersifat
mandiri

dan

independen

tanpa

dipengaruhi

oleh

pihak

manapun.

Gratifikasi juga tidak beretika dimana seorang pasien akan dirugikan


secara materi karena komisi yang diambil oknum dokter berasal dari obat
yang diresepkan dokter atas perintah perusahaan farmasi. Jadi dapat
disimpulkan bahwa Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) secara tegas tidak
akan memperbolehkan atau melarang seorang dokter baik dokter yang
berstatus PNS maupun tidak untuk melakukan praktik gratifikasi karena
tidak sesuai dengan moral dan etika kedokteran. Konsil Kedokteran juga
memiliki wewenang untuk memberikan sanksi kepada seorang dokter

10

yang melanggar kode etik dan standar kompetensi kedokteran berupa


sanksi administratif.
Kode etik kedokteran tidak mengatur secara spesifik tentang praktik
gratifikasi yang dilakukan oleh oknum dokter, tetapi di dalam kewajiban
umum pada Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap dokter wajib selalu
melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen dan
mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi. Pasal
3 menyebutkan bahwa dalam melakukan pekerjaan kedokterannya,
seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Pasal 2 dan 3 secara
tersirat menjelaskan bahwa praktik gratifikasi yang dilakukan oleh oknum
dokter sangat bertentangan dengan kode etik karena komisi atau fee
yang diberikan kepada oknum dokter tersebut akan melemahkan
kemandirian/indepedensi seorang dokter dalam melayani pasien. Pasal 9
kode etik kedokteran menyebutkan bahwa seorang dokter wajib bersikap
jujur

dalam

berhubungan

dengan

pasien

dan

sejawatnya.

Praktik

gratifikasi yang dilakukan oleh oknum dokter merupakan praktik yang


tidak menjunjung tinggi nilai kejujuran terhadap pasien bahwa cenderung
merugikan pasien.
Kode etik keperawatan juga jelas menyebutkan bahwa perawat memiliki
tanggug

jawab terhadap keberlangsungan praktik keperawatan yang

profesional dan berkualitas untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan


yang baik. Berkaitan dengan praktik gratifikasi yang terjadi di dunia
kesehatan, perawat memiliki tanggung jawab etik terhadap teman
sejawat khususnya oknum dokter yang melakukan praktik gratifikasi.
Kode etik perawat menyebutkan bahwa perawat bertindak melindungi
pasien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan
yang secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal. Jadi seorang perawat
juga memiliki tanggung jawab etik untuk dapat menjaga seorang pasien
dari oknum dokter yang bertindak tidak etis dan illegal seperti praktik
gratifikasi.
11

Aspek yuridis yang berhubungan langsung dengan gratifikasi kedokteran


terdapat pada Permenkes Nomor 14 Tahun 2014. memberantas segala
bentuk

tindakan

korupsi,

termasuk tindakan

gratifikasi,

maka

Kementerian Kesehatan membuat suatu Peraturan Menteri Kesehatan


Nomor 14 Tahun 2014 yang disahkan pada 27 Maret 2014 di mana di
dalamnya mengatur

tentang

pengendalian

gratifikasi

di

lingkungan Kementerian Kesehatan. Pada Permenkes itu pula dijelaskan


tentang Kategori Gratifikasi, Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG), dan
Mekanisme Pelaporan Gratifikasi. Tindak lanjut dari Permenkes Nomor 14
tahun

2014 tersebut,

maka

Menteri

Kesehatan

mengeluarkan

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/306/2014 yang


ditetapkan pada tanggal 24 September 2014 tentang Petunjuk Teknis
Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Juknis ini
dibuat untuk mempermudah pelaksanaan Permenkes tersebut.
Pasal 1 dan pasal 9 Permenkes Nomor 14 Tahun 2014 menyebutkan
bahwa seorang dokter yang telah menjadi Aparatur Sipil Negara atau PNS
(pegawai negeri sipil) dilarang untuk melakukan praktik gratifikasi yang
bersifat suap. Pasal 9 Permenkes Nomor 14 Tahun 2014 sangat jelas
menyebutkan bahwa marketing fee (menerima imbalan atas pemasaran
produk) merupakan bentuk gratifikasi yang bersifat suap dan dapat
dikategorikan sebagai bentuk dari korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi pada Pasal 13 menyebutkan bahwa seseorang yang memberikan
hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh
pemberi

hadiah

atau

janji

dianggap

melekat

pada

jabatan

atau

kedudukan tersebut maka dipidanan dengan pidana penjara paling lama


tiga (3) tahun dan atau denda 150.000.000 (seratus lima puluh juta). Jadi
jelas bahwa gratifikasi yang dilakukan oleh oknum dokter khususnya yang
berstatus PNS maka praktik gratifikasi tersebut telah termasuk dalam
12

suatu hukum pidana dan sanksi yang terberat adalah hukuman penjara
selama 3 tahun jika memang oleh pengadilan tindak pidana korupsi
dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran gratifikasi.
Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau

penyelenggara

negara

dianggap

pemberian

suap,

apabila

berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban


atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut". Jika dilihat dari
rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gratifikasi atau
pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap
khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri
adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut
melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah
dari

pihak

manapun

sepanjang

pemberian

tersebut

diberikan

berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.


Johan Budi selaku salah satu Plt. Pimpinan KPK melalui surat kabar online
pada bulan Februari Tahun 2015 mengatakan bahwa definisi dari
gratifikasi sangat luas dan Johan Budi juga menganjurkan bahwa dokter
sebaiknya mengacu pada Undang-Undang tindak pidana korupsi Pasal 1
dan KUHP Pasal 92. Dalam Undang-Undang tindak pidana korupsi
menyebutkan bahwa subyek hukum yang menjadi ranah KPK adalah
pegawai negeri dan penyelenggara megara. Pasal 1 angka 2 disebutkan
bahwa definisi pegawai negeri adalah orang yang menerima gaji atau
upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari
negara atau masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa pegawai Kementerian
Kesehatan yang sebagiannya dokter juga termasuk. Termasuk juga
dokter-dokter yang bekerja di rumah sakit pemerintah dan puskesmas
(Koran Tempo, 4 Februari 2015).
B. Implikasi dari Dampak Negatif Gratifikasi atau Suap
Hadiah pegawai (gratifikasi) ini akan merusak tatanan negara secara
keseluruhan dan akan mengganggu kerja pegawai, serta mencabut rasa
13

amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci dalam
beberapa hal. Pertama, oknum dokter akan lebih cenderung dan lebih
senang untuk melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah.
Sebaliknya dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan
kepadanya hadiah, padahal semua konsumen mempunyai hak yang
sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil
dan proposional, karena pegawai tersebut sudah mendapatkan gaji secara
rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
Kedua, oknum dokter ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang
konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi. Dia merasa
tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia
bekerja untuk dirinya sendiri. Ketiga, oknum dokter ketika bekerja selalu
dalam

keadaan

mengharap-harap

hadiah

dari

konsumen.

Hal

ini

merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan, karena Islam


mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan menjauhi dari
mengharap apa yang ada di tangan orang lain.

BAB IV
14

PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil uraian pembahasan makalah di atas, maka dapatlah
ditarik suatu simpulan.
Gratifikasi dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi sejak

adanya

pengaturan di dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, meskipun pada sejarahnya gratifikasi
secara tersirat sudah di atur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) warisan

kolonial Belanda, namun terjadi pembaruan

hukum pidana khusus korupsi. Hal ini dilakukan mengingat korupsi


merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dirasakan
sulit pemberantasannya sehingga diperlukan suatu undang-undang yang
ampuh. Pengaturan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut
berlandaskan pada 3 (tiga) landasan yaitu Landasan Filosofis, Landasan
Sosiologis dan Landasan Yuridis.
Gratifikasi pada hakekatnya bukan suatu tindak pidana, dalam hal ini
kualifikasi deliknya justru terdapat pada penerima gratifikasi. Gratifikasi
sendiri dalam

formulasinya masih belum jelas, karena dalam Pasal

Gratifikasi tersebut tidak disebutkan batasan minimal nominal seseorang


dapat dikenakan Pasal Gratifikasi tersebut. Kemudian untuk beban
pembuktian terhadap penerimaan suap gratifikasi yang bernominal Rp.
10 juta atau lebih maka pembuktiannya dilakukan oleh si penerima
gratifikasi

(pembuktian

terbalik),

sedangkan

jika

penerimaan

suap

gratifikasi tersebut bernominal kurang dari Rp. 10 juta, maka yang harus
melakukan pembuktian adalah Jaksa Penuntut Umum

(pembuktian

biasa). Demikian juga apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara


segera melaporkan terjadinya gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal diterimanya gratifikasi, maka pidananya menjadi hapus.

15

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, beberapa hal yang dapat disarankan
ke dalam beberapa hal. Pertama, tinjauan yuridis dari hasil pembahasan
dalam

makalah

ini

adalah

terdapat

pengaturan gratifikasi saat ini

dan

beberapa

kelemahan

dalam

memerlukan pengaturan yang

bersifat menyeluruh. Kebijakan formulasi mengenai gratifikasi yang telah


ada saat ini dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
diadakan

perlu

penyusunan ulang (re-formulasi) terutama dalam substansi

pengertian gratifikasi, pelaporan penerimaan gratifikasi kepada Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sanksi pidana, dan kualifikasi
pemberi dan penerima gratifikasi, sehingga optimalisasi penerapan dan
penegakan hukum sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu
kepastian dan keadilan.
Kedua, untuk rumusan tentang batasan nilai hadiah yang boleh diterima
pejabat Negara (gratifikasi) sebaiknya diupayakan untuk disebutkan
dalam

re-formulasi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau

dimasukan ke dalam Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi,


sehingga tidak terjadi kendala dalam implementasinya.

DAFTAR PUSTAKA
16

Buku
1. Presiden Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Jakarta.
2. Presiden Republik Indonesia. 2001. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta.
3. Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Jakarta : Konsil
Kedokteran Indonesia.
4. Ikatan Dokter Indonesia. 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta :
Ikatan Dokter Indonesia
5. Menteri Kesehatan Indonesia. 2014. Permenkes No. 14 Tahun 2014
tentang Pengendalian

Gratifikasi

di

Kesehatan. Jakarta.
6. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen

Lingkungan

Kementerian

Hukum Dan HAM,

Pengkajian

Masalah Hukum Penanggulangan Tindak pidana Korupsi, (Jakarta:2002), hlm:13.


Sumber Lain
1. Budi, J. 2014. Mengenal lebih Jauh Gratifikasi di Bidang Kesehatan. (diakses 25 Desember
2016) http://nasional.sindonews.com/read/1060890/13/kpk-minta masyarakat laporkan-jikaada-gratifikasi-dokter-1447296715.
2. http://infohukum.co.cc/gratifikasi-dalam-pegawai-negeri/ diakses tanggal 25 Desember 2016
pukul 13.43
3. https://www.kpk.go.id/gratifikasi/BP/buku_saku_korupsi.pdf. diakses tanggal 25 Desember
2016 pukul 14.55

17

Anda mungkin juga menyukai