Anda di halaman 1dari 3

ANAK ANGKAT/ASUH MENDAPAT WASIAT

 Waris Anak menurut Hukum Islam


Waris menjadi salah satu pengaturan utama yang ada dalam Hukum Islam di Indonesia. Jika
menilik dari beberapa pasal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak angkat diatur secara khusus
mengenai bagian waris yang berhak ia dapatkan. Sesuai dengan Pasal 171 huruf h KHI, disebutkan:
“Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.”
Dalam definisi tersebut ditemukan bahwa hak anak angkat tersebut yang beralih dari orang tua
asal kepada orang tua angkat hanya mendapatkan pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan pemeliharaan sendiri sesuai dengan Pasal 1 huruf g dinyatakan
sebagaimana berikut:
“Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik
anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.”
Yang perlu digarisbawahi adalah pemeliharaan anak tersebut tidak berarti bahwa hubungan
darah anak angkat tersebut dengan orang tua kandungnya menjadi terputus. Karena yang beralih hanya
tanggung jawab orang tua angkat untuk memenuhi hajat hidupnya. Dimana tidak otomatis menjadikan
antara anak angkat dan orang tua angkat memiliki hubungan darah. Padahal jika ditilik dari definisi
ahli waris dalam Hukum Islam sesuai dengan Pasal 171 huruf c yakni:
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi pewaris.”
Namun demikian, walaupun anak angkat tidak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya
yang meninggal, Hukum Islam tidak serta merta menelantarkan hak anak angkat atas harta yang
ditinggalkan orang tua angkatnya. Hukum Islam mengantisipasi keadaan tersebut dengan ketentuan
tentang wasiat. Sesuai dengan Pasal 194 disebutkan bahwa:
1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan
dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3. Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan
sesudah pewasiat meninggal dunia.
Sedangkan wasiat ini sendiri dapat diberikan kepada anak angkat untuk menjamin harta yang
dapat ia peroleh setelah orang tua angkatnya meninggal. Namun, apabila orang tua angkatnya belum
mempersiapkan wasiat, dapat berlaku ketentuan Pasal 209 ayat (2) yakni:
“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”
Berdasarkan doktrin dari Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. dan Drs. H. M. Fauzan, S.H.,
M.M. dalam bukunya yang berjudul, “Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam”, diketahui bahwa
wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
diperuntukkan bagi anak angkat atau orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh
orang tua angkat atau anak angkatnya dengan jumlah maksimal 1/3.

 Waris anak angkat dalam perspektif Hukum Perdata


Di sini perbedaan antara hukum Islam dan hukum perdata. Solusi yang ditawarkan hukum
perdata adalah memberikan hibah. Menurut ketentuan Pasal 957 KUHPerdata, disebutkan bahwa:
“Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan
kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu seperti
misalnya segala barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas
seluruh atau sebagian harta peninggalannya.”
Namun, dalam memberikan hibah perlu diperhatikan hak ahli waris sahnya. Jangan sampai
Untuk itu KUHPerdata menentukan pada Pasal 972 bahwa:
“Apabila warisan tidak seluruhnya atau untuk sebagian diterimanya, atau apabila warisan
diterimanya dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan, dan yang ini tidak mencukupi
guna memenuhi akan segala wasiat, maka hibah-hibah itu dalam keseimbangan dengan besarnya,
harus dikurangi, kecuali yang mewariskan tentang hal ini, telah menetapkan ketentuan-ketentuan lain
dalam surat wasiatnya.”
Selain itu, dalam memberikan hibah juga harus dibuktikan dengan akta hibah di hadapan pejabat
yang berwenang dimana sebelumnya dimintakan terlebih dahulu persetujuan dari ahli waris yang sah.
Surat persetujuan tersebut juga harus dilegalisir oleh Notaris.

 Hibah untuk anak angkat


Hibah merupakan kehendak bebas si pemilik harta untuk menghibahkan kepada siapa saja yang
ia kehendaki. Jadi, pemberi hibah bertindak secara aktif menyerahkan kepemilikan hartanya kepada
penerima hibah
Di dalam harta pemberi hibah, terdapat hak bagian mutlak (legitieme portie) anak sebagai ahli
warisnya dan hak ini dilindungi undang-undang. Dalam hukum kewarisan Islam, pemberian hibah
untuk orang lain juga dibatasi maksimum hanya sebesar 1/3 harta. Jadi, jika memang hibah melanggar
hak anak, maka anak dapat menggugat pemberian hibah. Namun jika anak tidak mempermasalahkan,
maka hibah tetap bisa dilaksanakan.
Untuk mencegah terjadinya tuntutan di kemudian hari, dalam praktik selalu disyaratkan adalah
Surat Persetujuan dari anak-anak kandung Pemberi Hibah. Dengan demikian, pemberian hibah harus
memperhatikan persetujuan dari para ahli waris dan jangan melanggar hak mutlak mereka. Hak mutlak
adalah bagian warisan yang telah di tetapkan oleh undang-undang untuk masing-masing ahli
waris (lihat Pasal 913 BW).
Ketidaksetujuan anak bisa jadi karena ada kekhawatiran berkurangnya harta warisan yang akan
mereka dapatkan atau bisa jadi karena anak-anak tidak senang kepada penerima hibah, segala hal bisa
saja menjadi alasan pembenar. Dalam hal kebebasan selalu dibatasi dengan hak pihak lain,
diakomodasi dengan baik oleh undang-undang. Undang-undang tetap menghormati hak pemilik harta
untuk berbagi, tanpa merugikan hak para ahli waris.
Untuk non muslim, akan tunduk pada aturan yang ada di Pasal 881 ayat (2) BW, yang
mengatakan bahwa “dengan sesuatu pengangkatan waris atau hibah yang demikian, si yang
mewariskan (dan menghibahkan-red) tak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu
bagian mutlak”. Dalam BW terdapat penggolongan ahli waris yang dengan dasar golongan itu,
menentukan seberapa besar hak mutlak mereka.
Untuk muslim tunduk pada Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, penegasan SKB MA dan Menteri
Agama No. 07/KMA/1985 dan Qs Al-Ahzab (33): 4-5, bahwa pemberian hibah harus taat pada
ketentuan batas maksimum sebesar 1/3 dari seluruh harta pemberi hibah.
Kesimpulannya, jika dapat dibuktikan bahwa pemberian hibah tersebut tidak melebihi 1/3 harta
peninggalan pewaris (dalam sistem kewarisan Islam) atau tidak melanggar legitieme portie dari ahli
waris (dalam sistem kewarisan perdata Barat), maka hibah terhadap anak angkat tetap dapat
dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai