Anda di halaman 1dari 15

PERBANDINGAN PERKAWINAN

KUH-Perdata (Burgerlijk Wetboek) UU Nomor 1 Tahun 1974

1. Pengertian 1) Pengertian
Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam Perkawinan ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria
hubungan-hubungan perdata. (Pasal 26) dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
Hubungan-hubungan perdata ialah hubungan yang hanya membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
melibatkan antara orang yang satu dengan orang yang berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 1)
lainnya atau disebut hubungan per-orangan. Dan pengertian Pengertian perkawinan menurut UU No 1 tahun 1974
perkawinan dalam BW hanya menjelaskan pengertian yuridis memiliki tiga unsur, yaitu ikatan lahir batin antara seorang
saja. pria dengan seorang wanita, bertujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal, dan berdasarkan KeTuhanan YME.
2. Azas 2) Azas
Pada BW, azas yang digunakan dalam perkawinan adalah, Pada UU No 1 Tahun 1974, azas yang digunakan dalam
a. Sepakat (Pasal 28) perkawinan adalah,
b. Monogami Mutlak (Pasal 27) a. Sepakat (Pasal 3 ayat (2))
b. Monagami tidak Mutlak (Pasal 3 ayat (1))
3. Sahnya Perkawinan 3) Sahnya Perkawinan
Perkawinan sah menurut BW, apabila: Perkawinan Sah menurut UU Perkawinan, apabila:
a. Secara Yuridis, Hubungan-hubungan keperdataannya a. Dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
terpenuhi. (Pasal 26) kepercayaannya. (Pasal 2 ayat (1))
b. Yang hendak kawin memberitahukan kepada Pegawai b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
Catatan Sipil ditempat salah satu pihak. (Pasal 50) perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 2 ayat (2))
4. Syarat Perkawinan 4) Syarat Perkawinan
a. Persetujuan kedua belah pihak. (Pasal 28) a. Persetujuan kedua belah pihak. (Pasal 6 ayat (1))
b. Batas usia untuk pria yaitu 18 tahun, dan wanita yaitu 15 b. Batas usia untuk pria yaitu 19 tahun, dan wanita yaitu 16
tahun. (Pasal 29) tahun. (Pasal 7 ayat (1))
c. Apabila akan kawin, tapi belum mencapai usia 30 tahun c. Untuk melangsungkan perkawinan, apabila belum
maka harus meminta izin dari ibu atau bapak mereka mencapai usia 21 tahun, maka harus mendapat izin dari
(Pasal 42), dan apabila tidak memperoleh izin maka kedua orangtua (Pasal 6 ayat (2)) dan apabila telah
boleh meminta izin kepada Pengadilan Negeri tempat meninggal kedua orangtuanya maka minta izin kepada
mereka tinggal. salah satu orangtua yang masih hidup (Pasal 6 ayat (3),
d. Perkawinan dilarang, antara: jika tidak ada maka kepada wali (Pasal 6 ayat (4)), dan
 Yang satu dengan yang lainnya bertalian keluarga jika tidak ada juga dapat meminta izin kepada Pengadilan
dalam garis keturunan keatas maupun kebawah, baik (Pasal 6 ayat (5))
karena perkawinan yang sah, maupun taksah atau d. Perkawinan dilarang, antara:
karena perkawinan dan dalam garis menyimpang  Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus
antara saudara laki-laki dan saudara perempuan sah kebawah atau keatas
atau taksah. (Pasal 30)  Berhubungan darah dalam garis keturunan
 Antara ipar laki-laki dan ipar perempuan. (Pasal 31) menyamping
 Antara paman atau paman orangtua dan anak  Berhubungan semenda
perempuan saudara atau cucu perempuan saudara,  Berhubungan sepersusuan
seperti antara bibi atau bibi orangtua dan anak laki-  Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi
laki saudara atau cucu laki-laki saudara. (Pasal 31) atau kemenakan dari isteri
 Perkawinan untuk kedua kalianya dengan orang yang  Mempunyai hubungan yang agamanya atau peraturan
sama adalah terlarang (Pasal 33)
 Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi lain yang berlaku, dilarang kawin
sebelum lewat 300 hari semenjak perkawinan terakhir  Apabila antara suami-istri telah bercerai sebanyak 2
dibubarkan (Pasal 34) kali, maka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya dari keduanya tidak menentukan lain.
(Pasal 10)
 Bagi seorang wanita yang perkawinannya putus
berlaku jangka waktu tunggu sesuai dengan Peraturan
Pemerintah lebih lanjut. (Pasal 11)
5. Tata cara perkawinan 5) Tata cara perkawinan
Didalam BW diatur tata cara perkawinan dari mulai sebelum Didalam UU Perkawinan tata cara pelaksanaan perkawinan
perkawinan, dan saat perkawinan itu berlangsung (Pasal 50- diatur dalam perundang-undangan tersendiri. (Pasal 12)
58, Pasal 71-82)
6. Pencegahan Perkawinan 6) Pencegahan Perkawinan
a. Hak mencegah berlangsungnya suatu perkawinan a. Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak
hanyalah ada pada suami-istri yang masing mengikat satu memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
sama lain, anak yang dilahirkan dari perkawinan, bapak perkawinan. (Pasal 13)
atau ibunya, kakek atau neneknya, saudaranya, dan b. Orang yang dapat mencegah perkawinan ialah para
walinya. (Pasal 59-64) keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah,
b. Jika pencegahan perkawinannya ditolak kecuali saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang
dilakukan oleh para keluarga sedarah yang dalam garis calon mempelai, pejabat yang ditunjuk dan pihak-pihak
lurus kebawah atau keatas atau Kejaksaan, mereka yang lainnya yang berkepentingan, dan mereka berhak
melakukan boleh dihukum dengan membayar segala mencegah perkawinan tersebut apabila nyatanya
biaya, rugi, dan bunga. (Pasal 69) perkawinan tersebut mengakibatkan kesengsaraan bagi
calon mempelai lainnya. (Pasal 14 dan Pasal 17)
c. Pihak yang pencegahan perkawinannya ditolak berhak
mengajukan permohonan kepada pengadilan dalam
wilayah pencatatan perkawinan yang mengadakan
penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan,
dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut.
(Pasal 21 ayat (3))
7. Batalnya Perkawinan 7) Batalnya Perkawinan
a. Batalnya perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh hakim. a. Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan
(Pasal 85) Pengadilan yang bersifat tetap dan berlaku sejak saat
b. Perkawinan dapat dibatalkan, apabila tidak ada kata berlangsungnya perkawinan (Pasal 28 ayat (1))
sepakat antara kedua belah pihak, karena b. Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
ketidaksempurnaan akalnya, belum mencapai umur yang memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
disyaratkan, menyalahi ketentuan dari pasal 30-33, perkawinan. (Pasal 28)
berlangsung tanpa izin orangtua dan orang yang
disebutkan dalam pasal 37-40. (Pasal 87-91)
8. Perjanjian Perkawinan 8) Perjanjian Perkawinan
a. Perjanjian tidak boleh mengurangi segala hak yang a. Perjanjian tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-
disandarkan pada kekuasaan suami, istri, orangtua, dan batas hukum, agama, dan kesusilaan. (Pasal 29 ayat (2))
hak-hak yang diberikan undang-undang kepada suami- b. Perjanjian berlaku dimulai sejak perkawinan
istri. (Pasal 140) dilangsungkan. (Pasal 29 ayat (3))
b. Tidak boleh memperjanjikan sesuatu bahwa salah satu c. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat
pihak harus membayar utang pihak lain dalam laba dirubah, kecuali bila kedua belah pihak setuju untuk
persatuan. (Pasal 142) melakukan perubahan dan perubahan tidak merugikan
c. Setelah perkawinan berlangsung, dengan cara apapun pihak ketiga. (Pasal 29 ayat (4))
perjanjian tersebut tidak dapat dirubah. (Pasal 149)
9. Hak dan Kewajiban Suami-Isteri 9) Hak dan Kewajiban Suami-Isteri
a. Suami-isteri mengikat diri dalam satu perkawinan dan a. Suami-isteri memikul kewajiban luhur untuk menegakkan
karena itu terikatlah dalam satu perjanjian timbale-balik, rumah tangga yang menjadi sendi-sendi dari susunan
memelihara dan mendidik anak. (Pasal 104) masyarakat. (Pasal 30)
b. Harus setia, tolong-menolong, dan saling membantu satu b. Wajib saling mencintai, menghormati, setia, memberikan
sama lain (Pasal 103) bantuan lahir batin kepada satu sama lain. (Pasal 33)
c. Suami adalah kepala dalam perkawinan, dan isteri harus c. Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah
tunduk patuh kepada suaminya (Pasal 105-106) tangga (Pasal 32 ayat (2))
d. Hak dan kedudukan suami lebih tinggi daripada isterinya d. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak
karena segala sesuatu perbuatan, perjanjian, harta, dan dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
kekuasaan harus berdasarkan izin tertulis dari suaminya. pergaulan hidup masyarakat. (Pasal 31 ayat (1))
(Pasal 108-110) e. Harus mempunyai kediaman yang tetap dan ditentukan
e. Suami wajib menerima isterinya dalam rumah yang ia secara bersama-sama (Pasal 32)
diami. (Pasal 107) f. Suami wajib melindungi isterinya, dan memberikan segala
f. Suami wajib memberikan bantuan kepada isterinya (Pasal sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan
105) dan wajib membantunya dimuka hakim (Pasal 110) kemampuannya. Dan isteri wajib mengatur urusan rumah
g. Suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi tangga sebaik-baiknya. Apabila keduanya melalaikan
isterinya dan harta kekayaan milik bersama (Pasal 105) kewajibannya maka dapat mengajukan gugatan ke
h. Suami tidak boleh memindah tangankan atau membebani Pengadilan (Pasal 34)
harta kekayaan milik isterinya tanpa persetujuan istri g. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
(Pasal 105) hukum (Pasal 31 ayat (2))
i. Setiap isteri berhak membuat surat wasiat tanpa izin
suaminya (Pasal 118)
10. Harta Benda dalam Perkawinan 10) Harta Benda dalam Perkawinan
a. Berlaku persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan a. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
isteri saat perkawinan dilangsungkan, meliputi : harta bersama (Pasal 35 ayat (1)) dan mengenai harta bersama
yang sudah ada pada waktu perkawinan dan harta yang dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
diperoleh selama perkawinan. Namun harta tersebut (Pasal 36 ayat (1))
bukan harta persatuan bulat apabila terdapat perjanjian b. Harta bawaan adalah harta masing-masing suami atau
kawin dan ada hibah atau warisan yang ditetapkan pewaris isteri sebelum perkawinan yang diperoleh dari hadiah
(Pasal 119 dan Pasal 120) atau warisan dan pengusaannya ada dimasing-masing
b. Suami atau isteri tidak diperbolehkan memindahkan hak pihak sepanjang pihak tidak menentukan hal lain (Pasal
atas harta benda yang bukan miliknya, terlebih ketika 35 ayat (2)) dan mengenai harta bawaan masing-masing
harta itu bukan merupakan harta asal. (Pasal 124-125) suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai hartanya (Pasal
36 ayat (2)).
11. Pembubaran/Putusnya Perkawinan 11) Pembubaran/Putusnya Perkawinan
a. Perkawinan bubar karena, kematian, keadaan tak hadlir a. Putusnya Perkawinan dikarenakan, kematian, perceraian,
suami atau isteri selama 10 tahun dan diikuti dengan dan atas Keputusan Pengadilan (Pasal 38)
perkawinan baru isteri/suaminya, Putusan Hakim setelah
adanya perpisahan meja dan ranjang selama 5 tahun, dan
perceraian.
(Pasal 199)
12. Perceraian 12) Perceraian
a. Tuntutan untuk perceraian perkawinan, harus dimajukan ke a. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan (Pasal 40
Pengadilan Negeri tempat daerah hukumnya (Pasal 207) ayat (1)). Pengadilan disini maksudnya adalah Pengadilan
dan pembukuan perceraian harus dilakukan ditempa Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Umum
dilakukannya perkawinan tsb, jika berlangsung diluar bagi lainnya.
Indonesia maka pembukuan harus dilakukan di catatan sipil b. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang
di Jakarta (Pasal 221) Pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil
b. Pembukuan perceraian dilakukan dalam waktu enam bulan mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 ayat (1))
dan keputusannya bersifat mutlak (Pasal 221 dan pasal 230) c. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan bahwa
c. Perceraian tidak dapat dicapai dengan suatu persetujuan tidak akan hidup rukun lagi (Pasal 39 ayat (2))
antara kedua belah pihak (Pasal 208) d. Tata cara perceraian tidak diatur dalam UU Perkawinan
d. Alasan yang dapat mengakibatkan perceraian, adalah : dan diatur dalam perundangan sendiri (Pasal 40 ayat (2))
zinah, meninggalkan rumah dengan itikad jahat, e. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, yaitu:
penghukuman dengan hukuman penjara lamanya 5 tahun  Orangtua tetap berkewajiban memelihara dan
atau lebih berat, keputusan bersalah dari Pengadilan. (Pasal mendidik anak-anaknya untuk kepentingan anak, jika
210) terjadi perselisihan hak asuh anak maka keputusan ada
e. Tata cara perceraian diatur didalam KUH-Perdata (Pasal di Pengadilan. (Pasal 41a)
211-232)  Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
f. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, yaitu: pemeliharaan dan pendidikan anaknya, apabila tidak
 Pihak bekas suami/istri yang memenangkan tuntutan atas mampu maka ibu ikut memikul biayanya ( Pasal 41b)
perceraian diperbolehkan menikmati segala keuntungan  Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami
yang dijanjikan didalam perkawinan oleh pihak lain atau untuk memberikan biaya penghidupan dan atau
diantara mereka (Pasal 222) menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal
 Pihak bekas suami/istri yang kalah atas tuntutan 41c)
perceraian kehilangan semua keuntungan yang telah
dijanjikan didalam perkawinan oleh pihak lain atau
diantara mereka (Pasal 223)
 Pengadilan dapat memutuskan untuk memberikan
tunjangan kepada salah satu pihak yang bercerai apabila
tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk
menafkahi kehidupannya (Pasal 225)
 Pengadilan menetapkan salah satu diantara kedua
orangtua atas hilangnya kekuasaan atas anak yang belum
dewasa dan diantara mereka yang kehilangan kekuasaan
atas anaknya dapat melakukan perlawanan dalam waktu
30 hari setelahnya (Pasal 229)
13. Keturunan/Kedudukan Anak 13) Keturunan/Kedudukan Anak
a. Setiap anak yang dilahirkan dan tumbuh sepanjang a. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya (Pasal sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42)
250) b. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
b. Keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari ke dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan
180 hari dalam perkawinan dapat diingkari oleh suami dan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akbiat daripada
suami dapat membuktikannya bahwa sejak 300 sampai perzinahan tersebut (Pasal 44 ayat (1))
180 hari sebelum kelahiran anak itu tidak melakukan c. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan dengan isterinya (Pasal 251-252) dan suami hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
dapat mengingkari keabsahan seorang anak apabila (Pasal 43 ayat (1).
dilahirkan 300 hari setelah keputusan perpisahan meja dan d. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan
ranjang dan isteri dapat menyangkalnya (Pasal 254) dan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat
Anak yang dilahirkan 300 hari setelah perkawinan yang berwenang. Bila tidak ada akte kelahiran maka
dibubarkan adalah taksah (Pasal 255) Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-
c. Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti
diluar kawin, timbul hubungan perdata antara sianak dan berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Dan atas
bapak atau ibunya (Pasal 280) dasar tersebut maka instansi pencatat kelahiran yang ada
d. Keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan dengan dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan
akte-akte kelahiran mereka, sekedar telah dibukukan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan
dalam register catatan sipil, apabila tidak ada akte maka (Pasal 55 ayat (1)
jika anak tersebut terus menikmati kedudukan sebagai - ayat (3))
anak yang sah, kedudukan ini adalah bukti yang cukup
(Pasal 261)
14. Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak 14) Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak
a. Anak berusia berapapun wajib menghormati dan a. Anak wajib menghormati orangtua dan kehendak mereka
menyegani orangtuanya (Pasal 298) yang baik (Pasal 46 ayat (1))
b. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anaknya yang b. Orang tua wajib mendidik dan memelihara anak mereka
belum dewasa (Pasal 298) dan bernaung dibawah dengan sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat
kekuasaan mereka sampai dewasa (Pasal 299) berdiri sendiri meskipun perkawinan orangtuanya telah
c. Anak yang belum mencapai umur 21 tahun dianggap putus (Pasal 45)
belum dewasa dan belum kawin mereka masih berada c. Anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah
dalam kekuasaan orangtua (Pasal 330) melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan
d. Anak wajib memberikan nafkah kepada kedua orangtua orangtua selama kekuasaannya tidak dicabut dan orangtua
dan kepada keluarga sedarahnya apabila mereka dalam mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum
keadaan miskin (Pasal 321) dan anak diluar kawin diakui didalam dan dluar pengadilan (Pasal 47)
menurut Undang-Undang harus member nafkah kepada d. Jika telah dewasa, anak wajib memelihara dan menurut
orangtua mereka (Pasal 328) kemampuannya, orangtua, keluarga garis lurus keatas bila
e. Orangtua wajib mengurus harta kekayaan anaknya, tapi mereka memerlukan bantuannya (Pasal 46)
tidak boleh memindahtangankan harta kekayaan anaknya e. Orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
yang belum dewasa dan setiap ibu/bapak yang memangku menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya
kekuasaan orangtua atau wali berhak menikmati segala yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan
hasil harta kekayaan anak-anaknya yang belum dewasa. perkawinan kecuali apabila kepentingan anak
Dan bapak-ibu diluar kawin yang telah diakui tak berhak menghendakinya (Pasal 48)
atas nikmat hasil harta kekayaan anak itu (Pasal 308-319) f. Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut
f. Kekuasaan orangtua terhadap anaknya dapat dicabut kekuasaannya dalam waktu tertentu atas permintaan
apabila tidak cakap atau tidak mampu menunaikan orangtua lainnya apabila melalaikan kewajibanyya
kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya terhadap anaknya, dan berkelakuan buruk (Pasal 49 ayat
dan kepentingan anak-anaknya. (Pasal 319) (1))
g. Meskipun kekuasaan orangtua dicabut tapi orangtua g. Meskipun kekuasaannya dicabut, orangtua masih tetap
berwajib untuk keperluan pemeliharaan dan pendidikan berkewajiban untuk membiayai pemeliharaan kepada
anak-anak yang belum dewasa. (Pasal 319) anak tersebut (Pasal 49 ayat (2))
15. Perwalian 15) Perwalian
a. Anak yang belum dewasa (belum mencapai 21 tahun) atau a. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
belum melangsungkan perkawinan dan tidak berada pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada
dibawah kekuasaan orangtua berada dibawah perwalian dibawah kekuasaan orangtua , berada dibawah kekuasaan
atas dasar yang telah diatur. wali (Pasal 50 ayat (1))
b. Perwalian mengenai pribadi anak dan harta bendanya b. Perwalian mengenai pribadi anak dan harta bendanya
(Pasal 385) (Pasal 50 ayat (2))
c. Wali diangkat oleh hakim atau diangkat oleh salah satu c. Wali dapat ditunjuk oleh satu orangtua sebelum ia
dari kedua orangtua (Pasal 331A) dan perempuan meninggal atau surat wasiat/dengan lisan dihadapan dua
bersuami tidak dapat menjadi wali tanpa bantuan atau izin saksi (Pasal 51 ayat (1)) dan diambil dari keluarga anak
tertulis dari suaminya (Pasal 332B) tersebut atau oranglain yang sudah dewasa, berpikir sehat,
d. Wali harus mengurus harta kekayaan anak tersebut dan adil, jujur dan berkelakuan baik (Pasal 51 ayat (2))
karenanya bertanggung jawab atas biaya, rugi, dan bunga d. Wali wajib mengurus anak dan harta benda dibawah
yang timbul kiranya karena tata pemeliharaannya yang penguasaannya dengan sebaik-baiknya dengan
buruk (Pasal 385) menghormati agama dan kepercayaan anak itu (Pasal 51
ayat (3))
16. Perkawinan diluar Indonesia 16) Perkawinan diluar Indonesia
a. Sah apabila dilakukan menurut cara yang lazim dan negeri a. Sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku
dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI itu dinegara mana pekawinan itu dilaksungkan dan bagi
tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Bab BW ini WNI itu tidak melanggar UU ini (Pasal 56)
(Pasal 83) b. Dalam waktu satu tahun setelah kembali ke Indonesia
b. Dalam waktu satu tahun setelah kembali ke Indonesia maka surat bukti perkawinan harus didaftarkan di
maka akta perkawinan yang dibuat diluar Indonesia harus Kantor Pencatatan Perkawinan tempat mereka tinggal
dipindah bukukan dalam register kawin umum ditempat (Pasal 56 ayat (2))
tinggal mereka (Pasal 84)
17. Perkawinan Campuran 17) Perkawinan Campuran
Didalam Buku KUH-Perdata / BW tidak diatur mengenai Didalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan Campuran. diatur tentang Perkawinan Campuran pada Pasal 57 sampai
dengan Pasal 62

Kesimpulan
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa hukum perkawinan merupakan kumpulan peraturan yang mengatur terkait
pelaksanaan pernikahan yang berlaku di negara Indonesia. Dari pengertian ini dapat dipahami hukum perkawinan sesungguhnya
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Semenjak lahirnya Undang-Undang No.Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka telah terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum barat. Karena Undang Undang ini
menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan perkawinan yang diatur dalam BurgerlijkWetboek (BW) / KUH Perdata tidak berlaku
lagi. Pernyataan tersebut memberikan pengaruh terhadap dimana sebagian ketentuan dalam pasal pasal dari Buku 1
BurgerlijkWetboek (BW) yang mengatur tentang perkawinan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Pengaruh UU Perkawinan terhadap Pasal 1330 BW


Pasal 1330 KUH Perdata tersebut memang hanya mengatur tentang perjanjian, tetapi ketentuan ini dapat dianalogikan pula
untuk semua perbuatan hukum, terutama perbuatan hukum yang bersifat perdata. Berdasar ketentuan pada pasal tersebut maka
dapat diketahui yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah
pengampuan, dan para istri, tetapi ketidakcakapan istri ini telah dicabut dengan keluarnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Secara hukum, orang yang tidak cakap hukum dalam melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan hak dan kewajibannya
secara perdata harus diwakili oleh walinya atau pengampuan. Hal ini karena menurut hukum mereka dimasukkan dalam
lembaga perwalian ataupun pengampuan sesuai dengan penyebab ketidakcakapannya.

Menurut BW status seorang istri mempunyai pengaruh pula terhadap kecakapan bertindak. Hal-hal teraebut diatur dalam pasal
1330 BW yang menyatakan bahwa yang tidak cakap untuk membuat persetujuan adalah :
1. orang-orang yang belum dewasa (minderjarig) ;
2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan ;
3. istri dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umuranya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat persetujuanpersetujuan tertentu.
Menurut BW, adanya perkawinan mengakibatkan seorang istri tidak mempunyai kecakapan bertindak tanpa bantuan atau izin
suaminya. Sebelum Undang-undang nomer 1 tahun 1974 berlaku, di Indonesia berlaku berbagai peraturan hukum perkawinan
untuk berbagai golongan warga negara dan untuk berbagai daerah.
Mengenai minderjarigheid telah diatur dalam buku I pasal 330 BW, yang terdiri atas 3 ayat berisi :
 ayat 1 memuat batas antara minderjarigheid dan meerderjarigheid, yaitu genap 21 tahun, kecuali bila orang itu sudah kawin
sebelum berumur genap 21 tahun ;
 ayat 2 mengatakan, bahwa pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang sebelum berusia genap 21 tahun tidak
mempunyai pengaruh terhadap status meerderjarigheid yang telah diperoleh orang itu ;
 ayat 3 menetapkan, bahwa seorang minderjarig yang tidak berada di bawah kekuasaanj-orang tua, akan berada di bawah
perwalian.
Dalam melakukan suatu perbuatan hukum orang itu diwakili oleh orang tua atau walinya. Bagi orang yang tunduk pada BW,
semua orang yang minderjarig harus berada di bawah kekuasaan orang tuanya (pasal 330 BW). Ciri khas keadaan minderjarig
ini adalah ketidakcakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum* akan tetapi untuk membuat perjanjian kawin undang-
undang mengadakan kekecualian.
Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah jika subjek hukumnya cakap
bertindak. Cakap bertindak yang dimaksud berhubungan erat dengan makna kedewasaan, mengingat menurut ketentuan dalam
Pasal 1330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa orang yang tidak cakap bertindak salah satunya disebutkan adalah mereka
yang belum dewasa. Orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata adalah mereka yang belum mencapai
umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.
UU Perkawinan mengatur mengenai status kedewasaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1),
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan:
“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”
Pasal 50 ayat (1) UU Perkawinan:
“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.”
Pasal 1 Angka 1 UU Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun masih dikategorikan sebagai anak. Sementara Pasal 1 Angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang
Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Perkawinan (selanjutnya disebut Perma Nomor 5 Tahun 2019) mendefinisikan
anak sebagai seorang yang belum berusia 19 tahun atau belum pernah kawin menurut peraturan perundangundangan.

Anda mungkin juga menyukai