0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
22 tayangan3 halaman
Anak angkat berhak atas pemeliharaan dari orang tua angkat, namun tidak mewarisi harta mereka. Hukum Islam mengizinkan wasiat untuk memberikan sebagian harta kepada anak angkat (maksimal 1/3). Hukum Perdata mengizinkan hibah, asalkan tidak melanggar hak waris sah. Hibah dapat diberikan kepada anak angkat selama batasannya dihormati.
Anak angkat berhak atas pemeliharaan dari orang tua angkat, namun tidak mewarisi harta mereka. Hukum Islam mengizinkan wasiat untuk memberikan sebagian harta kepada anak angkat (maksimal 1/3). Hukum Perdata mengizinkan hibah, asalkan tidak melanggar hak waris sah. Hibah dapat diberikan kepada anak angkat selama batasannya dihormati.
Anak angkat berhak atas pemeliharaan dari orang tua angkat, namun tidak mewarisi harta mereka. Hukum Islam mengizinkan wasiat untuk memberikan sebagian harta kepada anak angkat (maksimal 1/3). Hukum Perdata mengizinkan hibah, asalkan tidak melanggar hak waris sah. Hibah dapat diberikan kepada anak angkat selama batasannya dihormati.
Waris menjadi salah satu pengaturan utama yang ada dalam Hukum Islam di Indonesia. Jika menilik dari beberapa pasal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak angkat diatur secara khusus mengenai bagian waris yang berhak ia dapatkan. Sesuai dengan Pasal 171 huruf h KHI, disebutkan: “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.” Dalam definisi tersebut ditemukan bahwa hak anak angkat tersebut yang beralih dari orang tua asal kepada orang tua angkat hanya mendapatkan pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan pemeliharaan sendiri sesuai dengan Pasal 1 huruf g dinyatakan sebagaimana berikut: “Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.” Yang perlu digarisbawahi adalah pemeliharaan anak tersebut tidak berarti bahwa hubungan darah anak angkat tersebut dengan orang tua kandungnya menjadi terputus. Karena yang beralih hanya tanggung jawab orang tua angkat untuk memenuhi hajat hidupnya. Dimana tidak otomatis menjadikan antara anak angkat dan orang tua angkat memiliki hubungan darah. Padahal jika ditilik dari definisi ahli waris dalam Hukum Islam sesuai dengan Pasal 171 huruf c yakni: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi pewaris.” Namun demikian, walaupun anak angkat tidak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya yang meninggal, Hukum Islam tidak serta merta menelantarkan hak anak angkat atas harta yang ditinggalkan orang tua angkatnya. Hukum Islam mengantisipasi keadaan tersebut dengan ketentuan tentang wasiat. Sesuai dengan Pasal 194 disebutkan bahwa: 1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. 2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. 3. Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Sedangkan wasiat ini sendiri dapat diberikan kepada anak angkat untuk menjamin harta yang dapat ia peroleh setelah orang tua angkatnya meninggal. Namun, apabila orang tua angkatnya belum mempersiapkan wasiat, dapat berlaku ketentuan Pasal 209 ayat (2) yakni: “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.” Berdasarkan doktrin dari Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. dan Drs. H. M. Fauzan, S.H., M.M. dalam bukunya yang berjudul, “Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam”, diketahui bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya dengan jumlah maksimal 1/3.
Waris anak angkat dalam perspektif Hukum Perdata
Di sini perbedaan antara hukum Islam dan hukum perdata. Solusi yang ditawarkan hukum perdata adalah memberikan hibah. Menurut ketentuan Pasal 957 KUHPerdata, disebutkan bahwa: “Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu seperti misalnya segala barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.” Namun, dalam memberikan hibah perlu diperhatikan hak ahli waris sahnya. Jangan sampai Untuk itu KUHPerdata menentukan pada Pasal 972 bahwa: “Apabila warisan tidak seluruhnya atau untuk sebagian diterimanya, atau apabila warisan diterimanya dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan, dan yang ini tidak mencukupi guna memenuhi akan segala wasiat, maka hibah-hibah itu dalam keseimbangan dengan besarnya, harus dikurangi, kecuali yang mewariskan tentang hal ini, telah menetapkan ketentuan-ketentuan lain dalam surat wasiatnya.” Selain itu, dalam memberikan hibah juga harus dibuktikan dengan akta hibah di hadapan pejabat yang berwenang dimana sebelumnya dimintakan terlebih dahulu persetujuan dari ahli waris yang sah. Surat persetujuan tersebut juga harus dilegalisir oleh Notaris.
Hibah untuk anak angkat
Hibah merupakan kehendak bebas si pemilik harta untuk menghibahkan kepada siapa saja yang ia kehendaki. Jadi, pemberi hibah bertindak secara aktif menyerahkan kepemilikan hartanya kepada penerima hibah Di dalam harta pemberi hibah, terdapat hak bagian mutlak (legitieme portie) anak sebagai ahli warisnya dan hak ini dilindungi undang-undang. Dalam hukum kewarisan Islam, pemberian hibah untuk orang lain juga dibatasi maksimum hanya sebesar 1/3 harta. Jadi, jika memang hibah melanggar hak anak, maka anak dapat menggugat pemberian hibah. Namun jika anak tidak mempermasalahkan, maka hibah tetap bisa dilaksanakan. Untuk mencegah terjadinya tuntutan di kemudian hari, dalam praktik selalu disyaratkan adalah Surat Persetujuan dari anak-anak kandung Pemberi Hibah. Dengan demikian, pemberian hibah harus memperhatikan persetujuan dari para ahli waris dan jangan melanggar hak mutlak mereka. Hak mutlak adalah bagian warisan yang telah di tetapkan oleh undang-undang untuk masing-masing ahli waris (lihat Pasal 913 BW). Ketidaksetujuan anak bisa jadi karena ada kekhawatiran berkurangnya harta warisan yang akan mereka dapatkan atau bisa jadi karena anak-anak tidak senang kepada penerima hibah, segala hal bisa saja menjadi alasan pembenar. Dalam hal kebebasan selalu dibatasi dengan hak pihak lain, diakomodasi dengan baik oleh undang-undang. Undang-undang tetap menghormati hak pemilik harta untuk berbagi, tanpa merugikan hak para ahli waris. Untuk non muslim, akan tunduk pada aturan yang ada di Pasal 881 ayat (2) BW, yang mengatakan bahwa “dengan sesuatu pengangkatan waris atau hibah yang demikian, si yang mewariskan (dan menghibahkan-red) tak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”. Dalam BW terdapat penggolongan ahli waris yang dengan dasar golongan itu, menentukan seberapa besar hak mutlak mereka. Untuk muslim tunduk pada Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, penegasan SKB MA dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan Qs Al-Ahzab (33): 4-5, bahwa pemberian hibah harus taat pada ketentuan batas maksimum sebesar 1/3 dari seluruh harta pemberi hibah. Kesimpulannya, jika dapat dibuktikan bahwa pemberian hibah tersebut tidak melebihi 1/3 harta peninggalan pewaris (dalam sistem kewarisan Islam) atau tidak melanggar legitieme portie dari ahli waris (dalam sistem kewarisan perdata Barat), maka hibah terhadap anak angkat tetap dapat dilaksanakan.